PEMBANGUNAN EKONOMI



BAB III

PEMBANGUNAN EKONOMI



A.                 Permasalahan yang Dihadapi

Memasuki awal tahun 2000, perekonomian Indonesia dilanda optimisme pemulihan ekonomi yang cukup tinggi di mana proses pemulihan ekonomi yang telah mulai nampak sejak triwulan III tahun 1999 terus berlangsung. Stabilitas moneter juga terkendali, sebagaimana tercermin dari pencapaian tingkat inflasi yang rendah dan nilai tukar yang menguat hingga akhir tahun 1999. Kondisi sosial-politik dan keamanan pada waktu itu sudah membaik, dengan proses pelaksanaan pemilihan pimpinan nasional yang dinilai berjalan lancar dan demokratis. Berbagai perkembangan yang menggembirakan tersebut telah memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga lebih lanjut hingga akhir tahun 1999 dan menggairahkan pasar modal sehingga proses pemulihan ekonomi mendapatkan momentumnya kembali. Dalam tahun 2000 perekonomian tumbuh sekitar 4,8 persen.
Namun demikian, sejumlah permasalahan mendasar dan faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi kendala bagi proses pemulihan ekonomi secara lebih cepat dan berkelanjutan. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis serupa, proses pemulihan ekonomi di Indonesia juga relatif lebih lambat. Secara makro, kinerja tersebut masih dibayangi stabilitas ekonomi yang rentan terhadap gejolak. Nilai rupiah sejak beberapa bulan terakhir tahun 2000 terus bergejolak dan cenderung merosot nilainya. Bersamaan dengan itu, pelaksanaan penyesuaian tarif angkutan, penyesuaian harga BBM,  penyesuaian tarif dasar listirk dan kenaikan  gaji PNS  telah meningkatkan tekanan terhadap kenaikan laju inflasi. Besarnya beban pengeluaran pemerintah, terutama untuk pembayaran bunga utang dan subsidi, mengakibatkan terbatasnya stimulus fiskal untuk mendorong pemulihan ekonomi dan menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan fiskal dalam jangka menengah panjang. Kesemuanya ini pada gilirannya dapat menghambat pemulihan ekonomi.
Secara mikro, masih banyaknya kendala yang membatasi percepatan investasi swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan pemulihan ekonomi. Ekspansi kredit perbankan masih relatif terbatas meskipun secara umum kondisi perbankan telah membaik. Kemajuan dalam proses restrukturisasi utang perusahaan dan utang luar negeri swasta juga belum secepat yang diharapkan, sehingga perusahaan-perusahaan yang  mengalami kredit macet belum dapat bergerak secara leluasa. Di samping itu, belum terjaminnya keamanan, belum adanya  penegakan hukum yang memadai, dan adanya ketidakpastian dalam peraturan, termasuk dalam kaitannya dengan akan dimulainya pelaksanaan desentralisasi pada tahun 2001, telah mendorong para pelaku usaha untuk menunda peningkatan kegiatan usaha dan investasi.
Sementara itu, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah juga mengkhawatirkan akibat keterbatasan dalam penyediaan prasarana dan sarana dasar seperti jalan, listrik, telepon, pelabuhan dan berbagai sarana transportasi yang sangat penting untuk mendorong kegiatan usaha dan investasi. Kemampuan anggaran yang terbatas telah mengurangi kemampuan pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana dasar dan  kemampuan untuk melakukan rehabilitasi maupun pemeliharaan prasarana dasar yang sudah dibangun.  

1.         Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1       Penanggulangan Kemiskinan
Berbagai langkah telah diupayakan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin yang meningkat pesat sejak terjadinya  krisis ekonomi yaitu dari 22,5 juta pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta jiwa pada akhir tahun 1998. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini disebabkan oleh menurunnya daya beli penduduk miskin dan penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Kenaikan harga barang dan jasa yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan masyarakat menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke atas sehingga penduduk yang semula tidak termasuk miskin menjadi miskin.
Penurunan daya beli tersebut memberi dampak ganda terhadap perubahan pola kehidupan keluarga seperti pergeseran pekerjaan dari sektor formal ke sektor informal, penurunan porsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan, serta peningkatan keresahan sosial baik di tingkat keluarga maupun masyarakat.
Sebagai hasil dari upaya pemerintah untuk mengatasi dampak krisis yang terjadi, gejolak perekonomian telah dapat terkendali yang ditunjukkan dari menurunnya harga barang dan jasa, meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai hasil hibah (transfer) pendapatan dari program jaring pengaman sosial (JPS) dan program pembangunan lainnya. Jumlah penduduk miskin secara bertahap menurun menjadi 37,5 juta jiwa (pada Agustus 1999).
Meskipun demikian, upaya pengurangan jumlah penduduk miskin ini masih sangat rawan terhadap perubahan kondisi politik dan ekonomi nasional, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah, dan bencana alam, serta dampak dari meningkatnya kemiskinan terkait pula dengan kemungkinan merosotnya mutu generasi (lost generation) di masa mendatang.
Masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi. Faktor-faktor utama penyebab kemiskinan antara lain adalah: (1) Rendahnya kemampuan dasar rumah tangga (keluarga), antara lain adanya ketidakcukupan pangan, taraf pendidikan dan derajat kesehatan yang kurang memadai, serta sikap hidup yang tidak produktif; (2) Lemahnya struktur kegiatan ekonomi yang mendukung, antara lain tidak tersedianya lapangan kerja, ketidakmampuan masyarakat meningkatkan produksi dan pendapatan, tidak tersedianya informasi pasar, adanya biaya tinggi, dan adanya persaingan usaha; (3) Terbatasnya daya dukung wilayah, antara lain rendahnya daya dukung sumber daya alam (ketersediaan air, lahan tidak subur, iklim kering), dan terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana  sosial-ekonomi; (4) Terbatasnya kelembagaan yang mendukung, antara lain lemahnya organisasi sosial-ekonomi masyarakat, organisasi pelayanan umum yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, dan peraturan yang menghambat.
Terjadinya kemiskinan juga dapat dikaitkan dengan faktor eksternal di luar kemampuan masyarakat yang menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan antara lain adalah dukungan sistem politik pemerintahan, perubahan siklus bisnis, musim dan bencana alam, konflik sosial-ekonomi dan politik, dan dampak dari suatu kebijakan pemerintah itu sendiri.  
Tantangan utama yang perlu dihadapi dalam jangka pendek dalam penanggulangan kemiskinan adalah bagaimana menstrukturkan intervensi pemerintah dan penentuan kegiatan/program yang diperlukan untuk dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhinya, kemampuan pemerintah dan masyarakat, dan dukungan politik yang memadai.
1.2       Pembangunan Ketenagakerjaan
Situasi ketenagakerjaan saat ini masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Penciptaan kesempatan kerja baru masih belum mampu mengurangi jumlah penganggur terbuka seperti yang diharapkan. Pada tahun 2000, jumlah penganggur terbuka  yang tidak dapat diserap dalam pasar kerja sebanyak 5,8 juta orang atau sebesar 6,1  persen dari seluruh angkatan kerja.
Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu pada tahun 2000 berjumlah sekitar 30 juta orang atau sekitar 33,5 persen dari jumlah pekerja keseluruhan. Dari jumlah ini terdapat sebanyak 10,6 juta orang menginginkan pindah ke pekerjaan yang lebih baik.
Untuk membantu para pencari kerja yang ingin mengisi lowongan pekerjaan di dalam dan di luar negeri, Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana guna meningkatkan keterampilan dan keahlian calon pekerja. Lembaga-lembaga pelatihan, seperti Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kursus Latihan Kerja (KLK) yang tersebar diseluruh wilayah baik propinsi maupun Dati II, belum didayagunakan secara optimal. Di sebagian daerah pengalihan fungsi lembaga pelatihan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Khusus bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan ke luar negeri, masih banyak mengalami hambatan, baik dalam proses pengirimannya maupun dari segi pemberian perlindungan. Kurang berjalannya  koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengiriman TKI,  menimbulkan banyak permasalahan.
Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi ketenagakerjaan saat ini adalah suasana hubungan industrial yang belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa, mulai dari tuntutan terhadap  kenaikan upah hingga penolakan terhadap peraturan per-undang undangan, menunjukkan bahwa berbagai peraturan yang ada belum dapat memberikan rasa keadilan. 
1.3       Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Krisis yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 telah berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta orang pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta orang pada akhir tahun 1998, kemudian menurun kembali menjadi 37,5 juta orang pada bulan Agustus 1999.  Masih cukup besarnya penduduk miskin ini, sekitar 18,2 persen dari seluruh penduduk tahun 1999, dibarengi pula adanya jumlah pengungsi yang meningkat sebagai akibat adanya bencana alam dan kerusuhan sosial di berbagai daerah di wilayah Indonesia. Saat ini jumlah pengungsi yang tersebar di berbagai lokasi seperti Atambua (NTT), Maluku Utara, Aceh dan Sambas, cukup besar jumlahnya dengan kondisi sosial dan ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Selain itu, masalah sosial lainnya yang menonjol adalah keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas 1998, jumlah anak terlantar dilaporkan sebanyak 3,9 juta, sedangkan jumlah lanjut usia terlantar tercatat sekitar 3,5 juta jiwa. Sementara itu, masih terdapat sekitar 1,6 juta penduduk Indonesia yang mengalami kecacatan.
Permasalahan kemiskinan, pengungsi, ketelantaran, kecacatan ditambah dengan kondisi sosial ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan dewasa ini dapat memicu terjadinya kerawanan sosial dan disintegrasi bangsa. Di sisi lain ketersediaan dana untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut masih sangat terbatas, dan sangat tergantung kepada kemampuan anggaran pemerintah  serta bantuan hibah dari pihak asing.

1.4       Pengembangan Pertanian, Pangan, dan Pengairan
            Pembangunan pertanian, pangan, dan pengairan telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik dalam bentuk sumbangan kepada produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, maupun perolehan devisa.  Secara keseluruhan PDB pertanian dan kehutanan pada tahun 2000 tumbuh sekitar 1,7  persen dibandingkan tahun sebelumnya.  Meskipun demikian krisis ekonomi telah menimbulkan dampak yang cukup luas terutama pada penurunan tingkat kesejahteraan petani yang dapat diindikasikan dengan meningkatnya jumlah pengangguran,  jumlah penduduk miskin, serta menurunnya nilai tukar petani (NTP). Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat maka keberlanjutan penyediaan pangan menjadi sangat kritis. Kondisi pangan yang kritis ini berawal dari musim kemarau yang panjang akibat El-Nino serta kerusakan hutan dan lahan akibat kebakaran di Sumatera dan Kalimantan yang menjadikan penyebab menurunnya ketahanan pangan sampai ketingkat rumah tangga. Di lain pihak upaya peningkatan ketahanan pangan menghadapi kendala keterbatasan lahan subur disertai terus terjadinya pengalihan fungsi lahan, serta degradasi kualitas lingkungan.  Hambatan lain adalah pola konsumsi pangan yang masih terlalu mengandalkan pada konsumsi beras.  Upaya diversifikasi konsumsi pangan masih belum cukup berhasil yang terlihat dari rendahnya konsumsi pangan non beras, seperti ikan, daging,  sayur-sayuran, dan buah-buahan.
            Produksi padi pada tahun 2000 mencapai 51,9 juta ton atau meningkat sebesar 2,0 persen dibandingkan tahun 1999.  Selain itu, hasil rata-rata padi pada tahun 2000 mencapai  4,4 ton per hektar atau naik sebesar 3,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada saat yang sama produksi jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang hijau  masing-masing adalah sebesar 9,7 juta ton; 1,8 juta ton; 0,7 juta ton; dan 0,3 juta ton atau meningkat masing-masing sebesar 5,1 persen; 9,7 persen; 11,7 persen; dan 9,4 persen.  Sementara itu produksi ubi kayu dan kedele mengalami penurunan sebesar 2,2 persen dan 26,4 persen.
            Rata-rata nasional  harga gabah kering panen (GKP) pada tahun 2000 berkisar antara Rp. 965/kg sampai dengan Rp. 1.169/kg, atau rata-rata sekitar 2 persen lebih tinggi dari harga dasar.  Pada saat yang sama harga gabah di tingkat produsen dalam bentuk gabah kering giling (GKG) berkisar antara Rp. 1.239/kg sampai dengan Rp. 1.449/kg atau rata-rata sekitar 5 persen lebih rendah dari harga dasar.  Pada tahun 2000 total penyaluran beras yang dilakukan oleh BULOG mencapai 2,9 juta ton, dan sekitar 24,5 persen disalurkan untuk golongan anggaran, 64,3 persen untuk Operasi Pasar Khusus (OPK), dan sisanya untuk kebutuhan lainnya.  OPK tersebut merupakan salah satu program untuk pengentasan kemiskinan yang dilakukan  melalui penjualan langsung bahan pokok, terutama beras, kepada keluarga miskin. Kebijaksanaan OPK juga merupakan langkah untuk menghapus subsidi beras dari yang bersifat subsidi kepada konsumen umum menjadi subsidi kepada anggota masyarakat tertentu.  Total penyaluran beras melalui OPK pada tahun 2000 adalah sebesar 1,9 juta ton atau sekitar 30,6 persen lebih rendah dibandingkan tahun 1999.  Pada tahun 2000 impor beras ke pasar domestik mencapai 1,5 juta ton, dan sekitar 64,9 persen dilakukan oleh pihak swasta, sedangkan sisanya dilakukan oleh BULOG.
Harga beras di pasar dalam negeri semakin tertekan dengan dibukanya kesempatan impor yang lebih luas kepada swasta, dan hal ini menyebabkan tingginya suplai beras di pasar dalam negeri dan dengan harga yang lebih murah.  Kebijakan penerapan bea masuk terhadap beras impor untuk menekan arus impor tidak cukup efektif, dan bahkan hal ini menyebabkan terjadinya penyelundupan beras ke pasar domestik.  Kebijakan harga dasar gabah tidak secara langsung dapat efektif menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi, akibat harus bersaing dengan beras impor yang relatif murah.
Produksi beberapa komoditas perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kayu manis, pinang, dan tebu pada tahun 2000 mengalami peningkatan sebesar 2,2 persen; 4,5 persen; 14,5 persen; 26,7 persen; dan 23,7 persen dibandingkan tahun 1999.  Sementara itu pada tahun yang sama komoditas perkebunan lainnya seperti kelapa, teh, kapas, jarak, dan serat karung mengalami penurunan sebesar 0,4 persen; 6,8 persen; 22,5 persen; 0,1 persen; dan 7,4 persen.
Jumlah populasi ternak pada tahun 2000 mencapai sebesar  928 juta ekor atau meningkat sebesar 34,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.  Perkembangan populasi ternak dan unggas pada tahun 2000 seperti sapi perah, domba, ayam buras, ayam petelur, ayam pedaging/broiler, dan itik meningkat masing-masing sebesar 6,6 persen; 2,8 persen; 2,6 persen; 52,4 persen; 63,7 persen; dan 5,4 persen dibandingkan tahun 1999.  Di sisi lain populasi sapi potong, kerbau, kambing, babi, dan kuda menurun sebesar 2,4 persen; 3,9 persen; 1,1 persen, 23,9 persen; dan 14,9 persen.  Pada periode yang sama produksi daging, telur, dan susu mengalami peningkatan masing-masing sebesar 21,0 persen; 22,4 persen; dan 13,8 persen.
Perkembangan produksi perikanan selama tahun 2000 meningkat sebesar 3,9    persen dibandingkan tahun 1999. Pada tahun 2000 tersebut produksi ikan laut dan ikan darat mengalami peningkatan masing-masing sebesar  4,4 persen dan 2,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.  Perikanan budidaya seperti tambak, kolam, sawah, dan karamba pada tahun 2000 mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1,1 persen; 4,6 persen; 3,5 persen; dan 6,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.  Sementara itu pada saat yang sama produksi perairan umum meningkat sebesar 1,1 persen.
Potensi sumberdaya perikanan tangkap saat ini mencapai sekitar 6,3 juta ton, dengan tingkat pemanfaatannya mencapai 70 persen. Sementara itu potensi perikanan budidaya mencapai 55 juta ton, dengan tingkat pemanfaatan yang baru mencapai sekitar 2 persen.  Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan cukup tinggi, terutama perikanan budidaya.  Selain itu potensi budidaya perikanan pantai, laut, pariwisata bahari dan biota laut masih cukup besar terutama untuk pengembangan industri pangan baru.  Sebaliknya pada perairan dangkal  seperti di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa telah mengalami tangkap lebih (over fishing).  Belum efektifnya pengelolaan dan pengawasan di perairan dalam telah menyebabkan terjadinya pencurian oleh nelayan asing dan pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia.
Volume ekspor beberapa komoditas pertanian pada tahun 2000 seperti sayuran,  olahan sayuran, tanaman hias, minyak kelapa, minyak sawit, lada, nilam, kulit, tulang/tanduk, daging kambing/domba, udang, dan rumput laut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 9,3 persen; 39,8 persen; 65,0 persen; 110,2 persen;  24,6 persen; 79,0 persen; 102,6 persen; 12,3 persen; 34,9 persen; 176,8 persen; 9,5 persen; dan 53,4 persen dibandingkan tahun 1999.  Sebaliknya volume ekspor komoditas pertanian seperti buah-buahan, karet,  kopi, jambu mete, jahe, rempah-rempah, DOC ayam bibit, dan telur tetas pada tahun 2000 mengalami penurunan masing-masing sebesar 66,9 persen; 7,7 persen; 3,8 persen; 19,4 persen; 66,8 persen; 16,7 persen; 31,7 persen; dan 80,6 persen dibandingkan dengan tahun 1999.
Hasil pembangunan kehutanan pada tahun 2000, seperti produksi kayu bulat mencapai 13,6 juta m3 yang berasal dari hutan alam, areal konversi, kayu rakyat, hutan tanaman, dan hutan tanaman industri (HTI).  Pada saat yang sama produksi kayu olahan mencapai 5,1 juta m3 yang berupa kayu lapis, kayu gergajian, veneer, pulp, dan kayu olahan lainnya.    Selanjutnya produksi hasil hutan non kayu yang berupa rotan, damar dan hasil hutan non kayu lainnya pada tahun 2000 sebesar 272,9 ribu ton.
Sementara itu, pengelolaan sumberdaya hutan yang kurang memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah mengakibatkan terjadinya degradasi dan deforestasi sebesar 1,6 juta hektar per tahun yang mengakibatkan merosotnya daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan.  Jika hal tersebut terus berlangsung maka di masa mendatang bencana-bencana akibat rusaknya sumberdaya hutan tidak dapat dihindari dan proses menurunnya kualitas hidup akan semakin tajam karena ketidakmampuan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mendukung hidup bagi generasi berikut.  Kurang berhasilnya pembangunan kehutanan pada masa lampau banyak terkait dengan tingginya kerusakan sumberdaya hutan serta ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil-hasilnya. Hal tersebut tercermin dari adanya: (1) penebangan ilegal; (2) perambahan hutan dan lahan; (3) rehabilitasi hutan dan lahan; (4) kepedulian dan tuntutan internasional terhadap eksistensi sumberdaya hutan; (5) tuntutan masyarakat adat yang terkait dengan land tenure; serta (6) kontribusi sumberdaya hutan terhadap masyarakat sekitar hutan.
Pembangunan pertanian dan pangan terkait erat dengan pembangunan pengairan terutama dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pertanian, serta pemantapan swasembada pangan yang terutama diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan serta perluasan jaringan irigasi dan rawa.  Pada tahun 2000, pembangunan pengairan telah meningkatkan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi sebesar 6,3 juta hektar serta mencetak sawah baru seluas 9.318 hektar.

2.         Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK)
            Perkembangan usaha kecil dan menengah yang menjadi sumber kehidupan ekonomi dari bagian terbesar rakyat masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang fundamental. Usaha skala  kecil dan mikro yang berjumlah sekitar 39 juta (99,9 persen) menunjukkan pentingnya keberadaan mereka sebagai inti dari ekonomi rakyat.  Kontribusi usaha kecil dan mikro  dalam pembentukan PDB pada tahun 2000 (angka sementara) mencapai sekitar 40,4 persen, namun produktivitasnya jauh tertinggal dibandingkan usaha menengah, apalagi bila dibandingkan dengan usaha besar. Sementara lambatnya proses pemulihan ekonomi turut menyebabkan usahanya masih sulit untuk berkembang, umumnya usaha kecil dan mikro berupaya sejauh mungkin untuk bertahan. Selain perkembangan lingkungan eksternal makro yang belum juga kondusif, maka rendahnya rata-rata kualitas sumberdaya manusia pada UKMK merupakan masalah internal yang paling mendasar, melekat dan menjadi penghambat bagi berkembangnya kewirausahaan dan profesionalitas.
            Mekanisme pasar yang distortif, menyebabkan UKMK harus menanggung beban biaya transaksi yang sangat besar. Keadaan ini tercipta  akibat masih terdapatnya regulasi dan retribusi (yang dipungut) yang dasar hukum dan pertimbangan ekonominya kurang kuat.  Bersamaan dengan itu juga masih terdapat proses perizinan yang kurang transparan. Bahkan dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah timbul kecenderungan pemberlakuan peraturan daerah yang dapat diidentifikasi merugikan bagi efisiensi usaha dan efektivitas pergerakan sumber-sumber daya produktif. Demikian juga lemahnya koordinasi antar badan/lembaga dan partisipasi dunia usaha dan masyarakat dalam mengembangkan program pembinaan UKMK. 
            Akses UKMK terhadap perbankan memang terbatas, sedangkan penyaluran kredit perbankan kepada sektor riil juga berkurang dibandingkan sebelum krisis. Kemampuan pemupukan modal yang selama ini diandalkan UKMK dari hasil usahanya juga berkurang akibat menurunnya permintaan domestik terhadap  produk mereka. Kedua hal tersebut  menyebabkan UKMK mengalami kelangkaan sumber permodalan. Selanjutnya, keterbatasan jumlah lembaga penyedia jasa untuk memberi akses UKMK terhadap informasi, teknologi, dan pasar menjadi hambatan utama UKMK untuk meningkatkan volume usaha, dan daya saingnya, termasuk jaringan pemasaran dan sarana pendukung bagi yang berpotensi ekspor. Sementara itu institusi pendidikan dan pelatihan bagi UKMK juga belum tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai, termasuk institusi pelatihan yang dikelola oleh dunia usaha dan masyarakat. Jumlah koperasi terus meningkat, termasuk koperasi produksi dan jasa sebagian besar mewadahi pengusaha mikro dan kecil,  namun perkembangannya  secara kualitatif belum merata ditandai dengan rendahnya partisipasi anggota koperasi. Demikian juga fungsi koperasi untuk melayani kebutuhan para anggotanya belum optimal.

3.         Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1       Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi
Dalam tahun 2000 proses pemulihan ekonomi terus berlangsung. Perekonomian tumbuh sekitar 4,8 persen dengan ekspor dan investasi sebagai penggeraknya (masing-masing tumbuh sekitar 16,1 persen dan 8,9 persen); sedangkan konsumsi rumah tangga tumbuh lebih lambat (sekitar 3,6 persen). Dari sisi produksi, semua sektor menunjukkan pertumbuhan yang positif. Industri pengolahan nonmigas tumbuh sekitar 7,2 persen; pertanian sekitar 1,7 persen; dan sektor-sektor lainnya sekitar 5,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi membantu menciptakan lapangan kerja bagi tambahan angkatan kerja dan pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka dalam tahun 2000 menurun menjadi 6,1 persen angkatan kerja. Sejalan dengan itu upah riil pekerja di berbagai daerah dan kegiatan ekonomi meningkat mendekati masa sebelum krisis. Pendapatan per kapita masyarakat mencapai Rp 6,4 juta atau setara dengan US$ 756.
Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi belum didukung oleh pulihnya kepercayaan masyarakat. Sejumlah permasalahan mendasar dan faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi kendala bagi proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan. Dukungan investasi swasta masih terbatas, antara lain karena gangguan keamanan dan ketertiban serta gejolak politik, ekspansi kredit perbankan yang terbatas, dan kemajuan dalam proses restrukturisasi perusahaan dan utang luar negeri swasta yang belum secepat yang diharapkan. Di samping itu, ancaman terhadap kesinambungan anggaran negara (fiscal sustainability) menambah unsur ketidakpastian terhadap stabilitas ekonomi.
Berbagai permasalahan mendasar dan ketidakpastian tersebut meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dan laju inflasi.  Selama tahun 2000 nilai tukar Rupiah rata-rata mencapai Rp.8.400/US$. Tekanan terhadap Rupiah meningkat terutama sejak bulan April 2000 sebagai akibat memburuknya kondisi keamanan serta memanasnya suhu politik menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000, menguatnya matauang US$ terhadap hampir semua matauang utama dunia, serta besarnya permintaan valuta asing untuk pembayaran utang luar negeri.
Merosotnya nilai Rupiah menaikkan harga dalam Rupiah dari barang yang dapat diperdagangkan melalui ekspor-impor (tradable goods). Pada gilirannya, kenaikan tersebut merembet pada barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (non-tradable goods). Tekanan inflasi menjadi lebih tinggi lagi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi serta tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat. Dengan perkembangan tersebut laju inflasi pada tahun 2000 mencapai 9,35 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,01 persen. Dari laju inflasi pada tahun 2000 tersebut, dampak kebijakan pemerintah diperkirakan memberikan kontribusi inflasi sebesar 3,42 persen. Dengan demikian, kontribusi inflasi di luar kebijakan pemerintah adalah 5,93 persen, yang masih lebih tinggi dari sasaran inflasi Bank Indonesia untuk tahun tersebut yang ditetapkan berkisar antara 3 persen-5 persen.
Sementara itu tingkat suku bunga SBI 1 bulan setelah sempat menurun dari 11,48 persen pada akhir Januari menjadi 10,88 persen pada Mei 2000, kemudian berangsur-angsur meningkat sehingga pada akhir Desember 2000 telah mencapai 14,53 persen. Namun demikian, peningkatan suku bunga SBI tersebut tidak diikuti oleh peningkatan suku bunga deposito secara sepadan sehubungan dengan tingginya ekses likuiditas bank-bank sebagai akibat belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan secara normal. Hal ini juga mencerminkan berkurangnya efektivitas kebijakan moneter.
Di sektor eksternal, kinerja neraca pembayaran pada tahun 2000 menunjukkan perkembangan yang mengesankan. Transaksi berjalan mencatat surplus yang cukup besar yaitu mencapai US$ 8,0 miliar, yang didorong oleh membaiknya kinerja ekspor migas dan nonmigas. Berdasarkan data Bank Indonesia nilai ekspor migas dan nonmigas dalam tahun 2000 masing-masing mencapai US$ 15,1 miliar dan US$ 50,3 miliar atau masing-masing meningkat sebesar 46,9 persen dan 22,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Membaiknya ekspor migas terutama disebabkan oleh meningkatnya harga minyak di pasar internasional. Sementara itu, ekspor nonmigas meningkat cukup pesat walaupun terdapat beberapa kendala yang menghambat peluang ekspor; turunnya harga komoditi primer; rendahnya tingkat efisiensi yang berakibat pada lemahnya daya saing terutama dengan negara-negara di Asia; dan adanya tuduhan dumping oleh beberapa negara tujuan ekspor. Sejalan dengan peningkatan ekspor nonmigas, impor nonmigas dalam tahun 2000 juga meningkat sebesar 29,1 persen. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh meningkatnya impor bahan baku/penolong dan barang modal.
Dalam neraca jasa, pariwisata merupakan salah satu andalan bagi penerimaan devisa. Walaupun berbagai gejolak sosial-politik yang berdampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia dalam tahun 2000 masih meningkat cukup pesat.  Semua perkembangan tersebut menyebabkan surplus transaksi berjalan meningkat dari US$ 5,8 miliar dalam tahun 1999 menjadi US$ 8,0 miliar dalam tahun 2000.
Sementara itu, lalu lintas modal bersih dalam tahun 2000 masih mengalami defisit sebesar 6,8 miliar. Defisit tersebut disebabkan oleh menurunnya surplus lalu lintas modal pemerintah dan defisit lalu lintas modal swasta. Penurunan surplus lalu lintas modal pemerintah terutama disebabkan oleh penurunan bantuan program dan bantuan pangan. Di sisi lain, penurunan defisit lalu lintas modal swasta terkait dengan meningkatnya arus masuk modal swasta dan menurunnya pembayaran hutang luar negeri swasta dari sektor perbankan.
Sekalipun lalu lintas modal masih mengalami defisit, secara keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus sebagai akibat besarnya surplus transaksi berjalan. Dengan demikian, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2000 meningkat menjadi US$ 29,4 miliar atau setara dengan kebutuhan devisa untuk membayar impor dan utang luar negeri pemerintah selama 6,0 bulan.
3.2       Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam pengelolaan keuangan negara, permasalahan utama yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara upaya mewujudkan anggaran negara yang berkesinambungan (fiscal sustainability) dengan secara bertahap memperkecil defisit anggaran negara serta menurunkan peranan pinjaman sebagai sumber pembiayaan, dengan upaya meringankan beban masyarakat terhadap krisis serta mendorong pemulihan ekonomi.
Defisit anggaran negara telah dapat diperkecil dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,5 persen PDB di tahun 2000. Namun demikian, beban pinjaman sampai dengan tahun 2000 masih besar seperti tercermin dari rasio pinjaman pemerintah/PDB yang masih 98,3 persen, beban pembayaran bunga pinjaman dalam dan luar negeri yang tercatat 31,0 persen pengeluaran rutin atau 5,1 persen PDB. Beban anggaran menjadi lebih berat lagi dengan adanya subsidi yang masih 38,9 persen pengeluaran rutin atau 6,4 persen PDB.
Permasalahan menjadi lebih rumit lagi dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 harus dilaksanakan mulai 1 Januari 2001. Namun dalam tahun 2000 berbagai peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan otonomi daerah tersebut belum sepenuhnya disiapkan. Pelaksanaan otonomi daerah, selain diharapkan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara, memiliki potensi berdampak negatif  berupa gangguan stabilitas makro jika defisit anggaran negara (pusat dan daerah) membengkak. Kemungkinan dampak negatif yang lain adalah merosotnya pelayanan pemerintahan, termasuk pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, jika pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah tidak secara jelas ditetapkan dan secara konsisten dilaksanakan.
Sementara itu, posisi utang luar negeri pemerintah pada bulan Desember 2000 mencapai US$ 74.188 Juta. Bila dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 1999, yaitu US$ 75.720, terjadi penurunan sebesar 1,1 persen. Dilihat dari sumbernya, posisi Desember 2000 ini berasal dari utang pemerintah bilateral 54,7  persen; multilateral 42,1  persen; dan lainnya 3,2  persen.
Dilihat dari perkembangan persetujuan yang telah dilakukan, pledge pada tahun 2000 mengalami penurunan 54,5 persen dibandingkan tahun 1999/2000; yaitu  dari US$ 7.068,2 pada tahun 1999/2000 turun menjadi US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000. Pledge sebesar US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000 tersebut terdiri dari 93,2  persen berbentuk Bantuan Proyek dan 6,8  persen berbentuk Pinjaman Setengah Lunak dan Komersial (untuk Proyek).
Sementara itu, nisbah Debt Service Ratio (DSR), nisbah total utang terhadap eskpor, untuk utang pemerintah pada tahun 2000 adalah 7,2  persen. Nilai ini mengalami penurunan dibandingkan DSR tahun 1999 yang mempunyai nilai 9,9 persen.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan utang luar negeri pemerintah ini adalah tingginya beban pembayaran pokok dan bunga, terutama akibat menurunnya nilai tukar rupiah. Beban ini pada gilirannya akan mengurangi ruang gerak pemerintah untuk melaksanakan program-program pembangunan. Di samping itu, pemanfaatan utang luar negeri pemerintah masih dirasakan belum optimal. Penggunaannya belum semuanya ditujukan pada proyek-proyek pembangunan yang produktif dan belum dilaksanakan secara efektif, sehingga tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Selanjutnya, perencanaan proyek-proyek yang akan dibiayai dari sumber luar negeri belum semuanya dibuat secara matang. Akibatnya, sering kali proyek yang sudah mendapatkan persetujuan pendanaan luar negeri tidak siap untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan beban biaya tambahan, seperti commitment fee.
3.3       Pengembangan Lembaga Keuangan
Perkembangan lembaga keuangan secara umum akan sangat dipengaruhi oleh iklim perekonomian secara makro. Dalam tahun 2000, meskipun pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi, berbagai ketidakpastian yang muncul telah menghambat perkembangan berbagai bentuk lembaga keuangan.
Kinerja pasar modal selama tahun 2000 menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini tercermin dari menunrunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 676,9 pada akhir tahun 1999 menjadi 416,3 pada akhir tahun 2000. Sejalan dengan itu nilai rekapitalisasi pasar pada periode yang sama juga menurun dari  Rp 451,8 triliun menjadi Rp 259,6 triliun.
Di sektor perbankan, seperti disampaikan pada penjelasan program restrukturisasi perbankan, fungsi intermediasi perbankan masih  belum pulih. Selanjutnya, proses rekapitalisasi perbankan telah berhasil dituntaskan pada akhir Oktober 2000, namun beberapa bank masih mencatat CAR di bawah 4 persen. 
Sementara itu, sumber pembiayaan alternatif di luar pasar modal dan perbankan telah berperan mengurangi kelangkaan pembiayaan. Hal ini tercermin dari peningkatan kinerja perusahaan pembiayaan dan pegadaian.
Total nilai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan, sampai dengan bulan Oktober 2000, naik 17,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dialami oleh semua jenis kegiatan perusahaan pembiayaan, kecuali kegiatan anjak piutang yang menurun 16,8 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada pembiayaan konsumen, yaitu naik 64,5 persen.
Adapun untuk pegadaian, peningkatan kinerja tesebut antara lain tercermin dari penambahan kantor cabang dari 650 unit menjadi 700 unit. Omzet usaha pegadaian, sampai dengan Desember 2000,  meningkat dengan 31,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan mampu melayani 12,9 juta nasabah, yang berarti peningkatan sebesar 4,5 persen dari tahun sebelumnya.
3.4              Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha
Program rekapitalisasi perbankan sebagai salah satu langkah utama dalam kebijakan restrukturisasi perbankan telah diselesaikan pada 31 Oktober 2000. Secara keseluruhan, selama tahun tersebut telah dilaksanakan rekapitalisasi terhadap 6 bank umum yaitu Bank Niaga, Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank Take Over), dan penerbitan obligasi tahap kedua BNI, BRI dan BTN. Rekapitalisasi tersebut dilaksanakan dengan penerbitan obligasi Pemerintah sejumlah Rp 148,6 triliun.
Dengan penyelesaian program rekapitalisasi perbankan, telah meningkatkan total aset dan modal perbankan. Dalam tahun 2000, total aset perbankan meningkat 2,4 persen dibandingkan Desember tahun 1999, mencapai Rp1.030,5 triliun. Dari sisi modal perbankan perbaikannya jauh lebih besar, yaitu dari negatif          Rp 41,2 triliun pada Desember 1999 menjadi positif Rp 53,5 triliun pada akhir 2000.
Untuk memulihkan fungsi intermediasi perbankan, selain melalui rekapitalisasi perbankan, juga ditempuh dengan restrukturisasi kredit untuk membantu pemulihan usaha debitur. Program  restrukturisasi kredit bermasalah dilakukan baik oleh bank itu sendiri maupun melalui perantaraan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit (Satgas) yang dibentuk Bank Indonesia. Sementara itu, BPPN merestrukturisasi kredit bermasalah yang ditransfer dari bank-bank BUMN dan bank-bank peserta program rekapitalisasi. Sedangkan restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan swasta, di luar yang dilakukan oleh bank, Satgas Restrukturisasi Kredit dan BPPN tersebut dilakukan melalui perantaraan Prakarsa Jakarta.

