TAFSIR

BAB I
PENDAHULUAN
A. Terjemahan Ayat-ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 222
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu tidaklah kamu menjauhkan diri (137) dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (138), apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(137) Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
(138) Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
2. QS. Al-Maidah ayat 6
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit (403) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (404) perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(403) Maksudnya : sakit yang tidak boleh kena air.
(404) Artinya : menyentuh, menurut Jumhur ialah : menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah menyetubuhi.
3. QS. Al-Muddatstir ayat 4
Artinya : Dan pakaianmu bersihkanlah.
4. QS. Al-Taubah ayat 108
Artinya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (Mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya, di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
5. QS. Al-Thalaq ayat 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) diantara perempuan-peremupuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
6. QS. Al-An’am ayat 74-79
Artinya : Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar (489), “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” 74
Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. 75
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata : “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”76
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata : “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” 77
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”78
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. 79
(489) Diantara Mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abiihi (bapaknya) ialah pamannya.
7. QS. Al-Shaffat ayat 95
Artinya : Ibrahim berkata : “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?
8. QS. Al-Anbiya ayat 66-67
Artinya : Ibrahim berkata : “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” 66
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, maka apakah kamu tidak memahami? 67
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Penghambat Berfikir
Dalam Al-Qur’an juga dikemukakan faktor-faktor penting yang menghambat pemikiran, membuatnya statis, terhalangi dari realitas, serta terhalangi membuat penilaian-penilaian yang benar mengenai hal yang dihadapinya. Faktor-faktor tersebut adalah berpegang teguh pada fikiran lama dan tidak cukup data yang ada.
1. Berpegang Teguh pada Fikiran Lama
Biasanya seseorang cenderung berpegang teguh pada apa yang telah menjadi kebiasaan atau yang telah biasa ia lakukan sebelumnya sehingga untuk melepaskan diri dari berbagai fikiran dan kebiasaannya yang akan membutuhkan usaha, kemauan, dan tekad yang kuat. Berpegang teguh pada fikiran lama, kebiasaan dan tradisi yang berlaku, inilah yang merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan fikiran menjadi statis dan tidak mau menerima fikiran-fikiran baru yang dikemukakan padanya.
Kenapa hal ini dikatakan sebagai faktor penghambat berfikir? karena dengan berpegang teguhnya seseorang kepada sesuatu, maka kita dapat pastikan pemikiran-pemikirannya pasti memihak kepada hal yang dipegangnya dan tinjauan-tinjauan analitis yang pasti memihak, sedikit atau banyak. Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an, sebagai berikut :
a. QS. Yunus ayat 78
10:78
Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua".
b. QS. Al-Zukhruf ayat 22-23
43:22
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".
43:23
Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dan suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.
c. QS. Al-Maidah ayat 104
5:104
Apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab : “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.
d. QS. Al-Baqarah ayat 170
2:170
Dan apabila dikatakan kepada mereka : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab : “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
e. QS. Al-A’raf ayat 70
7:70
Mereka berkata : “Apakah kamu datang kepada kami agar kami hana menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
f. QS. Saba ayat 43
34:43
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang, mereka berkata : “Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu”, dan mereka berkata : “(Al Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja”. Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu tidak datang kepada mereka : “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.
2. Tidak Cukup Data yang Ada
Dalam metode berfikir perspektif Al-Qur’an, tak mudah untuk berfikir tanpa data dan informasi yang cukup yang diperlukannya mengenai obyek atau problem yang dihadapinya. Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan tentang pentingnya pengetahuan tentang obyek yang difikirkan untuk bisa sampai pada realitas yang sebenarnya.
Al-Qur’an melarang kita menyatakan pendapat tentang sesuatu yang tidak kita ketahui atau yang tidak kita mliki data dan informasi yang terhimpun dalam pengetahuan tentangnya. Allah SWT berfirman :
a. QS. Al-Isra ayat 36
17:36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.
b. QS. Al-Hajj ayat 3
22:3
Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat.
c. QS. Al-Hajj ayat 8
22:8
Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.
d. QS. Ghafir ayat 35
40:35
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
e. QS. Ghafir ayat 56
40:56
Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
f. QS. Yunus ayat 36
10:36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
g. QS. Al-Jatsiyah ayat 32
45:32
Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya)".
Apabila seseorang tidak berhasil memperoleh semua data tentang obyek yang difikirkan, kadang ia berpaling pada dugaan dan menempuh jalan keluar yang bisa salah dan bisa benar. Sering orang mempergunakan dugaan dalam menilai sesuatu tanpa memiliki bukti yang mendukung dugaannya itu, dan kemudian sering ternyata dugaan tersebut ternyata salah, maka Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Oleh karena kestatisan pemikiran demikian buruk akibatnya bagi manusia, karena membuatnya kehilangan ciri utama yang dianugerahkan Allah kepadanya dan yang membedakannya dari hewan, malah lebih rendah lagi, maka Al-Qur’an mendorong manusia untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu pemikiran dan memacetkan akal budinya. Lebih jauh Allah juga mengecam orang-orang yang musyrik yang mengekor nenek moyang mereka dalam pemikiran dan agama mereka, dan membuat mereka menolak ide-ide baru.
B. Memahami Ayat dengan Ayat
Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat :
"Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.
Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah : "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)
C. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih
Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam. Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya :
"Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda : "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)
Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda : "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (HR. Muslim).
Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karenanya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
D. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat
Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)
Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).
E. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab
Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).
Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.
Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).
Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).
Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."
Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh : iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
F. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul
Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).
Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
1. Firman Allah SWT QS Al-Nisa (4): 43
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab seorang bertayamum dan dalam keadaan tidak ada air, bila ia “menyentuh” wanita (لََمستم النساء ). Menurut Ibnu Mujahid, bahwa Ibn Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr, dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساءsedangkan Hamzah dan al-Kisa’I membacanya dengan لمستم النساء Dalam I’rabul Qur’an dijelaskan bahwa لمستم النساء ada tiga macam pendapat ulama tentang maknanya yaitu (1) hubungan seksual ( جامعتم ) (2) bersentuh ( باشرتم ) (3) bersentuh dan berhubungan seksual (يَجْمع الأمْرَيْن جميع ). Akan tetapi menurut Muhammad bin Yazid, bahwa yang lebih tepat makna لامستم ialah berciuman ( قَبّلْتُم ) dan semisalnya, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna (لمستم) adalah menyentuh karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.
Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata (لامستم) di sini berarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu berahi. Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh maupun yang disentuh. Kata (لامس) dalam ilmu sharaf merupakan bentuk kara kerja musyarakah, adanya interaksi antara yang menyentuh dan disentuh. Sedangkan qira’at (لمس) adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’at pertama mendukung pendapat Mazhab Hanafi dan Maliki, dan qira’at kedua mendukung pendapat Mazhab Syafi’i.
Dalam Mafatih al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, al-Hassan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dengan Laamastum ialah hubungan seksual. Sedangkan Ibn Mas’ud , Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud ialah bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakiki dari lamasa ialah menyentuh dengan tangan. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan pengertian hakiki. Sekalipun menurut al-Qasimiy dapat diartikan dengan makna “bersetubuh” tapi hal itu makna majazinya. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan makna hakikinya. Hemat penulis, batalnya wudhu dengan sebab bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, baik bersentuhan itu sekedar ataupun sampai hubungan seksual. Karena inilah arti hakiki dari kata (لمس) (menyentuh) dan (لامس) (bersentuhan).
2. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 222
Ayat ini memberi informasi larangan bagi suami melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haid. Larangan tersebut berakhir dengan, jika istri sudah suci kembali (حتّى يَطْهُرْنَ ). Dalam Kitab Al-Saba’at disebutkan bahwa ada dua cara membaca kalimat tersebut yaitu menurut Hamzah, al-Kisa’i dan ‘Ashim riwayat Syu’bah, membacanya dengan (يَطَّهُرْنَ) Sedangkan Ibn Kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membacanya dengan (يَطْهُرْنَ)
Sebagian ulama menafsirkan qira’at : janganlah kamu berhubungan seksual dengan istri sampai mereka suci (الطهرَ). Sedangkan qira’at (يَطْهُرْنَ) menafsirkannya dengan “janganlah kamu bersenggama dengan mereka, sampai mereka bersuci التَطهّر) (. Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an disebutkan bahwa pengertian (التَطْهُرَ) ada yang menafsirkan dengan mandi; ada dengan wudhu; ada dengan mencucui farjinya (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut; dan ada pula yang menafsirkannya dengan mencuci atau membersihkan farj dan berwudhu.
Sehubungan dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Awza’i dan al-Sawi berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya bersenggama dengan seorang istrinya yang sedang dalam haid, sampai istrinya itu berhenti dari haid dan mandi junub. Imam as-Syafi’i memberi alasan qira’at mutawatirat (qira’at sab’ah). Bila ada dua versi qira’at dan dapat digabungkan, maka kita wajib menggabungkannya. Sehingga menjadi “Tidak boleh suami bersenggama dengan istri yang sedang haid, sampai istrinya itu berhenti dari darah haidnya (suci) dan mandi junub. Alasan lain ialah penggalan ayat berikutnya yaitu فاذا تَطَهّرْنَ) (فأْتوا هُنَّ bahwa boleh suami berhubungan seksual dengan istrinya yang telah menjalani haid, apabila telah bersuci dengan cara mandi.
Sementara itu Abu Hanifah menafsirkan (ولا تقربوهن حتى يَطَّهُرْنَ) dengan: janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka suci, yakni telah berhenti dari haid. Dengan demikian suami boleh melakukan hubungan seksual dengan istri mereka setelah darah haid mereka berhenti. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, Hasanuddin berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang haid itu ialah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti dari haidnya dan telah mandi dari hadas besarnya. Hal ini mengingat pengertian (التطهر) dalam rangkaian ayat tersebut yaitu (فإذا تَطَهُّرْن فأْتوهن)
3. Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 6.
Persoalan dalam ayat ini apakah dalam berwudhu itu wajib membasuh kedua kaki (وأرجلكم) atau cukup dengan menyapunya saja. Menurut al-Khinn, bahwa perbedaan ini timbul dari perbedaan qira’at. Nafi’, Ibn Amir dan al-Kisai membaca (أَرْجُلَكم) dengan nasab (fathah lam). Sedangkan Ibn Kasir, Abu Amir dan Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qira’at nashab, jumhur ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak memadai dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Syi’ah Imamiyah berpegang pada qira’at jarr sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam berwudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik. Senada dengan iti Jahid mengemukakan bahwa wajib menyapu kedua kaki bagi yang memilih qira’at kasrah lam dan wajib membasuh bagi yang memilih qira’at fathah lam. Qira’at fathah lam menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu wajib dicuci (dibasuh) karena ma’tuf kepada فاغسلوا وجوهَكم)) Sementara qira’at jarr lam menurut lahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada (وامسحوا برءوسِكم).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bahasan-bahasan di atas, sekilas kita dapat fahami bahwa Al-Qur’an yang merupakan kitab induk undang-undang kehidupan pun telah mengajarkan banyak hal tentang metode berfikir, hal ini dibuktikan dengan ditemukan dan dikemukakannya ayat-ayat tentang berfikirnya manusia, sisi-sisi yang dilarang, faktor-faktor penghambatnya, dan tidak lupa jalan keluarnya.
Kita sebagai manusia layaknya terus selalu berfikir dan mengumpulkan data dan informasi tentang sebuah obyek pemikiran, menciptakan analogi, hipotesa dan keputusan yang didasari untuk mencari, menemukan, dan mendapatkan kebenaran, yang kita hasilkan dengan kejernihan akal dan feeling juga insting sebagai manusia yang diberikan akal dan kemampuan nalar yang luar biasa, sehingga kita akan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang objektif dan tak memihak ataupun memaksakan kepentingan pribadi.


