Tata Bahasa Aceh yang Terlupakan

Di dalam ruang kepala sekolah SMP SSB Bireuen
Perbincangan ini sebenarnya lebih merupakan kegiatan iseng daripada serius. Berawal dari kebingunganku akan perbedaan ucapan dan tulisan bahasa Aceh. Contoh yang paling gampang adalah nama kota ini sendiri. Kota Bireuen jika dieja, bukankah seharusnya dibaca bi-re-u-en? Bukan bi-ren. Iya bukan? Nah karena yang ada di depanku adalah bang Muchlis, sarjana sastra Inggris UIN Sultan ArRaniri yang lulus dengan predikat (hampir) cum laude, maka kutanayakan hal itu. Minimal dia sarjana sastra yang paham dengan tata bahasa dan fonetik.
Ketika kutanyakan dengan mimik serius, ini jawabannya. Sederhana diselingi senyum khasnya,
“Jangankan orang luar Aceh, kami sendiri pun tidak  begitu paham dengan akuannya.’ Aku terhenyak, lalu teringat akan nasib bahasa Jawa dan kesusasteraannya, yang semakin terlindas zaman karena semakin jarang digunakan kecuali bahasa lisan.
“Lho apakah di sekolah-sekolah tidak ada muatan lokal bahasa Aceh, Bang?”
“Setahu saya tidak ada.”
“Lalu bagaimana upaya pelestariannya jika orang Aceh sendiri pun tidak menguasainya…dan anak-anak itu, bagaimana masa depan bahasa ini jika mereka tidak dikenalkan?”
“Apakah di sekolah ini tidak ada pelajaran muatan lokal bahasa Aceh? Pertanyaan-pertanyaan itu terus kucecar pada kepala sekolah SMP ini.
Bang Muchlisin diam sejenak.
‘Tidak ada, bahkan pemerintah daerah juga tidak mencanangkan ada kewajiban mengajarkan bahasa Aceh di sekolah-sekolah’.
Itu menjawab semua meteor pertanyaanku.
“Sulit jika akan dilaksanakan, ahlinya sangat sedikit. Itu pun mencarinya susah.’
“Lalu apakah di Unsyiah atau UIN tidak ada jurusan bahasa Aceh? Jawaban pertama bang Muchlis tadi berulang lagi. Kali ini putra Bireuen itu mendahuluiku untuk berujar. “Sebenarnya saya memiliki ide, yaitu dengan melatih para PNS yang ‘kekurangan pekerjaan’ di instansi-instansi itu agar belajar bahasa Aceh. Ya, semacam diklat beberapa bulan begitu lah. Kemudian mereka ditugaskan atau diperbantukan masuk ke sekolah-sekolah mengajarkaan bahasa dan tata tulisnya, atau mengkader guru-guru muda di sekolah.
“Tetapi…..’
Aku penasaran. Dan sekali lagi ia mengulang fakta di Nanggroe tercintanya itu,
“Sulit mencari ahli yang menguasai bahasa lisan dan tulisan untuk menjadi pengajar. Meraka harus dicari dipelosok-pelosok, karena secara keilmuan tidak ada dipelajari di kampus-kampus besar di Aceh.
Aku tak sabar menambahkan keparahan luka ini dengan menanggapi lagi. Tetapi bang Muchlis dengan sigap segera menambahkan, seolah ia tahu pikiranku;
“……dan, jika pun dibuka jurusan tersebut, peminatnya pasti sedikit. Karena tidak berprospek. Mendingan belajar bahasa Asing, jelas laris di pasar kerja dan bisa untuk modal bekerja.”
Benakku secara konstruktif menyintesis pengalaman dan impuls, teringat nasib jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa di UNY dan jurusan Sastra Nusantara di UGM. Nasib keduanya tak jauh beda. Sepi peminat. Jika pun ada yang masuk, mayoritas karena embel-embel “daripada nggak kuliah” atau
“ Ya, yang penting kan kuliah di UGM, mau dimana kek jurusannya..!”
Kembali kepada obrolan yang mulai memanas, kami pun berusaha mencari pangkal solusi pembicaraan dengan ide-ide gila. Bagaimana ya caranya supaya pelajaran ini tetap lestari? Aku sebagai orang Jawa,ternyata merasa care dengan nasib bahasa daerah lain, yang ternyata nasibnya tak begitu jauh dari bahasa ibu ku sendiri. Hmm, bagaimana kalau dibuka jurusan pndidikan bahasa Aceh di Unsyiah misalnya. Setelah semua disiapkan, baik tenaga pengajarnya atau manajerialnya, dibuat advertisi sebaik-baiknya lalu diberi imbuhan ‘ikatan dinas’ bagi lulusannya, seperti STAN, STIS atau sekolah milik BUMN lain di Indonesia. Wuih pasti membludak tuh! Umumnya Mahasiswa sekarang kan cari yang enak-enak saja. Kuliah mudah, lulus cepat, IPK tinggi, mudah dapat kerja, di kantoran, ber AC dan gaji tinggi. (Omong kosong!). Ya lah, daripada tidak ada peminat. Pragmatis-pragmatis sajalah dulu. Kamipun tertawa  bersama, seolah sudah melepaskan satu belenggu masalah bangsa ini. KOL-BA. KOnyoL juga…tapi BAhagia.

Posting Komentar

0 Komentar