Sampai dengan akhir 2000 kredit bermasalah di luar BPPN yang telah direstrukturisasi dan yang telah memasuki tahap implementasi tercatat sebanyak 20.430 debitur dengan nilai Rp.59,9 triliun atau 71,4 persen dari total Non-Performing Loans (NPLs). Sedangkan BPPN telah berhasil merestrukturisasi 28,3 persen dari total kredit perbankan yang ditanganinya sebesar Rp.286,3 triliun. Restrukturisasi kredit yang dilakukan BPPN tersebut mencapai tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan implementasi proposal restrukturiasi.

Meskipun telah dicatat berbagai kemajuan, masih dicatat sejumlah permasalahan. Dari sisi permodalan, meskipun modal semua kelompok bank sudah positif, namun dalam tahun 2000 masih terdapat beberapa bank yang mempunyai rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di bawah yang direncanakan, yaitu 4 persen.  Dari jumlah aset perbankan yang telah meningkat seperti diuraikan di atas, sebagian besar masih berupa portofolio obligasi pemerintah di bank-bank dan SBI, masing-masing 41,9 persen dan 5,8 persen dari total aset. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan penjualan sebagian obligasi pemerintah yang dimiliki perbankan dan pengambilalihan kredit yang telah direstrukturisasi BPPN belum seperti yang diharapkan. Fungsi intermediasi perbankan masih harus didorong lebih lanjut. Kredit perbankan pada tahun 2000 secara keseluruhan memang meningkat 15,5 persen.  Namun jika pengaruh depresiasi nilai tukar Rupiah dihilangkan, maka peningkatan tersebut menjadi hanya 2,2 persen.

            Ada 5 permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan kredit. Pertama, masih terbatasnya debitur potensial sehingga sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam bentuk kredit memengah dan kecil dengan tujuan konsumsi. Kedua, perbankan menilai resiko usaha masih tinggi, meskipun terdapat permohonan  kredit oleh nasabah baru. Ketiga, para debitur belum melakukan penarikan atas komitmen kredit secara optimal karena belum didukung oleh iklim usaha yang kondusif. Keempat, beberapa bank rekapitalisasi yang masih mengalami masalah likuiditas menghadapi kesulitan untuk menjual obligasi yang dimilikinya karena belum berkembangnya pasar sekunder obligasi pemerintah. Kelima, beberapa bank masih menghadapi kesulitan pemenuhan ketentuan CAR dan Batas Masimum Pemberian Kredit (BMPK).
Proses restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta telah mengalami kemajuan. Sampai dengan akhir tahun 2000, menurut survei yang dilakukan oleh Prakarsa Jakarta total utang yang diberikan kepada sektor swasta berjumlah US$ 119 miliar. Sebanyak kurang lebih 50 persen (US$ 59,9 miliar)  dari utang tersebut merupakan utang bermasalah.  BPPN menangani restruksturisasi utang sekitar US$ 29,9 miliar. Sementara itu hingga Desember 2000 terdapat 91 kasus restrukturisasi utang yang terdaftar di Parkarsa Jakarta dengan total nilai mencapai US$ 16,9 miliar. Jumlah kasus yang telah diselesaikan proses mediasinya mencapai 37 kasus, dengan total  nilai mencapai US$ 9,36 miliar. Sisa  utang perusahaan bermasalah tersebut berada di luar proses restrukturisasi utang yang dilakukan oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta,  antara lain restrukturisasi utang yang langsung ditangai oleh perbankan nasional.
Masalah pokok yang dihadapi dalam upaya mempercepat restrukturisasi utang perusahaan ini adalah situasi ekonomi makro yang tidak kondusif, debitur yang tidak kooperatif, masalah dokumentasi pengalihan pinjaman dari bank-bank ke BPPN (Asset Transfer Kit atau ATK) yang tidak memadai, adanya hambatan dari kreditur lainnya, khususnya untuk pinjaman sindikasi, ketidakpastian peraturan, khususnya untuk aset-aset yang berada di daerah seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan masih lemahnya penegakan hukum dalam sistem sistem peradilan niaga. Permasalahan tersebut juga telah menghambat implementasi dari kesepakatan-kesepakatan restrukturiasi utang yang telah dilakukan antara perusahaan dengan BPPN dan kreditur-kreditur yang dimediasi dalam kerangka Prakarsa Jakara.
3.5       Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pada tahun-tahun awal dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut baru memulai tahap persiapan, yaitu dengan menyiapkan peraturan perundang-undangan untuk menjamin berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Untuk tahun 1999 dan 2000, telah banyak peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah diantaranya  Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tentang Kewenangan Daerah Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang dana perimbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Perbantuan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
Melalui formulasi dana  perimbangan yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 terdapat perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap pengelolaan keuangan negara. Perubahan tersebut adalah perubahan sistem alokasi anggaran yang didaerahkan yaitu dari sistem subsidi daerah otonom dan dana rutin daerah menjadi dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Perubahan yang mendasar dalam hal ini adalah cara-cara pengelolaannya yang memberikan fleksibelitas yang tinggi kepada daerah dalam pengelolaan keuangan dan pemerintahan didaerahnya.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan implementasi perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah (1) masih banyaknya daerah yang mengalami pemekaran sehingga ada kesulitan dalam menetapkan batas wilayah daerah penghasil sumber daya alam (SDA) terutama yang berasal dari migas. Pemekaran ini juga berpengaruh pada kemampuan dan potensi daerah induk seta distribusi alokasi anggaran pusat ke daerah. ; (2) masih belum sempurnanya formulasi DAU yang disebabkan oleh akuntabilitas dan ketersediaan data secara luas, kesederhanaan mekanisme perhitungan, “keadilan” horizontal pada daerah-daerah yang memiliki karekteristik sama serta beberapa hal teknis lainnya; (3) terjadinya kekurangsesuaian  pembiayaan yakni kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana terutama disebabkan masih luasnya “gray area” dalam pemisahan kewenangan pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Disamping itu, kekurangsesuaian pembiayaan ini juga disebabkan karena masih berlangsungnya pelaksanaan pengalihan Peralatan, Pembiayaan, Personil dan Dokumentasi (P3D); (4)  masih banyaknya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengalami kerugian sebagai akibat dari masih rendahnya manajemen sumber daya manusia pengelola BUMD, terbatasnya permodalan, belum adanya standar kinerja keuangan yang dapat dijadikan alat bagi stakeholders  untuk menilai kinerja keuangan BUMD dan pengaturan dasar hukum BUMD yang masih berdasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang perusahaan daerah yang dirasakan sudah tidak kondusif lagi sebagai akibat dari perubahan pelaksanaan system pemerintahan yang semula sentralistis menjadi desentralistis.

4.         Memacu Peningkatan Daya Saing
Proses pemulihan ekonomi pada tahun 2000 masih terus berlangsung dan kinerja di sektor riil, sektor yang tekait dengan produksi, jasa dan distribusi, telah menunjukkan perbaikan. Meski harus diakui bahwa bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, upaya pemulihan ekonomi di Indonesia cenderung tertinggal karena terhambat oleh krisis multidimensional yang masih terus berlangsung. Berbagai kebijakan terkait seperti industri, perdagangan dan investasi terus diupayakan untuk mengejar ketertinggalan ini walaupun tantangan yang dihadapi makin berat. Diantaranya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2000 dan diperkirakan masih terus berlangsung pada tahun 2001 telah menyebabkan tingkat permintaan terhadap produk industri menjadi berkurang. Dalam kondisi seperti ini, produk industri nasional menghadapi tantangan kompetisi yang makin ketat untuk dapat bersaing di pasar internasional. Situasi ini menuntut perhatian khusus mengingat era perdagangan bebas telah makin dekat, antara lain AFTA yang akan berlaku tahun 2002.
Semangat pelaksanaan otonomi daerah yang berkembang juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan industri nasional. Pembangunan sektor industri ditantang untuk mampu menjawab dua permasalahan sekaligus, yakni tantangan persaingan yang semakin ketat dan secara bersamaan mampu mendorong perkembangan ekonomi daerah dan menjadi penggerak bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya.
Selanjutnya, pembangunan sektor perdagangan pasca krisis ekonomi khususnya pada tahun 2000 dipacu untuk terus berperan dalam roda perekonomian dan pembangunan nasional. Meskipun ditandai dengan berbagai konflik yang timbul dan kondisi perekonomian nasional yang tidak kondusif, sektor perdagangan masih mampu memberikan kontribusi yang cukup besar. Hal tersebut ditandai dengan masih terciptanya stabilitas harga dan jaringan distribusi nasional dalam memenuhi ketersediaan dan kebutuhan bahan pokok masyarakat dan kinerja ekspor yang meningkat dibandingkan tahun 1999. Dalam bidang investasi baik penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), sektor perdagangan masih memainkan peranannya. Pada tahun 2000 jumlah investasi di sektor perdagangan yang disetujui baik PMA dan PMDN mengalami peningkatan,  yaitu masing-masing sebanyak 499 perusahaan dan 25 perusahaan dibandingkan tahun 1999 yang sebanyak 348 perusahaan dan 6 perusahaan.
Seperti dikemukakan di atas, pembangunan sektor industri dan perdagangan menghadapi tantangan persaingan global yang semakin ketat di masa mendatang. Dalam kenyataannya tidak hanya kedua sektor di atas yang menghadapi tantangan persaingan global, namun semua sektor pembangunan nasional menghadapi tantangan serupa. Masalah yang dihadapi untuk menjawab tantangan tersebut adalah daya saing nasional yang masih rendah akibat masih rendahnya produktivitas dan masih terbatasnya pengembangan inovasi.
4.1       Pengembangan Ekspor
Dibandingkan tahun 1999 total nilai ekspor nasional (berdasarkan data Badan Pusat Statistik) meningkat sebanyak 27,7 persen pada tahun 2000, yaitu dari sebesar US$ 48,7 miliar  menjadi sebesar US$ 62,1 miliar, terdiri atas migas sebesar US$ 14,4 miliar dan non migas sebesar US$ 47,8 miliar dengan kontribusi 76,9 persen ekspor komoditi non migas dan 23,1 persen ekspor migas. Peningkatan ekspor migas terutama disebabkan oleh meningkatnya harga minyak bumi maupun gas di pasar internasional. Kenaikan harga minyak bumi tersebut antara lain disebabkan oleh kepatuhan dari negara-negara anggota OPEC terhadap kuota yang ditetapkan dan berkurangnya pasokan minyak di pasar internasional sebagai akibat ketidakstabilan kondisi politik di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, peningkatan ekspor nonmigas terutama disebabkan oleh meningkatnya ekspor barang industri dan pertambangan. Pangsa ekspor barang industri nonmigas mencapai kurang lebih 80 persen dari total nilai ekspor nonmigas. Peningkatan ekspor barang industri tersebut antara lain disebabkan oleh naiknya harga kertas di pasar dunia, dan kuatnya permintaan terhadap barang-barang tekstil dan produk tekstil, barang-barang listrik, mesin dan pesawat mekanik di pasar internasional.
Selanjutnya permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekspor, antara lain adalah: (1) kondisi politik, sosial dan keamanan yang kurang kondusif menyebabkan kinerja pembangunan ekonomi menjadi terhambat dan akhirnya dapat mempengaruhi kegiatan yang lainnya; (2) kesulitan pembiayaan perdagangan (trade financing) dan prosedur kepabeanan; (3) tidak termanfaatkannya kuota ekspor; (4) kurang tersedianya informasi pasar tujuan ekspor; (5) belum berfungsinya lembaga keuangan  dalam memfasilitasi keuangan kepada eksportir dan masih rendahnya pemanfaatan jasa asuransi ekspor oleh eksportir; dan (6) masih lemahnya koordinasi lintas sektor di bidang transportasi.
4.2       Pengembangan Industri Berkeunggulan Kompetitif
Adanya hambatan-hambatan yang terkait dengan proses produksi berupa peraturan dan prosedur di bidang perpajakan, perbankan maupun perijinan yang memerlukan penyederhanaan dan penyempurnaan merupakan masalah utama yang perlu cepat diatasi terutama dalam kaitannya untuk meningkatkan utilisasi kapasitas produksi, efisiensi dan daya saing industri. Tantangan ini berpengaruh pada upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif sehingga pada gilirannya dapat menghambat kesinambungan sediaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa. Hal penting lainnya yang perlu dicermati adalah masih terbatasnya kemampuan SDM industri dalam penguasaan manajemen dan teknologi. Dalam era perdagangan bebas nanti, dampaknya akan berpengaruh pada rendahnya tingkat efisiensi produksi serta daya saing produk yang dihasilkan.
Tantangan lainnya yang juga memprihatinkan adalah lemahnya koordinasi dan sinergi kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini terjadi disebabkan kesadaran untuk melaksanakan koordinasi masih kurang memadai. Tantangan ini menjadi lebih kompleks manakala semangat otonomi daerah yang berkembang saat ini, yang memberi peluang lebih luas bagi daerah untuk menentukan kebijakan pembangunan daerahnya masing-masing, cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek daripada memperhatikan kepentingan jangka panjang. Apabila masalah ini tidak segera dicarikan solusinya akan berdampak negatif pada proses restrukturisasi pembangunan industri. Pengembangan klaster industri sebagai wujud dari langkah restrukturisasi akan mengalami hambatan karena strategi ini membutuhkan sistem keterkaitan yang kuat dan terintegrasi antar sektor dan regional.
Industri skala kecil dan menengah yang merupakan salah satu komponen penting dalam upaya restrukturisasi dan pengembangan ekonomi kerakyatan juga tidak terlepas dari berbagai hambatan yang ada. Peranan industri kecil dalam mendukung penguatan basis produksi, diharapkan mampu menjadi dasar pengembangan usaha di masa mendatang terutama dalam menghadapi era globalisasi. Hambatan tersebut diantaranya: (1) kultur masyarakat yang masih bersifat agraris sehingga sistem pengelolaan usahanya kurang mencerminkan semangat yang berwawasan bisnis; (2) terbatasnya dukungan infrastruktur murah dan memadai, seperti sarana promosi, lembaga penelitian teknologi profesional, dan jaringan informasi, yang mendukung berkembangnya ekonomi rakyat serta terciptanya inovasi melalui peningkatan diversifikasi dan disain produk guna pemenuhan kebutuhan konsumen; (3) terbatasnya dukungan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dalam rangka mendapatkan tambahan modal usahanya, dan (4) terbatasnya wawasan terhadap aspek pelestarian lingkungan sebagai salah satu faktor penting daya saing produk di pasar internasional.
4.3       Penguatan Institusi Pasar
Dalam rangka menciptakan iklim usaha dan perdagangan yang kompetitif, di sektor perdagangan secara bertahap telah dilakukan penyempurnaan sistem perdagangan dalam negeri yang semakin transparan dan kompetitif, antara lain dengan diberlakukannya pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, telah dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang merupakan lembaga independen. Komisi ini bertanggung jawab kepada Presiden, dan anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, KPPU dibantu oleh sekretariat komisi yang bertugas untuk menunjang penyelenggaraan tugas dan kewenangan KPPU di bidang administrasi dan teknis operasional. Namun demikian, selama menjalankan tugasnya KPPU pun tidak luput dari berbagai permasalahan, seperti status kelembagaan sekretariat komisi yang belum tuntas penyelesaiannya, jumlah staf sekretariat komisi yang belum sesuai dengan beban kerja yang ada, serta sarana dan prasarana yang belum memadai.
Sementara itu, Pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi konsumen dari kegiatan dan praktek-praktek produsen yang merugikan. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi saat ini adalah Undang-undang Perlindungan Konsumen belum dapat direalisasikan secara optimal. Hal ini karena perangkat peraturan penunjang dari Undang-undang tersebut, seperti Rancangan Keputusan Presiden dan Rancangan Peraturan Pemerintah,  belum disahkan.
Sementara itu, pelaksanaan Otonomi Daerah yang mulai efektif sejak Januari 2001 telah menunjukkan gejala yang kurang menguntungkan bagi pembangunan perdagangan dalam negeri. Terdapat indikasi adanya kecenderungan dari Pemerintah Daerah untuk berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena aparat Pemda melihat bahwa PAD sebagai sumber utama keberhasilan Otonomi. Semangat Pemda untuk meningkatkan PAD ini akan dilakukan melalui penciptaan berbagai pajak dan retribusi daerah. Situasi ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi iklim usaha di daerah dan perlu dicegah, karena akan menciptakan “non tariff barriers” yang menghambat upaya mewujudkan  iklim perdagangan dalam negeri yang sehat. 
Hambatan di atas pada gilirannya akan menghambat kesiapan mengantisipasi globalisasi. Keberhasilan bersaing dalam perdagangan bebas dunia sangat tergantung dari bagaimana penyelenggaraan perdagangan dalam negeri, baik perdagangan antar wilayah maupun perdagangan antar pulau. Semakin sehat iklim perdagangan dalam negeri yang diciptakan akan memperbesar kesiapan  menghadapi globalisasi.
4.4       Pengembangan Pariwisata
Selama tahun 2000 berbagai peristiwa dan kejadian seperti kerusuhan di berbagai daerah, serta perseteruan politik semakin memperburuk citra Indonesia di dunia internasional yang gilirannya memicu penurunan citra kepariwisataan Indonesia,  namun dalam suasana yang demikian melalui upaya yang sungguh-sungguh oleh segenap pelaku usaha dan pemerintah serta masyarakat mampu meredam imbas negatip citra diatas. Melalui program pembangunan tahun sebelumnya upaya pemulihan citra kepariwisataan nasional telah menunjukkan tanda-tanda yang cukup menggembirakan. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan kunjungan Wisatawan Mancanegara (wisman) dan perolehan devisa dibandingkan tahun 1999.
Dalam suasana krisis yang berkepanjangan, Sektor Pariwisata diyakini mampu memberikan kontribusi besar dalam usaha menggerakkan ekonomi rakyat melalui peran aktif masyarakat terutama disekitar objek dan daya tarik wisata (ODTW) untuk terlibat langsung dalam perekonomian dengan berbagai bentuk kegiatan yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat seperti usaha cinderamata, desa wisata, dan atraksi wisata termasuk memberikan wahana pengembangan pemasaran usahanya. Selain itu dalam suasana keterbukaan saat ini adanya keterlibatan langsung dan peran aktif masyarakat dalam setiap keputusan yang diambil terutama terkait dengan program-program pariwisata yang akan dikembangkan mampu menciptakan iklim yang kondusif dan mengurangi ketegangan dan  berbagai konflik di masyarakat sehingga secara nasional ikut serta menciptakan stabilitas dan pemerataan pembangunan.
Pembangunan Pariwisata tidak dapat dilepaskan dari situasi perubahan dan dinamika yang terjadi di tingkat nasional, regional dan internasional yang satu sama lain saling terkait. Beberapa permasalahan strategis yang harus diperhatikan dalam pembangunan Pariwisata adalah: (1) pola sentralistik dan terbatasnya dana pembangunan selama ini telah  membatasi ruang gerak pengelolaan pariwisata terutama dalam hal pengambilan keputusan dan mengembangkan potensi objek dan daya tarik wisata; (2) krisis yang berkepanjangan telah menyebabkan penurunan investasi di bidang pariwisata dan menurunnya kinerja investasi sebelumnya yang antara lain ditandai  menurunnya proyek pembangunan kawasan pariwisata; (3) pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya lokal khusus dalam kaitannya dengan pariwisata masih belum terwujud dengan optimal;  (4)  masih kurang optimalnya dukungan antar instansi terkait dalam upaya penguatan kepariwisataan nasional; (5) Adanya proses otonomi yang menimbulkan tumpang tindih dalam beberapa peraturan kepariwisataan; (6) belum optimalnya kesadaran wisata di tingkat masyarakat terutama kesiapan menerima wistawan mancanegara.
4.5       Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Perubahan cepat sebagai dampak globalisasi menuntut bangsa Indonesia untuk semakin berupaya meningkatkan kesejajaran dan kesetaraan dengan bangsa lain. Di bidang ekonomi, produktivitas dan daya saing produk perlu ditingkatkan untuk dapat mensejajarkan produk dari Indonesia di pasar dunia. Sementara itu, sebagai akibat krisis ekonomi, pemulihan kegiatan ekonomi juga membutuhkan perhatian yang besar. Dengan demikian, secara jangka pendek peran Iptek perlu ditingkatkan untuk membantu pemulihan ekonomi, dan secara jangka menengah dan panjang peran Iptek untuk meningkatkan daya saing produk nasional perlu terus dilakukan.
Di sisi lain, krisis telah menunjukkan pentingnya ketersediaan data dan informasi yang tepat waktu dan akurat, khususnya data statistik ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Keterlambatan serta ketidak-akuratan dalam penyediaan data dan informasi dapat mempersulit perumusan kebijakan dan bahkan dapat memperburuk masalah, baik di sektor pemerintah maupun swasta. 
Untuk mendukung peningkatan produktivitas dunia usaha dalam masa krisis, kondisi yang dihadapi adalah pada umumnya industri kecil masih bersifat tradisional. Sementara itu di kalangan industri menengah dan besar, pembaharuan teknologi produksi masih tergantung pada paket teknologi yang diperoleh dari lisensi. Berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh Lemlitbang belum banyak dikuasai, dimanfaatkan dan diterapkan oleh dunia usaha. Berbagai masalah yang dihadapi antara lain adalah: (a) hasil penelitian dan pengembangan belum banyak diketahui oleh masyarakat serta belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dunia usaha; (b) di kalangan dunia usaha skala kecil dan menengah tidak mempunyai cukup dana untuk menerapkan teknologi baru dan menanggung resiko kegagalannya; (c) kalangan Lemlitbang tidak mempunyai cukup dana untuk mengembangkan hasil usaha dalam tahap komersial (upscaling); serta (d) tidak jelasnya pembagian pemanfaatan teknologi baru bagi penemu/peneliti. Selain itu, pelaksanaan penelitian dan pengembangan oleh industri/dunia usaha masih rendah karena besarnya biaya dan resiko yang harus ditanggung oleh pengusaha. Sebagai akibatnya industri belum mampu meningkatkan daya saing mereka sendiri dan menciptakan produk dari sumber daya lokal dan teknologi bangsa sendiri.
Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu berperan untuk mengurangi hambatan yang dihadapi masyarakat dalam meningkatkan pemanfaatan, penguasaan dan pengembangan Iptek, serta memberikan bantuan dan dukungan secara selektif, yang secara efektif dapat mendorong peningkatan Iptek di dunia usaha.

5.         Meningkatkan Investasi
5.1       Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri
Perkembangan penanaman modal dalam PMA maupun PMDN selama tahun 2000 mengalami peningkatan dibandingkan dengan satu dan dua tahun sebelumnya, baik dari jumlah proyek maupun nilai investasinya. Dalam tahun 2000, Pemerintah telah menyetujui proyek PMA berjumlah 1.508 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 15,4 miliar. Apabila dibandingkan dengan persetujuan PMA tahun 1999 telah terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui sebesar 29,5 persen dan nilai investasi sebesar 41,5 persen. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan persetujuan tahun 1998 telah terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui sebesar 45,7 persen dan nilai investasi sebesar 13,6 persen.
Persetujuan investasi PMA tersebut jika ditinjau dari sebaran bidang usaha yang diminati oleh para investor pada tahun 2000 adalah Jasa Perdagangan 499 proyek, Jasa Lainnya 298 proyek, Industri Barang Logam 132 proyek, dan Industri Tekstil 107 proyek. Dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah Industri Kimia U$ 7,5 miliar, Perdagangan US$ 1,4 miliar, Angkutan, Gudang dan Telekomunikasi US$ 1,2 miliar dan Industri Barang Logam US$ 1,0 miliar.
Sedangkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh investor berdasarkan lokasi investasi adalah DKI Jakarta dengan jumlah 734 proyek, Jawa Barat/Banten dengan jumlah 340 proyek, Jawa Tengah dengan jumlah 36 proyek, Nusa Tenggara Barat dengan jumlah 9 proyek , dan D.I. Aceh dengan jumlah 3 proyek.
Untuk proyek PMDN, pada tahun 2000 disetujui 354 proyek dengan nilai investasi Rp. 92,3 triliun. Apabila dibandingkan dengan persetujuan PMDN tahun 1999 telah terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui sebesar 49 persen dan nilai investasi sebesar 72,4 persen. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui dan nilai investasi masing-masing sebesar 9,3 dan 51,9 persen.
Ditinjau dari sebaran bidang usaha yang diminati oleh para investor pada tahun 2000 adalah  Industri Kimia 46 proyek, Industri Makanan 45 proyek, Angkutan, Gudang dan Telekomunikasi 44 proyek dan Industri Barang Logam 43 proyek. Dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah Industri Kimia Rp. 56,4 triliun, Industri Makanan Rp. 9,2 triliun, Industri Kertas Rp. 8,7 triliun dan Industri Mineral Non Logam Rp. 3,5 triliun.
Sedangkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh investor berdasarkan lokasi investasi adalah Jawa Barat/Banten dengan jumlah 95 proyek, DKI Jakarta dengan jumlah 85 proyek, Riau dengan jumlah 19 proyek, Sulawesi Selatan dengan jumlah 8 proyek, dan Kalimantan Selatan dengan jumlah 5 proyek.
Indikasi di atas memperlihatkan bahwa meskipun jumlah proyek dan nilai investasi mengalami kenaikan, namun bidang usaha yang paling diminati oleh pelaku penanaman modal saat ini merupakan bidang usaha dengan tingkat resiko yang relatif kecil. Disamping itu, pemilihan DKI Jakarta sebagai lokasi proyek PMA sedangkan PMDN di Jawa Barat/Banten lebih disebabkan karena DKI Jakarta dan Jawa Barat/Banten telah memiliki infrastruktur yang memadai dan relatif paling aman untuk berinvestasi. Kejadian-kejadian yang kurang baik dialami oleh beberapa perusahaan asing dan nasional yang relatif berskala besar di daerah tertentu mempunyai dampak negatif dalam upaya menarik investasi asing ke Indonesia.
5.2       Pengembangan Pasar Modal
Pasar modal sebagai salah satu sarana intermediasi di sektor keuangan dalam menunjang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional masih menghadapi beberapa masalah di dalam perkembangannya. Permasalahan utama yang sedang dihadapi adalah masih belum kokohnya infrastruktur pasar modal Indonesia serta perlu ditingkatkannya kualitas dan kuantitas supply dan demand pasar. Kedua aspek ini sangat mempengaruhi kemampuan pasar dan lembaga keuangan yang terkait dalam menyediakan jasa keuangan untuk memobilisasi dana masyarakat melalui pasar modal dalam menunjang pembangunan nasional.
Permasalahan infrastruktur pasar meliputi aspek kelembagaan, peraturan perundangan, sistem teknologi informasi dan profesionalisme pelaku pasar modal. Permasalahan utama dalam aspek kelembagaan berkaitan dengan fungsi Bapepam dan bursa efek. Lembaga Bapepam perlu direposisi tugas pokok dan fungsinya agar menjadi lembaga pengawas pasar modal yang independen dan berkualitas internasional dengan bergabung dengan pengawas jasa keuangan lainnya, seperti Perbankan, Dana Pensiun dan Asuransi, dalam Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK). Selain itu dengan diperkenankannya perluasan kepemilikan saham bursa efek melalui proses demutualisasi bursa juga akan mengakibatkan adanya perubahan pada struktur pemegang saham bursa efek.
Cepatnya dinamika perkembangan pasar memerlukan upaya penyempurnaan dan penambahan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dengan cepat dan transparan. Keterlambatan dalam penyusunan peraturan-perundangan dan regulasi operasional menjadi hambatan bagi pengembangan suatu instrumen pasar, misalnya obligasi pemerintah. Kesadaran pemodal baik domestik maupun luar negeri bahwa peraturan-peraturan tersebut memberikan landasan dan kepastian hukum yang kuat menjadi tuntutan bagi tersedianya peraturan-perundangan yang mantap. Penerapan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan secara baik (good corporate governance) di pasar modal merupakan aspek penting lainnya yang perlu terus ditingkatkan.
Disamping itu, pasar modal Indonesia masih memerlukan adanya sumber daya manusia yang berkualitas pada perusahaan efek, lembaga profesi penunjang maupun pihak-pihak yang terlibat di pasar modal. Sumber daya manusia yang profesional dibidang pasar modal yang akan berperan sebagai daya tarik pasar modal masih sangat terbatas di Indonesia. 
Agar pasar modal Indonesia tidak tertinggal dari pasar modal negara lainnya, maka penguasaan dan pengambangan teknologi informasi menjadi suatu keharusan. Untuk itu, sistem informasi antar lembaga-lembaga yang ada di pasar modal harus dipadukan untuk menciptakan sistem informasi yang terintegrasi. Penerapan teknologi informasi tersebut dapat mendukung prinsip keterbukaan dan penyebaran informasi. Selain itu pembangunan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) juga hal mutlak yang harus dilakukan. Sistem perdagangan ini akan semakin memperluas akses ke pasar modal dan memperkuat basis pemodal di daerah-daerah.
Permasalahan lainnya adalah yang berkaitan dengan aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sisi permintaan ditunjukkan dengan masih lemahnya pemodal domestik baik dari segi jumlah maupun kemampuan finansialnya, serta sikap pemodal asing yang sampai saat ini masih menunggu perkembangan keadaan ekonomi makro dan keamanan dalam negeri yang berdampak pada tingkat resiko berinvestasi di Indonesia. Dari sisi permintaan masih perlu meningkatkan kualitas perusahaan yang telah maupun yang akan melakukan penawaran umum melalui penerapan prinsip-prinsip good corporate governance, serta perlunya upaya meningkatkan nilai kapitalisasi pasar.
Permasalahan-permasalahan diatas tercermin dari perkembangan pasar modal Indonesia dapat dilihat dari indikator nilai kapitalisasi pasar, nilai emisi saham terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Nilai kapitalisasi pasar yang ditunjukkan melalui nilai kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Jakarta menunjukkan fluktuasi yang cukup tinggi. Pada tahun 1999 nilai kapitalisasi pasar sempat mencapai Rp 451,8 triliun, namun pada tahun 2000 menurun tajam sebesar 42,5 persen menjadi Rp. 259,6 triliun. Bahkan per 19 Oktober 2001, nilai kapitalisasi pasar masih belum berhasil menguat kembali yaitu sebesar Rp. 232,8 triliun (menurun sebesar 10,3 persen dari tahun 2000). Penurunan nilai kapitalisasi pasar yang sangat tinggi terutama bila dibandingkan terhadap tahun 1999, disebabkan terutama oleh jatuhnya nilai atas saham-saham yang diperdagangkan dan menurunnya kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal dalam negeri.
Nilai emisi menunjukan peran pasar modal sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan bagi sektor swasta. Hal tersebut dikarenakan nilai emisi saham secara riil tercatat dalam keuangan perusahaan untuk kemudian dipergunakan sebagai dana investasi dan operasi perusahaan. Dari tahun ke tahun, nilai emisi saham mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Sejak akhir tahun 1999 hingga 19 Oktober 2001, nilai emisi saham terus meningkat dari Rp. 206,7 triliun pada tahun 1999, menjadi Rp. 226,1 triliun pada tahun 2000, kemudian mencapai Rp. 230.5 triliun. Namun, rasio antara nilai emisi saham perusahaan terhadap PDB nominal mengalami penurunan dari 18,6 persen di tahun 1999 menjadi 17,5 persen di tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pasar saham terhadap perekonomian nasional relatif belum stabil. Penurunan nilai kapitalisasi pasar dalam setahun terakhir memang tidak sebanding dengan meningkatnya jumlah saham yang tercatat di bursa, karena adanya penurunan nilai atas saham-saham yang diperdagangkan.
Indikator Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan kecenderungan melemah. Dalam kurun waktu 1999-2001, indeks Bursa Efek Jakarta sempat melonjak hingga 676,9 pada akhir tahun 1999, namun kemudian menurun tajam menjadi 416,3 di akhir tahun 2000, dan terus merosot hingga berada di posisi 387,8 per 19 Oktober 2001. Perkembangan IHSG dipengaruhi antara lain oleh stabilitas kondisi sosial dan politik dalam negeri, melemahnya nilai tukar rupiah, tingginya tingkat suku bunga perbankan, dan menurunnya kontribusi pemodal asing di dalam pasar modal Indonesia.
5.3       Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan perekonomian nasional terutama dalam penciptaan lapangan kerja, mendukung anggaran pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Walaupun BUMN telah mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan dan pendorong terciptanya sektor korporasi, namun tujuan tersebut dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Saat ini kinerja dari banyak perusahaan dinilai belum memadai, seperti tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang ditanamkan. Sebagai gambaran, rasio laba dari modal yang ditanamkan seluruh BUMN di luar jasa Perbankan di tahun 1998, 1999 dan 2000 adalah masing-masing sekitar 15,15 persen, 15,83 persen dan 4,7 persen. Sedangkan  untuk tahun 2001 rasio laba terhadap modal diharapkan mencapai 6,4 persen. Dengan angka rasio laba terhadap modal yang relatif rendah tersebut, sulit diharapkan BUMN mampu menumpuk dana yang memadai untuk membiayai pembangunan usahanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memperbaiki kinerja BUMN, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk melakukan reformasi BUMN melalui pelaksanaan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Program restrukturisasi BUMN ditujukan untuk memperbaiki kondisi BUMN agar mampu memberikan kontribusi yang optimal kepada bangsa dan negara. Sudah barang tentu restrukturisasi tersebut seperti halnya privatisasi memerlukan keterlibatan dukungan dari semua pihak. Dalam hal privatisasi BUMN dukungan dari departemen teknis berupa kebijakan sektoral. Penetapan kebijakan sektoral yang kondusif akan merupakan dukungan yang sangat berarti dalam pelaksanaan privatisasi BUMN tersebut sehingga pada gilirannya akan memberikan nilai tambah bagi sektor yang bersangkutan. Program privatisasi juga ditujukan sebagai upaya taktis dan strategis dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN sehingga pembayaran pajak dan dividen kepada negara, peningkatan kualitas pelayanan ataupun produk yang dihasilkan bagi masyarakat dapat ditingkatkan serta yang tidak kalah pentingnya adalah membantu pengurangan defisit APBN. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN dijumpai berbagai permasalahan antara lain: (i) belum adanya kesamaan persepsi dalam upaya reformasi BUMN di kalangan masyarakat, akademisi, birokrat serta dari pihak internal BUMN sendiri; (ii) kapasitas pasar modal saat ini belum dapat menampung pelaksanaan privatisasi sejumlah besar BUMN melalui penawaran umum karena masih terbatasnya aliran dana dalam negeri dan investasi portofolio dari luar negeri; (iii) regulasi (deregulasi) berbagai peraturan oleh departemen teknis dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah terhadap keberadaan BUMN; serta (iv) belum sempurnanya penerapan prinsip-prinsip good corporate governance di kalangan BUMN. Namun demikian agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat ditangani secara baik diperlukan dukungan politik dari semua pihak.