Menu Puralexy

Istilah Ilmu Hadis (Hadis Masyhur)

ISTILAH ILMU HADITS

PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.

Istilah istilah Hadits

Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah
“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing.” Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.
Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.
Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

Pembagian Hadits

1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.
a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :
= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.
= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).
Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”
b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.
Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :
1. hadits sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri). Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.
Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
• dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
• dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).
Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya dimauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.
2. hadits hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad
nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.
3. hadits dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.
2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :
a. hadits masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekalipun hal itu maudhu’ (palsu).
b. hadits ‘aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.
c. hadits gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :
• gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
• gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.
3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :
a. hadits maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :
- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.
- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.
- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.
- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.
Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :
1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.
b. hadits mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :
a. mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.
b. mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw.
c. mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.
d. munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.
e. mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad. Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi
dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.
¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :
a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.
b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.
c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.
d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.
Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :
• mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.
• mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf). Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lainnya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz, dan ikhtilath.
• hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.
• hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada
bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
• hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
• hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima. Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.
4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :
a. hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.
b. hadits mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.
c. hadits maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.
d. hadits muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.
e. hadits al nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan f. hadits nazil nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
keistimewaan khusus yang ada pa dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.danya.



Hadis Masyhur

Iman, Islam, Ihsan


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ. قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ.

[رواه مسلم]

Dari Umar juga dia berkata:
“Ketika kami duduk-duduk di samping Rasul Allah suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh. Tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasul Allah) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?” maka bersabdalah Rasul Allah: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan pergi berhaji apabila mampu.” Kemudian dia berkata: “Engkau benar.”
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk,” kemudian dia berkata: “Engkau benar”.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan (kebaikan)”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya,” beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya,” kemudian orang itu berlalu.
Aku berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasul Allah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan orang yang diutus-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (dengan maksud) mengajar tentang agama kalian.” [HR.
Muslim]





Hadits ditinjau dari Kualitas dan Kuantitas



BAB I
PENDAHULUAN
Dengan percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialahal-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya nescaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung, hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak pembagian hadis yang selama ini beredar baik ditinjau dari kuantitasnya yang meliputi hadis mutawatir dan ahad maupun dari segi kualitasnya yang terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis menyadari didalam makalah sanagat jauh dari kempurnaan kritik dan saran pembaca secalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.






BAB II
HADIS DI TINJAU DARI KUANTITASNYA
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. sebagian mereka melihat pembahagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Bagan I
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Secara etimologi kata mutawatir adalah isim fail dan masdar-nya adalah tawatur yang berarti mutabi’ (datang berturut-turut dan beriringan antara satu dengan yang lain ). Secara terminologi hadits mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua tabaqahnya jika terdiri dari beberapa tabaqah.[1]
Hadits mutawatir berarti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang secara umum mustahil untuk sepakat berbohong dari awal hingga puncaknya, nabi Muhammad SAW.[2] Menurut Nur Ad-din ‘Atar hadits mutawatir merupakan hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad hingga akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.[3]
2. Kinerja
Adapun syarat hadits mutawatir ini yang lebih banyak merincikannya adalah ulama ushul. Sementara ulama hadits tidak banyak merincikannya karena menurut mereka hadits ini tidak termasuk kedalam pembahasan ilmu al – isnad yaitu ilmu yang membicarakan tentang sahih atau tidaknya, diamal tidaknya hadits, padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak di bicarakan hal itu, jika di ketahui hadits mutawatir maka wajib melaksanakannya karena diyakini kebenarannya sekalipun perawinya orang kafir[4]
Adapun syarat hadits muawatir meliputi : a) hadits yang diriwayatkan harus melalui tanggapan panca indra, b) kualitas rawi sampai pada jumlah yang menurut adat mustahil mereka mufakat untuk berdusta hadis ini harus di riwayatkan oleh sejumlah perawi besar yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mengenai jumlah perawinya ulama bebrbeda pendapat dalam menetapkan ada sebagian yang mengatakan jumlah perawi dalam hadis ini berbagai pendapat yang di muali dengan mengatakan 5, ada yang 12 dan ada 40 hingga sampai 70 orang perawi sebetulnya bukan merupakan hal yang pokok yang menjadi ukuran rawi namun diukur pada tercapainya ilmu dharuri, sekalipun perawinya hanya 5 orang asalkan memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan. c) adanya keseimbangan jumlah rawi di awal dan ditengah thabaqatnya dengan demikian jika suatu hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat kemudian di terima oleh 10 tabi’in dan berikutnya hanya diterima 5 tabi’in tidak dapat di golongkan hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang akan tabaqat pertama dengan tabaqat-tabaqat selanjutnya, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keseimbangan jumalah rawi pada tiap tabaqat tidaklah terlalu penting sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi terhindar dari kemungkinan berbohong.[5]
Menurut ulama ada yang membagi hadits mutawatir kedua bagian dan ada pula yang membaginya kepada tiga bagian yaitu :
· Hadist mutawatir lafzhi adalah hadits mutawatir periwayatannya dalam hal lafadz dan ada juga yang mengatakan mutawatir lafaz dan maknanya, Ibnu Hajar menolak pendapat ini, menurutnya diantara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal diantara ahli ilmu baik ditimur dan di barat yang mereka yakin sah disandarkan kepada pengarang – pengarang apabila mereka berkumpul untuk meriwayatkan hadits maka menurut adat maka mustahil mereka sepakat untuk berdusta.[6] Ibnu Salah mengatakan hadis yang seperti ini sangat jarang di temukan.[7]
· Mutawatir maknawi adalah hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta mereka menukilkan dalam berbagai bentuk tetapi mempunyai kesamaan dalam hal maknanya yang isinya mengandung satu hal, satu sifat atau sau perbuatan. Contohnya ‘’Abu Musa al-Asy’ari berkata : Nabi Muhammad SAW, berdoa kemudin ia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat puih-putih di kedua ketiaknya. Hadis seperti ini diriwatyatkan dari Nabi Muhammad SAW. Berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai titik kesamaan yakni rasul mengangkat tangan saat berdo’a. Meski hadis-hadis tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai qadar mustarak (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan Rasulullah yang mengangkat tangan pada saat berdo’a, maka disebut sebagai hadis Mutawatir-maknawi[8]
· Hadis muatawatir amali ialah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk urusan agama dan telah muatawatir antara umat Islam bahwa Rasullullah SAW. menyuruhnya atau mengerjakannya. Hadits ini banyak jumlahnya seperti hadist yang menerangkan waktu shalat, jumlah raka’at, salat ied, kadar zakat harta dll.[9]
3. Kehujjahan
Kehujjahan hadis mutawatir sudah diakui oleh semua ulama maka hadis mutawatir harus di terima dan wajib di amalkan karena tingkat hadis yang paling teratas dan sudah teruji kebenarannya. Hadits mutawatir telah disepakati oleh ulama oleh karenanya dapat di jadikan hujjah dan wajib mengamalkannya hadis muatawatir di anggap qath’iy, oleh karena itu hadis mutawatir tidak dibahas lagi perawinya.
B. Hadis Ahad
1. Pengertian
Al – Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu, jadi hadis ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[10] Hadits ahad ialah hadist yang jumalah rawinya tidak mencapai mutawatir dan bila di tinjau setiap tabaqahnya hadits ahad ini tidak mencapai derajat mutawatir, dari sudut pandanganya tidak sampainya jumlah rawi setiap tabaqatnya.[11]
2. Kinerja
Seperti halnya hadis muawatir hadis ahad juga terdapat beberapa bagian adapun beberapa bagian dalam hadis ahad ialah: Hadis masyhur dan hadis ghairi masyhur.
Hadis masyhur menurut bahasa ialah al-antisyar wa al-dhuyu ialah sesuatu yang sudah populer. Menurut bahasa hadis ini ialah hadits mutawatir yang tidak membatasi sanadnya. Hadits masyur ini ada beberapa macam menurut masyurnya; a) hadis yang mashyur di kalangan ahli hadits saja b) hadis yang masyhur di kalangan ulama dan masyarakat umum saja c) hadist yang mashyur di kalangan fuqaha saja, d) hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, e) hadist yang masyur dikalangan ulama ahli bahasa, f) hadist yang masyhur dikalangan ahli pendidikan dan hadist yang masyhur di kalangan masyarakat umum.[12]
Ada ulama yang memasukkan hadis masyur, merupakan segala hadis yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik bersetatus dhaif maupun sahahih. Ulama Hanafiah, bahwa hadis ini menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib di amalkan akan tetapi bagi yang menolaknya tidak kafir. Contohnya “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi” ini merupakan hadis mansyur sahih. Disamping itu terdapat hadis mansyur hasan ialah hadis mansyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan baik mengenai sanad maupun matannya seperti “jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain) [13]
Hadis Ghair Masyhur dibagi dua yaitu pertama hadis aziz, hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad, suatu hadis dikatakan hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap tabaqat, yakni pada tabaqat pertama hingga tabaqat terakhir tetapi selagi salah satu tabaqatnya didapati dua perawi tetap dikatakan hadis aziz. Contohnya : tidak beriman seseorang dianara kamu, hingga aku lebih dicinttai daripada dirinya, orang tuanya, anaknnyadan semua manusia ( H.R. Bukhari - Muslim)[14]
Hadits gharib menurut bahasa al-Munfarid (menyendiri) atau al-ba’da an aqaribihi (jauh dari kerabatnya) dan menurut terminologi ialah hadits yang hanya di riwayatkan oleh satu rawi atau disebabkan oleh adanya penambahan dalam matan atau sanad, hadis yang demikian disebut gharib karena keadaanya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain seperti orang yang jauh dari tempat tinggalnya. Hadis ini di bagi kepada dua bagian meliputi hadis gharib mutlak dan hadis gharib nisbi.
* Hadis gharib mutlak adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi walaupun hanya satu tabaqat. Contohnya “hubungan kekerabatan dari budak adalah sama seperti hubungan kerabat nasab” tidak boleh jual atau dihibahkan. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yaitu Abdullah Bin Dinar dari Ibnu Umar dan diantara contoh hadis seperti kata Imam al- Turmudzi hadis ini gharib karena tidak kami ketahui kecuali melalui riwayat ini.[15]
* Hadis gharib nisbi ialah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, bisa berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu. Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan kota “ kami diperintahkan oleh rasulullah agar membaca al- fayihah dan surat yang mudah dalam al- Qur’an” hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daut dengan dengan sanat Abu al- Walid al- Ayalisi, Hammam, Qaadah, Abu Nadrah, dan Said semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[16]

