Edeting : Roeslandy. ***(Part 1)***
“Aku berlari terburu-buru memasuki halte tempat aku biasa menunggu jemputanku. Kubersihkan ujung-ujung sepatuku yang terkena percikan air hujan. Ya, hujan.. itu yang membuatku berlari-larian menuju ke halte bus di depan kampusku. Aku menggerutu panjang pendek demi menyadari sebagian pakaianku basah terkena air hujan, ditambah lagi sudah sekian menit menunggu tapi jemputanku tak datang-datang juga. Membuatku semakin dongkol saja.
“Ku coba mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat di sekeliling halte. Ah, indahnya hujan ini. Pikirku sesaat setelah emosiku sedikit mereda. Ternyata air yang jatuh membasahi bumi ini kalau diperhatikan semakin lama semakin tampak cantik saja. Jadi menyesal tadi sudah ngomel-ngomel nggak karuan gara-gara kehujanan. Padahalkan lebih susah lagi kalau hujan nggak mau turun sama sekali. Aku tertawa kecil, mentertawakan pikiranku yang kekanakan tadi. Ngomel-ngomel nggak jelas Cuma karena sedikit kehujanan.
“15 menit, 25 menit, kemana ini kakakku… koq aku nggak dijemput-jemput juga sich! Pikirku mulai sedikit jengkel. Gak tau apa kalau adeknya ini sudah mulai kedinginan. Kembali ku coba melayangkan pandang ke sekitar area sekolahku. Sudah sepi, hanya ada satu, dua orang yang melintas di jalan. Mungkin karena efek hujan, suasana kurasakan jadi sedikit mencekam. Tubuhku bergidik ketika menyadari ternyata aku tak sendirian di halte itu. Ada seorang lelaki di sana. Entah sejak kapan dia ada disitu, aku tak terlalu memperhatikan. Mungkin saat aku sibuk melamun tentang indahnya hujan tadi. Sekali lagi tubuhku bergidik, entah karena kedinginan atau karena ada semacam rasa takut yang terselip dengan keberadaan lelaki itu.
“Ku coba sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu. Hm, wajahnya biasa aja.. nggak jelek. Yaa.. walaupun juga nggak bisa dikatain cakep tapi ada sesuatu yang aneh tersirat dari pandangan matanya. Seolah dia sedang menantikan sesuatu. Apa iya dia juga menunggu jemputan sepertiku? Kekekke,,, tak sadar aku melepas tawa. Dan sialnya lelaki itu menyadari bahwa aku mentertawakannya. Ia menoleh ke arahku, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah karena kepergok sedang memperhatikannya.
“Mm,, lagi tunggu jemputan mas?” tanyaku mencoba mengatasi kegugupanku. Meskipun jujur saja sebenernya aku pun takut menyapanya. Habisnya tatapan matanya tajam juga. Jadi takut terjadi sesuatu dengan diriku yang wanita ini. Hehe,,
“Diam. Dia Cuma diam, bahkan melengos menghindari bertatap muka denganku. Tinggal aku berpikir sendirian, dwuh.. sombong bener mas ini. Kalau nggak mau ditanya-tanyai nggak apa apa tapi kan nggak perlu sampe buang muka begitu. Huh,, untung nggak lama kemudian kakakku datang menjemput. Kalau nggak, bisa pingsan gara-gara tegang ketakutan berdua di tempat sepi barengan mas-mas aneh kaya gitu.
“Hujan lagi. Kemarin hujan, kenapa hari ini hujan lagi? Dan kenapa hujan selalu turun waktu aku akan pulang. Kenapa nggak daritadi pagi atau siang aja, Hujan koq ada jadwalnya. Gerutuku karena 2 hari harus berhujan-hujanan menunggu jemputan. Masih ditempat dan jam yang hampir sama dengan kemaren, suasananya pun masih sama. Dalam hujan dan kesepian. Dan sekali lagi aku tak menyadari, sejak kapan ada seorang lelaki di ujung halte ini bersamaku. Ya, kita Cuma tinggal berdua. Dan ternyata.. dia adalah lelaki yang kemaren. Busyet,, koq bisa kebetulan banged begini ya? Ujarku dalam hati.