6.         Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi
            Bidang pembangunan prasarana ketenagalistrikan menghadapi masalah karena  kemampuan untuk memenuhi permintaan kebutuhan tenaga listrik masih terbatas. Untuk sistem Jawa-Bali pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik sampai dengan tahun 2000 sebesar 9,9 persen, kurang diimbangi dengan peningkatan kapasitas penyediaan tenaga listrik. Sedangkan pada sistem luar Jawa masih terdapat 21 sistem dalam kondisi kritis dan terus bertambah parah. Daerah kritis tersebut antara lain sistem Sumatera Utara-Aceh, sistem Sumatera Barat-Riau, sistem Sumbagsel (Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu dan Belitung), sistem Kalimantan Barat, sistem Kalimantan Selatan-Tengah dan Timur, sistem Sulawesi Selatan-Tenggara dan sistem Irian Jaya. Kondisi ini berdampak pada kontinuitas penyediaan tenaga listrik yang menyebabkan pemadaman bergilir di beberapa tempat di Sumatera dan Kalimantan.
Keterbatasan penyediaan tenaga listrik  disebabkan karena masalah keuangan pemerintah akibat pembengkakan pengembalian cicilan pokok dan bunga pinjaman karena depresiasi Rupiah  terhadap mata uang asing dan harga tarif listrik yang belum mencerminkan nilai keekonomian serta masih tingginya biaya pembelian listrik swasta. Selain itu, kemampuan penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah terpengaruh  adanya gangguan keamanan yang menyebabkan terhambatnya pembangunan beberapa pembangkit yang sedang berjalan.
Kondisi sektor transportasi pada tahun 2000, pada umumnya terjadi penurunan kinerja pelayanan jasa prasarana dan sarana transportasi akibat menurunnya kondisi aktivitas perekonomian, biaya pembangunan, serta operasi dan pemeliharaan. Terjadinya penurunan pelayanan angkutan umum dan terpuruknya usaha di bidang jasa angkutan, terutama akibat dari melonjaknya harga suku cadang dan biaya operasi angkutan yang tidak dapat diimbangi dengan kenaikan tarif angkutan karena daya beli masyarakat yang juga semakin menurun. Penurunan pelayanan angkutan tersebut terutama terjadi pada pelayanan angkutan udara.
Selain itu, masih diperlukan peningkatan efisiensi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan jasa transportasi pada umumnya, baik dari aspek perijinan dan birokrasi, profesionalitas sumber daya manusia transportasi dan industri jasa transportasi. Kinerja pelayanan angkutan masih rendah terutama dalam hal ketepatan waktu dan tingkat keselamatan, dilihat dari tingginya tingkat kecelakaan angkutan, baik akibat kurangnya disiplin sumber daya manusia pengguna dan penyedia jasa transportasi maupun kondisi kelaikan sarana dan fasilitas prasarananya.
Kondisi prasarana jalan terjadi penurunan karena banyaknya kondisi jalan yang mengalami rusak berat pada tahun 2000 yaitu meningkat 27,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut terutama disebabkan karena terjadinya pelanggaran muatan lebih di jalan yang menyebabkan percepatan perusakan jalan dari target umur teknisnya, selain berkurangnya jumlah anggaran biaya untuk rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan. Kegiatan pemeliharaan diberikan prioritas tinggi dalam tahun anggaran 2000 dengan peningkatan pemeliharaan jalan yang cukup berarti, yaitu sepanjang 17.900 kilometer.
Dalam transportasi darat bagi angkutan umum penumpang terjadi kenaikan jumlah kumulatif armada bus pada tahun 1999/2000 naik dari 645.000 unit menjadi 666.280 unit pada tahun 2000, namun kondisi armada bus yang laik dan siap operasi menurun. Sedangkan mobil barang/truk meningkat dari 1.629.000 menjadi 1.707.134, mobil penumpang meningkat dari 2.898.000 menjadi 3.038.913 dan sepeda motor meningkat dari 13.053.000 menjadi 13.563.017.
Sementara itu pelayanan angkutan perkeretaapian, khususnya angkutan kereta api penumpang mengalami kenaikan dari tahun 1999/2000 sebesar 184,0 juta orang menjadi 192,4 juta orang pada tahun 2000. Sedangkan untuk jumlah angkutan barang melalui kereta api mengalami sedikit penurunan pada tahun 2000 dari 19,68 juta ton (5.071,0 juta ton/km) menjadi 19,30 juta ton (4.880,0 juta ton/km).
Di bidang angkutan sungai, danau, dan penyeberangan terjadi penurunan pembangunan dermaga penyeberangan dari 24 unit pada tahun 1998/1999 dan 20 unit tahun 1999/2000 menjadi 11 unit tahun 2000, dan dermaga sungai dari 34 unit (1998/199); 9 unit (1999/2000) menjadi 15 unit (tahun 2000). Sementara itu rehabilitasi dermaga penyeberangan meningkat dari 5 unit (1998/1999) menjadi 7 unit (tahun 2000). Pembangunan rambu, kapal baru dan pengoperasian kapal penyeberangan perintis mengalami penurunan. Selain itu, jumlah penumpang, kendaraan roda empat dan roda dua serta barang yang diangkut umumnya juga mengalami penurunan, yaitu bila pada tahun 1999/2000 jumlah penumpang adalah 70.176 ribu orang , 9.582 ribu kendaraan dan 27.838 ribu ton barang, menjadi 34.379 ribu orang; 8.446 ribu kendaraan dan 12.456 ribu ton barang pada tahun 2000.
Keadaan transportasi laut pada tahun 2000 dapat dilihat dari berbagai hal seperti kondisi armada dan angkutan laut baik angkutan barang maupun angkutan penumpang baik angkutan dalam negeri maupun luar negeri. Peran armada nasional dalam mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional masih kecil, terutama masih terjadinya defisit neraca berjalan dalam sub sektor transportasi laut, akibat kecilnya porsi pelayanan armada nasional baik dalam pelaksanaan jasa pelayanan angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 2000 pangsa pasar armada laut nasional baik dalam angkutan barang dalam negeri maupun luar negeri masih rendah. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya ada kenaikan peran armada pelayaran nasional untuk angkutan luar negeri, namun terjadi penurunan peranannya untuk angkutan dalam negeri. Hal ini kemungkinan disebabkan telah selesai dan dioperasikannya kapal-kapal peti kemas pesanan pemerintah yang dioperasikan oleh PT. Djakarta Lloyd di pelayaran internasional.
Sementara itu selama krisis ekonomi terjadi, anggaran pembangunan untuk pengembangan prasarana fasilitas pelabuhan dan keselamatan pelayaran diprioritaskan untuk merehabilitasi fasilitas yang ada sehingga diharapkan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Di samping itu dengan telah ditetapkannya tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memenuhi sarana bantu navigasi seperti menara suar dan rambu suar.
Kondisi jasa pelayanan transportasi udara yang mengalami penurunan sejak terjadinya  krisis ekonomi baik pada penerbangan berjadwal dalam negeri maupun pada penerbangan berjadwal luar negeri telah menunjukkan peningkatan.  Tahun 2000 telah terjadi peningkatan jumlah penumpang dan barang yang diangkut pada penerbangan berjadwal dalam negeri masing-masing sebesar 13,58  persen dan 14,04  persen. Faktor muatan untuk penumpang sudah mencapai 63,05 persen untuk penumpang dan 53,03 persen untuk barang. Pada penerbangan rute luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional juga sudah mengalami kenaikan sebesar 2,42 persen untuk penumpang diangkut dan 10,12 persen untuk barang yang diangkut. Besarnya faktor muatan pada  penerbangan luar negeri mencapai 73,43 persen untuk penumpang diangkut dan 61,52 persen untuk barang. Kondisi ini mengakibatkan kemudahan pemakai jasa penerbangan menjadi berkurang. Kapasitas yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan jumlah penumpang dan barang yang telah meningkat.  Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan penerbangan antara lain sebagian besar pesawat udara sudah melampaui umur ekonomis dan memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup besar, pendapatan perusahaan tidak mampu memenuhi kebutuhan operasional dan pemeliharaan yang meningkat sebagai akibat biaya komponen impor yang cukup dominan, perusahaan penerbangan tidak mampu untuk mengoperasikan pesawat-pesawat yang sebagian besar disewa dari luar negeri. 
Kondisi sarana dan prasarana meteorologi dan geofisika pada tahun 2000 masih kurang dapat mendukung kegiatan peramalan cuaca secara baik, karena banyak fasilitas dan peralatan yang sudah melampaui umur ekonomis. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya akurasi peramalan cuaca.
Sedangkan kemampuan tindak awal pencarian dan penyelamatan dalam hal terjadinya kecelakaan pada tahun 2000 masih rendah, sehingga operasi pencarian dan penyelamatan belum dapat dilakukan dengan optimal. Penyebab utama adalah kurangnya peralatan pencarian dan penyelamatan, peralatan komunikasi, dan peralatan medis. Selain itu, kualitas sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan.
Dalam hal pelayanan jasa telekomunikasi, krisis ekonomi telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan baru fasilitas telekomunikasi, di samping tertundanya pengoperasian jasa-jasa baru, serta terganggunya mutu pelayanan dan pelaksanaan Kerjasama Operasi (KSO) yang melibatkan partisipasi swasta, baik dalam maupun luar negeri. Sementara itu, pihak PT. Telkom dan mitra KSO mesti mengubah Memorandum of Understanding (MoU), antara lain penurunan kapasitas yang harus dibangun dari 1,8 juta satuan sambungan (SS) menjadi 1,3 juta SS saja. Dalam tahun 1998/99 hanya berhasil dibangun sentral telepon sekitar 0,50 juta SS saja atau 42 persen dari yang ditargetkan. Di samping itu, penyediaan fasilitas telepon umum belum mencapai 3 persen dari jumlah telepon terpasang dan pembangunan oleh mitra KSO hanya berhasil membangun 1,4 juta SS dari 1,8 juta SS yang ditargetkan semula. Selama tahun 1999-2000 juga dapat dikatakan tidak terdapat pembangunan fasilitas telekomunikasi yang berarti. Hingga akhir tahun 2000 kapasitas sentral telepon mencapai 8,5 juta SS atau hanya bertambah 100 ribu SS dari tahun sebelumnya. Sedangkan fasilitas telepon umum di akhir tahun 2000 hanya bertambah 76 ribu SS dari tahun sebelumnya menjadi 345 ribu SS atau sekitar 4 persen dari kapasitas sentral.

7.         Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan
Potensi sumber daya kelautan yang dimiliki sangat besar terutama di daerah Zone Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI), yang dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan negara maupun daerah. Kendala yang dihadapi dalam bidang kelautan adalah masih rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelola kegiatan di bidang kelautan, dan kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya kelautan, terutama di luar perikanan. Dalam era otonomi daerah, meningkatnya keinginan daerah dalam pengelolaan wilayah laut menyebabkan dampak tersendiri bagi sumber daya kelautan misalnya dalam hal pembagian kewenangan pengelolaan wilayah laut antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota), yang oleh beberapa daerah dianggap sebagai pengkaplingan wilayah laut. Pencemaran lingkungan pesisir dan laut bertambah berat karena pesatnya aktifitas transportasi laut, pertambangan, dan pembuangan limbah yang berasal dari daratan. Sementara itu dukungan sektor lain seperti perbankan dalam bidang kelautan masih belum menunjukkan hasil yang signifikan, karena arah pembangunan ekonomi sebagian besar masih berorientasi ke wilayah daratan.
Sementara itu, sumberdaya hutan juga merupakan salah satu modal penting pembangunan ekonomi nasional yang memberi kontribusi besar terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja serta mendorong pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.  Dalam pelaksanaannya, pembangunan kehutanan sarat dengan berbagai permasalahan dan kendala dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Penebangan kayu ilegal merupakan masalah besar yang terjadi di setiap kawasan.  Merebaknya penebangan ilegal ini antara lain karena tidak tegaknya hukum dan adanya kesenjangan supply dan demand bahan baku kayu yang dibutuhkan oleh industri perkayuan.  Kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada pada saat ini sekitar 60,0 juta meter kubik per tahun, sedangkan produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam, hutan rakyat, dan hutan tanaman hanya sekitar 22,0 juta meter kubik per tahun.  Dengan demikian diperkirakan kekurangan supply bahan baku ini berasal dari kayu-kayu ilegal atau penebangan lebih (over cutting) oleh para HPH.
Masalah penting lain yang cukup menarik perhatian dunia internasional adalah kebakaran hutan. Penyebab kebakaran hutan ini antara lain karena kelalaian manusia pada waktu pembukaan lahan, iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut yang ada di kawasan hutan. Masalah-masalah tersebut diperparah dengan masih banyaknya perambahan hutan dan lahan yang terjadi terutama di kawasan-kawasan konservasi.
Terabaikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya hutan selama ini mengakibatkan laju kerusakan kawasan hutan dan terjadinya lahan kritis yang semakin meningkat.  Pada saat ini diperkirakan laju kerusakan hutan dan lahan sebesar 1,6 juta Ha/tahun. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumber daya hutan juga menyebabkan kurang efektifnya usaha-usaha rehabilitasi hutan dan lahan.  Masalah-masalah lain yang juga belum terselesaikan antara lain adalah masalah pengukuhan hutan untuk mewujudkan kepemilikan hutan yang mendapat legitimasi masyarakat, sistem pengawasan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, serta ukuran kinerja pengusahaan hutan.
Kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air saat ini belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan yang selalu berkembang sesuai dengan sifat alami air yang dinamis dan berkembang fungsinya dalam kehidupan masyarakat.  Perkembangan perekonomian dan pertambahan penduduk menuntut berbagai penyediaan air yang memadai baik dari segi jumlah, mutu, ruang, dan waktu.  Pemenuhan tuntutan ini tidak jarang menimbulkan benturan-benturan terhadap berbagai pihak.  Dalam kondisi demikian, air bukan lagi merupakan sumberdaya alam yang bebas dikonsumsi, tetapi telah menjadi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma dalam pembangunan sumber air baik dalam lingkup global maupun nasional.  Paradigma baru dalam pembangunan sumber air semakin kuat menekankan pada nilai-nilai pembangunan yang berkelanjutan, serta mendasarkan pada otonomi.  Hal ini mempengaruhi penyelenggaraan sumber-sumber air terutama untuk: (1) memperbaiki sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber-sumber air baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun lokal; serta (2) memperbaiki kualitas sumberdaya manusia yang berperan dan terlibat dalam pengelolaan sumber-sumber air. Hasil pembangunan dalam pengembangan sumber air pada tahun 2000 adalah rehabilitasi waduk sebanyak 19 unit, pembangunan waduk 6 unit, pembangunan embung 12 unit, rehabilitasi saluran air baku 56 km, serta operasi dan pemeliharaan sungai sepanjang 2.467 km.      
            Di bidang sumber daya mineral dikembangkan paradigma baru yaitu pendayagunaan sumber daya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk melaksanakan paradigma baru tersebut diperlukan upaya peningkatan potensi sumber daya minyak dan gas bumi, panas bumi, mineral, dan sumber mineral lainnya agar dapat menghasilkan nilai tambah bagi pendapatan negara. Sementara itu, data potensi sumber-sumber tersebut masih terbatas ketersediannya. Disamping itu, masih banyaknya kegiatan pertambangan tanpa ijin yang selain merusak lingkungan juga sangat merugikan negara.

B.         Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai

1.                  Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1       Penanggulangan Kemiskinan
Dengan memperhatikan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini dan stabilitas ekonomi, serta memperhitungkan prospek pembiayaan pemerintah pada tahun 2001, maka strategi utama penanggulangan kemiskinan dalam tahun 2001 pada dasarnya dilandasi oleh 3 pilar strategi yaitu: (a) perluasan kesempatan (creating opportunity) yang meliputi pengelolaan ekonomi makro untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan pemulihan, pelaksanaan pemerintahan yang baik, peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dan pembangunan prasarana berbasis masyarakat (b) meningkatkan pemberdayaan masyarakat (ensuring empowerment), yang meliputi pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan pembangunan perdesaan, percepatan pengembangan usaha menengah dan kecil dan penguatan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat (c) memperkuat perlindungan sosial (enhancing social security) yang meliputi pengembangan sistem jaminan sosial bagi masyarakat miskin dan masyarakat rentan lainnya, dan percepatan pengembangan masyarakat di kawasan tertinggal, terpencil, dan tersiolasi termasuk  daerah minus dan pesisir.
            Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui berbagai sektor baik yang dilaksanakan oleh regional maupun oleh sektoral. Program kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara lain dilaksanakan melalui program pengembangan kecamatan, pengembangan prasarana perdesaan, penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan pengembangan ekonomi lokal. Sedangkan program yang dilaksanakan oleh sektoral antara lain program di sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan.
1.2       Pembangunan Ketenagakerjaan
Memperhatikan kebijaksanaan ketenagakerjaan yang digariskan dalam PROPENAS, langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka mengatasi permasalahan ketenagakerjaan, antara lain adalah (a) memberikan pelayanan informasi pasar kerja baik di dalam maupun di luar negeri kepada masyarakat melalui lembaga/bursa tenaga kerja, (b) Membuat rancangan Keppres untuk membentuk lembaga standarisasi dan sertifikasi kompetensi, guna melaksanakan standar kualifikasi keterampilan dan sertifikasi kompetensi yang efektif serta diakui oleh pihak pengguna, (c) meningkatkan relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja melalui penyelenggaraan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, (d) memasyarakatkan nilai dan budaya produktif serta mengembangkan sistem dan metoda peningkatan produktivitas, (e) memberikan bimbingan dan pembinaan bagi penganggur untuk mengembangkan usaha mandiri dengan melihat potensi sumber daya di tingkat regional, (f) menempatkan tenaga kerja baik di dalam maupun diluar negeri, di berbagai sektor/bidang usaha sesuai dengan  keahlian yang dimiliki calon pekerja,  (g) memberdayakan lembaga ketenagakerjaan, seperti Bipartit dan Tripartit guna terwujudnya hubungan perburuhan yang harmonis bagi perbaikan syarat-syarat kerja dan perlindungan pekerja, serta pelaksanaan penegakan hukum, dan (h) melaksanakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dapat memberikan rasa keadilan serta mampu melaksanakan penyelesaian perselisihan perburuhan.
Kondisi perekonomian yang masih melemah dan penuh ketidakpastian menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001. Hal ini sangat berpengaruh terhadap besarnya penciptaan lapangan kerja baru. Pada tahun 2001, kesempatan kerja diperkirakan  hanya akan tumbuh sebesar  1,2  persen atau hanya akan menciptakan kesempatan kerja baru sebanyak 1,1 juta orang. Untuk mengurangi dampak tersebut Pemerintah melaksanakan berbagai kegiatan sebagai berikut.
Dalam rangka mempertemukan antara pencari kerja dan pengguna tenaga kerja,  pelayanan informasi pasar kerja yang dilaksanakan melalui bursa tenaga kerja pemerintah  dan swasta, semakin ditingkatkan. Informasi yang diberikan mencakup  keadaan pasar kerja yang antara lain memuat lowongan pekerjaan, tingkat pendidikan dan jabatan yang dibutuhkan serta persyaratannya,  menurut sektor dan daerah.
Guna membantu pencari kerja meningkatkan keahlian dan keterampilan yang diinginkan, dilakukan  pelatihan di berbagai BLK dan KLK. Pada tahun  2000 jumlah yang dilatih sebanyak  29.167 orang dengan berbagai bidang kejuruan. Bersamaan dengan itu,  dilakukan pula pelatihan instruktur dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pelatihan kerja untuk kejuruan-kejuruan otomotif, listrik, bangunan, pertanian, tataniaga, dan aneka kejuruan lainnya. Diperkirakan pada tahun 2001 jumlah yang dilatih akan lebih besar. Untuk memenuhi kegiatan tersebut, dilakukan peningkatan fasilitas dan sarana pelatihan BLK industri yang diselenggarakan di Tangerang, Bekasi, Kerawang, dan Serang. Pada tahun yang sama,  pelaksanaan program pemagangan di dalam negeri diselenggarakan melalui pelatihan di 31 BLK, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 2.192 orang. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 3.968 orang. Untuk pemagangan ke luar negeri, secara kumulatif jumlahnya terus meningkat. Sampai dengan bulan Mei 2001 telah diberangkatkan sebanyak 15.480 orang ke negara Jepang dan Korea Selatan. 
Untuk meningkatkan dan mengembangkan standarisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja telah dilakukan kerjasama lintas sektor  membentuk dan mengembangkan lembaga standarisasi dan sertifikasi di berbagai sektor. Lembaga yang dilibatkan dalam kegiatan ini terutama adalah asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, serikat pekerja, instansi pemerintah dan para pakar yang membidanginya. Untuk sektor pariwisata, kewenangan membentuk lembaga standarisasi dan sertifikasi dilaksanakan melalui Kepmenaker Nomor Kep. 157/MEN/1999 yang lalu dan dalam tahun 2001 ini telah dilakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi tersebut. Sektor konstruksi, jasa dan perhubungan laut, mulai tahun 2001 mulai merintis pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi. Selain itu, dalam rangka kerjasama regional antar negara-negara di kawasan asia pasifik, telah disepakati penyusunan standar dalam bidang otomotif, untuk itu pemerintah telah melakukan kerjasama dengan PT. ASTRA, guna mengembangkan standar tersebut.
Pelaksanaan beberapa kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi pengangguran dalam tahun 2001 diantaranya adalah  melakukan pembinaan bagi penganggur yang berpendidikan tinggi seperti sarjana, diploma, dan sederajatnya, melalui bimbingan usaha mandiri dan pembekalan kewirausahaan. Selanjutnya mereka ditempatkan pada unit-unit ekonomi produktif, lembaga mandiri yang dapat diterima masyarakat, seperti lembaga keuangan non-bank yang dikelola secara profesional untuk mendukung usaha-usaha kecil dan menengah, serta koperasi. Bagi mereka yang berpendidikan rendah dan  belum mengenal pemakaian teknologi tepat guna, diperkenalkan penggunaan teknologi sederhana ini, guna memudahkan masyarakat di perdesaan membuka usaha-usaha kecil untuk memperoleh penghasilan. Pada tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang dibina untuk merintis usaha mandiri secara keseluruhan berjumlah lebih dari 11.500 orang.  Untuk tahun 2001, sampai dengan  bulan Mei,   tenaga kerja yang sedang dalam proses pembinaan untuk kegiatan yang sama berjumlah  5.000 orang.
Berkaitan dengan upaya mengurangi pengangguran, pemerintah juga membantu calon pekerja untuk ditempatkan dalam berbagai bidang usaha. Melalui mekanisme antar kerja antar daerah (AKAD), pada tahun 2000 telah ditempatkan sebanyak 13.207 orang. Dalam tahun 2001 kegiatan serupa tetap dilaksanakan, dan sampai saat ini sedang dilakukan proses seleksi penempatan.  Bagi angkatan kerja Indonesia yang ingin bekerja ke luar negeri,   mekanisme yang selama ini diterapkan mengalami berbagai penyempurnaan kebijaksanaan dan pelaksanaan program. Penyempurnaan yang dilakukan  antara lain adalah pemberian pembekalan akhir pemberangkatan, pelaksanaan evaluasi kinerja perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), pelaksanaan proses pemulangan secara bertahap bagi pekerja yang berangkat secara “illegal” terutama bagi mereka yang bekerja di Malaysia, serta penyusunan  rancangan Keppres tentang program penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya permasalahan dalam proses pemberangkatan, penempatan, dan pemulangan.
 Dalam rangka memberikan peningkatan kesejahteraan bagi para pekerja, dikembangkan  sistem pengupahan yang terpadu dan bertahap, didasarkan pada kebutuhan hidup minimum (KHM). Sebagai contoh, upah minimum regional (UMR) didaerah Jabotabek meningkat secara riil sebesar 24  persen pada tahun 2000, dan meningkat lagi secara riil sekitar 33-36 persen pada tahun 2001. Dengan ketentuan UMR yang baru ini maka UMR telah mencapai 90,5 dari KHM. Selain itu pekerja yang memperoleh jaminan sosial pekerja, sampai dengan bulan April 2001 secara kumulatif berjumlah 87.703 perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari 16,4 juta pekerja.  
Meskipun demikian, kondisi perusahaan yang mengalami kesulitan dalam masa krisis ini, menyebabkan banyaknya ketidakpuasan terhadap keputusan yang diambil pemerintah. Gejolak unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak terjadi mencerminkan  bahwa para pekerja masih merasakan adanya ketidakadilan, sehingga banyak diantaranya yang melakukan unjuk rasa. Salah satunya adalah Kepmenaker Nomor 150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan, yang mengalami revisi melalui Kepmenaker Nomor 78/Men/2001. Berbagai serikat buruh menolak adanya revisi tersebut karena dianggap merugikan para pekerja.
Gejolak ketenagakerjaan lain yang mewarnai dunia usaha, adalah meningkatnya kasus-kasus pemogokan. Sejak bulan April tahun 2000 sampai dengan bulan April 2001, pemogokan yang terjadi mencapai  765 kasus yang melibatkan 173.408 pekerja dan menghilangkan lebih dari 1,7 juta jam kerja.  Melalui panitia perselisihan perburuhan, telah berhasil diselesaikan sebanyak 357 kasus pemogokan. 
1.3       Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Upaya untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat dari keadaan darurat yang dapat menimbulkan terganggunya pendapatan atau konsumsi terus dilakukan. Sasaran utama dari upaya ini adalah melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin, anak terlantar, lanjut usia, dan penderita cacat dari keadaan-keadaan terganggunya tingkat pendapatan atau konsumsinya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya.
Upaya perlindungan ini dilaksanakan secara lintas sektoral yang terutama terkait dengan kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat miskin. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah : (1) penyempurnaan sistem jaminan sosial nasional secara terpadu dan terkoordinasi agar setiap warga negara Indonesia mendapat hak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya; (2) penelaahan,  pengkajian dan perumusan kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka penyelenggaraan program sistem jaminan sosial nasional yang meliputi aspek kelembagaan, program, perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan lainnya; (3) melakukan uji coba dan penyusunan pedoman pelaksanaan sistem jaminan dan asuransi sosial.
1.4       Pengembangan Pertanian, Pangan, dan Pengairan
Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk: (1) pemantapan sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan; (2) pengembangan sistem pengendalian hama terpadu; serta (3) peningkatan intensifikasi budidaya perikanan laut, tambak, dan air tawar.  Selain itu  kebijakan itu ditujukan pula untuk: (1) meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian untuk memelihara kemantapan swasembada pangan; (2) meningkatkan penyediaan bahan baku secara berkesinambungan untuk pengembangan industri, untuk meraih  peluang dan meningkatkan pangsa pasar; (3) meningkatkan kemampuan usaha pertanian rakyat, mempersempit kesenjangan ekonomi dan mengeliminasi kemiskinan, memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (4) meningkatkan  produktivitas tenaga kerja pertanian, serta memperluas kesempatan kerja produktif di perdesaan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian, peningkatan  penguasaan teknologi dan pengembangan jaringan kelembagaan petani yang berorientasi agrobisnis.
Dengan kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dan masih rentan terhadap berbagai gejolak, maka upaya mencukupi kebutuhan pangan ditujukan ke arah distribusi  secara adil dan merata baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.  Pembangunan pangan yang diharapkan  adalah makin mantapnya ketahanan pangan yaitu berupaya terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis, yang tidak terbatas pada komoditas beras  saja, tetapi juga mencakup penyediaan bahan pangan lainnya sebagai sumber karbohidrat, protein, dan lemak.         
Kebijakan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan sampai ketingkat rumah tangga yang meliputi peningkatan produksi, distribusi dan kemampuan menyediakan pangan dengan harga yang stabil; meningkatkan keamanan pangan untuk melindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan; mendorong diversifikasi pangan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola pangan yang beranekaragam untuk meningkatkan gizi; dan mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif dan efisien dengan jalan meningkatkan keterpaduan dan koordinasi pembangunan pangan antara pemerintah dan masyarakat serta antar kelompok masyarakat.
Kebijakan yang dilakukan untuk lebih memantapkan pemanfaatan hasil-hasil hutan diarahkan pada pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui: (1) pengendalian konversi hutan dan lahan pertanian melalui penghentian konversi hutan untuk kegiatan non kehutanan guna mempertahankan luas hutan; (2) pencegahan pencurian hasil hutan; serta (3) peningkatan luas hutan tanaman industri dan hutan rakyat melalui konsep Sustainable Forest Management.