Menurut jumhur ulama baik hadits mutawatir maupun hadits ahad berfungsi sebagai ilmiah dan operasional, ilmiah disini bisa dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan tetapi ada perbedaan dalam sisi epistimologinya sebagian mengatakan ilmu yang dihasilkan melalui hadits bersifat dharury dan ada yang mengatakan bersifat nazhari.
3. Kehujjahan
Ibnu Taymiyah berpandangan bahwa hadis mutawatir ialah hadis-hadis yang mempunyai fungsi ilmiah, ini tampak bahwa Ibnu Taymiyah melihat hadist muawatir bukan dari segi kuantitas perawinya tetapi dari kualitasnya, jika di kaji ulang benar adanya yang diungkapkan oleh Ibnu Taymiyah yaitu berapa banyak hadis yang tidak diamalkan dan tidak menjadi syari’at.
Secara operasional fungsi hadits ahad di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menolak mengamalkan hadis ahad dan kelompok yang memperbolehkan untuk mengamalkannya hingga sampai mewajibkannya pengalaman hadis ahad yang sudah di golongkan pada hadis sahih dan hasan. Sebab jika sudah di tentukan kesahihannya sekalipun bersifat zhanniyat-tsubut pastilah hadits tersebut datang dari nabi Muhammad SAW. Para ulama dan imam agama mujtahidin, jika ada ulama yang tidak mengamalkan hadits ahad menurut jumhur hanyalah karena tidak menyakini kesahihannya, buka karena menolak hadis ahad. [17]
Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.[18]
Berikut ini beberapa perbedaan pendapat dalam pengalaman hadis ahat dalam pengamalan hadis ahad ulama –ulama berbeda pendapat yaitu: Abu hanafiah memberikan syarat-syarat yaitu: a) para perawinya tidak menyalahi riwayatnya b) riwayatnya tidak mengenai hal-hal yang bersifat umum dan c) riwayatnya tidak menyalahi qiyas. Malikiah memberikan syarat bahawa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan dengan tradisi ulama madinah karena amalan – amalan mereka sama dengan riwayatnya. As-Syafii’i tidak mensyaratkan ke-masyhurannya, tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah dan juga tidak mensyaratkan agar tidak menyalahi qiiyas ia hanya memberikan kesahihan sanad hadis yang sambungan sanad karena adanya perbedaan dalam beberapa hal di atas sebagian ulama Hanafiah tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hadis ahad akan tetapi hanya menghukumi berdosa.[19]
Contohnya: “Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih). Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

BAB III
HADIS DI TINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya, adapun pembagiannya dapat tergambar pada bagan di bawah ini:
Bagan II
Hadis Ditinjau
Dari Kualitas
Maudhu
Lighayrihi
Lidzatihi
Ahad
Mutawatir
Shahih
Hasan
Dha’if








A. Hadis shahih
1. Pengertian
Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis shahih hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah hadist yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[20]
2. Kinerja
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi krieria yang meliputi: a) Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadis yang muttashil dan mausul (yang bersambung), b) Seluruh periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri, c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki, d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz, e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat, i’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illat. [21]
Contoh hadis shahih Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : "Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah." (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa tingkatan-tingkatan hadis yang banyak di ungkapkan oleh para ulama meliputi: hadis yang di sepakati keshahihannya oleh bukhari dan muslim yang lazim disebut dengan istilah Muttafaqun ‘alaihi.
* Hadis yang di shahihkan oleh bukhari saja
* Hadis yang dishahihkan oleh muslim saja
* Hadis sahih yang diriwayattkan oleh muslim saja
* Hadis yang diriwayatkan oleh selain bukhari dan muslim yang mengikuti syarat-syaratnya
* Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat bukhari
* Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat Muslim
* Hadis –hadis yang disahihkan oleh selain keduanya seperti ibnu Khuzaima, Ibnu hibban meskipun tidak memenuhi sayarat-syarat keduanya[22]

Sumber-sumber hadis-hadis sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain;
* Al- Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M)
* Al-Jami’ as – Shahih al- Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al- Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
* Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj al-Qusyairy an nasisabury (206-261H).
* Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar al- huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab al-Bukhari
* Sahih ibn hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad ibn hibban wafat 354 H.[23]

Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu hadits sahih lidzatih dan hadits shahih li ghairh. Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim –muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya ; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadis ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih. [24]
Hadis sahih lighairih adalah hadis yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
3. Kehujjahan
Ibnu Hazm al- Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib diyakini dengan demikian hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.[25]Maka dapat di simpulkan bahwa hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
B. Hadis hasan
1. Pengertian
Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat.[26]hadis hasan ialah hadis yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadis itu tidak syadzdan tidak pula terdapat ‘illat[27]
Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para periwayat bersifat adil, c) diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan, e) tidak ber- illat.[28]
2. Kinerja
Pembagian hadis hasan terdiri dari hasan lidzatih dan hasan lighairih, hadis hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain dan kalau ada hanya di sebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis lidzatih, sedangkan hadis hasan lighairih adalah hadis yang pada asalnya adalah hadis dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.
Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadis hasan [29]
Meskipun ada hadis dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadis dhaif bisa meningkat menjadi hadis hasan, hadis dhaif yang bisa meningkat menjadi hadis hasan adalah hadis- hadis yang tidak terlalu lemah seperti hadis maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadis hasan lighairih. [30] Sebaliknya hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadis itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadis itu berambah dhaif.
3. Hujjah
Hadis hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadis hasan lidzatih maupun hasan lighairih, al- Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadis hasanlah berkisar banyak hadis karena kebanyakan hadis tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadis. Factur rahman mengatakan bahwa kebanyakan ahli ilmu dan fuqaha sepakan unuk menggunakan hadis sahih dan hasan untuk berhujjah bila memenuhi sifat-sifatt yang dapat di terima tetapi ia menegaskan bahwa kedua-duanya dapa di terima dengan demikian krieria bahwa harus memenuhi sifat yang dapat di terima bisa saja di hilangkan.[31]
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
2. Kinerja
Adapun ciri-ciri hadis daif ialah; a) periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta, b) banyak membuat kekeliruan, c) suka pelupa, d) suka maksiat atau fasik, e) banyak angan-angan, f) menyalahi periwayat kepercayaan g) Periwayatnya tidak di kenal, h) penganut bid’ah bidang aqidah dan i) tidak baik hafalannya. [32] Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya[33]
Contoh hadis Dhaif “bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya “ hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[34] Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan :










Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.[35]
3. Kehujahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
  1. Level Kedhaifannya Tidak Parah. Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.[36]
D. Hadis Maudhu
1. Pengertian
Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat- buat, sedangkan menurut terminologi hadis maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada- ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau idak dilakukan dan atau tidak di setujui.[37]Menurut Jalaluddin Suyuthi bahwa hadis maudhu adalah hadis yang di buat-buat oleh para pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. di katakan juga dengan hadist palsu, para pemalsu hadits membuat suatu matan dengan kemauannya sendiri dengan rangkain muatiara yang indah kalimat yang lengkap dan pribahasa yang padat penuh arti, kemudian disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil sampai kepada nabi Muhammad SAW.
2. Kinerja
Hadis ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu , ada beberapa macam hadis maudhu yaitu: Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW. juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadis dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin Musa al- Zahid dalam hadisnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.[38]
Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah merka banyak mengarang hadis untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadis pada berbagai masa orang –orang suka menurutkan hawanafsu terus menerus untuk berbohong [39], Hammad bin Zaid hadis telah memalsukan tak kurang dari 14. 000 hadis palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi al-Auja elah memalsukan 4000 hadis mengatakan adapun yang melatar belakangi munculnya hadis palsu ini adalah :
· Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
· Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali
· Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud.
· Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah
· Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.
· Untuk mencari rezeki dengan membuat hadis –hadis maudhu seperti yang dilakukan oleh ppencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini
Hadis maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan atau matannya, jika dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi; a) susunan lafalnya kacau, b) maknanya rusak, c) bertentangan dengan nas al- Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan, d) bertentangan dengan hadis mutawatir, e) bertentangan dengan aqidah umum baik dengan al- qur’an amupun sunnah.[40] f) pengakuan pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.[41]



BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html
http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
http://www.asiautama.com/hadits/UlumulHadits.pdf
http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/jenis-%E2%80%93-jenis-hadis/
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadist, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009




MAKALAH HUKUM SYARA' DAN UNSUR-UNSURNYA

HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
5. Apa pengertian mahkum bih?
6. Apa pengertian mahkum alaih?
7. Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam?
C. METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penyusun menggunakan metode library research (metode kepustakaan), yaitu dengan jalan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dengan tujuan untuk mengambil dan mendapatkan bahan-bahan yang ada hubungannya tentang hukum syara dan unsur-unsurnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM SYARA
1. Pengertian Hukum syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftn1
2. Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a. Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b. Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
3. Bentuk-Bentuk Hukum Syara
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
a. Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
b. Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftn2
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
c. Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
d. Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e. Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh. Yang artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
4. Macam-Macam Hukum Wadh’i
a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b. Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
B. OBJEK HUKUM (MAHKUM BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftn3
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
C. SUBJEK HUKUM (MAHKUM ‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
D. PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
 Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
 Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
 Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
 Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
 Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
 Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
 Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
  • Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
  • Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
  • Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
  • http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftnref1Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
  • http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftnref2Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
  • http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html - _ftnref3Abdul Wahab Khalaf. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Sumber : http://makalah85.blogspot.com/2009/01/hukum-syara-dan-unsur-unsurnya.html

Filsafat Ilmu Islam

1. Pemahaman Makna Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu, secara umum bisa dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan dan sudah tentu memiliki sifat dan karakteristik yang hamper sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara sebagai landasan filosafis bagi proses keilmuan, ia tak lain adalah kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.

Menurut Lewis White Beck : filsafat ilmu diartikan : philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of the scientific enterprise as a whole.

Menurut Peter A. Angeles, sebagaimana dikutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejarah ilmu dan lain – lain.

Menurut A. Cornelis Benjamin, mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar – dasar ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan metode – metode, konsep – konsep, praduga – praduganya, serta posisinya dalam kerangka umum cabang – cabang intelektual.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungannya dengan segala segi kehidupan manusia.

2. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Ilmu adalah :
a. Ilmu Natural Science
b. Ilmu Social Science
c. Ilmu Humanitics.
Menurut Dilthey, ruang lingkup itu meliputi :
a. Ilmu Natural Science
b. Ilmu Social Science
c. Ilmu Humanitics.
d. Ilmu cultural-historical-science
Menurut Jurgen Habermas, ruang lingkup filsafat Ilmu itu adalah :
a. Ilmu – ilmu emperis – analytic ( ilmu – ilmu alam, hukum, psykologi )
b. Ilmu – ilmu historis – hermeneutis ( ilmu agama, filsafat, bahasa, sastra, budaya )
c. Ilmu – ilmu social kritis ( ilmu politik, ekonomi, sosiologi ).

3. Madzab – Madzab Dalam Filsafat Ilmu : diantaranya emperisme, positivisme, relativisme, eksistensialisme.
4. Emperisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.

Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.

Tokoh-tokoh Emperisme :
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)

5. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

6. Relativisme
Menurut Mohammad A. Shomali dalam bukunya Relativisme Etika.
Relativisme adalah pandangan yang menekankan relativitas kebenaran secara umum. Ia menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena ia tidak mempunyai sifat intrinsik dan tidak ada seperangkat norma epistemik yang secara metafisis lebih istimewa daripada yang lain. Mengenai sejarah relativisme kognitif, L. P. Pojman menulis:

Tokoh Sofis Yunani, Protagoras, orang pertama dalam sejarah yang menganut pandangan semacam itu, mengatakan “manusia adalah ukuran segala sesuatu: ukuran segala sesuatu secara apa adanya, dan ukuran sesuatu yang bukan sebagaimana adanya.” Nelson Goodman, Hilary Putnam, dan Richard Rorty adalah para filsuf kontemporer yang menganut beberapa versi relativisme. Rorty misalnya, mengatakan bahwa “‘kebenaran objektif’ tak lain hanyalah gagasan terbaik yang kita miliki mengenaik cara menjelaskan apa yang tengah terjadi” (Pojman, 1996, hlm. 690).


Uraian selayang-pandang mengenai literatur topik ini menyatakan bahwa pada abad ke-19 dan terlebih lagi pada abad ke-20, jumlah filsuf yang menganut relativisme kognitif bertambah. Mereka memiliki kesadaran yang lebih baik tentang keragaman budaya, moral, dan pandangan-dunia, mempertimbangkan “Revolusi Kopernikan” versi Kant secara lebih serius (dan menarik semua implikasinya), dan mengkritik filsafat sains yang positif, yang dianggap sebagai faktor penting yang memberi kontribusi terhadap perkembangan relativisme kognitif pada filsafat kontemporer. Akan tetapi, seperti yang akan saya jelaskan kemudian dalam kajian tentang sejarah relativisme etika, kebanyakan filsuf selalu menghadapi persoalan serius dalam mempertahankan relativisme. Apalagi pada paruh kedua abad ke-20, dukungan terhadap relativisme mulai merosot.