“mas…mas yang kemaren ada di sini barengan saya kan?” tanyaku mencoba memecah keheningan yang ada. Selain itu juga mau sedikit menetralkan rasa takutku terhadap lelaki itu. Jadi kuberanikan diri saja menyapanya terlebih dahulu, kan ada pepatah lama yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang” hehe,, dan sekali lagi lelaki itu membuang muka (ada berapa ya mukanya nie orang koq di buang” gitu wkkwkw,,, ) Ugh, sombong bener sich!! Umpatku dalam hati. Untung saja nggak kenal, coba kenal.. dah ku maki-maki dia. Upz.. mikir apa sich aku ini… kan malah lebih bagus nggak kenal. Jadi aku nggak usah takut, karena dia pasti nggak bakal ngapa-ngapain aku. Lihat ke arahku aja dia nggak sudi. Kekekkeke,,,
“ Hari ketiga kehujanan. Duch, ada apa kamu dunia… setiap hari koq hujan di jam yang sama. Seolah sang hujan sudah terjadwal waktu turunnya. Dan aku sekali lagi, terdampar di halte bus yang sama dengan keperluan yang sama pula yaitu menunggu jemputan pulang. Dan ternyata.. lelaki sombong itu pun kali ini ada di sini, di halte ini, bersamaku. Koq bisa ya.. 3x bertemu dengan orang yang sama di tempat yang sama. Hmm, jadi penasaran sebenernya apa sich yang dicari sama lelaki itu. Ah sudahlah, nggak usah ngurusi urusan orang lain. Toh dia juga bukan siapa-siapa.
“ Daripada terus penasaran dengan alasan mengapa lelaki itu selalu berada di situ, mending aku memperhatikan hujan yang indah ini, ucapku dalam hati. Tapi tak urung juga aku tetap sesekali mencoba mencuri pandang, mencari tau apa yang dilakukan oleh lelaki itu ternyata rasa penasaran itu sulit sekali dihilangkan ya.. Tiba-tiba … kilat menyambar dan sepersekian detik kemudian… JDHUAAAaaaaRRrrRr!!! Terdengar suara petir menyambar membuatku berteriak ketakutan seketika itu juga.
“Aku memejamkan mata dan menutup telinga, hilang sudah semua rasa penasaran yang melandaku tadi. Yang ada sekarang Cuma kaget dan ketakutan. Aku diam tak berani bersuara, tak berani membuka mata dan tetap mendekap telinga dengan kedua tanganku. Beberapa bukuku yang terjatuh tak kuhiraukan, yang aku tau Cuma berdoa semoga tak terjadi petir yang selanjutnya. Ya… aku memang takut petir. Meskipun aku pecinta hujan dan gerimis yang indah, tapi kalo petir dan angin kencang melanda rasanya jiwa ini kebat kebit nggak karuan.
“Kamu nggak apa-apa?” terdengar pelan suara seseorang yang asing di telingaku bersamaan dengan sebuah sentuhan lembut di bahu. Aku memberanikan diri melihat siapa orang itu. Dan ternyata.. Oh My God,,, lelaki itu .. dia ada disampingku sekarang dengan satu tangan memegang bahuku dan tangan yang lain membawa bukuku yang entah kapan dia memungutinya. “Kamu takut petir ya?” tanyanya lagi karena aku tak menghiraukan pertanyaan pertamanya. Aku Cuma bisa meringis malu. Nggak malu gimana, umur aja sudah menginjak 22 tahun. Tapi denger suara petir aja sampe begitu hebohnya.
“Nggak apa-apa koq, Cuma kaget.” Jawabku menutupi rasa malu tentunya, dia tersenyum sambil mengulurkan bukuku yang dipegangnya. Dengan terpaksa aku membuka dekapan telingaku lalu menerima uluran buku darinya.