2.         Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi
Pembangunan UKMK juga harus dipandang sebagai upaya perubahan struktural. Oleh karena itu program pembangunannya ditujukan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya dan memberikan kepastian berusaha atas dasar kesetaraan, keadilan dan efisiensi; memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif agar mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang tersedia dan peluang berusaha yang terbuka; dan meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dan menengah agar dapat mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif.
            Langkah-langkah kebijakan pokok yang pertama dilakukan melalui penciptaan   iklim usaha yang kondusif antara lain  mencakup  penyempurnaan peraturan perundang-undangan, penyederhanaan perizinan, peraturan daerah dan retribusi untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan produktif UKMK.  Salah satu langkah mendasar yang dilaksanakan adalah melakukan penyempurnaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dengan melibatkan peranserta aktif para pelaku dan masyarakat koperasi yang lebih luas,  di tingkat nasional dan daerah. Rancangan Undang-undang tersebut diharapkan segera dapat diselesaikan. Demikian pula telah dimulai langkah untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Dalam upaya meningkatkan persaingan usaha yang sehat dan sekaligus efisiensi usaha menghadapi globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan telah dilakukan penyempurnaan pengaturan pencadangan usaha bagi usaha kecil, dan pengkajian serta proses penyiapan perundangan subkontrak termasuk aspek perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kemitraan subkontrak.
Pelimpahan  kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah sebagai pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengembangan UKMK.  Perangkat pembina di daerah baik organisasi dan aparatnya  sebagian besar telah dibentuk, dan secara keseluruhan akan segera dapat diselesaikan. Langkah ini diikuti pula dengan peningkatan kemampuan aparat daerah di bidang kebijakan dan program pengembangan UKMK. Untuk meningkatkan efektivitas pemberdayaan UKMK, telah dilakukan penerbitan standar pelayanan minimal bidang UKMK di tingkat kabupaten dan kota; pelaksanaan pengembangan pelayanan (perizinan) satu atap serta praktek-praktek penciptaan lingkungan usaha yang baik; dan peningkatan koordinasi  pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi melalui pembentukan kelompok kerja di tingkat nasional yang beranggotakan lembaga pemerintah, dunia usaha, dan lembaga  swadaya masyarakat. Sejalan dengan itu telah terbentuk pula forum daerah pengembangan UKMK yang menjadi  wadah koordinasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat di berbagai daerah propinsi dan kabupaten/kota.
Langkah-langkah kebijakan pokok yang kedua berkaitan dengan upaya perluasan akses kepada sumberdaya produktif, baik yang mencakup bidang finansial, maupun bidang non finansial. Saat ini ketersediaan modal merupakan masalah utama di samping lingkungan usaha dan kualitas SDM. Berkaitan dengan penyediaan kredit kepada UKMK telah dilaksanakan penyederhanaan kredit program bersubsidi dengan ditetapkannya kredit ketahanan pangan (KKP) yang merupakan penggabungan kredit usaha tani (KUT), kredit kepada koperasi (KKOP), dan kredit kepada koperasi primer untuk anggotanya (KKPA) meliputi KKPA-Tebu Rakyat, KKPA-Nelayan dan KKPA-Unggas. Pola pinjaman kredit melalui Bank Pelaksana tidak lagi mengikuti pola penyaluran (channeling), tetapi Bank Pelaksana berperan sepenuhnya dalam penilaian proposal, sumber pendanaan dan tanggungan risiko kredit. Sementara itu pemerintah menyediakan subsidi bunga melalui APBN. Untuk  penyederhanaan jenis kredit bersubsidi lainnya saat ini sedang dalam proses penilaian karena memerlukan pertimbangan kelayakan ekonomi dan ketersediaan dana dalam APBN.
Penyediaan kredit komersial untuk usaha kecil (KUK) oleh perbankan  selama ini dilaksanakan atas dasar kewajiban untuk menyalurkan sebesar minimal 20 persen dari portofolio kreditnya. Permasalahan yang dialami perbankan sejak krisis menyebabkan kinerja penyaluran KUK menurun, dan untuk itu sejak akhir tahun 1998 kepada perbankan tidak dikenakan sanksi. Mulai Januari 2001 kewajiban bank tersebut telah dihapuskan, dan penyaluran KUK lebih bersifat anjuran, namun perbankan tetap diwajibkan untuk menyampaikan rencana penyaluran KUK dan pelaporan atas pelaksanaannya. Penyaluran KUK dinilai menguntungkan karena tingkat kemacetan relatif kecil, adanya penyebaran risiko, marjin keuntungan lebih besar, tidak rentan terhadap perubahan suku bunga, dan ketaatan dalam pembayaran kewajiban. Penyaluran KUK sampai dengan April 2001 telah mencapai Rp 59,9 triliun yang disalurkan kepada sekitar 9,4 juta nasabah.
Selain kredit perbankan, sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha anggota koperasi dan PKM adalah dari usaha simpan pinjam koperasi, baik yang berbentuk koperasi simpan pinjam (KSP) maupun yang berbentuk Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi. Usaha simpan pinjam koperasi  sangat dirasakan manfaatnya oleh anggota koperasi dan PKM karena persyaratannya ringan, tanpa agunan, tingkat bunganya ditetapkan bersama oleh para anggotanya, dan peminjamnya adalah anggota yang sekaligus pemilik KSP/USP sehingga risiko usahanya dipikul bersama secara tanggung renteng. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 36.466 unit KSP/USP dan pada bulan Juni 2001 jumlah KSP/USP telah mencapai 38.008 unit dengan nilai pemberian pinjaman sebesar Rp 4,7 triliun (angka sementara).
Dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan serta kelangsungan hidup pengusaha mikro, pada tahun 2000 dilaksanakan program dana bergulir sebagai kompensasi pengurangan subsidi BBM. Dana ini disalurkan melalui koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam (KSP/USP) dan lembaga keuangan mikro (LKM) untuk selanjutnya dipinjamkan kepada pengusaha mikro anggota koperasi/LKM. Program dana bergulir ini dilaksanakan di 26 propinsi pada 341 kabupaten/kota kepada 2.906 KSP/USP dan 1.000 LKM dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp 340,6 miliar.
Keberadaan KSP/USP dan LKM sangat penting khususnya bagi pengusaha mikro sehingga pengembangannya terus ditingkatkan, antara lain melalui rintisan pengembangan lembaga sekunder yang memungkinkan peminjaman antar KSP/LKM dan memudahkan penggunaan sumber-sumber dana eksternal. Untuk mendukung pengembangan LKM yang tumbuh mengakar di masyarakat, saat ini sedang dilaksanakan penyiapan materi dan konsep perundangan lembaga keuangan mikro.
Pengembangan UKM juga didukung oleh skim modal ventura. Melalui skim  ini, jenis usaha yang memiliki prospek usaha yang baik, terutama pada tahap-tahap awal usahanya selain mendapatkan penyertaan modal, juga mendapatkan bimbingan manajemen dan kewirausahaan. Sampai saat ini tercatat 60 perusahaan modal ventura dengan jumlah rekan usaha sebanyak 448 unit. Aspek kelembagaan penting lainnya yang terus ditingkatkan untuk memperluas akses modal adalah pengembangan sistem penjaminan dana kredit di tingkat daerah, penjaminan dana kredit pra-ekspor bagi UKM,  dan penyusunan pedoman penerbitan obligasi di pasar modal serta upaya penyederhanaan proses go public dalam rangka akses  sumber dana dari pasar modal.
Untuk memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif non finansial,  dilaksanakan dengan memperkuat jasa pengembangan usaha, teknologi, informasi dan pemasaran. Sampai saat ini telah berkembang sekitar 608 klinik konsultasi bisnis di daerah-daerah, dan  sebagian besar diusahakan oleh swasta.  Dalam bentuk pelayanan terpadu telah berkembang 26 inkubator teknologi dan bisnis yang sementara pelayanannya masih terbatas pada tingkat propinsi. Pengembangan penyedia jasa pengembangan usaha/layanan teknis (business development service-BDS) yang mencakup (1) reorientasi dan/atau restrukturisasi institusi milik pemerintah agar dapat memberikan layanan publik secara profesional dan terjangkau (fisik dan ekonomis); (2) peningkatan kapasitas dan kualitas layanan BDS, dan penguatan lembaga-lembaga profesional pendukung seperti konsultan, LSM,  dan asosiasi; (3) pengembangan sistem akreditasi dan sertifikasi BDS, termasuk penerapannya di daerah; (4) peningkatan kapasitas jaringan pendukung usaha dalam pengembangan sistem informasi usaha, pemasaran, pusat disain dan promosi. Upaya pendukung lainnya adalah pengembangan penyedia jasa teknologi informasi sebanyak 136 unit dan  bimbingan dan pelatihan teknologi informasi bagi 1.200 UKM; dan (5) peningkatan profesionalitas tenaga-tenaga penyuluh/pendamping pada berbagai instansi pemerintah.
Langkah-langkah kebijakan pokok yang ketiga adalah mengupayakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia serta kewirausahaan dan pengembangan keunggulan kompetitif. Peningkatan kualitas sumberdaya pengusaha kecil, menengah dan koperasi ditempuh melalui pelatihan di bidang kelembagaan, teknik produksi, manajeman usaha dan pemasaran serta kewirausahaan,  termasuk melalui bimbingan teknis, magang dan penyuluhan.  Kemampuan teknik produksi yang diberikan antara lain berupa teknologi produksi dan teknologi produk yang sesuai kebutuhan pasar, termasuk pengenalan dan penerapan ISO 9000/14000 serta pengenalan teknik produksi yang berwawasan lingkungan.  Dengan berlakunya otonomi daerah, maka di masa mendatang kegiatan pelatihan menjadi tanggungjawab masing-masing daerah propinsi dan kabupaten/kota.
Saat ini jumlah industri kecil yang telah menerapkan Gugus Kendali Mutu (GKM) mencapai 4.278 unit yang tersebar di 26 propinsi, sedangkan industri kecil yang telah mampu menerapkan manajemen mutu/ISO 9000 sudah mencapai 238 unit yang tersebar di 10 propinsi.  Upaya pemasyarakatan GKM kepada industri kecil ini didukung dengan tersedianya 1.943 orang fasilitator dari aparat pemerintah dan 904 fasilitator dari dunia usaha. Peningkatan penguasaan teknologi juga didukung dengan penyediaan informasi teknologi, terutama teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lokal dalam rangka pengembangan komoditi unggulan daerah. Untuk mendorong peningkatan inovasi industri kecil, telah dijalin kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan HaKI. 
Pengembangan kewirausahaan dan kualitas pengusaha kecil dan menengah dilakukan melalui pelatihan pengembangan motivasi usaha (Achievement Motivation Training, AMT), dan pelatihan kewirausahaan (Creation of Enterprises through Formation of Entrepreneurs, CEFE). Untuk mendukung upaya ini ditingkatkan penyediaan serta kualitas fasilitator di seluruh daerah. Sementara itu, penumbuhan jiwa dan semangat kewirausahaan di samping dilakukan dengan memasyarakatkan kewirausahaan, juga dilakukan dengan menyediakan kurikulum/ kegiatan kewirausahaan dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan untuk lebih mengintensifkan pembudayaan kewirausahaan. Khususnya pada tingkat pendidikan tinggi untuk jurusan tertentu, kurikulum kewirausahaan diharapkan menjadi mata kuliah wajib.
Kegiatan untuk membudayakan kewirausahaan di kalangan siswa dimaksudkan untuk meningkatkan keterkaitan antara pendidikan yang diperoleh para siswa di sekolah dan dunia kerja/usaha, serta untuk meningkatkan pengalaman para siswa dalam berwirausaha.  Untuk itu disediakan bantuan modal kerja (BMK) kepada siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam bentuk dana bergulir, dengan alokasi yang didasarkan atas seleksi proposal masing-masing sekolah. BMK dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai jenis usaha seperti warung telekomunikasi (wartel), warung internet (warnet) dan perbengkelan.
Salah satu kegiatan pokok Pendidikan Luar Sekolah (PLS)  yang terkait dengan pendidikan kewirausahaan adalah pendidikan keterampilan berkelanjutan. Kegiatan ini dilaksanakan melalui pembentukan Kelompok Belajar Usaha (KBU) untuk mengusahakan satu jenis usaha disertai pendamping yang memiliki kompetensi dan pengalaman. Setiap KBU mendapatkan dana belajar usaha untuk membantu sebagian biaya investasi dan modal kerja. Pada tahun 2001 kegiatan ini diharapkan dapat mengembangkan 8.489 KBU.  
Peran PKM dalam ekspor relatif belum menunjukkan perubahan yang berarti, yaitu selama 1999-2000, masih sekitar 14,7 persen dengan ekspor hasil industri olahan memberikan kontribusi terbesar. Peran tersebut utamanya bersumber dari pengusaha menengah yang berhasil meningkatkan kontribusi ekspornya dari 11,3 persen menjadi 11,8 persen. Namun demikian, nilai ekspor industri kecil meningkat sebesar 19,6 persen dari US$ 2,55 miliar pada tahun 1999 menjadi US$ 3,05 miliar pada tahun 2000.   Berbagai upaya dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan promosi dagang, termasuk pengiriman misi dagang, penyediaan informasi, dan pelatihan/penyuluhan prosedur ekspor serta peningkatan mutu, sehingga pada tahun 2001 peranan industri kecil dalam ekspor diharapkan  meningkat.
Koperasi sebagai wadah kolektif bagi UKM untuk meningkatkan efisiensi usaha menunjukkan kemajuan jika diukur dari jumlah koperasi, anggota, modal usaha dan nilai usaha. Jumlah koperasi sampai dengan Juni 2001 diperkirakan mencapai 102.171 unit dengan jumlah anggota sebanyak 22,8 juta. Jumlah koperasi tersebut meningkat sebesar 2,4 persen dari tahun 2000. Modal usaha dan nilai usaha koperasi sampai dengan bulan Juni tahun 2001 masing-masing mencapai Rp. 18,3 triliun dan Rp. 11,4 triliun (angka sementara). Perkembangan modal usaha dan nilai usaha tersebut menunjukkan kenaikan dari tahun 2000. Namun demikian sebagian besar koperasi belum dikelola oleh tenaga professional, dan sampai akhir tahun 2000 tercatat bahwa koperasi aktif  atau koperasi yang melaksanakan rapat anggota tahunan baru mencapai 33,5 persen dari jumlah koperasi yang ada.  Upaya peningkatan efisiensi dan skala usaha koperasi juga dilakukan dengan mengembangkan koperasi sekunder.  Sampai dengan bulan Juni tahun 2001, telah terbentuk 823 koperasi sekunder. Perkembangan ini diiringi dengan peningkatan jaringan melalui kerjasama tingkat nasional dan internasional antara gerakan koperasi dengan badan usaha lainnya.

3.         Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1       Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi
Memasuki tahun 2001, berbagai permasalahan mendasar dan ketidakpastian seperti diuraikan sebelumnya terus berlanjut. Secara garis besar, ada 7 (tujuh) permasalahan mendasar dalam perekonomian dan berbagai faktor risiko dan ketidakpastian yang masih dihadapi, yaitu: (i) berlanjutnya ketidakpastian politik dan keamanan dalam negeri, (ii) lambannya proses restrukturisasi utang perusahaan, (iii)   belum pulihnya intermediasi perbankan, (iv) makin beratnya beban keuangan negara, (v) belum lancarnya pelaksanaan otonomi daerah, (vi) berlanjutnya ketidakpastian hukum, (vii) serta pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat. 
Upaya untuk mengatasi meningkatnya ketidakpastian tersebut terus dilakukan. Strategi utama dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan mewujudkan kebijakan ekonomi makro dan mikro secara konsisten, baik melalui kebijakan fiskal, moneter, maupun sektor riil dengan didukung oleh penciptaan stabilitas keamanan dan politik. Seluruh kebijakan tersebut saling melengkapi sehingga dapat menunjang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Hal ini juga sangat penting untuk mengatasi unsur ketidakpastian yang semakin tinggi.
Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 30 April dan 30 Mei 2001 yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian politik telah menimbulkan kekuatiran yang berlebihan akan timbulnya konflik horisontal di kalangan masyarakat. Terutama pada hari-hari menjelang Sidang Paripurna DPR. Ketidakstabilan politik ini selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat baik luar maupun dalam negeri.
Kepercayaan masyarakat luar negeri yang masih lemah tercermin antara lain dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional. Pada tanggal 21 Mei 2001 Standard and Poor’s (S&P) menurunkan peringkat utang pemerintah (sovereign rating) yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing dari B- menjadi CCC+; sedangkan dalam mata uang lokal dari B menjadi B- karena penyesuaian fiskal dianggap tidak memadai, beban utang pemerintah yang sangat berat, dan tidak pastinya pembiayaan defisit anggaran tahun 2001. S&P juga menempatkan prospek utang pemerintah pada negative outlook. Penurunan peringkat ini adalah untuk kedua kalinya sejak bulan Maret 2001 yang lalu. Pada tanggal 8 Maret 2001, S&P menurunkan dari B- stable outlook menjadi negative outlook.
Selanjutnya pembicaraan dengan tim kaji ulang Dana Moneter Internasional (IMF) selama semester I tahun 2001 yang belum menghasilkan kesepakatan mengenai pelaksanaan Letter of Intent (LoI) dan telah menimbulkan keraguan masyarakat akan keberhasilan upaya pemerintah menunda pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club II; meskipun Jepang telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan restrukturisasi utang Indonesia.
Ketidakpastian ini selanjutnya mempengaruhi pasar uang dan pasar modal. Minat asing pada pasar modal di dalam negeri masih rendah. Apabila pada akhir tahun 1999 nilai saham yang dimiliki asing mencapai Rp 122,2 triliun (atau sekitar 27 persen dari nilai kapitalisasi pasar) maka pada akhir triwulan I tahun 2001 telah menurun menjadi Rp 45,3 triliun (atau sekitar 20 persen dari nilai kapitalisasi pasar). Pada akhir triwulan II tahun 2001 minat asing sedikit meningkat menjadi sekitar Rp 54,2 triliun atau sekitar 20,4 persen dari nilai kapitalisasi pasar. Namun angka tersebut masih jauh dibandingkan posisi akhir tahun 1999.
Sementara itu nilai rupiah cenderung merosot. Untuk mengurangi merosotnya nilai tukar rupiah sehubungan dengan memburuknya kondisi keamanan, sosial, dan politik dalam negeri, Bank Indonesia meningkatkan intervensi di pasar valas yang didukung pula oleh pelaksanaan on-site supervisory presence dan pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/3/PBI/2001 yang ditujukan untuk membatasi spekulasi transaksi rupiah oleh bukan penduduk asli. Namun demikian hingga semester I tahun 2001 tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih terus berlanjut dengan disertai tingkat volatilitas yang tinggi. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut terutama terjadi pada awal triwulan II berkaitan dengan eskalasi suhu politik yang semakin meningkatkan ketidakpastian pasar. Pada triwulan tersebut, rupiah sempat menembus level Rp 12.000,- per dolar Amerika pada minggu terakhir April 2001. Selanjutnya, pada awal triwulan III tahun 2001, nilai tukar rupiah cenderung menguat secara drastis seiring dengan berakhirnya pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dengan lancar yang disertai dengan suksesi kepemimpinan nasional. Pada saat itu, rupiah menguat  ke posisi Rp 10.188,-. Selanjutnya, rupiah terus menguat hingga mencapai angka tertinggi Rp 8.485,- pada pertengahan Agustus. Namun, setelah itu nilai tukar kembali mengalami tekanan depresiasi. Secara umum, hingga September 2001, nilai tukar rupiah secara point to point sedikit melemah 40 point dari Rp 9.675,- pada akhir 2000 menjadi Rp 9.715,- pada akhir September 2001.
Dari sisi harga, kecenderungan kenaikan tingkat harga yang berlangsung sejak 2000, nampaknya terus berlanjut pada 2001. Pada September 2001 laju inflasi IHK tercatat sebesar 0,64 persen, sehingga secara kumulatif tahun kalender (year to date) mencapai 8,17 persen, atau secara tahunan (y-o-y) telah mencapai double digit inflation sebesar 13,01 persen. Sumbangan komponen kebijakan Pemerintah terhadap laju inflasi selama sembilan bulan tersebut diperkirakan mencapai sebesar 3,11 persen. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi kumulatif di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan telah mencapai 5,06 persen. Tingginya laju inflasi IHK tersebut sangat dipengaruhi oleh masih besarnya pengaruh faktor ekspektasi yang telah mempengaruhi konsumen (demand pull factor) maupun produsen (cost push factor). Selain faktor ekspektasi, tingginya laju inflasi IHK dalam triwulan laporan juga disebabkan oleh penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga seperti peningkatan upah minimum regional, tarif dasar listrik (TDL) tahap I, pajak penjualan barang mewah (PPn-BM), harga jual eceran (HJE) rokok, tarif PAM,  kenaikan harga BBM serta tarif angkutan.
Dari sisi moneter, dalam upaya mencapai target pertumbuhan uang primer tahun 2001 sebesar 11–12 persen, berbagai upaya yang telah ditempuh Bank Indonesia selama ini tampaknya masih menghadapi kendala yang cukup besar. Hal ini terlihat dari tingginya posisi uang primer hingga triwulan III tahun 2001 yang masih terus berada di atas batas atas yang ditetapkan. Berdasarkan test date sementara yang dilakukan untuk bulan September (hingga tanggal 3 Oktober 2001) yang tercatat sebesar Rp 112,8, berarti rata-rata pertumbuhan uang primer selama tahun 2001 telah mencapai 18,3  persen, jauh lebih tinggi dibandingkan target pertumbuhan hingga Desember 2001 sebesar 11-12  persen. Masih tingginya pertumbuhan uang primer  di atas target yang telah ditetapkan terutama didorong oleh peningkatan permintaan akan uang kartal di masyarakat. Selain untuk membiayai transaksi ekonomi (transaction demand for currency), sebagian peningkatan uang kartal tersebut ditengarai juga didorong oleh motif penimbunan uang tunai (hoarding).
Hingga akhir September 2001, uang primer mencapai posisi Rp115,2 triliun atau menurun sebesar Rp10,4 triliun dibandingkan posisi akhir 2000. Sementara itu, uang beredar dalam arti luas (M2) pada akhir Agustus 2001 mengalami peningkatan sebesar Rp27,1 triliun dibandingkan Desember 2000, sehingga tercatat pada posisi Rp774,1 triliun. Secara tahunan, pertumbuhan M2 mencapai 12,9 persen. Sementara itu, suku bunga SBI 1 bulan pada akhir September 2001 mencapai 17,57 persen, naik 304 bps dibandingkan kondisi pada akhir Desember 2000. Perkembangan yang sama juga terjadi pada suku bunga deposito 1 bulan yang meningkat 286 basis point menjadi 14,82  persen.
Menurunnya permintaan eksternal akibat melambatnya perekonomian dunia serta merosotnya harga komoditi ekspor turut menyumbang bagi perlambatan kinerja ekspor nasional. Total nilai ekspor selama semester I tahun 2001, mencapai US$ 29,30 miliar atau lebih rendah 0,2 persen dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2000. Penurunan tersebut terutama didorong oleh nilai ekspor nonmigas yang tumbuh negatif sekitar 2,2 persen; sedangkan nilai ekspor migas naik sekitar 6,7 persen dengan masih tingginya harga ekspor minyak mentah di pasar internasional selama semester I tahun 2001.
Total nilai impor selama semester I tahun 2001 mencapai US$ 17,75 miliar atau naik sekitar 29,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan terutama didorong oleh impor nonmigas yang naik sekitar 37,2 persen; sedangkan impor nonmigas menurun sekitar 5,0 persen.
Sementara itu kondisi neraca transaksi berjalan mengalami perbaikan. Dalam semester I tahun 2001, surplus neraca pembayaran meningkat menjadi US$ 3,8 miliar dari US$ 3,3 miliar dalam semester I tahun 2000.
Masih besarnya defisit pada arus modal swasta (neto) dan terhambatnya pencairan pinjaman luar negeri mempengaruhi penurunan cadangan devisa. Pada akhir semester I tahun 2001, meskipun surplus neraca transaksi berjalan mencapai US$ 3,7 miliar, lebih tinggi dari semester I tahun 2000 yang mencapai US$ 3,3 miliar, namun defisit neraca modal meningkat dari US$ 0,5 miliar dalam semester I tahun 2000 menjadi US$ 5,0 miliar pada semester I tahun 2001. Akibatnya, cadangan devisa turun dari US$ 29,4 miliar pada akhir tahun 2000 menjadi US$ 28,6 miliar pada akhir semester I tahun 2001. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai 5,8  bulan impor dan utang luar negeri pemerintah.
Berdasarkan perkembangan tersebut, perekonomian Indonesia dalam triwulan II tahun 2001 tumbuh sekitar 3,5 persen (y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II tahun 2000 yang mencapai 5,2 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh pembentukan modal tetap bruto, ekspor barang dan jasa, konsumsi pemerintah, dan konsumsi rumah tangga yang berturut-turut naik sekitar 17,9 persen, 13,5 persen, 5,7 persen, dan 4,8 persen. Pertumbuhan dari unsur permintaan agregat ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (triwulan II tahun 2000 terhadap triwulan II tahun 1999) kecuali untuk konsumsi pemerintah dan rumah tangga.
Dari sisi produksi, semua sektor tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan II tahun 2000 kecuali sektor pertanian; pertambangan; listrik gas dan air bersih. Bahkan sektor industri pengolahan hanya tumbuh sekitar 5 persen dibandingkan triwulan sama tahun sebelumnya yang meningkat sekitar 7,8 persen. Perlambatan ini sejalan dengan perkembangan beberapa leading indicator. Dalam triwulan II tahun 2001 konsumsi listrik oleh sektor industri hanya tumbuh 5,6 persen (y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2000 yang tumbuh sekitar 9,0 persen. Demikian pula penjualan mobil yang melambat drastis menjadi sekitar 5,3 persen dalam triwulan II tahun 2001 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2000 yang tumbuh lebih dari 400 persen.
Dalam upaya menciptakan kepastian politik yang sangat diperlukan bagi lancarnya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan Sidang Istimewa MPR (SI-MPR) pada tanggal 23 Juli 2001. Pelaksanaan SI-MPR yang berlangsung dengan aman dan lancar tersebut telah memberi dorongan bagi pulihnya kepercayaan masyarakat.
Sejalan dengan penguatan rupiah, kegiatan pasar modal mulai bergairah. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp 266,3 triliun pada akhir Juni 2001 menjadi Rp 283,2 triliun pada akhir Juli 2001.
Perubahan kepemimpinan nasional yang berlangsung secara demokratis mengurangi ketidakpastian politik serta memberi landasan yang kokoh bagi pemerintah yang baru. Kepercayaan masyarakat internasional mulai menunjukkan perbaikan. Pada tanggal 30 Juli 2001, Standard and Poor’s (S&P) merevisi prospek (outlook) peringkat utang jangka panjang dari ¢negatif¢ menjadi ¢stabil¢, meskipun peringkat utang pemerintah (sovereign rating) yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing masih CCC+; sedangkan mata uang lokal masih B-.
Setelah tertunda beberapa kali dan melalui pembahasan yang ketat, pada tanggal 27 Agustus 2001 dicapai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang paket program kebijakan ekonomi dan keuangan. Pokok-pokok kebijakan mencakup 6 bidang utama yaitu yang berkaitan dengan kerangka dan kebijakan ekonomi makro, desentralisasi fiskal, reformasi sistem perbankan sistem perbankan, asset recovery, restrukturisasi perusahaan dan reformasi hukum, serta reformasi sektor publik. Dengan tercapainya kesepakatan ini diharapkan upaya penundaan pembayaran utang pemerintah yang diperoleh melalui Paris Club II dan perolehan pinjaman luar negeri dalam pertemuan CGI mendatang berjalan dengan lancar.