Meski pun topik buku ini adalah relativisme etika, namun akan ditelaah lebih jauh relativisme kognitif pada pembahasan saya mengenai konsep kebenaran relatif. Kritik khas terhadap relativisme kognitif adalah bahwa ia dengan sendirinya terbantah, sebab ia menampilkan berbagai pernyataannya secara universal benar, dan bukan relatif semata.

7. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.

8. Analisis Tentang Epistimologi Dalam Persfektif Islam :
ISLAM DAN FILSAFAT ILMU
Islam Adalah Agama Akal
الد ين عقل لادين لمن لا عقل له
Ungkapan itu memiliki arti bahwa Islam adalah agama akal (adalah tidak dibebani syarai’at agama orang yang tidak berakal) Al Hadits. Hal ini menunjukkan bahwa betapa Islam sangat menghargai akal fikiran manusia yang merupakan tempat menampung ilmu pengetahuan dan sekaligus ia yang membedakan antar manusia dengan makhluk yang disebut binatang. Di dalam al Qur’an cukup banyak ayat ayat yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan orang orang yang memilikinya. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat 11 A1 Mujadalah ayat 11:

يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات (المجادلة: 11)

Bahwa Allah akan mengangkat derajat orang orang yang beriman diantara kamu dan orang orang yang berilmu de¬ngan beberapa derajat. (QS. Al Mujadalah: ll)

قل هل سيتوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون (الزمر: 9)

Katakanlah apakah sama orang orang yang mengetahui dan prang orang yang tidak mengetahui (Q.S. Az-Zumar: 9) , dan bahkan ayat ayat yang pertama tama turunpun memerintahkan manusia untuk membaca, membaca dap membaca, bukankah didalam¬nya dikandung maksud agar manusia itu belajar, berilmu dan tidak bodoh, dan agar nampak perbedaan antara manusia dengan jenis makhluk lainnya manusia dituntut un¬tuk menggunakan akalnya. Hanya persoalannya, pengetahuan mana harus kita ketahui terlebih dahulu dan mana yang ke¬mudiannya, dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengetahuan itu?, masalah ini sudah lama dipersoalkan.Socrates, Plato dan juga Aristoteles misalnya telah membahasnya secara panjang lebar. John Lock seorang filosof yang sangat banyak pengaruhnya setelah renaisans Eropa telah menjadikan teori pengetahuan sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Bahwa ia menganggap keliru untuk membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan. Menurutnya sebelum berpikir, masalah masalah pemikiran itu ha¬rus diselesaikan terlebih dahulu. Sebelum bekerja alat a¬lat kerja harus diselesaikan terlebih dahulu. Sebelum or¬ang mencangkul tanah, cangkul harus diselesaikan terlebih dahulu.
Sedangkan masalah pengetahuan yang menurut John Lock harus diawali dengan teori tersebut, menurut sejarah filsafat dapat diperoleh melalui beberapa sumber diantaranya:
a. Pengetahuan itu dibawa lahir bersama kelahiran manusia
b. Atau diperoleh dari budi

c. Atau diperoleh. dari indera indera khusus yaitu pendengaran, penglihatan, ciuman, dan rabaan.
d. Atau berasal dari penghayatan langsung atau ilham.

Bentuk pengetahuan yang sangat sederhana adalah sekedar kesadaran, seperti apa yang berlangsurag kepada suatu organimme ketika ia disinggung atau dipengaruhi oleh suatu obyek, apabila organisme mulai memberikan jawaban terhadap suatu ransangan, sesudah itu memberikan response khusus terhadap suatu situasi, maka situasi itu mulai menganndung makna. Misalnya ia menarik, memberi harapan, atau mengancam. Hubungan yang timbal balik itu dapat disebut sebagai perkenalan. Sesudah itu datanglah bahasa dengan nama nama barang dan kejadian, istilah yang abstrak, penilaian dan penuturan. Interaksi dengan lingkungan menghasilkan pengalaman. Pengalaman itu menjadi dasar dan dapat meningkat menjadi situasi baru tertentu. Situasi dapat diolah oleh budi, dikontrol atau dikuasai. Pengalaman dasar inilah yang kemudian disebut dengan pengetahuan, yang selanjutnya diklasifikasi, diungkapkan dengan bahasa, dan dikodifikasi dalam istilah istilah ilmu.

Masalahnya tidak berhenti sampai disini, sebab setelah orang memiliki apa yang disebut pengetahuan ia masih akan mempertanyakan apakah pengetahuan yang dimilikinya i¬tu benar, dan apakah sebenarnya kebenaran itu? Dijelaskan di sini bahwa berbagai macam pengertian kebenaran akan menjadi jelas apabila kata itu kita hadapkan kepada lawannya dan kita susulkan artinya, seperti misalnya:
a. Benar lawan salah
b. Benar lawan seolah olah atau rupanya
c. Benar lawan dibikin bikin, dusta, khayalan, atau andai¬kata
d. Benar lawan dalam arti sungguh sungguh, lawan kemungkinan atau rupanya.
e. Benar dalam arti asli, lawan pemalsuan, atau tidak co¬cok dengan spa yang dikatakan tentang dia.
f. Benar dalam arti tepat, lawan tidak terjabarkan dari bahan bahan yang diberikan.
g. Benar dalam aeti kepastian, lawan tidak mengandung daya meyakinkan.

Beragam pengertian tentang kebenaran menggunakan lambang yang sama bahwa kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahunn dan apa yang jadi obyeknya. Yaitu apabila ter¬jadi persesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu.
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa masalah kebenaran adalah masalah hubungan antara ide ide kita dengan dunia realitas.

Ilmu dan Filsafat

قال الحكيم: الرجل اربعة، رجل يدرى ويدرى انه يدرى، فذ الله مالم فاتبعوه، ورجل يدرى ولا يدرى انه يدرى فذلك نائم فأيقطوه، ورجل لا يدرى ويدرى انه لا يدرى فذلك مستر شد فعلموه، ورجل لا يدرى ويدرى انه لا يدرى فذلك جاهل فارفضوه.
Kata orang bijak diatas menjelaskan bahwa dilihat dari sisi pengetahuannya manusia dibedakan menjadi 4 macam yakni:
1. Orang yang berilmu dan tahu bahwa dirinya berilmu, maka itulah orang pandai, karenanya ikutilah dia.
2. Orang yang berilmu tapi dia tidak tahu bahwa dirinya berilmu, dan itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah dia.

3. Orang yang tidak berilmu, akan tetapi dia tahu bahwa dirinya tidak berilmu, dan itulah orang yang mencari petunjuk, maka ajarilah dia.

4. Orang yang tidak berilmu, dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, itulah orang bodoh, maka tinggalkanlah dia.

Dalam kaitannya dengan kata orang bijak di atas, mari kita dengarkan dialog antara seorang awam dengan ahli filsafat. Berkata orang awam kepada seorang filosof . Tolong sebutkan kepada saya ada berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya! Filosof itu menarik nafas panjang kemudian berpantun:
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya
Kemudian ada orang awam itu bertanya lagi, lalu bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?, dengan tenangnya sang filosof itu menjawab: itu mudah, kemudian dilanjutkan dengan berungkap: “Ketahuilah apa yang kau tahu, dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”, lalu filosof itu melanjutkan pembicarannya dengan mengatakan, bahwa pengetahuan dimulai dengan ragu-ragu and kepastian dimulai dengan ragu ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang sudah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seolah tanpa batas ini. Demikian pula berfilsafat berarti mengoreksi diri, memiliki keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dapat dijangkau.

Sedangkan ilmu merupakan pengetahunn yang kita gumuli semenjak kita mampu berfikir sampai kita menelusuri lo¬rong lorong Perguruan Tinggi. Berfilaafat tentang ilmu berarti kita berani berterus terang terhadap diri sendiri, a¬pakah sebenarnya yang saya ketalui tentang ilmu, apakah ciri cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya yang bukan ilmu, bagaimana saya ketahui bahwa i1mu merupakan pengetahuan yang benar, kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah, kenapa il¬mu mesti kita pelajari, apa guna dan faedahnya dan seterusnya.

Demikian pula berfilsafat berarti berendah hati untuk mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita miliki. Apakah ilmu telah mencakup segala pengetahuan yang ha¬rus saga ketahui di dalam kehidupan ini?, Dibatas mana il¬mu mulai dan di batas mana ia berhenti?, Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini?, Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu?, dan jika aku ingin mengetahui kekuranganmu sama sekali bukan untuk merendahkanmu namun se¬cara sadar untuk lebih jujur dalam mencintaimu.

Dengan uraian di atas tentang ilmu dan filsafat, ma¬ka kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa filsafat berbicara tentang ilmu. Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling tumpang dinding. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukunya di dalamnya ilmu. Walaupun apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula adanya bagi seorang filosof. Hanya saja perlu diingat bahwa satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh seorang filosof adalah mencoba memberi¬tahukan kepada seorang ilmuwan mengenai apa yang harus di¬temukannya.

Karenanya seorang yang berfilsafat diumpamakan seba¬gai seorang yang kakinya herpijak di bumi dan sedang teng¬adah ke bintang bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirt nya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir yang pertama adalah sifat menyeluruh seorang ilmuwan yang tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat ilmu dari konstelasi pengetahunn yang lainnya, dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan a¬gama, dan dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya, dan seterusnya.


Agama (Islam) Dan Filsafat Ilmu

Islam agama wahyu yang dibawa oleh Nabi besar Muhammad SAW. lahir di tengah tengah kebodohan bangsa Arab yang mengikuti beraneka ragam agama dan suku bangsa yang sifatnya khash, atau barangkali lebih tepat untuk dikatakan sebagai “politheisme”. Berabad abad mereka berkelana di padang gurun menyaksikan gejala gejala keajaiban yang kemudian mereka jadikan obyek pemujaan. Dalam kondisi semacam itulah Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari bahaya kesesatan, ia telah menyobek ketidaktahuan politheisme. Cahaya Tuhan merekah melalui wahyu wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW dengan menerima perintahnya yang pertama sebagai berikut: Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menjadikanmu dari segumpal darah, Tuhanmu yang Maha Mulia, yang telah mengajarmu dengan kalam, mengajar manusia dati apa apa yang belum diketahuinya. Dalam semua agama terdapat perubahan dan merekahnya cahaya Tuhan Yang MaHa Esa itulah berkat pewartaan para Nabi. Akan tetapi apa yang diperbuat oleh Nabi Muhammad bukanlah sekedar mengobarkan api wahyu Tuhan yang tertutup oleh agama agama Arab pada masa ketidaktahuan, melainkan pula membulatkan karya para Nabi sebe¬lumnya. Agama yang dibawanya mengajak manusia kepada penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa (Islam). Umat beriman dipanggil untuk melibatkan diri secara aktif dalam mengentaskan manusia dari jurang kemiskinan dan kebodohan. Aktifitas itu nampak dalam bantuan yang diberikan kepada manusia ketika Nabi pernah ditanya: Perbuatan mana yang pantas disebut Islam yang paling baik, maka Nabi menjawab: “Bila kamu memberi makan kepada orang yang kelaparan dan menyebarkan perdamaian antara kenalan dan orang asing.”