“Kakak kamu koq tumben jam segini belum jemput?” tanyanya sekali lagi membuatku semakin salah tingkah. Ooo.. ternyata selama ini dia memperhatikanku juga toh..kirain cuek-cuek aja…. Ujarku ber-ooo … dalam hati. Hhh,,, untung aja ada lelaki ini kalo nggak bisa pingsan gara-gara kaget plus ketakutan dech aku. Dengan adanya dia kan setidaknya aku tau kalo aku nggak sendirian. Hehe,, dan obrolan demi obrolan itu pun mengalirlah.. sampai akhirnya kakakku datang menjemput.
“ Aku membuka jendela kamarku, membiarkan angin malam menerobos masuk melalui celah-celahnya. Panas sekali malam ini, padahal tadi siang hingga sore hari hujan terus mengguyur bumi. Apa ini pertanda akan turun hujan lagi ya? Ah entahlah, yang pasti aku tak bisa tidur malam ini. Andai saja rumahku ini ber-AC hehe,, ngarep dech!
“ Sudah cukup larut malam, jarum jam di dinding pun sudah menunjuk pada angka 11 tapi entah kenapa mataku ini tak mau terpejam juga. Padahal besok aku harus mengikuti kuliah pagi pak Darto, dosen yang terkenal karena kedisiplinannya. Kalau mataku ini tak terpejam juga, bagaimana aku bisa bangun pagi keesokan hari. Hh,, aku mendesah nafas pelan, bingung mau ngapain malam-malam begini. Tiba-tiba terlintas dalam ingatanku perkenalanku dengan Atar sore tadi.
“namaku Atar, kamu Anez kan?” ucapnya memperkenalkan diri sore itu.
“koq tau?” jawabku terheran-heran. Apa aku sudah seterkenal itu sampai semua orang tau namaku ya hehehe,,
“3 hari kita ketemu di sini. Nggak mungkin aku nggak tau nama kamu sementara setiap teman-temanmu lewat mereka selalu menyebut nama kamu.” Ucapnya menjawab kebingunganku. Sementara aku.. semakin penasaran saja dengannya. Ku kira selama ini dia tak peduli dengan lingkungan sekitarnya, ternyata aku salah, meskipun selama ini dia diam dan seolah tak menghiraukanku ternyata dia mengamati semua yang ada di sekelilingnya.
“ Ya.. hari ini adalah awal perkenalan kita. Aku, Anez.. dan Atar. Ternyata Atar namanya. Lelaki di halte bus yang selalu membuatku penasaran dengan alasannya berada disitu Dan dia pun bercerita, selama ini dia selalu ada di halte itu karena menanti kehadiran seseorang. Dan ternyata.. dia memang hampir setiap hari berada disitu. Hanya saja aku baru menyadarinya 3 hari yang lalu, ketika hujan terjadwal itu mulai melanda. Hehe,,
“ Teng…teng…teng…. Terdengar suara tiang listrik dipukul 12 kali. Wah tak terasa sudah satu jam lamanya aku berada disini. Akhirnya kantuk itu mulai melandaku. Kututup jendela kamarku kemudian menuju tempat tidur. Sesaat kemudian aku pun terlelap ke alam mimpi. Atar… Atar… ternyata memikirkanmu membuatku mengantuk. Hehehe
“ Sudah 2 bulan sejak perkenalan kami sore itu, Atar pun masih hampir setiap hari berada di halte itu. Entah siapa yang ditunggu, dia tak pernah menceritakannya dengan jelas. Aku juga masih belum benar-benar tahu siapa dia sebenarnya. Meskipun kita akhirnya bisa di bilang dekat, setiap hari aku menunggu jemputan ditemani olehnya. Bahkan terkadang bila kakak atau keluargaku tak ada yang bisa menjemputku, Atar lah yang mengantarkanku pulang. Bukannya aku nggak mau naik angkot sich, tapi jarak antara kampus dan rumahku memang cukup jauh. Ditambah lagi, jarak tempuh yang harus kulalui untuk berjalan kaki memasuki daerah perumahan di tempat aku tinggal. Kalo nggak naik becak ataupun ojeg bisa setengah jam aku berjalan kaki menuju rumah. Jadi paling aman ya di antar jemput. Hehe,, apa itu berarti aku tak bisa membawa kendaraan sendiri? Ya nggak juga, yang jadi masalah adalah di rumah memang Cuma ada dua motor. Satu buat ayah berangkat mencari nafkah, satu lagi buat kakak yang sama-sama kuliah tapi ditempat berbeda.