3.2       Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam tahun 2001 terutama diarahkan untuk mewujudkan anggaran negara yang berkesinambungan. Dalam upaya tersebut dikandung pula kebijakan yang mencerminkan peranan strategis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai berikut. Pertama, sebagai instrumen untuk menghimpun pendapatan negara guna dialokasikan untuk menjamin kelangsungan kegiatan operasional pemerintahan serta menyediakan barang dan jasa publik (public goods) seperti keamanan dan ketertiban umum, penegakan hukum, serta penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat.  Kedua, berperan dalam menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, berperan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Di sisi penerimaan negara, upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara mencakup ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, perbaikan struktur dan tarif pajak, penyempurnaan sistem administrasi perpajakan termasuk dalam pemungutan pajak, pencabutan berbagai fasilitas perpajakan yang sudah tidak sesuai lagi, serta meningkatkan transparansi dalam pemungutan pajak.
Sumber-sumber penerimaan pajak yang utama adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kedua sumber penerimaan tersebut mencakup sekitar 80 persen penerimaan pajak atau sekitar separuh dari seluruh pendapatan negara. Untuk meningkatkan penerimaan PPh ditempuh pengurangan tahun penghapusan berbagai fasilitas pajak yang tidak sesuai, tax holiday, pajak ditanggung oleh pemerintah atas proyek-proyek yang dananya dari pinjaman luar negeri, serta PPh ditanggung pemerintah atas gaji pegawai negeri. Adapun upaya untuk meningkatkan PPN ditempuh melalui penyempurnaan tentang ketentuan pedagang eceran, peninjauan kembali perkreditan pajak masuk atas impor dan penyerahan barang kena pajak (BKP) emas batangan, serta pengaturan lebih lanjut mengenai pencabutan yang dipercepat atas berbagai fasilitas di bidang perpajakan khususnya terhadap PPN yang tarifnya nol persen.
Di sisi pengeluaran, langkah-langkah untuk mengatasi tekanan yang berlebihan terhadap beban belanja negara ditempuh dengan meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara mulai dari perencanaan hingga tahap pemantauan pelaksanaannya. Prioritas pengeluaran dipertajam pada hal-hal yang memang harus dilaksanakan pemerintah serta bersifat penting dan sangat mendesak. Untuk belanja rutin, upaya tersebut ditempuh melalui (i) penghematan anggaran belanja pegawai melalui percepatan proses penyelesaian pegawai yang dipindahkan ke daerah; (ii) penghematan anggaran subsidi BBM melalui peningkatan efisiensi dan kenaikan harga BBM; (iii) penghematan anggaran subsidi listrik melalui kenaikan tarif dasar listrik; dan (iv) penghematan penggunaan dana kontijensi untuk desentralisasi fiskal.
            Sementara itu, untuk mendorong percepatan pelaksanaan desentralisasi fiskal, sejak tahun 2001 sebagian penerimaan APBN dialokasikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Kebijakan ini menyebabkan pengelolaan fiskal Pemerintah Pusat berkurang, sebaliknya proporsi pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan pemerintah yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui APBD meningkat tajam. Perubahan ini menyebabkan daerah akan mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam pengelolaan keuangannya. Namun demikian, apabila dalam pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen selesai dilaksanakan tetapi masih terdapat daerah-daerah yang belum sepenuhnya dapat membiayai belanja pegawai dan belanja non-pegawai melalui APBD-nya, pemerintah menyediakan bantuan untuk menutup kekurangan tersebut. Besarnya bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah dan kemampuan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penggunaan Dana Kontijensi untuk Bantuan Pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) kepada pemerintah daerah.
Dalam hal pelaksanaan APBN sampai dengan akhir Juni   (Semester I) 2001, tercatat defisit yang relatif kecil, yaitu Rp 908,5 miliar. Namun beberapa hal masih perlu diwaspadai. Pertama, dari sisi penerimaan negara, realisasi yang mencapai 43,8 persen dimungkinkan oleh tingginya harga ekspor minyak bumi dibandingkan yang diasumsikan dalam APBN Penyesuaiannya. Kedua, pengeluaran belanja rutin seperti subsidi non-BBM, pengeluaran rutin lainnya, pengeluaran pembangunan rupiah, dan dana bagi hasil, masing-masing baru mencapai 15,9 persen, 2,6 persen, 15,3 persen, dan 11,0 persen dari anggaran yang ditetapkan. Ketiga, jika besaran-besaran makro seperti nilai tukar Rupiah dan tingkat suku bunga SBI lebih buruk dari yang diperkirakan, maka beban anggaran bertambah berat.
Seiring dengan kondisi dalam negeri yang tidak stabil; mandegnya perundingan dengan IMF dan pelaksanaan desentralisasi telah berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan pinjaman luar negeri baik terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan maupun terhadap proyek-proyek baru yang akan dinegosiasi dengan donor. Maka telah dilakukan langkah-langkah kebijakan berkaitan dengan pelaksanaan pinjaman luar negeri ini.
Pertama adalah upaya percepatan pencairan pinjaman program dan penyerapan proyek pinjaman luar negeri. Untuk pinjaman program  Water Resource Sector Adjustment Loan yang dibiayai oleh IBRD telah dilakukan penyusunan draft undang-undang aturan tentang pelaksanaan dan management sumber daya air.
Sementara itu untuk Pinjaman Program dari ADB, program  Financial Government Reform Support Development, diperlukan penyelesaian Undang-undang Anti Money Laundering, Penyusunan Secondary Mortgage Facility, Perubahan Perundang-Undangan Terhadap Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Akuntan Publik. Sedangkan untuk program  Community and Local Governmnet Support telah dilakukan sosialisasi pelaksanaan Kepmen 64 Tahun 1999 (mengatur partisipasi masyarakat perdesaan dalam pengambilan keputusan) ke eselon I dan II; dan telah diselesaikan draft PP untuk informasi keuangan regional. Sementara itu untuk program Industrial Competitiveness and SME Development terdapat beberapa persyaratan dari pihak ADB yang belum terlaksana; antara lain: rasionalisasi program kredit SME dengan skema kerjasama petani, pertanian dan SME yang meliputi Kredit Ketahanan pangan dan Kredit Kepemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRS-SS); perubahan terhadap Keppres Nomor 99 Tahun 1998 mengenai sejumlah lapangan usaha; dan pengurangan hambatan bagi FDI. Sementara itu untuk program Power Restructuring , RUU tentang Kelistrikan telah disampaikan ke DPR tanggal 5 Februari 2001 dan saat ini sudah mencapai pembahasan tingkat III.
Untuk pinjaman program dari JBIC pencairan dananya tergantung dari proses pencairan program dari donor lain (ADB, IBRD, dan IMF).
Kedua,  pemerintah terus meningkatkan negosiasi dengan IMF dan pihak donor (utamanya dalam mempercepat penyerapan pinjaman program dan mendapatkan fleksibilitas dalam penggunaan dana proyek yang sedang berjalan). Jumlah utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo mencapai US$ 4,5 miliar. Dari jumlah tersebut, yang merupakan pelunasan sebesar US$ 2 miliar, sedangkan sisanya sebesar US$ 2,5 miliar telah berhasil direstrukturisasi melalui pertemuan Paris Club I dan II. Selanjutnya, dalam rangka mengurangi beban pembayaran utang luar negeri pemerintah ini telah dilakukan pertemuan Paris Club II pada 12 dan 13 April 2000. Dalam pertemuan tersebut berhasil disetujui penjadwalan kembali pembayaran utang pokok pemerintah sebesar US$ 5,8 miliar; yaitu pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000 sampai dengan 31 Maret 2002. Berdasarkan persetujuan tersebut, pembayaran untuk pinjaman lunak (ODA) dijadwalkan kembali dengan masa 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dengan tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Untuk pinjaman bilateral non-ODA, pembayarannya dijadwalkan kembali dengan masa 15 tahun termasuk 3 tahun masa tenggang dengan bunga pasar. Disamping itu, sebagai kelanjutan dari hasil perundingan dalam kerangka London Club, pada September 2000 telah berhasil dijadwalkan kembali pembayaran pokok pinjaman komersial yang diterima dari sindikasi bank-bank di luar negeri sebesar US$ 340 juta dengan jangka waktu penjadwalan 12 tahun 6 bulan dengan masa tenggang 3 tahun.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada Mei 2001 mencapai US$ 73.025 juta, terdiri dari IGGI/CGI sebesar US$ 42.904 juta dan non CGI sebesar US$ 30.121 juta. Apabila dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya, mengalami penurunan sebesar US$ 3.462 juta atau 4,5 persen.
Bila dilihat dari jenis pinjaman, pinjaman Bilateral sebesar US$ 23.865 juta, Multilateral sebesar US$ 30.306 juta, Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) sebesar US$ 15.958 juta, serta leasing dan komersial sebesar US$ 2.897 juta.
Sejak bulan Januari-Mei 2001 telah terjadi pembayaran utang pemerintah untuk pokok dan bunga pinjaman masing-masing sebesar US$ 1.384 juta dan US$ 1.382 juta.
3.3       Pengembangan Lembaga Keuangan
Pengembangan lembaga keuangan, seperti diuraikan di atas, akan sangat tergantung pada kondisi makro secara keseluruhan. Pasar modal, sebagai alternatif pembiayaan utama dari perbankan, masih menunjukkan kinerja yang lemah dalam semester I tahun 2001. IHSG di bulan Juni tercatat 437,6 sedangkan nilai kapitalisasi pasar tercatat Rp 8,8 triliun. Namun langkah-langkah khusus untuk mengembangkannya akan terus diupayakan, dan dibahas dalam butir 5.2 Pengembangan Pasar Modal. Sementara itu pembiayaan perbankan juga terus ditingkatkan, termasuk dengan mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah. Bank-bank tersebut menunjukkan ketahanan terhadap gejolak krisis.
Langkah-langkah  yang lain adalah dengan meningkatkan ketentuan dan peningkatan pengawasan bank, serta rencana pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS) dan lembaga pengawas jasa sektor keuangan (LPJK) yang terintegrasi.
3.4       Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha
Kebijakan Bank Indonesia di bidang  perbankan hingga triwulan III-2001 diarahkan pada upaya untuk mempercepat pemulihan fungsi intermediasi perbankan yang diharapkan dapat mendukung upaya pemulihan ekonomi. Di samping itu kebijakan restrukturisasi  perbankan diarahkan pada upaya pemenuhan kewajiban minimum CAR sebesar 8 persen bagi setiap bank serta upaya pencapaian non-performing loans (NPLs) sebesar 5 persen pada akhir tahun 2001.
            Secara umum, perkembangan industri perbankan sampai dengan Agustus 2001 masih belum mengalami perbaikan seperti yang diharapkan, meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan kondisi di akhir tahun 2000. Berbagai kendala masih dihadapi oleh perbankan nasional, seperti volatilitas nilai tukar rupiah yang tinggi dan suku bunga SBI yang selama beberapa bulan terakhir cenderung naik, serta belum bergeraknya sektor riil.
Dari sisi kelembagaan, jumlah bank umum hingga akhir September 2001 mengalami penurunan menjadi 146 bank yang disebabkan baik oleh adanya merger  antar bank maupun oleh adanya penutupan bank atas permintaan sendiri (self liquidation).  Sementara itu, jumlah kantor bank bertambah 198 kantor sehingga menjadi 6.707 kantor pada periode yang sama.
Nilai tukar rupiah yang cenderung apresiatif pada triwulan III-2001 menyebabkan sedikit menurunnya asset bank-bank, yaitu dari Rp1.030 triliun pada akhir tahun 2000 menjadi Rp1.015 triliun pada Agustus 2001 yang disebabkan oleh menurunnya antarbank aktiva, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing, menurunnya penyertaan, serta melambatnya penyaluran kredit. Kecenderungan penurunan asset perbankan secara nominal terjadi sejak triwulan I-2001 sampai dengan Agustus 2001. Penurunan nominal asset yang cukup signifikan terjadi pada triwulan III-2001 (sampai dengan Agustus 2001) yang terutama disebabkan oleh pengaruh apresiasi nilai tukar rupiah, sehingga menurunkan seluruh komponen aktiva produktif bank-bank pada triwulan III-2001 dibandingkan dengan triwulan II-2001. Dalam komponen aktiva produktif tersebut, kredit dan antar bank aktiva merupakan komponen yang mengalami penurunan terbesar.  
Meskipun khusus dalam triwulan III-2001 pertumbuhan kredit mengalami penurunan, namun penyaluran kredit perbankan sampai dengan Agustus 2001 mengalami sedikit pertumbuhan sebesar 5,5 persen dari posisi akhir tahun 2000. Pertumbuhan yang relatif rendah tersebut disebabkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah, sehingga menurunkan nilai kredit perbankan dalam valas. Apabila pengaruh kurs dihilangkan, maka posisi kredit perbankan pada periode yang sama mengalami pertumbuhan sebesar 8,8 persen. Selama delapan bulan pertama tahun 2001, pertumbuhan kredit valas masih lebih rendah dibandingkan dengan kredit rupiah yang terutama disebabkan oleh ketidakpastian nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing atau dengan kata lain masih tingginya risiko kredit valas yang dihadapi oleh debitur.
Kredit baru yang berhasil disalurkan oleh perbankan pada bulan Agustus 2001 mencapai Rp5,3 triliun atau meningkat dibandingkan dengan rata-rata penyaluran kredit triwulan II-2001 sebesar Rp4,3 triliun per bulan. Secara sektoral, kredit baru pada bulan Agustus 2001 tersebut terutama disalurkan ke sektor perindustrian (46,3 persen) dan sektor perdagangan (17,9 persen).
Sementara itu, meskipun total asset perbankan menurun, namun beberapa indikator kinerja perbankan lainnya masih menunjukkan adanya perbaikan, yaitu penghimpunan dana pihak ketiga,  perolehan laba operasional, dan efisiensi operasional bank. Penghimpunan dana pihak ketiga hingga Agustus 2001 mencapai Rp725,5 triliun atau meningkat 3,8 persen dari posisi akhir tahun 2000. Rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga tersebut disebabkan oleh menurunnya dana pihak ketiga dalam valas sebagai akibat dari apresiasi nilai tukar rupiah. Namun, apabila pengaruh perubahan kurs dihilangkan, maka penghimpunan dana pihak ketiga tumbuh 9,5 persen dari posisi akhir tahun 2000.  Dalam penghimpunan dana pihak ketiga tersebut, posisi deposito hingga Agustus 2001 mencapai Rp398 triliun dan masih mendominasi penghimpunan dana pihak ketiga dengan pangsa sebesar 54,9 persen. Sementara itu, pangsa tabungan dan giro pada periode yang sama masing-masing mencapai 22,7 persen dan 22,4 persen. 
Laba operasional perbankan hingga Agustus 2001 tercatat sebesar Rp0,8 triliun atau meningkat dibandingkan dengan laba operasional pada periode yang sama tahun 2000 yang mencatat adanya kerugian. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya biaya operasional yaitu beban kegiatan valas dan lainnya serta penghapusan/penyusutan. Sebagai akibatnya, baik laba sebelum pajak maupun laba setelah pajak pada Agustus 2001 mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2000. Sedangkan dari sisi efisiensi operasional bank juga mengalami perbaikan yang tercermin dari membaiknya rasio antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO), yaitu dari 104,5 persen pada Agustus 2000 menjadi 99,2 persen pada Agustus 2001. Penurunan rasio BOPO mencerminkan bahwa perbankan nasional lebih efisien dalam pengelolaan biaya dan pendapatan dana dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Selanjutnya mengenai restrukturisasi utang dunia usaha. Restrukturisasi kredit yang difasilitasi Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia menunjukkan kemajuan.  Hingga Agustus 2001 jumlah kredit yang ditangani oleh Satgas telah mencapai Rp91,8 triliun yang mencakup 43.568 debitur.
Sementara itu, dalam rangka mempercepat restrukturisasi utang perusahaan di BPPN dan yang melalui mediasi Prakarsa Jakarta, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) telah menerbitkan berbagai kebijakan sebagai pedoman pelaksanaan restrukturisasi utang serta menetapkan pola restrukturisasi utang obligor/debitur yang nilainya di atas Rp. 1 triliun berdasarkan usulan BPPN dan pola restrukturisasi utang debitur yang nilainya di atas Rp. 100 milyar berdasarkan usulan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ).  Pada bulan Desember 2000 KKSK telah menerbitkan kebijakan yang antara lain berisi insentif  kepada debitur BPPN yang hendak menyelesaikan utangnya dalam bentuk penyelesaian tunai.  Selanjutnya pada bulan Januari 2001, KKSK  memberikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk memberikan diskon pokok 25 persen dan penghapusan pinalti dan bunga 100 persen bagi kredit macet di Bank-bank BUMN  yang nilai kewajibannya di bawah Rp. 5 miliar dan telah ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan khusus untuk Bank Mandiri. Pada bulan April 2001 KKSK menerbitkan kebijakan restrukturisasi utang debitur BPPN di Sektor Properti  yang antara lain memuat berbagai insentif pengurangan utang pokok, penghapusan bunga serta penalti. Pada bulan September 2001 KKSK dalam rangka mempercepat penjualan aset dan meningkatkan tingkat pengembalian uang negara telah menetapkan kebijakan umum bagi penjualan aset-aset di BPPN meliputi restructured dan unrestructured loan, pinjaman dalam tahap restrukturisasi MoU, dan pinjaman yang telah di-outsource  penanganan restrukturisasi, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan dalam keputusan KKSK tersebut.
Dalam menangani restrukturisasi utang debitur, unit Aset Management Credit (AMC) di BPPN mengimplementasikan berbagai tahap restrukturisasi yang harus dilalui perusahaan dengan berpedoman kepada kebijakan restrukturisasi yang telah ditetapkan KKSK. Sedangkan untuk menangani kewajiban dari pemegang saham bank-bank yang dibekukan/diambil alih, langkah langkah yang dilaksanakan oleh Asset Management Investment (AMI) BPPN terhadap 13 BTO/BBO dan 39 BBKU adalah melakukan negosiasi dengan pemegang saham bank tersebut untuk meghasilkan kesepakatan dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang saham (PKPS) yang intinya meminta pembayaran kembali atas utang-utang bank kepada negara.
BPPN dan Prakarsa Jakarta telah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam upaya merestrukturisasi utang perusahaan. Sampai dengan Bulan September 2001, BPPN telah meyelesaikan sekitar 89,9 persen restrukturisasi utang 21 obligor (tahap pembuatan MOU ke atas) terbesar dengan total utang sebesar Rp 90,8 trilliun. Sementara itu STPJ juga telah mengalami kemajuan yang berarti dalam upaya melakukan mediasi antara kreditur dan debitur. Hingga bulan Oktober 2001 jumlah perusahaan yang terdaftar di STPJ mencapai 112 kasus dengan total utang US$ 19,77 miliar.  Jumlah kasus yang telah diselesaikan mediasi restrukturisasi utangnya mencapai 60 kasus dengan total nilai utang mencapai US$ 12,36 miliar. Secara keseluruhan BPPN dan Prakarsa Jakarta, menurut laporan Survei Utang Perusahaan yang dilakukan oleh Prakarsa Jakarta hingga Juli 2001 BPPN dan STPJ  telah mampu merestrukturisasi utang perusahaan sebesar US$ 24,9 miliar (setelah dikurangi nilai overlap restrukturisasi yang dilakukan oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta sekitar US$ 1,6 miliar); yang terdiri dari US$ 14,2 miliar oleh BPPN; dan US$ 12,2 miliar oleh Prakarsa Jakarta.     
3.5       Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam tahun anggaran 2001 terutama diarahkan untuk menyelesaikan penjabaran peraturan perundang-undangan yang belum ada, diantaranya (1) melaksanakan peraturan-peraturan yang menjabarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti peraturan tentang dana perimbangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, pinjaman daerah dan system informasi keuangan daerah; (2) menyusun peraturan detil tentang system bagi hasil dari penerimaan sumber daya alam terutama akibat terjadinya pemekaran beberapa wilayah; (3)  memformulasikan dan memperbaiki kembali data-data pendukung untuk perhitungan  DAU agar lebih berkeadilan yang mencerminkan pemerataan antar daerah dan antar wilayah; (4) membina dan mengembangkan aparatur/personil daerah yang bertugas di bidang keuangan dan ekonomi daerah dalam rangka menciptakan tenaga-tenaga trampil yang mampu menterjemahkan kebijaksanaan dan peraturan yang ada ke dalam kebijaksanaan yang lebih operasional secara tepat; (5) dalam rangka memberikan fleksibelitas yang tinggi kepada daerah untuk menggali potensi penerimaan asli daerah (PAD) maka perlu dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang memberikan limitasi yang tinggi kepada daerah untuk menggali potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah yang potensial didaerahnya; (6) mempersiapkan Rancangan Undang-undang  tentang BUMD yang akan menjadi pedoman bagi daerah dalam pengelolaan dan pembentukan perusahaan-perusahaan daerah  agar dapat mendorong dan mengembangkan aktivitas perekonomian nasional dan regional secara lebih efisien dan professional.
Hasil dari berbagai langkah kebijakan di atas adalah tersedianya  Keppres  Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun anggaran 2001. Sampai dengan akhir Juni 2001, besarnya dana perimbangan yang telah didaerahkan adalah Rp. 32,3 triliun atau 39,6 persen dari total dana perimbangan. Sementara itu dalam rangka penggalian potensi penerimaan asli daerah telah diterbitkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 ini daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk memungut pajak spesifik dan yang potensial di daerahnya masing-masing dengan prinsip pajak tersebut  harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan undang-undang antara lain bersifat lokal dan mobilitasnya rendah, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, tidak tumpang tindih dengan pajak propinsi dan atau pajak pusat, tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat dan tidak mendorong perusakan lingkungan.

4.         Memacu Peningkatan Daya Saing
Dalam rangka meningkatkan daya saing nasional dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini yang sedikit banyak mempengaruhi perilaku usaha nasional dalam upaya meningkatkan kinerja sektor riil, langkah kebijakan yang ditempuh di sektor industri dan sektor perdagangan diarahkan pada pembenahan dan perbaikan di berbagai bidang, antara lain dengan mengupayakan penguatan daya saing produk nasional melalui peningkatan efisiensi distribusi, peningkatan kemampuan lembaga layanan teknologi, pengembangan jaringan usaha, perluasan penerapan sistem mutu dan standardisasi (nasional dan internasional), penataan sistem dan penguatan kelembagaan standardisasi dan kemetrologian dalam mendukung akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa, dan peningkatan kualitas dan ketersediaan sumber daya manusia yang terampil.
Kebijakan pembangunan di sektor industri secara umum diarahkan untuk menata dan memperkuat basis produksi dan distribusi, serta meningkatkan daya saing global produk nasional melalui keunggulan kompetitif terutama yang berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) dengan menghapus segala bentuk hambatan dan perlakuan diskriminatif. Seiring dengan itu, penguatan industri yang berskala kecil dan mzenengah juga terus ditingkatkan dalam rangka mewujudkan struktur industri nasional yang kukuh dan berdaya saing global.
Kebijakan pembangunan di sektor perdagangan khususnya dalam rangka memacu daya saing secara umum diarahkan untuk mengembangkan pasar domestik sebagai basis dan pendorong proses industrialisasi yang berkelanjutan, serta mengembangkan pembinaan produk domestik agar semakin mampu bersaing baik pasar domestik maupun internasional. Dengan demikian kebijakan perdagangan adalah untuk menjamin kelancaran arus barang dan jasa dengan memantapkan pengadaan dan penyaluran agar terciptanya harga yang wajar dengan kata lain menciptakan stabilitas harga, memperluas produksi dalam negeri dalam rangka meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen, serta mendorong dan membantu pedagang kecil melalui penciptaan iklim yang mendukung peningkatan kemampuan berusaha, pelaksanaan kemitraan usaha dan pelayanan informasi perdagangan. Di sisi lain kebijakan perdagangan juga diarahkan untuk mengupayakan peningkatan ekspor nasional yang mempunyai keunggulan komparatif yang diiringi dengan semakin meningkatkan keunggulan kompetitif yang dimiliki para pedagang, pengusaha, dan eksportir sekaligus dalam upaya meningkatkan daya saing usaha melalui pemberdayaan sumber daya yang ada.
Betapapun beratnya tantangan yang dihadapi, baik yang muncul dari dalam maupun dari luar, sektor industri pengolahan masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Sektor industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi yang cukup besar dalam proses pembangunan nasional, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Atas dasar harga konstan 1993, sektor industri pengolahan migas dan pengolahan nonmigas pada triwulan I dan triwulan II tahun 2001 dibanding periode yang sama tahun 2000 menunjukkan pertumbuhan sebesar 3,60 persen dan 4,75 persen. Seiring dengan kecenderungan positif pertumbuhannya, sumbangan yang diberikan industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mengalami kenaikan, yaitu 25,75 persen pada triwulan II 2000 menjadi 25,84 persen pada triwulan II 2001.
Pada periode yang sama, laju pertumbuhan sektor perdagangan, termasuk hotel dan restoran, tercatat mengalami peningkatan masing-masing sebesar 5,79 persen dan 5,69  persen. Kontribusinya terhadap PDB pada triwulan II 2001 mencapai sebesar 15,04 persen. Peningkatan kinerja perdagangan antara lain disebabkan dengan semakin membaiknya kinerja ekspor pada periode tersebut. Dibandingkan tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan beberapa sektor lainnya, dalam pasca krisis ekonomi, pada tahun 2000 dan 2001 sektor perdagangan telah mampu memainkan peranan yang penting dalam memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.
Seiring dengan meningkatnya jumlah investasi yang disetujui, nilai PMA pada tahun 2000 mengalami peningkatan sebanyak 405,5 persen dibandingkan tahun 1999, namun investasi PMDN mengalami penurunan sebanyak minus 19,5 persen, yaitu sebesar US$ 1,411.0 juta untuk PMA dan sebesar Rp. 234,1 miliar pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1999 sebesar US$ 279,1 juta dan Rp. 234,1 miliar. Sedangkan sampai dengan bulan April tahun 2001 jumlah investasi untuk PMA dan PMDN yang disetujui telah mencapai 148 perusahaan dan 1 perusahaan dengan nilai US$ 75,3 juta dan Rp 0,2 miliar.
Di samping itu, diperlukan kebijakan sektor perdagangan yang terpadu dan saling mendukung dengan kebijakan sektor lainnya, seperti melanjutkan dan meningkatkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran barang dan bahan penting, kebijaksanaan tertib niaga dan perlindungan konsumen, kebijaksanaan perwujudan pasar yang transparan, serta kebijaksanaan perluasan pemasaran dan peningkatan daya saing barang hasil produksi dalam negeri. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan hal itu, maka orientasi kebijakan perdagangan adalah meningkatkan peranserta masyarakat secara sehat dalam kegiatan perdagangan dan mengembangkan kegiatan perdagangan berskala kecil dan menengah. Sejalan dengan perkembangan yang ada, kebijakan industri dan perdagangan diarahkan melalui beberapa program yang ada di dalam PROPENAS 2000-2004 dan Repeta dengan program-program, antara lain program pengembangan ekspor, penataan dan penguatan basis produksi dan distribusi, penguatan pranata iklim kompetitif dan non deskriminatif, dan penguatan institusi pasar
Dalam rangka mewadahi proses dan mekanisme dalam upaya peningkatan daya saing nasional Indonesia saat ini telah dirintis pembentukan Dewan Peningkatan Daya Saing Nasional yang diprakarsai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Namun demikian, mengingat karakteristik tugasnya yang berkaitan dengan penerapan kebijakan publik yang komprehensif, lintas sektoral dan regional, seyogyanya lembaga ini bersifat independen, bebas dari intervensi atau pengaruh dominan dari lembaga pemerintah maupun swasta lainnya untuk menjamin keobyektifan dan sifat koordinasinya. Dalam kaitan ini memang pada tahap awal pemerintah dapat menginisiasi pembentukan lembaga tersebut dengan memberdayakan fungsi lembaga pemerintah “super departmental” atau instansi yang memiliki wewenang koordinasi dan perencanaan pembangunan sehingga diharapkan lebih mampu mengemban misi lembaga tersebut.
4.l        Pengembangan Ekspor
Kebijakan perdagangan luar negeri dalam rangka pelaksanaan program pengembangan ekspor diarahkan untuk memperluas pasaran barang-barang produksi dalam negeri dan meningkatkan peranan pedagang nasional dan usaha kecil adalah dengan meningkatkan akses pasar global, dengan senantiasa berperan serta secara aktif dalam kerjasama internasional, baik dalam forum AFTA-ASEAN, APEC, dan WTO, dan memperluas hubungan bilateral; dan meningkatkan dan memantapkan pangsa pasar negara tujuan ekspor yang telah ada, dan secara bersamaan melakukan promosi ekspor secara aktif dan gencar guna mencari/memperluas negara tujuan ekspor yang lain.
Langkah-langkah yang diambil dalam rangka meningkatkan ekspor adalah melalui peningkatan daya saing produk ekspor, meningkatkan peran imbal dagang (counter trade), menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemberdayaan sumber daya alam, pelatihan, pameran dagang, meningkatkan kapasitas kelembagaan ekspor baik peningkatan profesionalisme pelayanan maupun ketersediaan infrastruktur pelayanan kepada dunia usaha terutama untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi. Selain itu, dalam rangka memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan akurat sangat diperlukan oleh pelaku bisnis dilakukan melalui pengembangan sistem informasi manajemen promosi ekspor dan perdagangan internasional yang mandiri, profesional, dan mudah diakses oleh masyarakat perlu terus diupayakan keberadaannya dan keakuratannya  Di samping itu, dalam rangka meningkatkan ekspor nasional telah dilakukan upaya yang terpadu dan berkesinambungan dalam menyusun dan menerapkan kebijakan perdagangan yang mampu merespon kebutuhan dunia usaha, melalui penyederhanaan administrasi prosedur ekspor-impor, mengurangi  hambatan perdagangan khususnya di dalam negeri, meningkatkan mutu komoditi ekspor melalui teknologi dan sumber daya manusia yang terampil, memberdayakan balai-balai pengujian dan sertifikasi mutu barang, dan meningkatkan misi dan diplomasi dagang.
Beberapa hasil yang telah dicapai selama tahun 2000 ditandai dengan meningkatnya ekspor nasional baik migas maupun non migas yang diraih melalui peningkatan kinerja perdagangan luar negeri. Dilihat berdasarkan negara tujuan ekspor terbesar, pada tahun 2000 Jepang, Amerika Serikat dan Singapura merupakan negara tujuan utama ekspor nasional dengan nilai ekspornya masing-masing sebesar US$ 14,4 miliar, US$ 8,48 miliar, dan US$ 6,56 miliar dengan kontribusinya masing-masing sebesar  23,19 persen, 13,64 persen, dan 10,56 persen.
Sedangkan komponen utama ekspor non migas menurut golongan barang pada periode Januari-Agustus 2001 yang memberikan kontribusi terbesar pada ekspor non migas terdiri dari mesin/peralatan listrik, kayu/barang dari kayu, pakaian jadi bukan rajutan, kertas/karton, barang-barang rajutan, alas kaki, bahan bakar mineral, filamen buatan, plastik dan barang dari plastik, serta bubur kayu/pulp, masing-masing sebesar 14,1 persen, 7,5 persen, 6,7 persen, 4,3 persen, 3,6 persen, 3,6 persen, 3,5 persen, 2,5 persen, 2,4 persen dan 1,3 persen.  Berdasarkan negara tujuan ekspor non migas tertinggi, dalam periode Januari-Agustus 2001 ditempati antara lain oleh negara Amerika Serikat sebesar US$ 5,3 miliar atau 17,0 persen, Jepang sebesar US$ 4,7 miliar atau 15,9 persen, dan Singapura sebesar US$ 3,8 miliar atau 10,8 persen. Memang tidak dapat dielakkan bahwa ketiga negara tersebut masih menjadi penyerap ekspor nasional yang cukup besar jika dibandingkan dengan tujuan ekspor negara-negara di Eropa.
Perkembangan ekspor juga terjadi pada kelompok industri pengolahan khususnya ekspor dari industri kecil. Dibandingkan tahun 1999, nilai ekspor industri kecil pada tahun 2000 meningkat sebesar 19,4 persen, yaitu dari US$ 2,55 miliar menjadi US$ 3,05 miliar yang terdiri dari cabang industri kecil pangan sebesar US$ 0,11 miliar, industri kimia, agro non pangan dan hasil hutan sebesar US$ 0,56 miliar, industri logam, mesin dan elektronika sebesar US$ 0,51 miliar, dan industri sandang, kulit dan aneka sebesar US$ 1,87 miliar. Dengan demikian ekspor industri kecil mampu memberikan kontribusinya sebesar 4,9 persen terhadap keseluruhan ekspor non migas.
4.2       Pengembangan Industri Berkeunggulan Kompetitif
Industri berkeunggulan kompetitif dikembangkan melalui upaya penguatan industri di daerah yang bertumpu pada sumberdaya masing-masing daerah, pemberdayaan masyarakat, dan persaingan usaha yang sehat. Kebijakan ini mencakup upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemanfaatan peluang pasar dalam dan luar negeri melalui peningkatan tingkat gunaan (utilisasi) kapasitas produksi, dan peningkatan daya saing industri melalui upaya penguatan industri hasil pertanian (agro-based industry) didukung pengembangan industri yang berbasis kemampuan teknologi sendiri (knowledge-based industry). Untuk itu, kebijakan industri memerlukan dukungan kebijakan perdagangan melalui pengembangan sistem distribusi yang dapat menjamin peningkatan penggunaan atau pemanfaatan kapasitas produksi industri tersebut. Kebijakan pembangunan industri juga perlu dukungan sistem pelayanan investasi yang efisien dan efektif dalam rangka menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.
Sasaran program penataan dan penguatan basis produksi dan distribusi adalah (1) terwujudnya proses industrialisasi yang mantap dengan dasar sistem keterkaitan yang terintegrasi antara kegiatan industri dengan kegiatan produksi lainnya dan distribusi; (2) makin kukuhnya upaya pengembangan klaster industri yang kompetitif berbasis SDA, SDM, dan sumber daya potensial lainnya, ternmasuk keragaman budaya; dan (3) makin tingginya keragaman basis produksi dan distribusi yang berdaya saing global.
Penguatan basis produksi dan distribusi diupayakan antara lain melalui: (i) pemantapan pasar yang mendukung terciptanya efisiensi dan efektifitas sistem pelayanan dan sistem distribusi, termasuk pula perlu dilakukan pula pembinaan iklim persaingan usaha yang nantinya bermuara pada pencegahan praktek monopoli dan perlindungan konsumen; (ii) stabilitas harga yang wajar yang tercermin pada tingkat inflasi yang terkendali didukung kebijakan moneter yang bijaksana dan hati-hati serta kebijakan sektor riil melalui pembenahan dan peningkatan efisiensi kegiatan sektor produksi dan distribusi; dan (iii) penerapan teknologi informasi, peningkatan diversifikasi dan disain produk, penerapan sistem mutu dan standardisasi produk barang dan jasa serta penguatan kelembagaan standaridisasi dan kemetrologian untuk mendukung akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa.
Mencermati tantangan berat yang dihadapi, perkembangan industri pengolahan tahun 2000/01 secara umum cenderung melambat walau ada indikasi peningkatan volume produksi di beberapa kelompok industri khususnya produksi industri yang telah mempunyai akses pasar di luar negeri dan berpotensi ekspor. Produksi kelompok industri kimia, agro, dan hasil hutan pada tahun 2000 menunjukan utilisasi rata-rata kapasitas produksinya meningkat, yaitu mencapai 4,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan diperkirakan akan meningkat terus pada tahun 2001 ini. Pada tahun 2000 rata-rata perkembangan produksi industri kimia, agro, dan hasil hutan menunjukan pertumbuhan yang sangat berarti dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi agro industri yang mengalami peningkatan besar adalah buah-buahan dan sayur-sayuran dalam kaleng, kertas, ban kendaraan bermotor roda empat, ban sepeda motor roda dua, margarine, dan ban sepeda yaitu sebesar 4,2 persen, 5,7 persen, 3,1 persen, 4,5 persen, 6,8 persen,  dan 3,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan produksi industri barang-barang dari kimia rata-rata dapat bertahan bahkan mampu meningkatkan produksinya dengan cara memanfaatkan peluang pasar ekspor pada saat nilai tukar rupiah melemah. Produksi kelompok industri kimia yang mengalami peningkatan produksi sangat besar, antara lain industri pigmen sebesar 3,9 persen, ethylene dichloride (EDC) sebesar 4,3 persen, bahan peledak sebesar 4,9 persen, methanol sebesar 5,1 persen, dan vinyl chloride monomer (VCM) sebesar 3,7 persen, carbon black sebesar 4,6 persen dibanding tahun 1999. Industri kimia lain yang mengalami peningkatan produksi antara lain adalah industri bahan kimia tekstil, alkyl benzine sulfonat (ABS) dan sorbitol. Sedangkan Pada kelompok industri barang galian bukan logam produksi yang mengalami peningkatan paling besar adalah kaca lembaran dan semen sebesar 5,6 persen dan 4,8 persen.
Selain terjadi peningkatan utilitas kapasitas produksi, perkembangan kelompok industri logam, mesin dan elektronika pada tahun 2000 menunjukkan pertumbuhan yang sangat berarti dibanding tahun 1999. Pertumbuhan terjadi pada kelompok industri logam dasar, industri permesinan dan industri mesin, alat listrik, dan elektronika rata-rata meningkat sekitar 2,2 persen, 1,9 persen, dan 2,1 persen. Peningkatan terbesar di kelompok  industri logam adalah baja lembaran canai panas (HRC) sebesar 5,4 persen, kelompok industri permesin adalah whell loader sebesar 4,7 persen dan pada industri mesin, alat berat dan elektronika adalah mesin jahit dan VHF/UHF single channel sebesar 5,6 persen dan 4,2 persen.
Selanjutnya, kinerja produksi yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompok industri pada tahun 2001 secara umum tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan perkembangan yang dicapai pada tahun 2000. Fluktuasi produksi tetap mengikuti gejolak perkembangan pasar. Di antara kelompok produksi yang ada, kelompok produksi yang berbasis pada pertanian dan hasil hutan cenderung menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan produksi industri yang belum stabil, nilai dan volume ekspor sektor industri non-migas pada tahun 1999 mengalami penurunan 5,1 persen dan 5,5 persen, atau meliputi US$ 40,9 miliar dan 170,6 juta-ton menjadi US$ 38,8 miliar dan 161,2 juta-ton dibandingkan tahun sebelumnya. Dampaknya dirasakan pula oleh industri kecil dan menengah tahun 2000. Pada tahun 2000 nilai ekspor industri kecil dan menengah mencapai US$ 2,5 miliar atau menurun 29,9 persen dibandingkan nilai ekspor tahun 1999 sebesar US$ 3,6 miliar. Walau terjadi penurunan pada nilai ekspor, namun volume ekspornya tahun 2000 mengalami peningkatan 42,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan volume ekspor industri kecil dipengaruhi perubahan jenis produksi yang diekspor. Di bidang investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri belum menunjukkan kegairahan investasi yang berarti bagi para investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Pada tahun 2000, nilai PMA sektor industri yang disetujui mengalami penurunan 17,3 persen dengan nilai US$ 6,9 miliar dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan nilai PMDN yang disetujui untuk sektor industri mengalami peningkatan 4,1 persen dengan nilai mencapai Rp.46,7 miliar dari nilai tahun 1999 yang Rp.44,9 miliar. Peningkatan terbesar PMDN dialami oleh industri logam dasar, industri tekstil, industri makanan, dan industri kertas.
4.3       Penguatan Institusi Pasar
Upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja perdagangan dalam negeri adalah dengan menciptakan pranata iklim perdagangan yang sehat melalui pembentukan peraturan-peraturan, pemantapan kelembagaan perdagangan, pembinaan usaha dalam rangka penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlindungan konsumen, peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, dan mewujudkan pola perdagangan dan sistem distribusi nasional yang mantap melalui (1) pembinaan pendaftaran perusahaan, (2) pembinaan pengembangan dan pemantauan pasar dalam negeri, (3) pembinaan dan pengawasan kemetrologian, (4) pembinaan dan pengembangan usaha perdagangan dalam negeri. Dalam rangka menjaga kemantapan harga dan jaringan distribusi barang, baik antar kota maupun antar propinsi telah dilakukan upaya-upaya: (1) menjaga ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, (2) mengendalikan tingkat inflasi dan mengamankan distribusi barang dan jasa, (3) melakukan pemantauan terhadap perkembangan harga, dan (4) mengamankan terjadinya fluktuasi harga yang tidak terkendali.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penciptaan persaingan usaha yang sehat adalah pelaksanaan sosialisasi implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diiringi dengan pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia di berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; pelaksanaan kerjasama dengan berbagai pihak donor luar negeri dalam rangka pemberian bantuan teknis terhadap pelaksanaan Undang-undang 5 Tahun 1999 di Indonesia; serta penyusunan perangkat hukum dan kelembagaan yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang instansi pengawas pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, untuk dapat mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan adil, KPPU telah menangani dan menyelesaikan kasus dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, baik yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku usaha maupun yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Jumlah dan jenis laporan yang disampaikan dan diterima oleh Komisi selama periode 2000 terdiri dari: laporan mengenai monopoli dan integrasi vertikal sektor industri kertas, pelaksanaan tender di sektor migas, diskriminasi harga di sektor distribusi/retail, kartel tarif taksi, dan monopoli di sektor jasa pengiriman barang dan surat. Sebagian dari laporan tersebut telah masuk ke dalam daftar monitoring dan penyelidikan, yang kemudian ditindaklnjuti sesuai saran kebijakan dari instansi terkait. Sampai saat ini, 6 (enam) laporan dugaan pelanggaran masih dalam tahap penelitian/pengkajian, 2 (dua) laporan dugaan pelanggaran telah masuk dalam tahap pemeriksaan lanjutan, dan salah satu dari 2 dugaan pelanggaran ini telah diputuskan sebagai kasus yang secara jelas telah melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
            Beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen antara lain adalah penyelenggaraan pendidikan dan latihan pengembangan sumber daya manusia pengelola organisasi konsumen seluruh Indonesia, pelaksanaan pertemuan teknis penyelenggaraan perlindungan konsumen di seluruh Indonesia, serta penerimaan berbagai pengaduan konsumen atas ketidakpuasannya terhadap produk dan layanan produsen. Selama tahun 2000, jumlah pengaduan konsumen yang diterima oleh pemerintah dan dianggap melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah sekitar 80 kasus, dengan jenis permasalahannya yang sangat bervariasi, yaitu  mulai dari ketidakpuasan konsumen terhadap kualitas barang dan layanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, sampai dengan ketidakpuasan terhadap layanan purna jual dan praktek-praktek produsen lainnya yang dirasa oleh konsumen sangat merugikan.
4.4       Pengembangan Pariwisata