Ciri khash Islam adalah arahnya yang fertikal. Kemudian dan transendentasi Tuhan Yang Maha Esa merupakan pusatnya.Vertikalisme ini mempunyai tiga aspek, pertama: A¬gama Islam berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi semua a¬gama, kedua: Bagi pemikiran Islam modern vertikalisme tadi menimbulkan pertanyaan pertanyaan, bagaimana hal ini dapat diserasikan dengan masalah masalah horisontal di dalam masyarakat modern seperti misalnya organisasi sosial, ke¬dudukan wanita, pengakuan terhadap nilai nilai modern dan reterusnya. Ketiga: Kedua aspek tersebut di. atas berjumpa dalam ketegangan antara teologi dan filsafat sebagaimana kita saksikan dalam dunia pemikiran Islam. Dalam filsafat Islam lebih dari kalangan kalangan agama lainnya masalah hubungan antara agama dan filsafat dirasa cukup menonjol. Di lihat dari satu sisi hal ini justru akan menghambat per¬kembarigan filsafat itu sendiri.

Sedangkan filsafat i1mu yang merupakan penyelidikan tentang pengetahuan ilmiah dan cara cara untuk memperolehnya, adalah sematan mata menggunakan akal sebagai modal dasarnya. Sehingga penyelidikan mengenai cara cara memperoleh pengetahuan ilmah tidak bersangkutan dengan proses-proses kejiwaan yang terdapat pada penyelenggara ilmu seo¬rang demi seorang. Juga tidak bersangkutan dengan syarat syarat dan lingkungan yang ditentukan lebih lanjut oleh penyelenggara ilmu secara umum, melainkan bersangkutan deng¬an susunan logika serta metodologik.

Oleh karena itu menurut Rene Descartes yang dikutip dalam bukunya “Sari Sejarah Filsafat Barat” oleh Harun Hadiwijono, dikatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Ilmu pasti menjadi satu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju.

Logika sebagai sarana menangkap ilmu pengetahuan me¬nurut Hegel permulaannya ialah ada, itu amat umum, tetapi juga amat tak berisi. Selama “ada” itu tak mempunyai barang sesuatu ketentuan maka samalah ada itu dengan tak ada. Ada itu thesis dan muncullah tak ada sebagai antithesis, maka adalah antithesis yaitu menjadi. Demikianlah menjadi itu menurutnya paduan dari thesis dan antithesis antara ada dan tak ada.

Oleh karena pemikiran kefilsafatan demikian mengandalkan akal fikiran manusia sebagai modal dasarnya, sementara apa yang disampaikan oleh agama tidak selamanya dapat diakalkan, maka sering terjadi ketegangan antara pemikiran filsafat dan dogma agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada abad abad pertama sebelum hijrah timbul aliran Mu’ta¬zilah yang ingin memerangi filsafat Yunani justru dengan menggunakan metode filsafat, sehingga golongan ini disebut rasionalis. Beberapa dalil yang oleh kalangan Islam ortodok dianggap sebagai menyimpang dari ajaran murni yang mereka ajarkan ialah, pertama: Manusia berkemauan bebas, karena tanpa adanya kemauan bebas mustahi1 menyusun etika. Kedua: mereka berpendapat bahwa al Qur’an diciptakan di¬dalam waktu, akhirnya bahwa sifat sifat Tuhan identik de¬ngan zat-Nya. Maksud mereka ialah membuka jalan bagi suatu analisa rasional, dan pembahasan tentang Tuhan serta patokan patokan tentang iman yang telah terikat waktu. Dengan mengingkari keabadian al Qur’an mereka mungkin tidak ber¬maksud untuk menisbikan ajaran agama, melainkan justru mengaktualkannya. Bahwa kebenaran bersifat abadi mungkin harus ditafsirkan demikian, bahwa pada jaman jaman berlainan “kebenaran” itu harus ditafsirkan berlainan pula. Bagaimanapun ajaran Mu’tazilah telah mewariskan nilai nilai positif, karena mereka telah mewariskan kepada ahli ahli pikir di kemudian hari masalah tentang otonomi filsafat, walau¬pun pada akhir abad kesembilan pengaruh Mu’tazilah berakhir dan ajaran mereka dilarang.

Ibnu Sina searang filosof terkenal telah membedakan antara zat Tuhan yang niscaya dengan dunia ciptaan yang tidak niscaya. Ia membedakan antara esensi (zat, hakekat sesuatu) dan eksistensi (adanya sesuatu, wujudnya), segala eksistensi bersumber pada Tuhan. Dengan demikian Ibnu Sina membedakan antara zat dan wujud, namun menurutnya sebagian dari keniscayaan eksistensi Tuhan itu terlimpah pada dunia ciptaan, sehingga dunia ini dapat dikenal secara rasional. Ia bahkan juga menarik suatu kesimpulan bahwa dunia bersifat awali, dan abadi tanpa awal dan tanpa akhir. Menurut¬nya dunia tidak beraval dalam waktu. Menurutnya menerima awal itu menurut zatnya.

Maka tidaklah heran bahwa ajaran-ajaran serupa itu akan menimbulkan perlawanan dari ahli ahli teologi Islam seperti al-Ghazali yang menyerang Ibna Sina dengan tajam dalam bukunya Al Tahafut Al-Falsafah, Ghazali membela patokan patokan agama yang diwahyukan seperti kebebasan Tu¬han dan terciptanya dunia dalam waktu. Tuduhannya terhadap Ibnu Sina bahwa dia menilai penalaran filsafat lebih tinggi daripada ajaran agama, menunjukkan bahwa ketegangan yang antara filsafat dan religi belum dapat diselesaikan. Disam¬ping di dalam kalangan Islam sendiri muncul aliran mistik (sufi) di atas suatu teori mengenai kenyataan mereka menempatkan kontak langsung dengan keindahan yang tercapai le¬wat kemiskinan, kerendahan hati serta kesepian, manusia, dapat manunggal dengan Tuhan. Pandangan mereka secara tidak langsung didukung oleh filsafat Ghazali dengan serangan¬nya terhadap kaum filosof. Demikian gambaran sekilas apa yang terjadi dari ketegangan ketegangan yang terjadi antara kaum filosof di satu pihak dan kaum teolog di pihak lain.


III. ISLAM, ILMU DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

A. Islam dan Ilmu Pengetahuan

Islam yang agama samawi itu diturunkan ke bumi diantara missinya adalah untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan kepada terangnya cahaya ilmu pengetahuan. Hal itu tertuang dalam firman Allah:

هو الذى ينـزل على عبده ايات بينات ليخرجكم من الظّلمات الى النّور (الحديد: 9)

Melalui sejarah dapat kita kenali bahwa runtuhnya kerajaan Romavi Barat pada abad kelima masehi mengakibatkan merosotnya kehidupan pada umumnya, yang tergambar, pada¬ berkuasanya suku suku Barbar di dalam emperium tersebut. Pada masa itu dan berkepanjangan sampai abad kesebelas Masehi, sejarah teah menyebutnya negara Barat sebagai “Za¬man Pertengahan yang gelap”, dimana Eropa ditutupi oleh a¬wan tebal dan kemunduran peradaban, yang tergambar pada tabir teba1 antara akal manusia dan dunia sekelilingnya, dan menganggap bahwa ilmu ilmu keduniaan mengangkat derajat manusia, bertentangan dengan keimanan mereka (Kristen).

Pada waktu negara Barat dalam kegelapan seperti itu justru negara Timur dalam kondisi yang sebaliknya, yaitu semenjak kebangkitan Islam pada abad keenam masehi, dengan Islam manusia memperoleh kembali kehormatannya dan terbebas dari kebiadaban jahiliah. Sehingga selama lima abad dari abad ketujuh sampai abad keduabelas Islam dapat meng¬uasai dunia dalam segi kekuatan, sistem, kekuasaan, dan dengan meningkatnya tingkat hidup, kajian ilmiah, sastra, sins, kedokteran dan filsaafat.

Dunia Barat waktu itu mulai berhubungan dengan dunia Islam yang sudah berperadaban tinggi mulai permulaan abad keduabelas masehi melalui jembatan peradaban Islam ke dunia Barat yang terkenal seperti Andalusia dan Sisilia. Pendidikan Islam sangat menekankan ilmu ilmu agama tetapi melalui bentuk bentuk pengetahuan lain, mulai dari keadilan Tuhan sampai ilmu farmasi. Islam memandang pengetahuan seba¬gai sesuatu yang suci, sebab semua pengetahuan pada akhir¬nya menyanglcut semacam aspek dari manifestasi Tuhan kepada manusia. Pandangan yang suci tentang pengetahuan inilah yg mewarnai keseluruhan sistem pendidikan Islam sampai hari ini. Dimana orang orang Islam melihat ada dua jalan yg terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan formal, yaitu yang pertama melalui kebenaran yang diwahyukan, yang sesudah diwahyukan dipindahkan dari generasi kegenerasi berikutnya, yang disebut (‘Ulum al Naqiah), dan yang kedua adalah pengetahuan ynng diperoleh melalui kecerdasan atau akal yang diberikan Tuhan kepada manusia pada tahap inte1ek dan rasio yang disebut (‘Ulum al ‘Aqliah). Kedua ilmu tersebut disebut dengan ilmu perolehan yang harus ditambahkan dengan hikmah dan perasaan yang disebut dengan ilmu al Huzuri.

Pada abad ke 19 ini. orang orang Islam dihadapkan lagi kepada serangan ilmu ilmu Barat yang mengancam jenjang ilmu-ilmu dalam Islam dan keseimbangan dalam sistem pendidikan¬nya, yang apabila orang-orang Islam tidak waspada maka pada gilirannya akan membawa kehancuran yang belum pernah terjdadi dalam sejarah Islam sebelumnya.

Pada zaman modern yang diawali dengan renaisance, yaitu suatu gerakan yang didorong oleh cita cita akan lahir¬nya kembali manusia yang bebas tanpa mau diikat oleh dogma spiritual apapun, maka filsafat yang semula menyatu dengan agama menjadi memisahkan diri dari agama. Karena menurutnya bahwa filsafat adalah akal pikir dan pengalaman, sedangkan agama adalah keyakinan dan dogma. Yang berakibat selanjutnya bahwa kehidupan menuju kepada sekularisme dimana masalah masalah keagamaan mutlak dipisahkan dengan masalah masalah keduniawian.

Ilmu ilmu seperti fiqh, tasawuf dan ilmu kalam adalah jenis jenis ilmu keagamaan, oleh karena itu tidaklah aneh apabila ilmu ilmu tersebut berbenturan dengan filsafat dan berusaha menyingkirkan filsafat dari kehidupan. Yang pada akhirnya agama berhasil mengalahkan filsafat dan mengharamkan pemikiran filsafat, serta menuduh kaum filosof sebagai orang orang kafir dan atheis.

Akan tetapi sebagian peneliti sejarah filsafat lupa bahwa filsafat ditegakkan atas dasar ilmu pengetahuan dan alam bukan at:as dasar agama. Filsafat memang mencurahkan perhatiannya kepada semua alam wujud, untuk memperoleh pe¬tunjuk meyakinkan tentang eksistensi zat yang menciptakannya, sehingga ia disebut “ilmu ilmu Illahi”, sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles. Oleh karena itu setiap filosof pasia menguasai ilmu pengetahuan tentang alam dan metafisika, akan tetapi tdak semua yang mengetahui ilmu pengetahuan tersebut pasti filosof, jika ia hanya berhenti pada ilmu pengetahuan tertentu yang menjadi spesialisasinya

Oleh karena itu para filosof Islam seperti; Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, disamping sebagai filosof adalah mereka itu menguasai berbagai macam disiplin ilmu, seperti astronomi, kedokteran dan lain lain. Namun setelah abad keenam Hijrah orang merasa telah cukup membahas masalah masalah filosofis yang diwarisi dari para pendahulunya tanpa bertopang pada alas ilmu pengetahuan yang melahirkan filosofis itu sendiri. Dengan demikian maka putuslah hubungan antara filsafat dengan bumi tempat berpijaknya semula yang telah memberi “umpan” dan mengalirkan “darah” ke dalam tubuhnya., Akhirnya filsafat hanya men jadi kepala yang tan¬pa tubuh, kemudian mati dan baru bangkit kembali setelah bangsa Timur kembali bertekad untuk menguasai lagi ilmu pengetahuan. Akan tetapi kini pertarungannya bukan filsafat dengan agama, melainkan pergulatan sengit antara ilmu pengetahuan melawan agama, yang bisa dibilang masih berkobar hingga kini.

