Tiga tahun yang lalu, entah sejak kapan dan bagaimana mulainya aku tidak ingat. Yang jelas kian hari aku kian dekat dengan Hasan. Dia teman yang baik. Satu hal yang membuatku tertarik adalah dia orang yang benar-benar bertekad untuk mau berubah ke arah lebih baik. Awal masuk kuliah kalau tidak salah, kemana-mana dia selalu bersama dengan cewek yang tak lain adalah pacarnya. Tapi tak ada satu semester tiba-tiba dia mulai berubah, dari mulai ikut aktif di forum muslim angkatanku, jadi senang ikut kajian Islam, hingga akhirnya memutuskan untuk putus dari pacarnya, karena kini dia tahu bahwa pacaran bukanlah hal yang diperbolehkan dalam Islam.
“Andi, nanti malam ikut taklim yok!”, ajaknya pada suatu hari sepulang kuliah
“Taklim apaan?”, aku agak heran. Kok tumben-tumbannya Hasan ngajak aku ngaji. Apa mungkin dia melihat tampangku yang menunjukkan wajah sesat yang perlu untuk diperbaiki alias tobat? Alah, berlebih. Gini-gini aku orang baik kok…hoho, membela diri.
“Ya taklim, kajian Islam. Kalau kamu mau, ada rutin, tiap hari Selasa, Kamis, Sabtu. Yang ngajar ustadz Salman, beliau orang baik dan oke lah pokoknya, Kalau nerangin jelas, kadang juga bisa nglucu, tapi nggak kebanyakan bercanda, jadi inti materinya tetep kesampaian”, ucap Hasan promosi.
“Di situ juga ada pelajaran bahasa Arabnya lho! Seru lah, kita bisa belajar agama banyak.”
Aku mulai tertarik.
“Oh iya, teman-teman dan kakak angkatan kita juga lumayan banyak yang ikut”
“Boleh deh san, jam berapa?”
“Habis magrib kita berangkat, jadi sekalian sholat isya’ di sana, nanti tak samperin di kosanmu. Oh ya, ajak si Ardi juga tu, kosan kalian kan deket.”
“Sip! InsyaAllah ….”
Malam itu, berangkatlah kami menuju tempat taklim, yang kini kami lebih suka menyebutnya “Taman Surga”. Aku berangkat bersama dengan Hasan, Ardi dan Syaiful anak kelas sebelah yang kebetulan satu kos dengan Hasan.
Menjadi tempat taklim itu adalah rumah seorang ustadz yang dipromosikan Hasan, seorang yang bersahaja. Jarak rumahnya kurang lebih sepuluh menit dari tempat kosku jika dicapai dengan menggunakan motor, tidak terlalu jauh. Peserta taklim berasal dari berbagai kalangan, yang kata Hasan mereka orang-orang yang istiqomah dan tidak pernah ketinggalan pada setiap kajian. Melihat dari raut wajah mereka, aku menyimpulkan bahwa rata-rata mereka sudah berkeluarga. Dan benar seperti apa yang dikatakan Hasan, lumayan banyak wajah-wajah yang sudah ku kenal hadir dalam majelis taklim itu. Kulihat di sana Rifki, Yusuf, Dedi, dan Surya, serta beberapa kakak angkatan. Sejak saat itulah kami mulai menjadi akrab.
Kuikuti kajian hari itu dengan lapang, lagi-lagi benar apa yang dikatakan Hasan, ustadz Salman bisa menarik hati dengan cara penyampaian yang mengena. Ada kalimat beliau yang membuatku terkesan:
Setiap orang punya kesibukan masing-masing… Tapi hanya orang-orang yang sabar dan istiqomah yang tetap sanggup mempelajari ilmu. Untuk ilmu dunia saja kita mati-matian, bagaimana dengan ilmu dien?
Kalimat itu masih membekas dalam ingatanku. Yang selalu mengingatkan agar tetap meluangkan waktu untuk belajar agama. Meski di tengah kesibukanku. Sibuk apa emang? Jadwal rutinku… maen PS, ping pong, futsalan, kalau terpaksa badminton, apalagi? Kerjaanku maen melulu, aku jadi malu.
Alhamdulillah sampai hari ini aku masih hadir dalam taklim itu. Meski kadang disindiri ustadz Salman juga karena aku sering bolos taklim karena pulang kampung, ya habis gimana di samping karena jarak kampung halamanku tidak terlalu jauh, rasa rindu pada Ayah Bundaku dan rasa kangen ingin menjahili adik-adikku yang lucu selalu muncul.