“ Beberapa kali juga aku keluar main bersama dengan Atar, tapi itu tak cukup untuk mengungkap siapa dia dan apa yang dilakukan sebenarnya. Yang aku tau saat ini, ternyata yang namanya Atar itu tak seburuk prasangkaku saat pertama bertemu dengannya dulu. Bahkan sama sekali bertolak belakang. Atar sama sekali nggak cuek, meskipun terkadang memang nyebelin dan sok nggak peduli. Dan dia adalah seorang yang humoris dengan sense of jokes yang lumayan tinggi. Tiap hari saat aku bertemu dengannya yang ada Cuma ketawa aja. Sampai akhirnya hari ini ketika hujan kembali turun dan aku kembali berada di halte bersamanya, tanpa kuduga dia bercerita yang lain dari hari-hari biasanya.
“Kamu tau nggak, Nez.. setelah sekian lama aku berada di halte ini Cuma kamu cewek yang berani nyapa aku duluan.” Ucapnya mengingatkanku pada hari pertama aku menyapanya dulu.
“Ah, tapi waktu itu Atar sombong banged. Ditanya aja nggak mau jawab, kan jadi malu aku nya, Tar.” Protesku teringat saat dia tak merespon sapaanku pada awal aku menyapanya. Atar tertawa kemudian melanjutkan ceritanya.
“Waktu itu kan aku sebenernya kaget, Nez. Nggak nyangka kalo kamu bakalan nyapa aku.” Jawabnya sambil nyengir-nyengir malu. Aku pun teringat dengan pertanyaan yang mulai dari awal aku menyapanya sampai hari ini pun tetap membuatku penasaran.
“Sebenernya selama ini kamu nungguin siapa sich disini, Tar?” Atar terdiam mendngar pertanyaanku dan aku pun kembali menemui pemandangan yang sama seperti beberapa bulan lalu ketika aku pertama memperhatikannya. Tatapan mata yang kosong. Aku jadi nggak enak hati, takut menyinggung perasaannya.
“Lia, namanya.” Jawabnya singkat. Aku jadi bingung, duh.. aku salah ngomong lagi ya.. aduh Anez.. makanya nggak usah nanya yang macem-macem donk! Eh tapi kan pertanyaannya Anez tadi Cuma satu macam ya… hehehe… kemudian.. mulailah cerita demi cerita yang tak pernah kuduga sebelumnya mengalir dari bibir Atar.
Aku masih terdiam meskipun cerita Atar telah usai dari tadi. Atar pun diam, seolah kembali ke masa lalu yang ia ceritakan padaku. Aku nggak ngerti harus mengatakan apa padanya, dan kupikir aku memang tak perlu mengatakan apa-apa padanya. Karena aku tau, semua apapun yang aku katakan padanya tak akan mampu menghiburnya. Mungkin yang ada malah aku dibilang cerewet, sok tau, sok peduli atau apalah itu.
“ Atar, orang yang selama beberapa bulan ini menemaniku, teman baru yang selalu membuatku tersenyum, ternyata dia menyimpan beban yang cukup berat selama ini dan dia menyembunyikannya dariku. Sesaat aku merasa aku sama sekali tak berguna, namun harus bagaimana bila memang dia ingin menyimpan erat semua dukanya sendiri. Meskipun kalau boleh jujur, aku merasa jauh lebih senang dan berarti bila dia mau berbagi denganku.