Agama, ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi dan ekonomi merupakan hal hal yang menjadi ciri pera¬daban bangsa bangsa di dunia, yang satu lama lain saling mengisi dan mempengaruhi. Agama, filsafat dan ilmu dahulu pernah memainkan peranan penting dalam pentas peradaban Islam. Ketika itu filsafat dalam pertarungannya mempergunakan senjata ilmu pengetahuan. Kemudian setelah tiga unsur tersebut menemukan persesuaian dan keserasian maka berkembanglah peradahan Islam. Negara negara Islam bertambah ko¬koh dan kuat sehingga wilayah kekuasaannya meluas dari In¬dia di Timur sampai ke Andalusia di Barat. Namun kemudian seteah filsafat di singkirkan dari pembahasan dan penelitian sebagai jenis ilmu, dan setelah mereka yang hidup pada zaman berikutnya membatasi kegiatan hanya sampai pada penguraian buku buku yang ditulis oleh para pendahulunya, fil¬safat Islam cemakin melemah dan terpental keluar gelanggang

Perkembangan Ilmu Menuntut Pengembangan Pendidikan

Orang sering menganggap bahwa ilmu itu sebagai suatu kesatuan di luar dan di atar waktu yang terdiri atas him¬punan himpunan petunjuk petunjuk dan pernyataan pernyataan. Ketika pandangan mengenai ”filsafat abadi” disisihkan oleh pandekatan historis, maka ilmu mulai mengambil alih tempat kosong itu. Pandangan itu selah karena justru dari warsa terakhir ini makin menonjol kenyataan bahwa ilmu tidak ada di melainkan berubah. Pertama dalam arti yang lebih sederhana bahva tidak ada ilmu yang selesai. Oleh karea ia sebagai ilmu apabila merupakan obyek yang selalu dipertanyakan dan akan selalu dipertanyakan tidak pernah mengenal titik henti, dan ia memiliki alasan alasan tertentu kenapa dipertanyakan.

Para ilmuwan akan selalu dapat mengembangkan ilmunya lebih lanjut, karena ilmu bukan ibarat sebuah rumah dengan dasar abadi yang sepanjang sejarah hanya dilengkapi dengan tingkat tingkat baru. Strulkur ilmu bahkan apa yang disebut pokok ilmu mengalami perubahan, dimana pendapat ini berda¬sarkan dua segi peneropongan dalam penyelidikan. Pertama: Sejarah mengenai. penyelidikan ilmu ilmu membawa kita kepada pengertian bahwa bagi ilmu yang sama, arti istilah yang dipergunakan berbeda bada pada waktu yang berlainan. Sebagai contoh arti lurus untuk geometri euklidis dan geometri ne¬reuklidis, psikologi klasik behavioristis dan psikologi masa kini dan seterusnya. Kedua, karena pengaruh antropologi budaya, sejarah kebudayaan dan sejarah ide ide, maka timbul apa yang baru disebut sebagai ilmu baru yang disebut “Kulturologi”.

Secara radar kita mengakui bahwa bagaimanapun orang akan selalu memikirkan pendidikan anak anak dan generasi mendatang mereka. Karena dorongan dorongan keprihatinan itu maka secara tidak mendalam kadang kadang sering tanpa desain generasi demi generasi kita mengupayakan bagaimana mengupayakan tempat dalam masyarakat untuk anak anak dan gene¬rasi mendatang, kendatipun mereka tidak selalu sadar apa yang harus mereka lakukan, mereka merencanakan pendidikan dan dalam arti tertentu mengkontruksikan filsafat untuk itu. Dilihat dari segi ini maka filsafat pendidikan dapat dipandang sebagai suatu rencana atau gagasan untuk memungkinkan masing musing generasi penerus memenuhi dirinya mengembang dan potensi potensinya dan mengambil tempatnya dalam suatu masyarakat dan dunia yang terus dan akan terus berubah dan yang semakin komplek serta membingungkan.

Oleh karena maksud maksud pendidikan selalu berhubu¬ngan dengan maksud maksud dari kehidupan, maka maksud dari pendidikan tidak dapat dimengerti secara terpisah dari kehidupan itu sendiri. Sehingga dapat diungkapkan bahwa fil¬safat hidup yang memadai adalah merupakan prasyarat dari suatu filsafat pendidikan yang sehat. Karena salah satu tugas penting filsafat semenjak jaman Yunani sampai sekarang adalah merumuskan obyektif obyektif dan isi dari suatu ke¬hidupan yang memuaskan. Sedangkan tugas pendidikan adalah menuntun pertumbuhan dan perkembangan diri anak didik agar mereka menjadi. warga negara yang kompetens dan berjiwa kemasyarakatan, sehingga mereka akan mampu berbuat untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk tujuan tujuan sempit (di¬rinya sendiri).

Langkah pertama yang harus diambil dalam memperbaiki proses pendidikan dalam sistem pendidikan yang dilaksana¬kan di negara-negara Islam adalah berusaha membina filsa¬fat pendidikan yang menyeluruh, realistik dan fleksibel yang mengambil landasan landasan dan prinsip prinsipnya dari prinsip prinsip dan ajaran Islam yang mulia. Akidahnya berkaitan dengan watak alam, manusia, masyarakat serta kehidupan, dan juga hubungan elemen elemen ini satu lama lain disatu segi, dan hubungannya dengan penciptanya di segi yang lain, juga yang berhubungan dengan watak ilmu pengetahuan manusia, watak nilai nilai moral dan watak proses pendidikan serta fungsinya dalam kehidupan.

Penentuan filsafat pendidikan terhadap sistem pendi¬dikan manapun, dimana pencipta penciptanya menginginkan kemajuan dan keteguhan bangunan serta asasnya dianggap sang¬at penting bagi sistem itu dan merupakan langkah utama ke¬arah perbaikan.

Agama Islam disamping sebagai agama akal yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, maka sesuai dengan missinya, ia adalah penyempurna akhlak manusia. Hal ini ditegaskan dengan sabda Nabi SAW:

انما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق (رواه الحاكم)


Bahwa sesunggnnya aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan ahlak manusia. (A1 Hadits) Bahwa Islam telah menetapkan akhlak memiliki nilai penting dalam kehidupan ini, yang ketinggalan derajatnya terletak dibawah derajat iman yang memiliki rukunnya yang enam itu. Karena justru akhlak ada1ah merupakan salah satu buah iman dan ibadat. Dimana tidaklah sempurna iman dan ibadah seseorang apabi¬la dari keduanya tidak melahirkan akhlak yang mulia. Begitu penting dan luhurnya kedudukan akhlak ini sampai sam¬pai Allah telah memuji kemuliaan akhlak utusannya dengan firmanNya dalam surat A1 Qalam ayat 4:

وإنك لعلى خلق عظيم (القلم: 4)

Sesungguhnya engkau Muhammad yang memiliki akhlak yang agung. Akhlak yang ditetapkan sebagai buahnya iman seseorang memang 1ayak untuk mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan, terlebih menyongsong abad globalisasi dimana bangsa Indonesai dengan budayanya yang berbeda dari budaya Barat, dituntut untuk mampu duduk sejajar dalam berbagai persoalan kehidupan. Sungguh masa depan bangsa ini perlu diterawang dengan keprihatinan dan upaya untuk senantiasa menyelipkan ajaran agama dalam setiap sisi proses pendidikan, karena pendidikan memandang manusia seba¬gai obyek dan sekaligus subyek pendidikan. Sebagai obyek, karena ia menjadi sasaran pendidikan terutama dalam kapa¬sitasnya sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Sedangkan ciri dari perkembangan dan pertumbuhan itu men¬jadi perhatian pendidikan untuk dipengeruhi dan diarahkan.


C. Islamisasi Pengetahuan

Teknologi yang lahir sebagai anak kandung ilmu pengetahuan telah menyeret manusia kepada berbagai macam pertbahan dalam tata hidup dan kehidupan. Dalam masa transisi inilah ibarat seorang bocah yang sedang mengalami kegoncangan dalam berbagai sisi kehidupan, ia harus senantiasa mendapatkan arahan arahan untuk memperoleh kehidupan masa depannya yang stabil mantab dan penuh kedewasaan. Arahan-¬arahan itu tidak ada lain kecuali agama (Islam) agama yang kebenarannya mendapat pengakuan Allah SWT.

Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beraga¬ma Islam ini tentunya secara lambat tapi pasti ingin me¬warnai perkembangan ilmu pengetahuan dengan warna Islam, atau dengan kata lain Islamisasi pengetahuan.

Epistemologi Islam atau teori pengetahuan Islam me¬rupakan titik central dari pandangan dunia Islam. Ia men¬jadi tolok ukur yang sangat menentukan hal hal apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin untuk diketahui akan tetapi lebih baik untuk dihindari, serta apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui.

Konsep Islam tentang pengetahuan pada awalnya telah membentuk cara cara pemikiran yang khash Islam, serta te¬lah melahirkan ciri ciri utama peradaban Islam. Pengetahuan Islam juga telah menunjukkan jalan yang paling baik dalam memandang realitas serta membentuk dan mengembangkan manyarakat Islam yang adil dan telah menjadi pere¬kat yang menautkan masyarakat Islam dengan lingkungannya, serta telah menjadikan Islam sebagai agama yang hidup dan dinamis. Semua itu karena pengetahuan Islam telah dijadi¬kan sebagai suatu konsep serta dasar bagi tegaknya peradaban Islam, dan lebih dari itu bahwa pengetahuan Islam telah dipandang sebagai suatu nilai yang mencakup keseluruhan.

Namun apa yang dapat kita lihat sekarang bahwa cendekiawan muslim masa kini cenderung mengabaikan peranan epistemologi Islam dalam mengembangkan masyarakatnya. Hal ini terjadi tidak lain karena akibat penjajahan epistemologi Barat atas dunia Islam. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa Barat telah menghasilkan pengetahuan yang dapat di¬uji dan mendatangkan keuntungan keuntungan luar biasa bagi umat manusia, sebagaimana tampak pada nilai pragmatisnya. Namun disisi lain kita juga harus menyadari bahwa epistemologis Barat juga telah menghasilkan buah yang sangat pahit. Hal ini dapat kita rasakan pada sifat dan sikap orang orang Barat yang dalam proses pencarian pengetahuan sering kita lihat mengabaikan dan bahkan menolak sistem pertimbangan nilai, yang hal ini akan mengakibatkan perlakuan yang sewe¬nang wenang terhadap obyek pencariannya, baik yang berupa manusia maupun yang diluar manusia. Penekanannya yang menye¬luruh terhadap penguasaan pengetahuan telah menyebabkan timbulnya krisis ekologi yang pada gilirannya akan mengancam kehancuran dunia tempat berpijak manusia.