Tapi aku berharap bisa menjadi salah satu dari orang-orang yang sabar dan istiqomah itu…Aamiin…
* * *
“Besok mau nggak ngajar TPA?”, lagi-lagi Hasan mengajakku. Saat itu jam kuliah kosong, jadi kami bisa bebas ngobrol. Memang orang ini paling semangat mengajakku untuk ikut hal-hal baru, dan Alhamdulillah selalu hal baik, makanya aku suka.
“Ngajar ngaji?”
“Iya, seru kok!”, Surya menimpali.
“Bener, daripada kamu menghabiskan soremu buat maen PS! Mending maen sama adek-adek TPA sekalian ngajarin mereka ngaji”, Yusuf mengejekku sambil tertawa. Tahu aja hobiku main PS, tapi aku kan diprovokasi sama orang-orang itu (tidak boleh dikatakan di sini)! Dengan embel-embel adu kejantanan, harus bertanding main play station. Aku membela diri, dalam hati tentunya. Tapi jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam…aku nggak pernah bisa menolak tantangan itu! Terlalu menggiurkan!
“Emang ngajar TPAnya dimana? Wah aku kan nggak suka anak kecil! Kalau lihat anak kecil nakal pasti pengen mukul, apalagi kalau nangis, aduh pengen nyumpal mulutnya pake sandal! Emang aku bisa ngajar? Apalagi ngajar ngaji!”
Serempak mereka bengong, atau kagum? Mungkin tidak menyangka kalau ternyata aku sadis.
“Tenang saja, masa kamu kalah sama Syaiful?”
“Lho emang Syaiful kenapa?”, tanyaku
“Adik-adik TPA saja bisa jinak sama Syaiful yang kalem, apalagi sama kamu?”, mudah-mudahan Syaiful nggak keselek diomogin. Maklum dia beda kelas dengan kami.
“Ooo, aku galak ya?”
“Atau kamu minta tentiran tuh sama Dedi! Dia itu ketua PAA (Pembinaan Anak Al Ikhlas). Itu organisasi yang menampung TPA di mushola-mushola sekitar masjid kampus.”
“Ciiyeee, serius kamu Ded? Wuihh, keren! Nggak nyangka….”
“Halah, biasa aja kali!”, Dedi menimpali
“Iya tu, kalau kamu mau, kamu bisa ngajar di mushola Al Falah yang deket kosanmu aja. Di situ lumayan kekurangan pengajar, soalnya yang kakak-kakak angkatan sekarang udah jarang ngajar. Jadwalnya tiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Kalau Hasan, Syaiful sama Yusuf, mereka ngajar di Al Kautsar, jadwalnya tiap hari Senin, Rabu sama Jumat.”
“Nah lo, aku sendirian?”
“Tenang, aku juga ngajar di situ kok, Surya juga. Kita ngajar yang adik-adik cowok aja, nanti yang cewek ada akhwat sendiri yang ngajar. Lagipula kalau di Al Falah adik-adik cowoknya lebih sedikit, beda sama di Al
Kautsar.”, Dedi menambah
“Ooo…gitu! Ya wis, boleh deh nyoba! Jam berapa?”
“Jam setengah lima sampai magrib”
“Oke, sip! Eh Ardi, kamu nggak ikutan juga?”, tawarku pada Ardi yang sedari tadi sibuk baca buku sambil ngelamun
“Eh, nggak dulu deh. Aku belum siap ngajar, kan ilmuku belum ada apa-apa”
“Yee, itu ma sama dengan menyindirku! Ayolah, kan bareng-bareng!”
“Iya Ar …”
“Hehe, yo kapan-kapan, tapi bukan besok!”
Hmmff, kami kecewa. Memang, sampai saat ini Ardi juga yang paling susah kalau diajak ngajar TPA. Ada saja alasannya, mulai dari “ ilmuku belum pantas buat ngajar…”
“Emang apa bedanya denganku Ar? Tapi kalau kita nggak mengajarkan sambil kita sendiri belajar, mana bisa berkembang? Ini sarana supaya kita bisa berlatih!”
“Yaa… nanti deh kalau aku sudah siap…”, selalu itu yang dia katakannya. Kadang aku sampai kesal, tapi mau gimana lagi, kan nggak bisa dipaksa. Padahal menurutku mengajar TPA itu hal yang seru, bisa melepas kepenatan saat stress karena masalah dengan ketemu adik-adik yang lucu. Meski kadang jadi tambah stress juga saat kenakalan mereka kumat! Aku pernah marah-marah, gara-gara ada enam orang anak kecil bergantungan di badanku dan ada yang menarik-narik bajuku karena tidak mau giliran ngajinya. Hmmff… memang harus berlatih sabar. Tapi itu hanya prosentase kecil dari semua pengalaman terjadi. Selebihnya bagiku menyenangkan. Yah, hanya bisa berharap Ardi akhirnya tertarik untuk ikut melibatkan diri juga… Kapan ya?