Sejalan dengan upaya peningkatan keparriwisataan nasional dan pemulihan citra pariwisata Indonesia serta mengatasi isu strategis dan dalam rangka mencapai tujuan kepariwisataan nasional. Pada tahun 2001 telah dilakukan langkah langkah kebijakan, antara lain mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata dan promosi ke  luar negeri; mengembangkan dan memperluas diversifikasi dan kualitas produk serta ragam objek dan daya tarik wisata; seiring dengan itu dilaksanakan pula peningkatan kemampuan sumber daya manusia pariwisata melalui pengembangan kualitas sekolah tinggi dan akademi pariwisata; memperluas partisipasi dan kemitraan masyarakat dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat serta pemanfaatan unsur kesenian dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata dilakukan secara bertanggung jawab dan menuju  pada pelestarian alam dan pengayaan nilai historis agar dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.

Berbagai gejolak sosial-politik pada awal krisis yang memberikan dampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri telah mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Melalui upaya pemulihan kepercayaan pariwisata Indonesia kepada masyarakat luar negeri guna menarik wisman untuk berkunjung ke Indonesia, pada tahun 2000 kunjungan wisman menunjukkan peningkatan sekitar 7,12 persen dan penerimaan devisa meningkat 22,7 persen dibanding tahun 1999 atau menjadi sebesar 5,06 juta kunjungan dengan perolehan devisa sebesar US$ 5,78 miliar. Selanjutnya, pada tahun 2001 hingga bulan Agustus jumlah kunjungan wisman melalui 13 pintu masuk mencapai  2,88 juta dengan perolehan devisa diperkirakan mencapai sebesar US$ 3,27 miliar, atau meningkat masing-masing sebesar 6,49 persen dan 7,12 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada akhir tahun 2001 diharapkan dengan iklim yang kondusif di dalam negeri jumlah kunjungan wisman dan perolehan devisa dapat melampaui tahun 2000.
4.5       Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijakan difokuskan pada upaya mendayagunakan sumberdaya Iptek dalam mengatasi dampak krisis ekonomi dengan mengoptimalkan pelayanan Iptek kepada dunia usaha dan masyarakat. Upaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui perluasan akses dan diseminasi informasi Iptek, pemberian berbagai insentif yang secara langsung dapat meningkatkan pemanfaatan Iptek terhadap peningkatan produktivitas dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah dan koperasi dan/atau berbasis sumber daya lokal, serta penyediaan data statistik sebagai sumber informasi dalam perencanaan kegiatan operasional dunia usaha dan dalam pengembangan Iptek.
Untuk meningkatkan akses dan diseminasi informasi hasil riset Iptek dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia usaha, terus ditingkatkan berbagai media diseminasi informasi Iptek melalui Pusat Data dan Informasi Ilmiah (PDII)-LIPI, Ipteknet, dan Warung Informasi dan Teknologi (Warintek). PDII-LIPI merupakan salah satu pusat kompilasi dan informasi Iptek terlengkap yang menyediakan informasi mengenai hasil-hasil penelitian dan pengembangan, teknologi tepat guna, dan lain-lain. Ipteknet adalah penyediaan sistem informasi dan pelayanan jasa Iptek melalui internet. Sementara melalui Warintek disediakan insentif pembiayaan bagi lembaga-lembaga pemerintah maupun masyarakat yang berminat mengembangkan pusat informasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, untuk meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan Iptek di dunia usaha dan masyarakat telah disediakan berbagai sistem Insentif Iptek berupa Asuransi Teknologi, Sistem Insentif Penguatan Manajemen dan Teknologi (Siptekman), Pengembangan Sentra HaKI, Standardisasi Laboratorium (Stanlab), Oleh Paten, dan Sentra Promosi dan Pemasaran Iptek (Promptek).  Berbagai hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas diuraikan berikut ini.
Dalam rangka pelaksanaan diseminasi informasi teknologi, telah dilakukan pengumpulan dan klasifikasi data serta pembuatan aplikasi penyebaran informasi kegiatan Iptek. Untuk meningkatkan keterkaitan berbagai sistem informasi yang telah tersedia dilakukan Pengembangan Koneksitas Jaringan Informasi Nasional dan Information Resources Sharing. Melalui jaringan ini data yang telah terkumpul dan dapat diakses antara lain adalah: data mengenai teknologi tepat guna, data lemlitbang dan data peneliti dari berbagai institusi. Ipteknet telah mampu mempercepat akses terhadap informasi yang tersedia. Sementara itu, Warintek juga telah berkembang di daerah-daerah melalui berbagai kerjasama yang dilakukan. Sampai saat ini telah diselesaikan panduan dan sosialisasi di beberapa daerah, antara lain di Sumatera Selatan, Lampung, Yogyakarta, dan Jawa Tengah, dan telah beroperasi sebanyak 108 (seratus delapan) Warintek. Kemitraan dan pembinaan Warintek dilakukan antara lain melalui perpustakaan (seperti Perpustakaan Daerah di Sumatera Selatan, Perpustakaan Universitas Brawijaya, dan Perpustakaan Universitas Negeri Medan), serta lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Pendidikan Harapan, LSM Lentera Hati, dan lain-lain.
Pola lain yang dilakukan dalam rangka diseminasi informasi Iptek adalah melalui Pusat Peragaan (Puspa) Iptek untuk menumbuh kembangkan budaya Iptek di masyarakat. Puspa Iptek menyediakan sarana belajar dan peragaan mengenai aplikasi Iptek di berbagai aspek kehidupan. Pada saat ini baru dikembangkan satu Puspa Iptek yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah. Sosialisasi untuk pengembangan sarana semacam ini sedang dilakukan untuk mendukung pembudayaan Iptek di daerah-daerah. Untuk meningkatkan pemahaman Iptek di berbagai kalangan baik di lembaga legislatif, jurnalis maupun masyarakat umum, telah dilaksanakan kegiatan pengkayaan ilmiah (Science Briefing). Melalui kegiatan ini diharapkan tercipta pemahaman yang benar mengenai peran teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, Insentif Sentra HaKI adalah bantuan yang diberikan kepada lembaga yang melakukan sosialisasi, litbang dan pemasaran hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Sampai saat ini baru dilakukan penyiapan dan penyebarluasan Panduan Sentra HaKI ke propinsi-propinsi, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga pemerintah. Tawaran insentif diberikan kepada 400 (empat ratus) institusi. Dari 39 (tigapuluh sembilan) proposal yang masuk, ditetapkan 11 (sebelas) unit Sentra HaKI yang dinilai layak mendapatkan insentif, yaitu Politeknik Negeri Lhokseumawe, KIAT (litbang pertanian), UGM, Undip, UI, ITB, IPB, ITTENAS, LIPI, APPI (Perkebunan) dan ITS. Insentif Oleh Paten merupakan insentif pendanaan yang diberikan kepada peneliti/perekayasa maupun masyarakat umum untuk pengurusan permohonan paten atas hasil-hasil penelitian yang inovatif dan berpotensi komersial tinggi. Setelah dilakukan penyiapan dan sosialisasi Panduan Oleh Paten ke seluruh Propinsi. Tawaran insentif diberikan kepada 400 (empat ratus) institusi. Dari 62 (enampuluh dua) proposal yang masuk, ditetapkan 32 (tigapuluh dua) usulan yang layak dibantu untuk diusulkan pendaftaran patennya. Insentif Asuransi Teknologi adalah bantuan polis asuransi untuk mengurangi resiko pemanfaatan dan pendayagunaan hasil litbang pada skala produksi komersial.
StanLab menyediakan bantuan untuk mempersiapkan laboratorium penguji dan kalibrasi, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, untuk medapatkan sertifikasi standardisasi. Dalam pelaksanaannya telah dilakukan penyusunan dan distribusi panduan, seleksi proposal, dan pembinaan standardisasi. Dari 205 (duaratus lima) usulan, sebanyak 38 (tigapuluh delapan) telah terpilih untuk mendapatkan pembinaan, dan telah dihasilkan 25 (duapuluh lima) laboratorium yang siap untuk diakreditasi. Siptekman merupakan bantuan pendampingan teknis dan manajemen yang dilakukan oleh perguruan tinggi maupun lembaga litbang kepada usaha kecil dan menengah. Sampai saat ini telah diselesaikan panduan dan sosialisasi di propinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sentra Promptek adalah bantuan pendanaan yang diberikan untuk pendirian atau penguatan pola manajemen promosi dan pemasaran Iptek di lembaga-lembaga penelitian untuk mendukung pemasyarakatan dan pemanfaatan Iptek. Sampai saat ini telah dilakukan penyusunan panduan, sosialisasi, serta kegiatan awal pemberian insentif.
Pemanfaatan Iptek di Daerah (Iptekda) adalah kegiatan utama dalam rangka pemasyarakatan hasil penelitian dan pengembangan secara langsung di masyarakat. Kegiatan tersebut dilakukan untuk meningkatkan penerapan teknologi tepat guna, sesuai kondisi serta potensi masyarakat dan daerah setempat, dengan penekanan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi. Dalam tahun 2000 telah didiseminasikan lebih dari 77 (tujuhpuluh tujuh) paket teknologi tepat guna di 13 (tiga belas) propinsi yang telah menunjukkan kontribusi terhadap pemanfaatan nilai tambah teknologi bagi ekonomi daerah. Dalam tahun 2001 ini, jumlah paket teknologi akan terus ditingkatkan dan dikembangkan wilayah sebarannya.
Untuk mendukung ketersediaan data statistik ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pada tahun 2001 dilaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain Survei Industri Besar dan Sedang, Survei Harga Konsumen, Survei Usaha Terintegrasi, Survey Angkatan Kerja Nasional, Penyusunan Neraca Nasional, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan Sensus penduduk 2000.
Survei Industri Besar dan Sedang, tahunan dan triwulanan, ditujukan untuk memperoleh data direktori perusahaan industri besar dan sedang, ketenagakerjaan, output, input, dan nilai tambah. Survei Harga Konsumen (bulanan) ditujukan untuk mengumpulkan data indeks harga konsumen (IHK) dan laju inflasi, sedangkan Survei Usaha Terintegrasi (Susi) untuk memperoleh data pokok seperti output, produksi, omset/pendapatan dan tenaga kerja dari  perusahaan/usaha kecil dan rumahtangga dalam setiap sektor.
Untuk memperoleh jumlah penduduk dan karakteristiknya serta gambaran keadaan ketenagakerjaan di Indonesia, dilakukan Sensus Penduduk 2000 dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Selanjutnya untuk memperoleh indikator sosial ekonomi rumahtangga dilaksanakan Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan pada bulan Pebruari 2000.


5.         Meningkatkan Investasi
5.1       Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri
Langkah kebijakan penanaman modal diupayakan melalui penataan kembali peraturan perundangan dan peningkatan pelayanan investasi. Upaya yang telah dan sedang dilakukan Pemerintah guna meningkatkan kepastian hukum di bidang penanaman modal, antara lain  merampungkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal (RUUPM) secepat mungkin, membuat peraturan-peraturan pendukung yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom serta mengkaji ulang peraturan lainnya dan menata kembali tentang prosedur dan tatacara penanaman modal dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Di samping itu Pemerintah juga melakukan pengembangan sistem informasi penanaman modal agar secara kelembagaan dapat mendukung tugas dan fungsi BKPM baik dalam aspek perencanaan, promosi, penilaian dan monitoring penanaman modal. Rancangan serta penyiapan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal akan memberikan iklim yang lebih kondusif bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia.
Dalam delapan bulan pertama tahun 2001 (Januari sampai dengan Agustus 2001) telah disetujui 872 proyek PMA dengan nilai investasi US$ 5,7 miliar. Ditinjau dari penyebaran bidang usaha yang diminati oleh investor adalah Perdagangan dan Reparasi 300 proyek, Jasa Lainnya 145 proyek serta Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronika 72 proyek.  Dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah Industri Kimia, Barang Kimia dan Farmasi US$. 1,7 miliar, Industri Kertas, Barang dari Kertas dan Percetakan US$ 0,72, Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronika US$. 0,46 miliar serta Jasa Lainnya US$. 0,41 miliar. Sementara itu, DKI Jakarta merupakan lokasi yang paling diminati oleh investor dengan jumlah proyek 402. Kemudian diikuti oleh Jawa Barat/Banten, Bali dan Riau masing-masing dengan jumlah proyek 212, 83 dan 63 buah proyek.
Selanjutnya, untuk kegiatan PMDN dari Januari sampai dengan Agustus 2001 disetujui 161 proyek dengan nilai investasi Rp. 43,9 triliun. Ditinjau dari penyebaran bidang usaha yang diminati oleh investor adalah Pengangkutan, Gudang dan Telekomunikasi 38 proyek, Industri Makanan 25 proyek dan Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi 13 proyek. Sementara itu, dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi Rp. 20,3 triliun (diantaranya Industri Methanol 1 proyek dengan nilai investasi Rp. 15,8 triliun), Industri Makanan Rp. 7,0 triliun serta Industri Kertas, Barang dari Kertas dan Percetakan Rp. 4,2 triliun (diantaranya Industri Kertas 3 proyek dengan investasi Rp. 3,2 triliun). Selanjutnya berdasarkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh investor Jawa Barat/Banten menempati peringkat teratas dengan jumlah 40 proyek. Kemudian diikuti oleh DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing berjumlah 26, 14, 13, 10 dan 10 buah proyek.
5.2       Pengembangan Pasar Modal
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang berhasil diidentifikasi, telah ditempuh berbagai langkah-langkah kebijakan dengan hasil-hasil yang dicapai sebagai berikut.
            Berkaitan dengan upaya memperkokoh institusi pasar modal, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah antara lain: pembenahan peraturan untuk mempersiapkan lembaga pengawas yang independen dengan konsep bergabung dengan pengawas jasa keuangan lainnya dalam LPJK, serta menyempurnakan dan melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal termasuk melalui penyempurnaan terhadap Undang-undang Pasar Modal. Selain itu, juga dilaksanakan peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang pasar modal; pemberdayaan pelaku pasar modal; penyederhanaan perijinan, persetujuan, pendaftaran dan pelaporan; pengharmonisan standar dan praktek pasar modal Indonesia dengan standar dan praktek internasional; serta peningkatan dan pengoptimalan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas dalam rangka efisiensi proses internal dan optimalisasi pelayanan publik.
Berbagai upaya lain juga dilakukan, antara lain pengembangan sistem informasi terpadu untuk memberikan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap informasi pasar modal. Selain itu, telah diterapkan sistem perdagangan tanpa warkat di Bursa Efek Jakarta yang diharapkan dapat meningkatkan likuiditas perdagangan dan efisiensi penyelesaian transaksi. Pelaksanaan berbagai pendidikan dan pelatihan serta pembinaan oleh asosiasi profesi dan Self Regulatory Organization (SRO) terhadap pelaku di pasar modal terus didorong untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia di pasar modal. Selanjutnya, dilakukan sosialisasi dan implementasi prinsip-prinsip good corporate governance secara menyeluruh kepada pelaku pasar modal terutama kepada perusahaan publik dan perusahaan efek.
            Dalam upaya peningkatan sisi penawaran, telah diperluas akses usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan pembiayaan usaha melalui pasar modal, serta dikembangkan instrumen utang obligasi dan derivatif. Sementara di sisi permintaan diupayakan untuk membangun basis pemodal dalam negeri baik pemodal perorangan maupun lembaga melalui akses pasar yang semakin meluas melalui pembangunan remote trading system dalam perdagangan saham, mendorong pembukaan cabang-cabang perusahaan efek anggota bursa di daerah, dan meningkatkan jumlah para analis pasar modal.
            Dalam kaitannya dengan pembenahan sistem keuangan serta mendukung proses rekapitalisasi perbankan, telah diwujudkan pasar sekunder bagi instrumen obligasi pemerintah tersebut. Hingga September 2001, posisi obligasi pemerintah tercatat di Bursa Efek Surabaya sebesar Rp. 400,4 triliun, dan sejumlah Rp. 64,1 triliun diantaranya dapat diperdagangkan oleh masyarakat. Nilai obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan tersebut mencapai 67 persen dari total pasar obligasi nasional. Obligasi pemerintah tersebut menawarkan nilai kupon yang kompetitif serta jangka waktu pengembalian yang relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan kredit perbankan.
Sementara itu, peran obligasi sebagai sumber pendanaan bagi dunia usaha terus meningkat. Dari tahun 1998 hingga 19 Oktober 2001, perbandingan nilai emisi obligasi yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder terhadap kredit perbankan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti yaitu sebesar 6 persen, 12 persen dan 11 persen. Peningkatan terjadi pada nilai emisi saham dan kredit perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan pasar saham terhadap sistem keuangan dan lembaga keuangan khususnya perbankan menunjukkan adanya efek saling menguatkan bukannya saling melemahkan (crowding out) antara satu dengan lainnya. Bila dibandingkan terhadap tahun 1999, nilai emisi saham dan kredit perbankan telah meningkat masing-masing sebesar 9,4 persen dan 19,5 persen (pada tahun 2000), serta sekitar 2,0 persen dan 7,0 persen pada kuartal ketiga tahun 2001.
5.3       Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Dalam rangka memantapkan proses restrukturisasi perusahaan negara dan mengatasi permasalahan di atas, pemerintah telah melakukan berbagai langkah kebijakan dimana hasilnya antara lain berupa:
a)                  Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tanggal 5 Juni 2001 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 146/KMK.05/2001 tanggal 27 Maret 2001 tentang Penilaian Calon Anggota Direksi BUMN yang merupakan komitmen pemerintah dalam penerapan pengelolaan perusahaan yang sehat (good corporate governance) di BUMN.
b)                  Program restrukturisasi dan privatisasi BUMN serta penerapan prinsip-prinsip good corporate governance di BUMN, telah memberikan dampak yang positif sebagaimana tercermin dari perkembangan realisasi penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN. Dalam tahun anggaran 1998/1999 realisasi penerimaan bagian laba pemerintah  mencapai Rp. 5.428,3 miliar atau 0,3 persen dari PDB. Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan tersebut meningkat menjadi Rp. 7.758,6 miliar atau 0,5 persen dari PDB, dan dalam tahun anggaran 2000 (kurun waktu 9 bulan) penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN mencapai Rp. 5.281,3 miliar atau 0,6 persen dari PDB. Untuk tahun anggaran 2001 jenis penerimaan ini direncanakan mencapai Rp. 9.000,0 miliar atau 0,6 persen dari PDB.
c)                  Sementara itu dari hasil privatisasi BUMN, untuk tahun anggaran 1999/2000 dari target penerimaan privatisasi sebesar Rp. 13 triliun, yang terealisasi sebesar Rp. 7,2 triliun. Sedangkan dalam tahun anggaran 2000/2001 dari target privatisasi sebesar Rp. 6,5 triliun, untuk tahun yang bersangkutan tidak diperoleh realisasi sama sekali. Untuk tahun anggaran 2001/2002, target privatisasi adalah sebesar Rp. 6,5 triliun. Pada bulan Mei 2001 PT. INDOFARMA berhasil menjual sahamnya kepada publik sebesar Rp. 180,0 miliar, namun hasil penjualan ini sepenuhnya masuk ke kas perusahaan dan bukan ke APBN.
d)                  Dalam upaya menjelaskan kebijakan pemerintah mengenai pembinaan BUMN kepada masyarakat, telah disusun Master Plan BUMN 2001 yang merupakan  revisi dari Master Plan BUMN  tahun sebelumnya (Mei 2000).