Bagi umat Islam kenyataan ini sudah seharusnya dianggap sebagai suatu tantangan yang dijadikan pembakar semangat untuk menemukan kembali epistemologi Is¬lam yang hilang ditelan penjajahan epistemologi Barat yang dalam banyak hal tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan pandangan dan budaya Islam.

Satu satunya jalan untuk menemukan kembali epistemologi Islam tersebut adalah dengan mangislamkan pengetahuan (Islamisasi pengetahuan). Oleh karena pengetahuan dan teknologi Barat yang pada mulanya diimport dari Islam di Timur itu telah diwarnai dengan semangat rasional orang orang Barat dan kemudian dicetak kembali untuk disesuaikan dengan wadah kebudayaan Barat yang dalam banyak segi ber¬tentangan dengan nili nilai Islami. Muhammad Naquib Al-A¬tas salah seorang yang turut berjuang dalam usaha Islamisasi pengetahuan mengatakan bahva peleburan dan percampuran antara semangat rasional Barat serta kebudayaan mereka de¬ngan pengetahuan Islam tersebut telah menghasilkan dualisme dalam pandangan dunia tentang nilai nilai sistem sistem pe¬ngetahuan Barat. Dalam mana dualisme tersebut tidak dapat diubah menjadi kesatuan yang selaras karena ia terbentuk dari gagasan, nilai, kepercayaan, filsafat, dogma, doktrin serta teologi yang saling bertentangan, yang semuanya men¬cerminkan suatu bayangan realitas dan kebenaran dualistik yang terperanglcap dalam perjuangan yang sia sia, yang menghasilkan suatu ketegangan bathin yang abadi dalam kebudayaan dan peradaban Barat. Pada gilirannya kenyataan itu akan melahirkan keinginan yang tak habis habisnya untuk mencari dan memulai perjalanan penemuan yang abadi yang didasari keragu raguan, sehingga apa yang dicari tak pernah dapat memenuhi tujuan sejati, karena perubahan, perkemba¬ngan dan kema juan yang mereka peroleh hanyalah merupakan hasil dari pencarian dan perjalanan abadi yang didasari dan dipacu oleh keragu raguan. (Syed Muhammad Al Attas, 1981).

Menangkap kenyataan yang sedang melanda umat Islam, yang didalamnya termasuk mayoritas bangsa Indonesia, maka tidak ada jalan lain yang harus ditempuh umat Islam kese¬diaan untuk bekerja keras dalam menyuntikkan kembali epistemologi Islam. Untuk itu tugas yang dihadapkan kepada umat Islam terutama para cendekiawan muslim adalah memperbaiki sistem pendidikan dan meluruskannya dari kesalahan ke¬salahan lama untuk mendapatkan bentuknya yang baru yakni satu kesatuan integral dari sistem pendidikan Islam yang ada dan sistem sekuler, untuk kemudian diisi dengan semangat Islam dan secara fungsional merupakan bagian terpadu d.ari program ideologisnya. Tugas yang dipikulkan ke pundak umat Islam memang culcup berat, namun bagaimanapun itu meru¬pakan tanggung jawab yang harus diemban oleh semua kita um¬at Islam jika kita menginginkan warisan pengetahuan manusia tetap selamat berada dalam pangkuan Islam.

Hal itu sesuai dengan apa yang diungkap oleh Hasan Abd. A1 Ali dalam bukunya Al Tarbiyah al Islamiah fi al Qarni al Rabi’ al Hijriy, bahwa Islam mempunyai pandangan khusus terhadap manusia, dan bahwa manusaia itu berbeda beda sesuai dengan perbedaan kefilsafatan, ideologi serta pengetahuan mereka. Sehingga Islam menganjurkan umatnya untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang bermanfa¬at di dalam mewujudkan cita cita yang ditetapkan Allah se¬bagai muslim yang taqwa. Karena ketaqwaan hanya dapat dica¬pai dengan ilmu pengetahuan, dimana hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya: Sesungguhnya hanyalah orang or¬ang yang berilmu yang memiliki rasa takut kepada Allah.

Sementara i.tu pendidikan merupakan sarana pokok di dalam memperoleh pengetahuan, oleh sebab itu tujuan perta¬ma dan utama yang diperjuangkan Islam adalah pendidikan.

Pendidikan dimaksud adalah pendidikan dalam artian yang luas dan umum, bukan hanya terbatas pada lingkup pendidikan formal, karena kondisi lingkungan dan pengaruh masyarakat turut mewaraai keberhasilan atau ketidakberhasilan terselenggaranya pendidikan formal. Hal ini sebagaima¬na dikatakan Gerald L. Gutek dalam bukunya Philosopical and Ideological Perspectives on Education, bahwa: Education in a more formal and deliberate sense, takes place in the school, a specialized social agency established to cultivate preferred skills, knowledge, and values in the learner. The school is staffed by teachers who are regarded to be experts in the learning processes. Informal, or millieu education, is related to schoolling, or formal education. If the school is to succed in its program of instruction, its curriculum and methods of instruction must be related to and veable in terms of society.


IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang Agama (Islam) dan Filsafat Ilmu dalam Perspektif Pengembangan Pendidikan dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa Islam sebagai agama langit yang bersumber kepada wahyu Allah sudah sepantasnya bila ajarannya senantiasa dikaitkan dengan segala macam bentuk usaha manusia di bidang pengembangan pendidikan sebagai salah satu sarana memperoleh ilmu pengetahuan.

Hal itu karena filsafat Islam yang merupakan penyelidikan tentang pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya semata-mata hanya menggunakan akal sebagai modal dasarnya.

Sementara itu menghadapi era globalisasi dimana arus kebudayaan Barat melalui berbagai media dengan derasnya mengalit ke bumi Indonesia yang sedang membangun bangsa ini, maka sudah barang tentu dituntut kewaspadaan kita semua untuk mengantisipasi membanjirnya budaya Barat tersebut yang terkadang bertentangan dengan budaya bangsa dan terlebih norma agama kita, dengan menemukan kembali epistemologi Islam dan menerapkannya dalam pengembangan masyarakat bangsa melalui jalur pendidikan, yakni dengan memberikan nafas Islam dalam seluruh aktivitas proses pendidikan. Karena hanya dengan cara itulah bangsa ini akan dapat diselamatkan. Wallahul muwafik ila aqwamit tariq.

Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

PENGERTIAN USUL FIQH DAN HUBUNGAN USHUL FIQH DENGAN FIQH

1. Pengertian Usul Fiqh
Usul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dintinjau dari segi etymologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan (Lusi Ma’luf: Munjid). Sebagaimana firman Allah surat An Nisa’ ayat 78:
Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.
Juga sabda Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang yang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.
Sedamgkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etymologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut termilnologi lebih khusus dari etymologi. Figh menurut terminologi adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (detail).(Abu Zahrah: Usul Fiqh).
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh meliputi dua hal:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ meneganai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu ia tidak membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan I’tiqad (keyakinan.
  2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci pada setiap permasalahan. Misalnya bila dikatakan bahwa memakan harta benda orang lain secara tidak sah itu adalah haram, maka disebutkan pula dalilnya dari AL Qur’an yang berbunyi:
Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu denga yang lain secara bathil. (2:188).
Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia sama ada halal. Haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian “ashl” (jamaknya ushul) menurut ethimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu (Luis Ma’luf: Kamus Munjid). Pengertian tersebut tidak jauh dari pengertian ushul secara terminologi yaitu dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
Untuk itu Ali Hasaballah dalam buku Ushul Al Tasri’ Al Islami mendefinisikan Ushul Fiqh adalah:
Artinya: Kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan amaliah (mukallaf) dari dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain kaidah-kaidah yang dijadikan metode untuk menggali hukum fiqh.
Sebagai contoh. Ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan wajib dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.
Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak maka ia akan mengemukakan firman Allah SWT di dalam surat Rum 31, Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :
Artinya: Dirikan Shalat
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya, dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.
Dari contoh diatas jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh ahli fiqh di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syara’, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasrkan kualitasnya. Dalil Al Qur’an harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil yang tidak berdasr kepada Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.
2. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh dan fungsi Ushul Fiqh.
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.
Disamping itu fungsi Ushul Fiqh itu sendiri adalah untuk membedakan istimbath yang benar atau salah yang dilakukan oleh fuqaha’.
3. Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.
Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:
Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.
Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1. Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3. Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4. Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.
2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah: objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Objek hukum yang menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.
4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.
4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.
Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul. Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam berijtihad. Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi
Sumber : http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/


TA’RIF DAN OBYEK PEMBAHASAN USHUL FIQH

A. Ta’rif dan Obyek Pembahasan Ushul Fiqh
Kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan “fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”.
Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Adapun definisi ini dikemukakan oleh Amir Syarifudin. Dan Berikut merupakan definisi-definisi ushul fiqh menurut ulama ushul yang lain:
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Al-Ghazali mena’rifkan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’ dan bentuk-bentuk penunjukan dalil terhadap hukum syara’.
As-Syaukani mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah, yang mana kaidah tersebut bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’ berupa hukum cabang (furu’) dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Ulama Syafi’iy mendefinisikan ushul fiqh sebagai berkut:

“Mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya.“
Definisi ini mengambarkan bahwa obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang bersifat umum pula. Atau secara praktis obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf. Ushul fiqh juga membahas bagaimana cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan hadis mutawatir dari hadis ahad dan mendahulukan nash dari dhahir.
Dalam pembahasan tentang sumber hukum, dibahas pula tentang kemungkinan terjadinya kontradiksi antara dalil-dalil dan cara penyelesaiannya. Dan dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang dalam melahirkan hukum syara’.
B. Tujuan Ushul Fiqh
Setelah mengetahui definisi ushul fiqh beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya.
Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan, yaitu:
Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh.
C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaedah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.
Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.
Sebagai contoh, sewaktu sahabat Ali menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khomr, beliau berkata “Bila ia minum ia akan mabuk, dan bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina. Maka kepadanya dikenakan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut, ternyata sudah menggunakan kaidah ushul, yaitu menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-Dzariah”. Contoh lain yaitu Abdullah ibnu Mas’ud yang menetapkan hukum berkaitan dengan masalah iddah, beliau menetapkan fatwanya dengan mengunakan metode nasakh-mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian, menghapus dalil yang datang lebih dahulu. Dari dua contoh tersebut setidaknya sudah mampu memberi gambaran kepada kita bahwa para sahabat dalam melakukan ijtihadnya telah menerapkan kaidah atau metode tertentu, hanya saja kaidah tersebut belum dirumuskan secara jelas.
Pada periode tabi’in lapangan istinbat hukum semakin meluas dikarenakan banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa ulama tabi’in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, seperti Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Iraq. Masing-masing ulama menggunakan metode-metode tertentu seperti mashlahat atau qiyas dalam mengistinbatkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Berkaitan dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.
Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental sekali.
Sedangkan Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan. Disamping itu Imam Malik juga menggunakan qiyas dan juga maslahat mursalah, yang mana metode terakhir ini jarang dipakai oleh jumhur ulama.
Selain dua Imam diatas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risala“. Risala ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoretisi yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu fiqh. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang berdiri sendiri.
Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan menyabangkan pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.
Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.
D. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh dan Kitab-kitabnya
a. Aliran Mutakallimin
Penamaan Ulama Mutakallimim atau ulama kalam tersebut dalam hal ini karena para ulama kalam ini mengikutsertakan paham-paham teologi mereka di dalam penyusunan ilmu ushul fiqh. Keistimewaan ulama ini dalam menyusun ilmu ushul fiqh adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya yang dilakukan secara logis dan rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang autentik.
Mereka tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh para imam mujtahid dan hubungan kaidah khilafiyah saja, melainkan semua hal yang rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang menjadi sumber hukum syara’. Kebanyakan ulama yang ahli dalam aliran ini adalah dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyah.
Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal dalam aliran ini diantaranya:
1. Al-Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i (wafat 505 H)
2. Al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i (wafat 631 H)
3. Al-Minhaj karangan al-Baidhawi al-Syafi’i (wafat 685 H). Sedangkan kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.
4. Al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam ber-aliran Mu’tazilah
5. Al-Burhan karangan Imam Haramain
b. Aliran Hanafiyah
Ulama fuqaha yang paling banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah, karena itu metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran Hanafiyah.
Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati. Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam aliran ini antara lain:
1. Kitab Ushul karangan al-Karahki
2. Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Razi
3. Kitab Ta’sis al-Nadzar karangan al-Dabbusi
4. Al-Manar karangan al-Hafidz al-Nasafi (wafat 790 H).
Sedangkan kitab yang berisi pembahasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Misykatul Anwar.
c. Aliran Pembaharu
Ada sebagian ulama lain yang menyusun ilmu ushul fiqh dengan menggabungkan antara dua metode di atas. Maksudnya mereka mencoba memberikan bukti kaidah-kaidah ushul fiqh yang sekaligus membeberkan dalil-dalilnya dan menerapkan kaidah-kaidah itu terhadap masalah-masalah khilafiyah.
Kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas antara lain adalah:
1. Kitab Badi’un Nidham karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (wafat tahun 694 H). Kitab ini merupakan gabungan dari kitab karangan bazdawi dengan kitab al-Ahkam.
2. Kitab al-Taudhih li shadris Syari’ah dan kitab al-Tharir karangan Kamal bin Hamam
3. Kitab Jam’ul Jawami’ karangan Ibnus Subuki, beliau merupakan ulama dari madzhab syafi’i.
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 35
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 2
A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 7
Ibid.
Abdul Wahab Khalaf, Op.cit., hlm. 3
A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 50
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakata: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 3
Amir Syarfudin, Op.cit., hlm. 41
Ibid.
Wael B. Halaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 44
Abdul Wahab Khalaf, Op.cit., hlm. 10
Amir Syarifudin, Op.cit., hlm. 40

