Pengaruhnya terhadap Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah

Tiga Jenis Bahan Kemasan Plastik :

Pendahuluan
Di Indonesia kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan palawija yang penting setelah jagung dan kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan, kacang tanah antara lain dapat diolah menjadi kacang garing, kacang goreng, kacang rebus, kacang telur, kacang atom, oncom goreng, dan bumbu kacang tanah. Kacang tanah mengandung minyak, protein, karbohidrat, vitamin (E, K, dan B), dan mineral seperti fosfor, kalsium, magnesium, dan kalium (Dwivedi et al. 1996). BPS (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2004 produksi kacang tanah di Indonesia mencapai 837 495 ton.
Iklim tropis dan kelembaban yang tinggi di Indonesia menyebabkan kacang tanah mudah terserang oleh cendawan, baik sebelum maupun setelah panen. Menurut Sauer et al. (1992) cendawan merupakan mikroorganisme utama penyebab kerusakan biji-bijian selama penyimpanan. Serangan cendawan dapat menurunkan kualitas fisik biji, keapakan, perubahan warna biji, penurunan kandungan nutrisi, dan dihasilkannya mikotoksin oleh spesies atau galur tertentu suatu spesies cendawan.
Mikotoksin yang umum dijumpai pada produk pertanian adalah aflatoksin, yaitu metabolit sekunder yang dihasilkan antara lain oleh galur tertentu Aspergillus flavus apabila tumbuh pada substrat yang cocok, termasuk kacang tanah (Pitt 1999). Pada umumnya jenis aflatoksin yang mengkontaminasi bahan pangan adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, sedangkan yang paling berbahaya adalah aflatoksin B1 (Betina 1989). Aflatoksin sangat toksik serta dapat menyebabkan kanker hati pada manusia dan hewan. FAO/WHO (1999) menetapkan batas kandungan maksimum aflatoksin total pada kacang tanah yang akan diproses sebesar 15 ppb. Menurut Pitt dan Hocking (1996) kandungan aflatoksin lebih dari 1 000 ppb dapat menimbulkan efek toksik akut pada hewan dan manusia.
Biji kacang tanah dapat terserang cendawan dan terkontaminasi aflatoksin apabila kegiatan pascapanen seperti pengeringan, pengupasan polong, dan penyimpanan tidak dilakukan secara layak. Kegiatan pengeringan sangat erat kaitannya dengan kadar air biji-bijian sebelum disimpan, dan sangat mempengaruhi kualitas biji setelah penyimpanan.
Dharmaputra et al. (2005a) melaporkan bahwa kisaran kandungan aflatoksin B1 pada 54 sampel kacang tanah di tingkat pengecer di pasar tradisional Kabupaten Wonogiri dan Kota Surakarta pada musim hujan dan kemarau masing-masing adalah <3.6 – 1 859.3 ppb dan <3.6 – 1 804.6 ppb. Sebanyak 33% sampel pada musim hujan dan 74% sampel pada musim kemarau terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb. Dharmaputra et al. (2005b) juga melaporkan bahwa kisaran kandungan aflatoksin B1 pada 45 sampel kacang tanah di tingkat pengecer di Kabupaten Cianjur pada musim hujan adalah <3.6 – 6 073 ppb. Sebanyak 75.6% sampel terkontaminasi oleh aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb.
Menurut Abramson (1991) pertumbuhan cendawan pascapanen pada biji-bijian antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen, kelembaban, dan lamanya penyimpanan. Selain itu Ginting dan Beti (1996) menyatakan bahwa jenis kemasan yang digunakan selama penyimpanan erat kaitannya dengan serangan cendawan. Dengan menekan konsentrasi oksigen di dalam kemasan diharapkan dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang menyerang biji kacang tanah dan kontaminasi aflatoksin.
Cara dan sarana penanganan pascapanen termasuk penyimpanan kacang tanah yang tidak layak dapat berpengaruh terhadap kualitas kacang tanah. Oleh karena itu penelitian mengenai pengaruh beberapa jenis bahan kemasan plastik terhadap serangan cendawan dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah selama penyimpanan adalah penting, agar dapat diperoleh informasi mengenai metode yang paling baik untuk meminimalkan serangan cendawan dan kontaminasi aflatoksin.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh tiga jenis bahan kemasan plastik yang digunakan untuk mengemas kacang tanah pada konsentrasi oksigen normal dan rendah terhadap serangan cendawan pascapanen dan kontaminasi aflatoksin selama penyimpanan. Selain itu juga untuk meneliti kadar air dan persentase biji rusak kacang tanah.
Bahan dan Metode
  • Pemanenan, Pengeringan, dan Pengupasan Polong
Kacang tanah varietas lokal dipanen setelah cukup umur (kurang lebih 100 hari setelah tanam) dan diperoleh dari petani di Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat, pada bulan April 2005. Polong langsung dipisahkan dari tanamannya, kemudian dikeringkan dengan bantuan sinar matahari dan menggunakan alas lantai semen, sampai kadar air mencapai ±7%. Kulit polong kacang tanah dikupas menggunakan mesin pengupas diesel tipe kipas putar produk Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Serpong, Tangerang. Sebelum disimpan, biji kacang tanah difumigasi fosfin (2 g/ton) selama 5 hari, untuk membunuh semua stadium serangga yang mungkin terdapat di dalam dan di luar biji.
Pengemasan dan Penyimpanan
Sebelum pengemasan biji kacang tanah yang rusak (retak, patah, terserang cendawan, dan berubah warna) disortir, kemudian biji yang tidak rusak dikemas di dalam tiga jenis bahan kemasan plastik (1.5 kg/kantung) pada kondisi dengan konsentrasi oksigen normal (konsentrasi O2 pada awal penyimpanan ±21%) dan konsentrasi oksigen rendah (konsentrasi O2 pada awal penyimpanan ±10%). Selanjutnya disimpan selama satu, dua, tiga, dan empat bulan pada kondisi gudang.
Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja
Pengambilan sampel dilakukan pada awal penyimpanan, selanjutnya setelah satu, dua, tiga, dan empat bulan penyimpanan. Sampel diperoleh dari setiap kantung. Kantung plastik berisi kacang tanah yang diambil setiap bulan berjumlah 3 x 2 x 4 = 24 (3 = jenis bahan kemasan plastik; 2 = konsentrasi oksigen; 4 = ulangan).
Baca lebih lengkap mengenai Tiga Jenis Bahan Kemasan Plastik : Pengaruhnya terhadap Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah, klik link dibawah.

Posting Komentar

0 Komentar