6.         Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi
            Walaupun di dalam penyediaan tenaga listrik masih mengalami kendala dengan adanya masalah keuangan, namun dalam jangka pendek diupayakan agar tingkat pelayanan dan penyediaan prasarana tenaga listrik berada pada tingkat yang wajar. Adapun ketersediaan tenaga listrik diusahakan  melalui percepatan proyek yang sedang berjalan. Dalam jangka   panjang diupayakan untuk melakukan restrukturisasi keuangan dan sektor ketenagalistrikan secara menyeluruh. 
            Kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dengan penyediaan tenaga listrik dilakukan melalui pengkajian kembali pembangunan prasarana tenaga listrik skala besar. Hasil pengkajian memperlihatkan beberapa proyek pembangunan yang mendesak tetap dilanjutkan pelaksanaan pembangunannya. Antara lain adalah  PLTA Besai (2 x 45 MW) di Propinsi Lampung untuk menanggulangi kekurangan daya di sistem Sumbagsel. Pembangunan transmisi pada sistem Luar Jawa tetap dilaksanakan, yaitu pembangunan transmisi 150 kV Muara Bungo-Jambi, transmisi 150 kV Ombilin-Kiliranjao dan transmisi 275 kV Muara Bungo-Kiliranjao. Untuk menghindari bottleneck penyaluran tenaga listrik pada sistem Jawa–Bali telah selesai dibangun transmisi 500 kV Paiton-Kediri dan transmisi 500 kV Ungaran-Klaten. Untuk pembangunan gardu induk pada tahun 2001 sebesar 1.295 MVA yang dilaksanakan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
            Pada sisi kapasitas pembangkit PLN mengalami peningkatan. Kapasitas pembangkit PLN sampai dengan Maret 2001 meningkat sebesar 146 MW. Walaupun kapasitas meningkat namun masih diperlukan tambahan penyediaan kapasitas pembangkit melalui penyelesaian renegosiasi dengan Independent Power Producers (IPPs), relokasi pembangkit khususnya PLTD dari daerah yang tidak kritis ke daerah kritis, serta pembelian kelebihan daya dari pembangkit-pembangkit captive power.
            Untuk menyalurkan tenaga listrik telah pula dilaksanakan pembangunan jaringan transmisi, gardu induk, gardu distribusi, jaringan tegangan menengah dan jaringan tegangan rendah. Dengan dibangunnya prasarana tersebut produksi dan penjualan tenaga listrik telah meningkat pula. Sampai dengan September 2001 produksi tenaga listrik  mencapai 68.400 GWh dan penjualannya mencapai 63.900 GWh. Demikian pula jumlah langganan meningkat menjadi sebesar 29 juta pelanggan.
            Dalam usaha penyediaan tenaga listrik pemerintah juga mengemban misi sosial sebagai upaya membantu golongan masyarakat kurang mampu dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.  Hal ini dilaksanakan melalui mekanisme pemberian subsidi.  Perkiraan subsidi listrik tahun 2001 sebesar 4.727 miliar rupiah.
            Sebagai upaya dalam mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan ditempuh kebijakan pembangunan listrik perdesaan. Hasil pelaksanaan pembangunan listrik perdesaan, sampai dengan September 2001 jumlah desa yang telah dilistriki bertambah sebesar 328 desa dan jumlah penambahan konsumen sebesar 170.262 konsumen. Sedangkan realisasi kerjasama dengan KUD sebanyak 4.684 KUD yang melayani 44.224 desa dengan 22,3 juta pelanggan.
            Sementara itu pada sisi pangsa penggunaan energi belum sepenuhnya melaksanakan diversifikasi energi. Hal ini terlihat bahwa pangsa penggunaan minyak bumi masih relatif tinggi dan terus meningkat. Sampai dengan September 2001 pangsa minyak bumi adalah sebesar 51 persen atau 82.857,9 ribu SBM.  Terhambatnya pelaksanaan diversifikasi disebabkan karena kebijakan pengaturan harga per jenis energi belum sesuai dengan nilai keekonomiannya. Hal ini terlihat bahwa masih diberikannya subsidi BBM yang semakin besar. Pada tahun 2001 pemerintah diperkirakan memberikan subsidi sebesar 53.700 miliar rupiah, sedangkan realisasinya sampai saat ini telah mencapai 38.630 miliar rupiah. Akibatnya, masyarakat dan dunia usaha tidak melihat adanya insentif di dalam penggunaan energi non-BBM.
Kebijakan selanjutnya adalah pelaksanaan restrukturisasi sektor energi termasuk ketenagalistrikan dengan memperhatikan perkembangan di berbagai belahan dunia dan mengakomodasikan semangat otonomi daerah. Pelaksanaan kebijakan melalui langkah-langkah (i) pemulihan kelayakan keuangan, (ii) memisahkan misi sosial dan misi komersial, (iii) menjadikan sektor tenaga lisrik lebih efisien dan lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen dengan cara menambah jumlah perusahaan bidang penyediaan tenaga listrik, memperkenalkan kompetisi serta memperkuat pengaturan serta (iv) meningkatkan efisiensi dan menyediakan sumber pendanaan baru, meningkatkan peranan swasta dengan cara yang transparan dan kompetitif.
Di sektor transportasi, kebijaksanaan pembangunan transportasi dalam mendukung upaya penanggulangan krisis dan pemulihan kondisi perekonomian adalah: mendukung program sektor-sektor ekonomi strategis; mempertahankan tingkat pelayanan, keamanan, dan keselamatan transportasi serta peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan jasa transportasi.
Langkah-langkah yang telah dilaksanakan untuk mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi, yaitu melalui pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi baik untuk moda transportasi jalan, kereta api, penyeberangan, laut dan udara. Selain itu, menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasarannya guna menjamin kelancaran distribusi sampai ke seluruh pelosok daerah yang terpencil, dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi usaha menegah kecil dan koperasi, namun tetap memperhatikan kualitas hasil pekerjaannya. Selain itu, dilakukan upaya optimalisasi kapasitas prasarana dan sarana yang ada, dan penajaman prioritas pelaksanaan program dan proyek-proyek pembangunan.
Program reformasi pembangunan sektor transportasi untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, dilaksanakan melalui peningkatan transparansi dan kompetisi yang sehat serta peletakan landasan iklim yang lebih “kondusif” agar mendorong peran serta swasta dan masyarakat di bidang pembangunan dan pelayanan jasa prasarana transportasi.
Selain itu tetap dilaksanakannya proses desentralisasi dalam sektor transportasi dan meredefinisi peran pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta peran serta swasta dan masyarakat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan dan penyelenggaraan jasa transportasi agar tercapai sistem transportasi nasional yang efisien, terpadu dengan pengembangan wilayah/daerah serta terjangkau, namun tetap dan dalam kerangka untuk mendukung persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia.
Hasil-hasil yang telah dilaksanakan untuk program peningkatan keselamatan lalu lintas angkutan jalan adalah melalui pembangunan rambu lalu lintas, pagar pengaman jalan, delineator, marka jalan dan lampu lalu lintas. Selain itu, guna mendukung mobilitas manusia dan distribusi barang di wilayah terpencil dan kawasan pedalaman, telah dilaksanakan penyediaan subsidi operasi angkutan bis perintis di 12 propinsi dan pengadaan bus perintis sebanyak 10 unit, serta upaya koordinasi antar instansi dalam upaya mengatasi permasalahan kelebihan muatan di jalan. Produktivitas lalu lintas angkutan jalan telah mulai meningkat pada tahun 2000, yaitu terjadi kenaikan jumlah armada bus sebesar 3,3 persen dari tahun 1999/2000, yaitu dari 645.000 menjadi 666.280 buah, demikian juga armada truk mengalami kenaikan 4,8 persen dari tahun 1999/2000, yaitu dari 1.629.000 buah menjadi 1.707.134 buah, mobil penumpang naik 4,9 persen dari 2.898.000 buah menjadi 3.038.918.000 buah
Program pembangunan perkeretaapian, selama tahun 2000 telah melaksanakan rehabilitasi/peningkatan jalan kereta api sepanjang 35,88 kilometer, dan 13 buah jembatan kereta api. Pada tahun 2000, produktivitas angkutan perkeretaapian mengalami kenaikan 4 persen (penumpang) dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 192,4 juta penumpang; sedangkan angkutan barang turun 2 persen menjadi 19,3 juta ton, namun perkiraan pada tahun 2001 akan mengalami kenaikan.
Selama tahun 2000, program angkutan sungai, danau dan penyeberangan melanjutkan pembangunan dermaga penyeberangan, pembangunan dermaga danau, dan dermaga sungai, serta lanjutan penyelesaian pembangunan 9 buah kapal penyeberangan. Subsidi pengoperasian kapal perintis tetap dilaksanakan di 64 lintas untuk melayani wilayah terpencil dan pedalaman. Pada tahun 2000, jumlah produksi angkutan penumpang, barang dan kendaraan melalui penyeberangan umumnya terjadi penurunan. Angkutan penumpang pada tahun 2000 adalah 34,4 juta orang, angkutan barang 12.456 ribu ton dan angkutan kendaraan 8,4 juta unit (turun 11,9 persen).
Pada tahun 2000, telah dilaksanakan langkah-langkah kebijakan untuk mengevaluasi kembali proyek-proyek pembangunan yang ada di subsektor transportasi laut. Dari evaluasi tersebut proyek-proyek yang tidak mendesak dan tujuannya meningkatkan kapasitasnya ditunda. Di bidang pengembangan armada pelayaran telah diupayakan untuk memperkuat armada pelayaran nasionalnya. Usaha tersebut diwujudkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang angkutan di perairan yang ditujukan untuk memperkuat armada pelayaran nasional. Peraturan Pemerintah tersebut yang akan diberlakukan pada bulan Oktober 2001. Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mensyaratkan perusahaan angkutan laut harus memiliki setidaknya 1 kapal berukuran GT 5000, bersama-sama dengan ketentuan 3 ALKI dapat digunakan untuk menegakkan asas “cabotage” karena kapal-kapal asing hanya boleh berlayar di ketiga alur pelayaran tersebut. Apabila ada kapal asing yang mengangkut cargo dalam negeri yang melakukan pelayaran di luar 3 alur tersebut, kapal tersebut bisa ditahan dan dikenai denda. Untuk menerapkan ketentuan ALKI tersebut, pemerintah diwajibkan memasang beberapa sarana bantu navigasi di ketiga alur tersebut. Pada tahun 2000 telah ditandatangani pinjaman dari Jerman (KfW) (L.A. Nomor 1999.65.450) untuk pengadaan sarana bantu navigasi dan kontrak pembangunannya telah dilakukan pada bulan Juni 2001.
Sementara itu sasaran program keselamatan pelayaran kebijakannya adalah mempertahankan tingkat kedalaman alur pelayaran dan merehabilitasi baik sarana bantu navigasi maupun kapal-kapal navigasi serta melengkapi sarana bantu navigasi yang diperlukan di ketiga ALKI yang telah ditetapkan. Dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran, pada tahun 2000 telah dilakukan persiapan pemasangan sarana bantu navigasi yang akan diperoleh dari dana pinjaman dari Jerman. Sedangkan rehab kapal-kapal navigasi telah dilakukan masing-masing sebanyak 1 unit pada tahun 2000. Di samping itu pada tahun 2000 telah diadakan 4 unit pelampung suar.
Jumlah armada pelayaran nasional pada tahun 2001 tidak mengalami banyak perubahan dan relatif masih tetap sama. Misalnya pada tahun 2000 jumlah armada pelayaran nusantara sebanyak 4.147 unit dengan ukuran 5.143.786 DWT, dan jumlah armada pelayaran rakyat sebanyak 2.530 dengan ukuran 306.124 GRT, serta armada pelayaran luar negeri sebanyak 33 unit dengan kapasitas 169.812 DWT pada tahun 2001 masih tetap sama.
Sementara itu, untuk angkutan penumpang PT. PELNI menunjukkan peningkatan, yaitu pada tahun 2000 sebanyak 27 unit dengan kapasitas 60.940 DWT pada tahun 2001 bertambah 1 unit kapal penumpang type 2000. Sementara itu pada tahun 2000 armada pelayaran perintis mengalami penurunan karena dari 37 trayek yang direncanakan akan dilayani, hanya bisa dilayani sebanyak 36 trayek pelayaran perintis. Hal ini disebabkan tidak adanya perusahaan pelayaran yang mau melayani trayek tersebut, yakni trayek di Irian Jaya. Pada tahun 2001 telah direncanakan akan dilayani 48 trayek pelayaran perintis dengan total 22.600 DWT, namun sampai akhir bulan Juli 2001 baru dilayani 39 trayek.
Kebijaksanaan yang dilakukan dalam meningkatkan pelayanan angkutan udara kepada masyarakat pengguna maupun penyedia jasa transportasi udara adalah mempertahankan tingkat pelayanan melalui rehabilitasi prasarana bandar udara, fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, pengawasan terhadap kelaikan pesawat udara, Di samping itu, melanjutkan pengoperasian penerbangan perintis dengan prioritas pada lokasi terpencil dan pedalaman yang belum dapat dilayani oleh moda transportasi lain. Pengembangan prasarana transportasi udara dilakukan secara selektif dalam upaya memenuhi kapasitas beberapa bandar udara, dan pemasangan peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan serta peralatan pengatur lalu lintas penerbangan dalam rangka meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan. Pembangunan bandar udara pada daerah terpencil dan pedalaman juga mendapat perhatian dalam upaya membuka aksesibilitas masyarakat untuk kegiatan ekonomi maupun pemerintahan.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan kebebasan kepada perusahaan penerbangan untuk menentukan jenis pesawat yang dipergunakan dengan tetap memperhatikan standar kelaikan dan keselamatan penerbangan nasional maupun internasional. Kebijaksanaan ini merupakan perubahan kebijaksanaan sebelumnya di mana sejak tahun 1980 perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan produk dalam negeri dan pengecualian dari ketentuan yang berlaku harus mendapat persetujuan pemerintah. Kesempatan berusaha di bidang pelayanan penerbangan juga semakin besar dengan dibukanya kesempatan yang lebih luas dan sama kepada perusahaan pemerintah maupun swasta nasional untuk mendirikan perusahaan penerbangan baik yang beroperasi di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kebijaksanaan ini telah mendapat sambutan yang positif dari pengusaha nasional dengan bertambahnya 14 perusahaan penerbangan nasional berjadwal baru, dimana 7 perusahaan diantaranya telah beroperasi. Saat ini jumlah perusahaan penerbangan nasional berjadwal yang telah beroperasi menjadi 12 perusahaan. Bertambahnya jumlah perusahaan penerbangan akan berdampak terhadap persaingan yang keras dan terdapat kekhawatiran perusahaan penerbangan hanya mengutamakan pada rute-rute yang menguntungkan. Perusahaan penerbangan juga dituntut untuk lebih efisien, efektif, dan dapat melakukan terobosan-terobosan dalam pengelolaan perusahaan melalui kerjasama antar perusahaan penerbangan sehingga masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan dan tarif yang menguntungkan. Namun dilain pihak dengan semakin dekatnya pemberlakuan pasar global yang cenderung terbentuknya aliansi perusahaan penerbangan dunia, kebijaksanaan yang ditempuh dikhawatirkan justru memperlemah daya saing perusahaan penerbangan nasional.
Program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN serta kejelasan peran pemerintah dan BUMN sektor transportasi, tetap dilanjutkan antara lain dengan penyempurnaan penerapan pola pendanaan Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance and Operation (IMO), dan Track Access Charges (TAC) guna peningkatan akuntabilitas dan efisiensi dalam peran dan tanggung jawab pendanaan pemerintah maupun perusahaan/badan penyelenggara di bidang perkeretaapian. Selain itu proses “unbundling” secara horizontal (wilayah regional) maupun vertikal (lini bisnis) dalam program restrukturisasi organisasi PT Kereta Api Indonesia (Persero) dipersiapkan guna meningkatkan efisiensi, akuntabilitas serta untuk meningkatkan peluang kerjasama dengan swasta. Unit-unit usaha untuk angkutan udara juga telah dilaksanakan melalui proses “unbundling” menjadi beberapa unit bisnis strategis sehingga menjadi lebih terfokus, “independent” dan menguntungkan. Privatisasi armada angkutan udara dilakukan dengan “strategic placement” atau “Initial Public Offering” (IPO) untuk mencapai skema yang kompetitif dan menguntungkan negara. Selanjutnya program swastanisasi BUMN di bidang transportasi laut untuk operasi terminal peti kemas pelabuhan laut di Tanjung Perak dan Tanjung Priok telah diupayakan dalam rangka menciptakan kompetisi dalam pelayanan jasa kepelabuhanan.
            Di bidang meteorologi dan geofisika, walaupun belum memenuhi kebutuhan, namun selalu diupayakan program peningkatan pelayanan melalui pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana serta sumber daya manusia operasional meteorologi dan geofisika. Sedangkan di bidang pencarian dan penyelamatan, secara terus menerus dioptimalkan peningkatan SDM dan fasilitas serta peralatan pertolongan dan penyelamatan, peralatan komunikasi dan peralatan medis SAR. Selain itu, juga ditingkatkan latihan-latihan keterampilan SAR baik yang bersifat lokal maupun internasional untuk meningkatkan kemampuan petugas-petugas SAR dan pelayanannya.
Di sektor telekomunikasi, selama satu tahun terakhir pemerintah terus melaksanakan deregulasi terhadap faktor-faktor yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan, serta menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih kompetitif dan transparan dengan menghilangkan praktek-praktek monopoli dan persaingan tidak sehat berdasarkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989. Untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang tersebut yang dimulai pada September 2000, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dari sisi penyelenggara juga telah dilakukan beberapa langkah untuk mengurangi dampak krisis, antara lain berupa penundaan dan bahkan penghentian proyek yang tidak cepat menghasilkan, serta pengembangan inovasi produk jasa telekomunikasi yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah telah membatalkan lisensi yang bernuansa KKN dan melaksanakan pemberian lisensi secara terbuka. Sehubungan dengan terminasi dini hak eksklusivitas PT. Telkom dan PT. Indosat, sebagai kompensasi Pemerintah telah memberikan izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi nasional, serta izin prinsip penyelenggaraan jaringan untuk sambungan langsung jarak jauh dan DCS 1800 kepada PT. Indosat. Sedangkan kepada PT. Telkom, Pemerintah memberikan izin prinsip penyelenggaraan jaringan untuk sambungan langsung internasional dan DCS 1800.
Guna memanfaatkan proses konvergensi antara teknologi telekomunikasi dan informatika untuk menunjang sektor ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 untuk memperkuat Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang telah dibentuk sejak tahun 1997. Diharapkan TKTI ini melanjutkan pengembangan dan implementasi telematika (telekomunikasi, media dan informatika) guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat terhadap kemajuan telematika dan daya saing dunia usaha.
Pada bulan April 2001 juga telah diterbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Rencana tindak (action plan) Inpres Nomor 6 Tahun 2001 ini telah disiapkan meliputi berbagai aspek dalam telematika seperti hukum dan pengaturan, pengembangan SDM, prasarana dan aplikasi baik untuk pemerintah maupun swasta.
Selanjutnya, upaya pengembangan telematika ditempuh antara lain melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, penataan kelembagaan, peningkatan akses terhadap informasi, serta pengembangan dan peningkatan pemanfaatan prasarana telematika. Dalam dua tahun terakhir juga terlihat peningkatan jumlah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dan lulusan di bidang telematika. Demikian pula jumlah pengguna internet dan penyajian informasi melalui multimedia yang telah meningkatkan akses terhadap informasi.

7.         Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan
Advokasi dan sosialisasi kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi kelautan terus ditingkatkan. Untuk itu, dukungan prasarana dalam pembangunan bidang kelautan sangat diperlukan terutama prasarana yang menghubungkan daerah produksi dengan daerah pemasaran di darat.
Dalam rangka pemberdayaan nelayan dan petani ikan serta masyarakat pesisir lainnya, di bidang kelautan dilaksanakan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penyediaan kemudahan/fasilitas permodalan. Selain itu dilakukan pula peningkatan akses informasi dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, peningkatan akses pasar, dan peningkatan keselamatan melalui pengenalan program asuransi. Bantuan permodalan yang disediakan pada tahun 2001 untuk kegiatan kelautan melalui kredit ketahanan pangan sebesar Rp 43,5 miliar, sedangkan realisasi yang telah dicapai dalam kuartal I adalah  sebesar Rp 1,4 miliar.
Di bidang pengelolaan sumber daya kelautan, peningkatan faktor produksi kelautan seperti pemberian ijin pemanfaatan perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) kepada pihak asing diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi karena berbagai kendala, sasaran untuk memanfaatkan sumber daya ikan di perairan ZEE Indonesia ini belum dapat dicapai. Pengenalan penggunaan teknologi tinggi seperti penggunaan satelit untuk monitoring dan evaluasi direncanakan untuk dikembangkan. Selain peningkatan pengawasan dan pengendalian di dalam negeri, telah  dilaksanakan pula pengawasan bersama di tingkat internasional, antara lain melalui kerjasama regional dengan Philipina dan Australia untuk penelitian perairan ZEEI Laut Sulawesi.
Dalam rangka menuju pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, dilakukan upaya penataan pengelolaan wilayah pesisir yang dilandasi dengan peraturan perundangan yang jelas. Pada saat ini sedang disusun Rancangan Undang Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang mengakomodasi berbagai kepentingan publik melalui pengembangan forum konsultasi publik di daerah dan nasional.
Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan di bidang kehutanan, maka telah dilaksanakan beberapa tindakan, seperti pengendalian penebangan kayu secara liar diadakan operasi represif di wilayah rawan penebangan dan peredaran hasil hutan, serta penertiban penggergajian kayu liar dan operasi intelijen terhadap kegiatan penebangan ilegal dan peredaran hasil hutan ilegal. Untuk memperkuat upaya ini telah dikeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di kawasan ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting.
Langkah-langkah yang telah ditempuh dalam menangani kebakaran hutan adalah pemberian peringatan dini terhadap para pihak di wilayah rawan kebakaran, memantau dan mensosialisasikan data titik api (hot spot) melalui sarana komunikasi, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan serta antisipasi musim kemarau panjang melalui kampanye dan dialog, serta pemantapan Brigade kebakaran hutan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
Untuk menanggulangi perambahan hutan telah dilakukan penyelesaian penataan batas dan penetapan kawasan hutan pasca paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), pengukuhan seluruh kawasan hutan dan kawasan perairan dengan peraturan perundangan, menertibkan kawasan perkebunan yang diterlantarkan yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, dan memfasilitasi terbentuknya kelompok tani hutan kemasyarakatan.
Dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan telah ditempuh langkah-langkah penyempurnaan data dan informasi lokasi rehabilitasi hutan dan lahan indikatif, memfasilitasi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah, menyusun rencana induk rehabilitasi areal eks HPH, melaksanakan penanaman pengayaan areal bekas tebangan, membangun hutan tanaman jenis meranti dan jenis andalan lokal, membangun hutan tanaman industri untuk kayu pertukangan dan pulp, mengembangkan kelembagaan perbenihan dan pembibitan tanaman hutan, membangun percontohan/model manajemen sumber benih dan bibit tanaman hutan yang bermutu tinggi, mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi pengelolaan DAS, dan memfasilitasi pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove.
Selanjutnya, dalam rangka optimalisasi pemanfaatan bahan baku kayu dilakukan upaya pengembangan teknologi pembalakan (logging) dan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan yang dapat menurunkan limbah (waste); rasionalisasi manajemen industri pengolahan kayu; serta  kebijakan yang membuka peluang usaha hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan bagi masyarakat, baik secara swadaya maupun sebagai pemegang ijin usaha.
Untuk meningkatkan kontribusi sumber daya hutan kepada masyarakat dilakukan reformulasi kebijakan pemanfaatan sumber daya hutan yang lebih berorientasi kepada community-based management, memfasilitasi tumbuhnya sentra-sentra produksi perdesaan dan mengembangkan sistem pengawasan partisipatif dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
            Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dilakukan dalam bentuk kegiatan yang dapat mendorong partisipasi dan pengembangan swadaya masyarakat, seperti pembangunan unit percontohan, plot demonstrasi atau areal model dengan fokus kepada kegiatan fisik yang mudah dicontoh dan diterapkan masyarakat.  Kegiatan penghijauan mulai tahun 2000 sampai dengan kuartal pertama tahun 2001 dilaksanakan di 25 Propinsi mencakup 220 kabupaten, dengan kegiatan meliputi penanaman input langsung 42,4 ribu Ha, penghijauan areal dampak 445,7 ribu Ha, penghijauan swadaya seluas 23,5 ribu Ha, dan pemeliharaan tanaman seluas 12,4 ribu Ha.
            Dalam rangka pelestarian sumber daya air, kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air ditujukan untuk meningkatkan pemanfaatan dan produktivitas sumber-sumber air dengan mewujudkan keterpaduan pengelolaan yang menjamin kemampuan keterbaharuan serta pengaturan berbagai kelembagaan dan peraturan perundang-undangan. Secara spesifik kebijakan tersebut diarahkan untuk: (1) memberikan priortias pada kebutuhan pokok penduduk akan air secara adil untuk kehidupan yang sehat, bersih dan produktif; (2) meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyediaan serta penggunaan air irigasi untuk mendukung produksi pangan; dan (3) melaksanakan pendayagunaan sumberdaya air untuk mendukung perkembangan ekonomi dengan mempertimbangkan kepentingan antar sektor, wilayah dan dampak jangka panjang.
Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, kewenangan  pengelolaan sumber daya alam mineral dalam tahun 2000 telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Sementara itu, dalam menjaga iklim investasi yang kondusif melalui penciptaan iklim usaha, jaminan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan, sehingga terdapatnya kesinambungan pengusahaan sumber daya mineral, maka terhitung sejak tanggal 6 Nopember 2000 permohonan baru Kuasa Pertambangan (KP) telah dapat diajukan langsung kepada Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.  Sejalan dengan itu Pemerintah Pusat hanya akan melaksanakan fungsi inventarisasi potensi sumber daya mineral dan energi serta air bawah tanah.
            Dalam rangka melaksanakan fungsi inventarisasi tersebut, telah dilaksanakan pemetaan geologi dan geofisika bersistem, pemetaan geologi teknik dan tata lingkungan, pemetaan hidrogeologi, penyelidikan eksplorasi potensi bahan galian mineral dan panas bumi, dan penelitian geologi untuk pencarian potensi baru sumber daya mineral dan energi. Disamping itu juga telah dilakukan pendataan terhadap cadangan mineral logam utama yang tersedia dalam jumlah besar yaitu : nikel, timah, besi, bauksit dan tembaga. Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi adanya kegiatan pertambangan tanpa ijin telah dilakukan penindakan tegas dan sanksi pidana, penyitaan hasil produksi penambangan liar, serta pembatalan ijin bagi pemegang kontrak penambangan yang melakukan kegiatan penambangan liar.

C.        Tindak Lanjut yang Diperlukan

1.         Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1       Penanggulangan Kemiskinan
Untuk menjawab berbagai permasalahan sebagaimana yang tersebut di atas maka pemerintah perlu melaksanakan berbagai program penangulangan kemiskinan yang berkaitan dengan 3 agenda penanggulangan kemiskinan, namun demikian program khusus yang bersifat langsung dalam rangka penanggulangan kemiskinan antara lain meliputi: (1) Program Penyediaan kebutuhan Pokok Keluarga Miskin, (2) Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin, (3) Program Pengembangan Ekonomi Lokal, (4) Program Pembangunan Wilayah Tertinggal.
1.2       Pembangunan Ketenagakerjaan
           Dalam rangka menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan, diperlukan berbagai upaya untuk menindaklanjuti kebijaksanaan yang telah ada. Dalam bidang pelatihan, diperlukan adanya standar kualifikasi keterampilan dan sertifikasi kompetensi yang efektif dan diakui oleh pihak pengguna atau dunia industri.  Pemerintah akan  mendorong tersedianya standar kualifikasi keterampilan yang memudahkan pihak penyelenggara pelatihan dalam menetapkan muatan latihan yang dituangkan dalam program latihan. Koordinasi dan keterpaduan pelatihan lintas sektor termasuk  tenaga kerja ke luar negeri terus diupayakan.
            Untuk mengantisipasi TKI yang akan, sedang, dan kembali dari penempatan di luar negeri yang sering menimbulkan banyak persoalan, perlu dilakukan evaluasi dan menyempurnakan mekanisme seleksi, bimbingan, pembinaan dan  penempatan terhadap calon TKI yang lebih ketat. Kegiatan ini  akan lebih ditingkatkan dalam memberikan pengawasan dan perlindungan yang lebih  baik.  Perbaikan terhadap sistim pelayanan yang ada selama ini harus terus diperbaiki, serta meningkatkan kerjasama antar instansi terkait.
            Berkaitan dengan masalah hubungan industrial, pemerintah akan lebih mendorong peran dan fungsi lembaga Bipartit dan Tripartit, sebagai sarana komunikasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pengawasan dan perlindungan terhadap penerapan hak-hak dasar pekerja antara lain meliputi aspek pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, dan mengupayakan perselisihan industrial secara cepat, tepat, adil dan konsisten. Sosialisasi bentuk-bentuk konvensi, Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah serta Keputusan Menakertrans yang berkaitan dengan kepentingan pekerja dan pengusaha perlu lebih ditingkatkan.
Memperhatikan aspirasi yang terus berkembang dimasyarakat, diperlukan pembaharuan hukum ketenagakerjaan. Berkaitan dengan itu, pembahasan  Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial dan RUU Pembinaan Perlindungan Ketenagakerjaan  akan diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
1.3       Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Pengembangan sistem dana jaminan sosial yang merupakan kegiatan lintas sektor, terus diupayakan untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin, anak terlantar, lanjut usia dan penderita cacat dari keadaan terganggunya tingkat pendapatan atau konsumsi. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan guna penyempurnaan sistem dana jaminan sosial antara lain: (1) mengembangkan sistem jaminan sosial yang sudah ada di masyarakat; (2) menelaah, mengkaji, dan merumuskan kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka menyelenggarakan program sistem jaminan sosial nasional yang meliputi kelembagaan, program, perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan lainnya.
1.4       Pengembangan Pertanian, Pangan, dan Pengairan
            Dampak krisis ekonomi  saat sekarang merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk kembali mengandalkan pembangunan yang berbasis pertanian dan perdesaan. Momentum ini merupakan kesempatan untuk lebih mewujudkan pengembangan sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan kehutanan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat pertanian dan nelayan, serta pemantapan kelestarian swasembada pangan, sekaligus mendukung upaya program percepatan penghapusan kemiskinan.  Upaya tersebut dilakukan melalui: (1) penumbuhan dan pemantapan sentra agribisnis komoditas unggulan pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan; (2) pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan; (3) pembangunan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pertanian; serta (4) pemberdayaan petani dan nelayan dalam penerapan teknologi.  Secara spesifik upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan produktivitas usahatani melalui peningkatan mutu dan perluasan areal intensifikasi, menjamin ketersediaan dan distribusi benih unggul dan sarana produksi, memperbaiki pengelolaan pasca panen dengan pengembangan dan penggunaan alat dan mesin pertanian, serta meningkatkan penerapan teknologi konservasi.
Untuk pembangunan kehutanan kebijakan yang ditempuh dalam upaya penegakan hukum melalui inventarisasi berbagai peraturan di bidang kehutanan.  Upaya ini dilakukan untuk memberi kepastian hukum dalam pembangunan kehutanan dan pencegahan penyimpangan dan penyelewengan, serta pemberantasan KKN.  Salah satu bentuk peraturan yang telah dilakukan adalah diterbitkannya Inpres  Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal; pemanfaatan hutan produksi melalui konsep Sustainable Forest Management; dan penghentian konversi hutan untuk kegiatan non kehutanan guna mempertahankan luas hutan.
Sementara itu tindak lanjut dalam pembangunan pengairan ditujukan untuk: (1) pemantapan kemandirian pengelolaan jaringan irigasi oleh organisasi masyarakat pengelola air; (2) pengelolaan jaringan pengairan berdasarkan aspirasi dan partisipasi organisasi masyarakat pengelola air bersama pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan rawa; (3) pengembangan pertanian dan perdesaan secara terpadu melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi jaringan irigasi/rawa; dan (4) penyempurnaan kebijaksanaan pengelolaan jaringan irigasi.

2.         Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi
Pembangunan UKMK adalah upaya perubahan struktural, sehingga,  pengembangannya  memerlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan keterlibatan seluruh pelaku terkait secara penuh.  Kuncinya adalah komitmen yang harus dibangun bersama dan dilaksanakan secara konsisten oleh masing-masing unsur. Untuk itu peran pemerintah sebagai fasilitator dan dinamisator harus ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dalam rangka pengembangan iklim usaha yang kondusif, terutama dalam mengupayakan penyempurnaan berbagai regulasi dan menghilangkan berbagai beban biaya serta hambatan yang kontraproduktif, baik di tingkat nasional, antardaerah dan daerah.
Untuk meningkatkan akses UKMK terhadap sumberdaya finansial, tindak lanjut yang diperlukan adalah perkuatan lembaga keuangan mikro (LKM), dan lembaga sekundernya untuk mendukung usaha mikro, dan perluasan skim penjaminan kredit di tingkat lokal. Sedangkan peningkatan akses terhadap sumberdaya non-finansial ditempuh dengan peningkatan kapasitas dan jaringan penyedia jasa pengembangan usaha, termasuk di bidang jasa pengembangan teknologi, pemasaran, dan informasi.  Perkembangan institusi-institusi pendukung tersebut perlu dipercepat dan meluas ke seluruh daerah dengan dukungan insentif yang wajar sebagai stimulan, terutama untuk dikembangkan sebagai usaha yang layak bagi dunia usaha dan masyarakat, disertai dengan dukungan penguatannya.
Peningkatan kualitas SDM perlu didukung oleh peningkatan peran pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan dunia usaha/masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pelatihan, serta upaya pengembangan jenis dan penyempurnaan  metoda pelatihan sehingga mengakomodasi perkembangan teknologi dan memenuhi kebutuhan UKMK setempat. Upaya lanjutan dalam pengembangan kewirausahaan antara lain meliputi pembudayaan jiwa dan semangat kewirausahaan sedini mungkin pada dunia pendidikan; dan  penajaman  penyediaan sistem insentif dan skim pendanaan khususnya untuk mendorong tumbuhnya usaha berbasis teknologi dan berorientasi ekspor. Sementara itu pengembangan keunggulan kompetitif perlu tindakan lanjut antara lain melalui penguasaan teknologi dan manajeman UKMK serta pengembangan jaringan usaha untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. UKM juga memerlukan pendidikan lebih lanjut mengenai manfaat ekonomi berkoperasi untuk meningkatkan efisiensi, skala usaha dan posisi rebut tawar, terutama pendidikan anggota koperasi.