“Atar, selama ini dia ada di halte ini karena mengenang seseorang yang dicintainya. Yang telah memberinya semangat, membangkitkannya dari keterpurukan, menjadikannya seperti sekarang, namun juga sekaligus orang yang menjatuhkannya kelubang gelap yang cukup dalam. Lia namanya, seorang gadis yang telah meninggikannya namun kemudian menghempaskannya kembali.
“ Lia dan Atar, dua orang mahasiswa yang bersatu sudah sejak Lia dinyatakan masuk ke perguruan tinggi disini. Universitas yang sama denganku saat ini, Universitas Jayaraya. Atar setahun di atas Lia, kalo orang-orang bilang Atar itu seniornya Lia. Atar tertarik dengan Lia sejak awal kedatangannya ke kampus ini. Dengan segala daya dan upaya, akhirnya diketahuilah bahwa Lia pun menaruh hati pada Atar sang senior. Tapi yang namanya Atar dikenal sebagai seorang mahasiswa yang payah. Jauh berbeda dengan Lia yang namaya terkenal sebagai mahasiswa teladan.
“Keduanya jauh bertolak belakang. Namun demikian, keduanya tetap bersatu dalam suatu hubungan. Hingga akhirnya Lia berhasil mendahului Atar, Lia menyelesaikan studinya lebih dulu dari Atar. Tinggallah Atar kelimpungan, merasa nggak pantas, mulai menyadari seharusnya dia bisa jauh lebih baik dari Lia kalo dia mau dan itu harus. Atar yang kuliahnya keteteran mulai memperbaiki semuanya dari awal. Dengan semangat dari Lia, ia yakin ia pun dapat menyelesaikan studinya.
“Lia yang memberinya semangat, Lia yang membantunya mengerjakan tugas-tugas akhirnya, Lia yang selalu ada untuknya, Lia yang tak kenal lelah memberinya dukungan bahwa dia pasti bisa, Lia yang menjadi semangatnya untuk hidup lebih baik dari sebelumnya, Lia, Lia dan Lia. Semua karena Lia. Apa yang dilakukan semua karena Lia dan untuk Lia, karena ia yakin Lia lah yang menjadi tujuan hidupnya.
“Sampai pada akhirnya, hari itu pun tiba. Ketika Atar dinyatakan lulus dari ujian karya ilmiahnya. Sehari setelah itu, Atar bermaksud membuat kejutan untuk Lia. Dia ingin membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih lanjut. Namun apa mau dikata, nasib berkata berbeda. Dan manusia tak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi pada hidupnya selanjutnya. Atar yang ingin membuat kejutan untuk Lia malah dibuat terkejut dengan ulah orang terkasihnya itu.
“ Malam itu mereka berdua berjanji untuk keluar makan malam bersama. Dan seusai makan malam itu, dinyatakanlah niat Atar kepada Lia. Namun kecewa yang harus dirasakan oleh Atar, karena ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. “Maaf Atar, sudah lama aku mau bilang tentang hal ini. Tapi kita udah nggak bisa sama-sama lagi” ucap Lia pelan. Namun sepelan-pelannya kata yang terucap dari bibir Lia, tetap saja terdengar seperti guntur yang menggelegar di telinga Atar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, Atar pun meminta Lia untuk mengulang kembali ucapannya. Ia ingin Lia meyakinkannya bahwa ia bercanda. Tapi bukan jawaban seperti yang diinginkannya yang keluar dari bibir Lia, karena Lia tak pernah sekalipun kembali mengulang perkataannya.
“Lia meninggalkannya sendirian, bahkan ia tak pernah lagi menoleh kebelakang. Lia meninggalkannya dengan derai air mata yang tak pernah ia jatuhkan sebelumnya. Lia yang selama ini membimbingnya, kini Lia juga lah yang menyesatkannya. Menelantarkannya di tengah perjalanan hidupnya. Mematikan cahaya dalam langkahnya. Semuanya karena Lia.
BERSAMBUNG
0 Komentar