3.         Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1       Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas Ekonomi
Proses pemulihan ekonomi selanjutnya akan tergantung oleh tingkat kepercayaan masyarakat. Kecenderungan melemahnya rupiah, meningkatnya suku bunga SBI, meningkatnya inflasi, melambatnya pertumbuhan ekspor nonmigas, masih tingginya ketidakstabilan politik dan keamanan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya guna mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat dan mempercepat proses pemulihan ekonomi.
Meningkatkan stabilitas ekonomi terutama untuk mengurangi tekanan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang semakin baik. Stabilitas ekonomi juga perlu ditingkatkan melalui konsistensi kebijakan ekonomi makro termasuk dengan mengurangi announcement effect yang berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM dan penyesuaian harga barang dan jasa lainnya yang dikendalikan pemerintah.
Memelihara ketahanan fiskal terutama dalam upaya menutup defisit anggaran tahun 2001 melalui peningkatan sisi penerimaan dan pengendalian sisi pengeluarannya. Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara khususnya pajak perlu diperhatikan prinsip-prinsip keadilan yang dalam pelaksanaannya tidak justru menghambat proses pemulihan ekonomi.
Mempercepat program restrukturisasi utang perusahaan dan memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Percepatan program restrukturisasi utang swasta dimaksudkan agar perusahaan yang dihadapkan pada masalah utang segera dapat menjalankan kegiatannya dan memperoleh kepercayaan kembali dari pihak kreditur. Adapun dorongan bagi pulihnya fungsi intermediasi perbankan dimaksudkan agar sektor keuangan secepatnya dapat mendukung kegiatan perekonomian. Kesinambungan investasi tidak dapat dipertahankan tanpa dukungan lembaga keuangan yang kuat.
Dengan memperhatikan prospek ekonomi pada triwulan-triwulan ke depan dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai tantangan yang muncul, kebijakan moneter akan diupayakan untuk dapat dilaksanakan secara konsisten. Untuk menyerap kelebihan likuiditas, instrumen moneter yang digunakan adalah  kombinasi antara Operasi Pasar Terbuka, sterilisasi valas, dan intervensi rupiah dengan berpegang teguh pada prinsip pengendalian inflasi ke depan (forward looking price stabilization) tanpa mengorbankan proses pemulihan ekonomi yang telah berjalan. Penyerapan likuiditas akan dilakukan secara berhati-hati dengan terus menjaga suku bunga yang terbentuk agar tetap memberikan sinyal positif  bagi perekonomian. Dalam hal ini, kenaikan suku bunga yang berlebihan akan dihindari karena akan menciptakan ekspektasi negatif terhadap kelangsungan proses pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi eksternal, dalam rangka meningkatkan daya saing perekonomian pada umumnya dan komoditi ekspor pada khususnya perlu dihindari campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam bentuk perlindungan baik berupa tarif maupun nontarif.  Penurunan tarif impor diperlukan untuk meningkatkan daya saing mengingat banyak komoditi ekspor nasional yang menggunakan bahan baku impor.
Upaya lain untuk meningkatkan ekspor antara lain adalah menyederhanakan prosedur keluar masuk barang di pelabuhan, meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara kebijakan dan institusi terkait, meningkatkan efisiensi sehingga tercapai peningkatan daya saing terutama dengan negara-negara di Asia, dan diversifikasi produk ekspor nonmigas.
3.2       Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara
Upaya peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara  diarahkan untuk mencapai kesinambungan fiskal ditempuh dengan peningkatan penerimaan, menekan biaya restrukturisasi perbankan, menghapus subsidi secara bertahap terutama yang tidak terarah (untargeted subsidy), mengendalikan peningkatan anggaran belanja pegawai, mengupayakan penjualan aset program restrukturisasi perbankan semaksimal mungkin, mengoptimalkan penerimaan dari privatisasi BUMN, serta memantapkan tahapan desentralisasi agar searah dengan upaya menjaga kestabilan ekonomi makro.
Beban berat dari pembayaran pokok dan bunga pada utang luar negeri pemerintah; dan upaya percepatan pencairan pinjaman program dan penyerapan proyek pinjaman luar negeri merupakan hal yang perlu dicarikan jalan pemecahannya. Sehingga untuk itu pemerintah perlu melakukan langkah-langkah tindak lanjut, antara lain. Pertama, langkah terobosan yang harus segera dilaksanakan dalam upaya mempercepat pencairan dana terhadap pinjaman program tersebut secara umum adalah dengan mempercepat proses pembahasan dengan DPR, menyelesaikan peraturan-peraturan yang telah menjadi komitmen, dan melakukan renegosiasi dengan donor untuk memperoleh keringanan persyaratan. Kedua, perlunya stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sehingga menciptakan kondisi yang kondusif untuk melaksanakan proyek dengan baik dan tepat waktu karena proyek-proyek tersebut disusun untuk kondisi stabil. Ketiga, untuk proyek non fisik (bersifat pendidikan, latihan, dan kesehatan) perlu dilakukan renegosiasi dengan donor untuk memperoleh keringanan syarat sehingga selain pelaksanaan proyek lancar, manfaat dari proyek dapat segera dinikmati masyarakat yang sangat membutuhkan khususnya akibat krisis yang berkepanjangan. Keempat, perlunya sosialisasi ke daerah mengenai pinjaman luar negeri tentang guidelines, prosedur dan peraturan yang harus dipenuhi dari donor sehingga daerah benar-benar paham mengenai manfaat maupun bebannya. Keempat, menyelesaikan dan mempercepat pengajuan replenishment ke donor untuk proyek-proyek yang mengalami back-log cukup lama sehingga mengurangi beban rekening Sub-BUN. Kelima, mengintensifkan komunikasi dengan kreditor dan IMF untuk penyelesaian restrukturisasi utang luar negeri pemerintah dan memperlancar pencairan utang. Keenam, meningkatkan kemampuan manajemen utang pemerintah luar negeri. Ketujuh, mencari alternatif pembiayaan untuk mengganti beban kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri.
3.3       Pengembangan Lembaga Keuangan
Langkah kebijakan pengembangan lembaga keuangan secara umum bersifat jangka menengah. Dalam tahun 2001 ini, langkah yang akan ditempuh adalah dengan melanjutkan upaya penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan bank. Di samping itu,  juga terus dipersiapkan langkah-langkah untuk membentuk lembaga penjamin simpanan dan lembaga pengawas jasa sektor keuangan. Adapun pembentukan LPS dan LPJK akan ditentukan pada saat yang tepat, dengan persiapan untuk itu tetap mendapatkan prioritas utama.
3.4       Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha
Di bidang perbankan, kebijakan ke depan akan tetap difokuskan pada upaya pemulihan fungsi intermediasi perbankan nasional. Upaya pemulihan fungsi intermediasi perbankan ditempuh dengan mendorong bank-bank yang berada di bawah kendali pemerintah untuk lebih banyak menyalurkan kredit terutama ke sektor UKM. Di sisi yang lain, upaya ini ditempuh juga dengan menciptakan secondary market bagi obligasi pemerintah agar bank-bank rekapitalisasi dapat mengatasi kesulitan likuiditasnya sehingga dapat menjalankan fungsi intermediasi bank. Secara khusus,  akan diperrketat pengawasan terhadap bank-bank yang diperkirakan tidak memenuhi CAR 8 persen pada akhir tahun 2001.
Sementara itu program pemantapan ketahanan sistem perbankan dilanjutkan, dengan fokus pada good corporate governance, dan pengembangan pengawasan bank yang didasarkan atas resiko (risk based supervision), serta penyempurnaan ketentuan perbankan. Pelaksanaan good corporate governance dilaksanakan antara lain melalui fit and proper test terhadap pemilik dan pengurus bank (new entry) serta pengangkatan direktur kepatuhan (compliance director). Adapun penerapan risk based supervision dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan membatasi serta mengeliminasi risiko-risiko yang berhubungan dengan pengelolaan kegiatan usaha bank seperti risiko likuiditas, kredit, perubahan suku bunga, nilai tukar, dan transaksi.
Program utama lainnya adalah mempercepat restrukturiasi kredit baik yang dilakukan bank sendiri maupun melalui BPPN, Prakarsa Jakarta dan Satgas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia. Sasaran langkah tersebut adalah menekan jumlah NPLs  menjadi sekitar 5 persen pada akhir tahun 2001.
Dengan masih terdapatnya permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam restrukturisasi utang perusahaan ini, maka tindak lanjut yang diperlukan antar lain. Pertama, meningkatkan pelaksanaan proses negosiasi antara debitor dan kreditor di BPPN dan Prakarsa Jakarta secara transparan dan akuntabel antara lain melalui pengembangan kebijakan insentif dan pinalti agar debitur lebih kooperatif dalam menyelesaikan utang-utangnya. Kedua, meningkatkan koordinasi di antara lembaga, tim, dan satgas yang menangani penyelesaian pinjaman luar negeri swasta. Ketiga, meningkatkan kapasitas dan kinerja peradilan niaga, termasuk penegakan pelaksanaan Undang-undang Kepailitan. Keempat, mengembangkan berbagai metoda alternatif untuk mempercepat restrukturisasi utang swasta. Kelima, membentuk pengaturan pinjaman luar negeri swasta.
3.5       Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam jangka pendek, untuk menutupi adanya kekurangan pembiayaan terutama terhadap daerah-daerah yang DAU-nya tidak mencukupi untuk melakukan pembiayaan rutin sebagai akibat adanya proses pengalihan pegawai, peralatan, pembiyaan dan dokumentasi kepada daerah akan ditanggulangi melalui dana  kontijensi pada pos pengeluaran lain-lain, anggaran pemerintah pusat.
Dalam jangka lebih panjang, upaya untuk menciptakan perimbangan keuangan pusat dan daerah dengan prinsip keseimbangan antar daerah dan antar wilayah, tindak lanjut yang diperlukan antara lain: (1) menyelesaikan penjabaran undang-undang yang terkait dengan desentralisasi diantaranya (a) percepatan penyelesaian peralihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi kepada daerah serta peraturan pelaksanaannya; (b) penyelesaian peraturan detail tentang dana bagi hasil yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam sebagai akibat dari timbulnya Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah; (2) menyempurnakan formulasi Dana Alokasi Umum (DAU) dengan memasukan variabel fiskal ke dalam perhitungan bobot daerah. Tujuan penyempurnaan formula DAU ini adalah agar lebih mudah dipahami, berkeadilan dan mencerminkan azas transparansi serta menutupi kesenjangan dan keseimbangan fiskal antar daerah dan antar wilayah;  (3) melakukan sosialisasi formulasi DAU yang baru kepada daerah sehingga didapatkan input dan untuk menampung aspirasi daerah; (4) melakukan verifikasi antara anggaran pembangunan dengan anggaran rutin guna menghindari terjadinya duplikasi anggaran dari Departemen dan LPND dengan anggaran rutin dan pembangunan yang berasal dari DAU; (5) memantau dan jika diperlukan menyempurnakan peraturan-peraturan  perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin tercapainya tujuan program desentralisasi.

4.         Memacu Peningkatan Daya Saing
Seiring dengan kondisi yang demikian pemerintah mulai mengantisipasi keadaan ini melalui pembuatan kebijakan yang dituangkan dalam PROPENAS 2000-2004, khususnya dalam bidang ekonomi, kebijakan industri dan perdagangan diarahkan melalui program-program: pengembangan ekspor, penataan dan penguatan basis produksi dan distribusi, penguatan pranata iklim kompetitif dan non deskriminatif, dan penguatan institusi pasar. Disamping itu, kebijakan perdagangan juga didukung oleh beberapa program-program penunjang antara lain, program pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif dan program pembentukan peraturan perundang-undangan. Program-program tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak ada pemantapan dan dukungan dari masing-masing institusi yang terkait dengan program tersebut untuk sama-sama melaksanakannya sesuai dengan kebijakan sektor. Di samping itu, dalam rangka menunjang peningkatan daya saing nasional,  perlu terus dikembangkan peranan balai-balai industri dan perdagangan serta pusat-pusat standarisasi dan mutu barang, serta lembaga kemetrologian untuk memainkan fungsinya dalam peningkatan mutu dan inovasi produk barang dan jasa, termasuk pembentukan struktur kelembagaan tersebut dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Percepatan dalam rangka menghadapi era globalisasi mendatang, pembentukan Dewan Peningkatan Daya Saing Nasional perlu lebih mendapat perhatian penting dalam rangka pembentukan struktur yang nantinya bersifat independen yang mampu menerapkan kebijakan publik yang komprehensif, lintas sektoral dan regional
Akan mulai diberlakukannya perdagangan bebas di beberapa negara yang membuat persaingan usaha semakin ketat dan kompetitif, langkah tindak lanjut yang ditempuh harus mendorong munculnya semangat inovasi, antara lain dengan melakukan penyempurnaan dan pembinaan pranata iklim perdagangan baik peraturan, pembinaan, stabilitas harga dan distribusi. Di samping itu, perlu ditingkatkan efisiensi dan efektivitas produk dengan melakukan berbagai inovasi produk barang dan jasa. Menyadari posisi Indonesia yang saat ini belum terlalu kuat di pasar internasional, maka untuk meningkatkan posisi nilai tawar tersebut mau tidak mau Indonesia harus terus berpartisipasi aktif dalam organisasi dunia, seperti di WTO atau dalam bentuk kerjasama yang lain. Konsekuensi dari hal tersebut adalah perlu penataan berbagai peraturan baik di tingkat pusat maupun di daerah agar mampu mewujudkan implementasi berbagai kesepakatan internasional terutama terciptanya perdagangan dalam negeri yang efisien dan efektif.
4.1       Pengembangan Ekspor
            Adapun tindak lanjut yang diperlukan untuk sektor perdagangan adalah memantapkan program pengembangan ekspor dengan didukung oleh penguatan pasar modal. Sasaran program ini adalah meningkatnya kualitas prasarana dan sarana pengembangan ekspor dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan peranserta kegiatan produksi dan distribusi dalam negeri ke dalam sistem perdagangan bebas internasional yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan pada penerimaan devisa. Ruang lingkup program ini meliputi: (1) peningkatan frekuensi dan optimalisasi upaya diplomasi perdagangan; (2) penataan kelembagaan dan sistem fasilitasi perdagangan internasional; (3) penataan sistem informasi perdagangan internasional dan peningkatan kualitas penyebaran informasi hasil kerjasama/komitmen perdagangan internasional; (4) peningkatan kehandalan sistem penetrasi pasar luar negeri; dan (5) peningkatan peranserta dunia usaha dalam penetrasi pasar luar negeri; dan peningkatan peranserta usaha kecil-menengah dalam perdagangan internasional.
4.2       Pengembangan Industri Berkeunggulan Kompetitif
            Sasaran program penataan institusi pasar barang dan jasa adalah meningkatkan efisiensi pasar barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Untuk mencapai sasaran tersebut maka ruang lingkup program penataan institusi pasar barang dan jasa secara umum meliputi upaya: (1) menyediakan fasilitasi kompetisi pasar dalam rangka pelaksanaan persaingan usaha yang sehat; (2) melakukan fasilitasi perlindungan konsumen dalam rangka menjamin penyediaan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa yang layak dan mudah diperoleh; (3) mendorong peranserta masyarakat dalam pasar komoditas berjangka dalam rangka meningkatkan nilai tambah barang komoditas bagi semua pelaku pasar komoditas berjangka; (4) meningkatkan profesionalisme institusi distribusi barang dan jasa yang bersifat strategis mencakup upaya mendorong peningkatan efisiensi perusahaan negara; (5) meningkatkan peranserta masyarakat dalam distribusi barang dan jasa dalam negeri; (6) membangun jaringan informasi pasar barang dan jasa dalam rangka menyediakan dan memperluas akses masyarakat terhadap kebutuhan barang dan jasa; dan (7) meningkatkan responsi pelaku pasar dalam negeri terhadap dinamika pasar barang dan jasa di lingkup internasional yang pada gilirannya akan mendorong upaya pengembangan industri yang berkeunggulan kompetitif.
4.3       Penguatan Institusi Pasar
            Upaya-upaya untuk menyediakan fasilitasi kompetisi pasar dalam rangka pelaksanaan persaingan usaha akan terus dilakukan melalui beberapa kegiatan prioritas yang antara lain adalah: penguatan kelembagaan dan SDM pengawas pelaksanaan Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat, baik lembaga yang bersifat independen maupun instansi pemerintah terkait;  pelaksanaan deregulasi yang konsisten dan terarah baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah; serta perumusan pernyataan sikap dan komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan otonomi daerah sebagai salah satu daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan bukan sebagai hambatan dan penghalang terhadap arus investasi yang masuk ke Indonesia.
            Upaya yang akan dilakukan untuk melakukan perlindungan terhadap konsumen akan terus didukung dengan penyiapan dan pengesahan perangkat peraturan pendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah, serta petunjuk pelaksanaan dan dokumen lainnya yang dapat dijadikan acuan untuk menindaklanjuti dan  memfasilitasi keluhan-keluhan konsumen. Selain itu, pemerintah pun akan segera membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di tingkat pusat dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di tingkat daerah sehingga masyarakat akan terlindungi dari praktek-praktek pelaku usaha yang merugikan konsumen dan hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kerugian masyarakat terhadap barang dan jasa yang telah dibelinya. Upaya pemerintah ini tentunya perlu didukung oleh kesadaran masyarakat atas hak-hak konsumen terhadap barang dan jasa yang telah/akan diperolehnya. Oleh sebab itu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan suatu sistem perlindungan konsumen yang didasarkan pada rasa keadilan dengan menjunjung tinggi moral dan etika yang baik.
4.4       Pengembangan Pariwisata
            Dalam upaya menarik wisatawan untuk datang ke Indonesia telah dibuka Indonesian Tourism Promotion Office (ITPO) di Frankfurt, Jerman; Tokyo, Jepang dan Los Angeles, Amerika Serikat dan kerjasama pemasaran dengan China National Tourism Administration (CNTA) serta mengikuti bursa kepariwisataan internasional seperti ITB-di Berlin, WTO- di London, Pata Mart di Singapore, ATF-di Brunai Darussalam dan menjalin kerjasama dengan lembaga kepariwisataan internasional. Selain itu  dikembangkan potensi  objek dan daya tarik wisata serta melaksanakan atraksi wisata dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat terutama usaha kecil dan menengah di sekitar objek dan daya tarik wisata untuk berperan aktif dalam meningkatkan perekonomiannya.  Selain itu untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dipersiapkkan kebijakan  dan kemudahan berusaha dan perijinan pariwisata.
4.5          Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Pembudayaan, sosialisasi dan diseminasi hasil-hasil litbang ke dunia usaha dan masyarakat akan terus dilaksanakan. Program Iptek dan berbagai insentif yang telah dilaksanakan akan dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya. Insentif lain yang akan dilaksanakan adalah insentif perlindungan bagi pengetahuan tradisional, terutama yang berpotensi komersial tinggi.  Beberapa alternatif insentif lain yang akan dikaji secara selektif adalah peningkatan kemudahan kemitraan lemlitbang dengan dunia usaha, insentif pajak untuk investasi di bidang litbang, serta keleluasaan pemanfaatan dari hasil pelayanan teknologi.

Keterkaitan antar jaringan informasi teknologi yang telah dibangun di pusat dan daerah akan terus ditingkatkan kualitasnya, terutama yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produktif. Data dan informasi mengenai teknologi tepat guna, informasi Iptek siap pakai lainnya, serta keragaan pusat-pusat pelayanan teknologi akan terus ditingkatkan. Asistensi teknis maupun informasi Iptek dari lemlitbang kepada dunia usaha dan masyarakat akan dikaji untuk dapat dipadukan dengan berbagai program dari instansi teknis lainnya termasuk dengan skema kredit maupun pembiayaan lain yang telah ada.

            Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan atas ketersediaan data statistik yang lengkap, akurat, dan tepat waktu, dilaksanakan kegiatan sensus dan survei seperti persiapan Sensus Pertanian (ST) 2003, Susenas Modul Konsumsi dan Survei Biaya Hidup (SBH); penyempurnaan metode pengumpulan, pengolahan dan penyajian data, serta peningkatan sumberdaya manusia.

5.         Meningkatkan Investasi
5.1       Peningkatan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri
Dalam rangka menyiapkan peraturan perundangan di bidang penanaman modal, Pemerintah akan terus berusaha meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di pusat, propinsi dan kabupaten/kota, serta meningkatkan kemampuan SDM dari aparatur yang menangani penanaman modal baik dipusat maupun di daerah.  Selain itu untuk menarik minat dan realisasi investasi, pemerintah secara terus menerus mengupayakan pemberian sistim insentif dalam bentuk kemudahan perizinan dan pembebasan dan/atau keringanan fiskal kepada kegiatan penanaman modal khususnya investasi yang berorientasi pengembangan regional guna memacu pertumbuhan daerah. Pengembangan pananaman modal secara regional dan sektoral harus dilakukan secara sinergi mengingat kemampuan daerah berbeda-beda dan manajemen investasi diarahkan agar dapat mendukung terwujudnya industri yang mengoptimasikan penggunaan bahan baku setempat, industri pengolahan dan industri peralatan serta permesinan.
5.2       Pengembangan Pasar Modal
            Untuk meningkatkan peran dan mewujudkan pasar modal Indonesia sebagai penggerak ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing global perlu segera dilakukan upaya-upaya strategis. Program Penataan Institusi Pasar Modal akan diarahkan pada kegiatan utama sebagai berikut: (i) penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang diarahkan pada  terciptanya pasar modal yang teratur, wajar dan efisien, serta terwujudnya lembaga otoritas pasar modal yang lebih independen, termasuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap Undang-undang Pasar Modal, yang juga mencakup antara lain: demutualisasi bursa, dan perangkat hukum yang mendukung scriptless trading; (ii) percepatan penyusunan mekanisme pengawasan pasar modal yang ditujukan untuk mempercepat proses reposisi tugas pokok dan fungsi Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal yang independen dan berkualitas internasional dengan konsep bergabung dengan pengawas jasa keuangan lainnya kedalam LPJK; (iii) pengembangan teknologi informasi yang mendorong aspek keterbukaan serta memberikan kemudahan akses informasi bagi pelaku pasar modal yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan dan investigasi pelaksanaan pasar modal; (iv) pembangunan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) untuk memperluas akses ke pasar modal, terutama bagi pemodal daerah; (v) pengembangan kebijakan pasar sekunder terutama untuk obligasi pemerintah beserta sosialisasinya; (vi) pengembangan pasar dan instrumen pasar modal melalui peningkatan peran perusahaan efek dan mendorong UKM dan koperasi untuk masuk ke pasar modal; dan (vii) meningkatkan komitmen dari pihak-pihak pengambil kebijakan fiskal dan moneter dalam menciptakan iklim yang kondusif di pasar modal, serta (viii) menciptakan sinergi antara perbankan dan pasar modal.
5.3       Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Agar berbagai kebijakan pemerintah mengenai reformasi BUMN dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka diperlukan langkah-langkah antara lain: (i) melakukan sosialisasi program restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi BUMN, termasuk penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance di BUMN khususnya bagi BUMN yang dipersiapkan untuk diprivatisasi; (ii) mempersiapkan Undang-Undang BUMN yang mengatur keberadaan dan pengelolaan BUMN secara profesional; dan (iii), dalam upaya meningkatkan transparansi BUMN, disusun jaringan komunikasi dan publikasi melalui fasilitas internet, BUMN On Line, serta Web Site.

6.         Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi
            Pembangunan sektor ketenagalistrikan  membutuhkan investasi yang besar, untuk itu  diperlukan upaya tindak lanjut agar kebijakan yang telah dilaksanakan dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan. Upaya tindak lanjut juga diarahkan sebagai penyelesaian isu-isu penting yang terkait yaitu: otonomi daerah, good corporate governance, efisiensi PT. PLN (Persero) dan restrukturisasi sektor energi.
            Sebagai upaya pertama adalah mempertahankan tingkat pelayanan melalui upaya pemeliharaan sarana dan prasarana ketenagalistrikan yang ada. Selain itu perlu diupayakan percepatan penyelesaian pembangunan sarana dan prasarana ketenagalistrikan yang sedang berjalan. Dari upaya ini diharapkan ada jaminan terhadap tersedianya pasokan tenaga listrik dan peningkatan kapasitas tenaga listrik.
Upaya tindak lanjut lainnya adalah restrukturisasi sektor energi yang dilaksanakan melalui penyelesaian Undang-undang Energi dan Ketenagalistrikan yang mengatur usaha penyediaan energi di masa depan berdasarkan kompetisi pasar yang transparan dan kaidah berusaha yang sehat. Selain itu ditingkatkan pula peranan swasta dan swadaya masyarakat perdesaan melalui koperasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik dengan memprioritaskan pemanfaatan potensi energi setempat. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan serta tersedianya kapasitas sesuai permintaan.
            Untuk mengurangi subsidi, pemerintah memberlakukan pengaturan harga energi termasuk penyesuaian tarif listrik secara bertahap dan terencana sehingga sesuai dengan nilai keekonomiannya. Sejalan dengan upaya tersebut dilakukan langkah-langkah peningkatan efisiensi dan pelayanan dalam penyediaan energi dan tenaga listrik, dalam rangka menarik investasi swasta serta peningkatan pengusahaan di sektor energi.
            Untuk menunjang upaya tindak lanjut di atas telah dilakukan pula, upaya pemanfaatan energi yang didasarkan pada langkah-langkah kebijakan konservasi dan diversifikasi serta peningkatan sumberdaya manusia dan teknologi melalui peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan dan penelitian.
Reformasi pembangunan transportasi harus terus dilanjutkan melalui deregulasi ataupun regulasi untuk penghapusan berbagai bentuk restriksi yang dapat menghambat upaya peningkatan efisiensi pelayanan jasa transportasi, pelaksanaan reformasi hukum, kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang transportasi dalam menciptakan kelembagaan yang efisien, bertanggung jawab, dan aparat yang bersih dan upaya pemerataan kesempatan berusaha melalui peningkatan keikutsertaan usaha kecil dan menengah/koperasi dalam pengadaan barang dan jasa transportasi.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi perlu diupayakan peningkatan peran serta masyarakat dan swasta baik melalui kerjasama operasi dengan BUMN, proses privatisasi serta restrukturisasi kejelasan tugas, kewajiban dan peran antara pemerintah dan BUMN, baik dalam pelaksanaan pembangunan maupun pengelolaan jasa transportasi. Penerapan sistem kebijakan tarif angkutan perlu diupayakan lebih transparan dan lebih kompetitif melalui perbaikan mekanisme penetapan yang lebih mendekati keseimbangan daya beli dan keinginan pasar dan mekanisme sistem subsidi yang efisien dan tepat sasaran agar kepentingan pelayanan umum dapat diprioritaskan.
Program pengembangan fasilitas lalu lintas angkutan jalan perlu dilanjutkan untuk menjamin terselenggaranya sistem lalu lintas angkutan jalan yang lancar, terpadu, aman dan nyaman, sehingga mampu meningkatkan efisiensi pergerakan orang dan barang serta memperkecil kesenjangan antar wilayah sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, pembangunan perkeretaapian perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan kereta api secara cepat, murah, aman dan nyaman sehingga tidak saja mampu berperan sebagai alternatif angkutan jalan yang handal tetapi juga menunjang pergerakan orang dan barang secara massal dan efisien. Begitu pula angkutan sungai/danau, perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan yang diharapkan dapat berperan sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi daerah, khususnya di kawasan terpencil dan pedalaman maupun untuk menghubungkan kesatuan wilayah dan pulau-pulau melalui suatu sistem jaringan transportasi yang terpadu.
Untuk menjamin lancar dan amannya pelayaran di perairan Indonesia serta menegakkan asas cabotage dan UNCTAD Code of Conduct of Liner Conference, maka tindak lanjut yang diperlukan adalah: peningkatan kemampuan daya saing usaha transportasi laut; peningkatan investasi dan partisipasi swasta; peningkatan kemampuan SDM dan manajemen khususnya untuk pelaut Indonesia melalui pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan STCW 1995; penataan regulasi/peraturan perundang-undangan dan kelembagaan; pembangunan, pemeliharaan prasarana, sarana dan sistem jaringan; pengolahan lingkungan hidup, pemanfaatan teknologi dan konservasi energi; dan peningkatan pengoperasian dan pelayanan jasa transportasi laut; serta penanggulangan perompakan di perairan Indonesia.
Di bidang transportasi udara, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan menghadapi era pasar global, diperlukan upaya-upaya yang bertujuan mempertahankan kelangsungan usaha dan daya saing nasional melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif; meningkatkan keselamatan dan keamanan transportasi melalui pembangunan fasilitas bandar udara, fasilitas navigasi penerbangan dan telekomunikasi yang memenuhi persyaratan penerbangan; melakukan pengawasan operasional dan kelaikan di bidang kebandarudaraan, pengaturan lalu lintas penerbangan dan pesawat udara; mengupayakan agar perusahaan penerbangan juga berminat dan ikut mempunyai tanggung jawab melayani rute-rute yang kurang menguntungkan, peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan bandar udara, peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, maka perlu dilakukan perubahan fungsi pemerintah pusat dengan lebih memberdayakan daerah untuk lebih berperan dalam penyediaan transportasi udara.
Di bidang pembangunan meteorologi dan geofisika, perlu ditingkatkan kemampuan peramalan cuaca untuk mendukung keselamatan transportasi khusunya dan kegiatan masyarakat pada umumnya. Di samping itu meningkatkan sarana dan prasarana operasional, serta rehabilitasi terhadap prasarana dan sarana meteorologi dan geofisika.
Di bidang pencarian dan penyelamatan, perlu ditingkatkan kemampuan operasi SAR terutama di daerah-daerah rawan bencana, memasyarakatkan ketrampilan SAR kepada masyarakat dengan cara melatih potensi-potensi SAR dalam masyarakat. Di samping itu juga berusaha mempersingkat tindak awal sehingga korban bencana dan kecelakaan transportasi dapat diminimalkan.
Dalam hal pembangunan prasarana telekomunikasi, pemerintah yang merupakan pemegang saham mayoritas mempersiapkan program privatisasi bagi PT. Telkom dan PT. Indosat. Untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999, Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi pendukung termasuk penyusunan cyber law (Undang-Undang tentang pemanfaatan jasa internet). Pemerintah juga tengah mempersiapkan peraturan tentang tarif dan interkoneksi jaringan serta penyelesaian jangka panjang menyangkut masalah KSO. Untuk mendukung penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif, PT. Telkom dan PT. Indosat harus segera merestrukturisasi usaha dengan mengurangi kepemilikan bersama pada sejumlah perusahaan afiliasi.
Khusus untuk menunjang penyelenggaraan telematika termasuk untuk peningkatan pelayanan publik, upaya yang ditempuh mencakup penyiapan perangkat hukum dasar dan master plan serta pembentukan lembaga koordinasi yang mantap.

7.         Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan
Belajar dari pengalaman pemanfaatan sumber daya alam daratan yang dieksploitasi secara berlebihan sebagai dampak laju pertambahan penduduk yang tinggi, maka pemanfaatan sumberdaya laut harus dikelola dengan memperhatikan persyaratan pembangunan berkelanjutan. Ekosistem laut yang ada seperti terumbu karang dan kehidupan biota disekitarnya harus dijaga dari kerusakan agar tidak mengalami penurunan kapasitas daya dukung produksi bidang kelautan.
Kebijakan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistemnya diarahkan pada pengelolaan kawasan konservasi laut, suaka perikanan dan biota perairan langka. Upaya yang diperlukan adalah penyusunan peraturan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut dan pemantapan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan informasi, serta pengembangan daerah penyangga kawasan konservasi laut.
Untuk mendukung kelestarian dan produktivitas kelautan maka upaya lain yang perlu dilakukan adalah memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan kawasan pesisir. Pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan dilakukan secara terpadu melalui pendekatan kewilayahan.
Kebijakan dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, pemasaran dan investasi. Peningkatan kapasitas kelembagaan daerah dilakukan antara lain melalui penetapan batas wilayah laut daerah dan implementasi kewenangan daerah di wilayah laut masing-masing. Hal ini perlu dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersendiri.
Dalam jangka panjang, kebijakan dan strategi pengembangan riset dan teknologi kelautan perlu ditingkatkan dalam rangka mendukung kebijakan pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya kelautan, yang terdiri dari penyediaan data dan informasi, peningkatan sumber daya manusia bidang kelautan, penyerasian riset dan teknologi, serta pelaksanaan dan pelayanan riset dan teknologi.
Sedangkan upaya yang diperlukan untuk penyelamatan sumber daya hutan dan lahan maka diperlukan pembaharuan dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan; optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan; dan penguatan kelembagaan kehutanan.   Upaya-upaya tersebut diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang cukup mendesak untuk dilaksanakan dan berkaitan dengan komitmen pemerintah dalam pertemuan CGI tahun 2000, yaitu perlu segera disusun Program Kehutanan Nasional (National Forest Program); pemantapan pengendalian penebangan kayu secara ilegal dan kebakaran hutan; restrukturisasi industri pengolahan hasil hutan; restrukturisasi kelembagaan kehutanan; serta penyempurnaan dan pengembangan perangkat peraturan perundangan di bidang kehutanan.
Upaya pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air pada prinsipnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik maupun ketahanan nasional, yang sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial dan kemandirian. Dalam rangka memantapkan dan mendorong pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air maka tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) pengaturan kembali peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, swasta, dan masyarakat dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; (2) penyempurnaan peraturan pemerintah lainnya tentang pengelolaan wilayah sungai, khususnya di wilayah sungai yang sudah berada dalam keadaan kritis; (3) konservasi air tanah dan air permukaan secara terpadu; (4) pengelolaan dan pelestarian daya tampung waduk, danau, situ, telaga, embung, serta bangunan penampung air lainnya sebagai sumber-sumber air untuk irigasi, permukiman, perkotaan, industri serta kegiatan lainnya; dan (5) pelestarian fungsi alur sungai agar tetap terpelihara dan manfaatnya dapat ditingkatkan.
Beberapa langkah kegiatan yang diperlukan dalam rangka pemanfaatan sumber daya mineral yang memberikan hasil yang optimal dan dampak buruk yang minimal adalah memperbaiki penyediaan data sumber daya mineral yang lengkap dan menyeluruh, dan serta penguasaan teknologi yang memadai termasuk interpretasi data informasinya; pembibingan konservasi tambang dan konservasi alam pada lingkungan usaha pertambangan. Dalam rangka meningkatkan usaha pertambangan rakyat yang memperhatikan pelestarian alam dan lingkungan hidup maka perlu adanya pembinaan, pengawasan dan bimbingan teknis yang menunjang baik dari aspek ekonomi maupun pelestarian alam.

Posting Komentar

0 Komentar