Macam-Macam Hadits

Pengertian Hadits

Pengertian Hadits
Hadits (bahasa arab: الحديث) secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur'an.
Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)
Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
• Keutuhan sanadnya
• Jumlahnya
• Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
• Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
• Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
• Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
• Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
• Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
• Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
• Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
• Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
• Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
• Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
• Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
• Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
• Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung;
2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
• Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
• Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
• Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
• Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
• Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
• Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
• Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
• Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
• Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
• Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
• Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
• Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Periwayat Hadits
Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim
1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
3. Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
5. Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
7. Imam Ahmad bin Hambal
8. Imam Malik
9. Ad-Darimi
Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim Syi'ah
Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
• Ushul al-Kafi
• Al-Istibshar
• Al-Tahdzib
• Man La Yahduruhu al-Faqih
Pembentukan dan Sejarahnya
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.
Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.
Kitab-kitab Hadits
Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits
Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2. Al Musnad oleh As Syafi'i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
3. Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
Abad ke 3 H
• Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Imam Malik imam Ahmad
Abad ke 4 H
1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke 5 H dan selanjutnya
• Hasil penghimpunan
• Bersumber dari kutubus sittah saja
1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
• Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
• Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
• Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
• Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
• Kitab Al Hadits Akhlaq
1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
• Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
• Mukhtashar (ringkasan)
1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
• Lain-lain
1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
• Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
• As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
• As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal
• Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
• Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
• Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Referensi
• Introduction to the Science of Hadith Classification by Shaikh (Dr.) Suhaib Hassan [1]
• Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
• Metodologi Kritik Matan Hadis oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6




BAB I PENDAHULUAN
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al


Qur‟an, dan umat Islam diwajibkan
mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al

Qur
‟an.
Al


Qur‟an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam
yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu keduanya. Banyak kita jumpai ayat

ayat Al


Qur‟an dan Hadits –
hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al


Qur‟an yang wajib d
iikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Hadits itu sendiri secara istilah adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perkataan, segala keadaan, atau perilakunya.
1
2
BAB II PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HADITS
Secara konsepsional bahwa hadits itu dari satu segimdapat dibagi menjadi dua, yaitu kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadits ditinjau dari banyaknya rowi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan hadits berdasarkan kualitasnya adalah penggolongan hadits dilihat dari aspek diterimanya atau ditolaknya.
2.1 Penggolongan Hadits Berdasarkan Banyaknya Rawi
Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi Muhammad SAW. Terkadang berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat nabi sedang memberikan khutbah di hadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu
terus terjadi dari sahabat ke tabi‟i
n sampai pada generasi yang menghimpun hadits dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rowi saja. Dari sinilah para ahli hadits membagi hadits menurut jumlah rowinya 1.
2.1.1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain 2. Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong 3. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas.

1

2
3
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-
orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha „adaduhum) yang tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang
besar („adalah) d
an tempat tinggal mereka yang beragam 4. Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) dan orang yang menyangkalnya dianggap berbelit akalnya dan tidak bermoral 5. Ulama telah menyepakti bahwa hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah
maupun dalam bidang syari‟ah 6.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyak
inan yang qath‟i (pasti), dengan seyakin
-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir 7. Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan pancaindera). Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut 8 : 4
1.

Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi

rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar

benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa

peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 2.

Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta Abu Thayib menentukan sekurang

kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9. Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang

kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah SWT tentang orang

orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang

orang kafir sejumlah 200 orang. 3.

Seimbang jumalah para perawi, sejak dalam tabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun tabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al

Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya 10. DR. Syamssuddin Arif menyimpulkan bahwa sebuah khabar dapat disebut mutawatir apabila memenuhi syarat sebagai berikut 11: 1.

Nara sumbernya harus benar-benar mengetahui apa yang mereka katakannya, sampaikan dan laporkan. Jadi tidak boleh menduga-duga atau apalagi meraba-raba. 5
2.

Mereka harus mengetahui secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan,mengalami, dan mendengarnya secara langsung tanpa disertai distorsi, ilusi, dan semacamnya. 3.

Jumlah nara sumbernya cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau kesalahan dibiarkan atau lolos tanpa koreksi. Hadits Mutawatir ada 2 yaitu : 1.

Mutawatir Lafdzi yaitu mutawatir redaksinya. Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat 12. 2.

Mutawatir Ma‟nawi yaitu hadits yang isi serta kandungannyadiriwayatkan secara
mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda 13. Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
“Ra
sulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya
selain dalam doa salat istiqa‟ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-
putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
6
2.1.2.

Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya 14.
Imam Muhammad bin „Ali bin Muhammad asy
- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau hadits ahada barau dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat sebagai berikut 15: 1.

Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima. 2.

Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau cerita dari orang kafir. 3.

Nara sumber harus memiliki integritas moral pribadi yang menunjukkan
ktakwaan dan kewibawaan diri (muru‟ah) sehingga timbul kepercayaan
orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak. 4.

Nara sumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi. 5.

Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja. Di kalangan para ulama ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab, menurut mereka
hadits ahad bukanlah qat‟i as
-tsubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib 7
diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati. Hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits garib. Hadits Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) 16. Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur). Hadits Garib juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu: Hadits Garib Mutlak (fardun) Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi
tabi‟in atau pada generasi setelah tabi‟in, dan bisa juga
terjadi pada setiap tingkatan sanadnya. Hadits Garib Nisbi Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan, sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi 17. 8
2.2 Klasifikasi Hadits Berdasarkan Diterima dan Ditolaknya (Kualitas)
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, da‟if dan maudu‟
. 1. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut : Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya; Haditsnya musnad, maksudnya hadits tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan ha
dits (tidak ada „illah).
2. Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. 3. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
mursal, mu‟allaq, mudallas, munqati‟ atau mu‟dal) dan diriwayatkan oleh orang
yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. 3.
Hadits Maudu‟, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanad
nya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
2.3

Klasifikasi Hadits Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah 2.3.1 Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil; yang diterima; yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin. Hadits Maqbul ialah hadits 9
yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya. Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam kategori hadits maqbul adalah : Hadits sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi. Hadits hasan, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi. Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadits maqbul dapat dibagi menjadi 2 yakni hadits maqbulun bihi dan
hadits gairu ma‟mulin bihi.

2.3.2 Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaditsin, Hadits Mardud ialah hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Maka, Jumhur Ulama mewajibkan untuk menerima hadits

hadits maqbul, dan sebaliknya setiap hadits yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadits mardud adalah semua hadits yang telah dihukumi dhaif.
2.4 Klasifikasi Hadits Dari Segi Perkembangan Sanadnya 2.4.1 Hadits Muttasil
Hadits Muttasil adalah hadits yang didengar oleh masing

masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits
marfu‟ maupun hadits mauquf.
10
2.4.2 Hadi
ts Munqati’

Hadits Munqati‟ adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW maupun disandarkan kepada yang lain 18. 11
BAB III KESIMPULAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al


Qur‟an. Di dalam
Hadits itu sendiri terpata klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih,
hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu‟ ; dari segi ke
dudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits
muttasil dan munqati‟.

11

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN


Pengantar
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?

A. Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni
Masalah pendidikan mikro yang menjadi fokus disini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.

1. Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).

“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik. 2. Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

3. Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal). Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :

“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.

Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),

“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”

Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
B. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik. Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%. 1. Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikanJelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
- Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person
relationship)
- Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secarakualitatif.
- Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)
- Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
- Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)
- Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
- Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)

Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:

- Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
- Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
- Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan
lainnya yang bersifat preskriptif.
- Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
- Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajarantermasuk pengembangan specific content pedagogy.
Metode
Metode

Pedagogik

Andragogi

MetodeMetode

Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.

2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitar manuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah). a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti daari batang tubuh pedagogic. b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogicIlmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakan metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and control, then are excellent criteria of understnding aang they also provide us with some of the uses of understanding. They are not always easy to apply, however, and I think little is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory notes about the future applications of the scientific study of education.”
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.
C . Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan
Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan. 1. Dasar ontologis ilmu pendidikan Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2. Dasar epistemologis ilmu pendidikanDasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942). 3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Kalr Perason,1990). 4. Dasar antropologis ilmu pendidikan Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
D. Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru
Program Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh siswa calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar. Perangkat kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hakekat Manusia
a. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
b. Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan
dirinya.
c. Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan
kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.
d. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik dirisendiri. 2. Hakekat Masyarakat
a. Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan
budaya yang dianut warga masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut
bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu
dan teknologi.
b. Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada
pendidikan.
c. Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insane-insan yang berhasil
mengembangkan dirinya melalui pendidikan.

3. Hakekat Pendidikan
a. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan
antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
b. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang
mengalami perubahan yang semakin pesat.
c. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.
d. Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.

4. Hakekat Subjek Didik
a. Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan
pendidikan seumur hidup.
b. Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda
sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.
c. Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
d. Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan
hidupnya.

5. Hakekat Guru dan Tenadga Kependidikan
a. Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.
b. Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai
nilai masyarakat.
c. Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya
kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar.
d. Guru dan tenga kependidikan bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik.e. Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.f. Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara professional untuk terus- menerus meningkatkatkan kemampuannya.g. Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik profesional. 6. Hakekat Belajar Mengajara. Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi
dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
b. Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi
pendidikan yang tepat.
c. Program belajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.
d. Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang didalam
pelaksanaan kegiata belajar-mengajar.
e. Pembentukan kompetensi profesional memerlukan pengintegrasian fungsional
antara teori dan praktek serta materi dan metodelogi penyampaian.
f. Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang
bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai
dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.
g. Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan profesional adalah
pendemonstrasian penguasaan kompetensi.
h. Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya selalu berkembang.

7. Hakekat Kelembagaan
a. LPTK merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan
tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi
peningkatan kualitas kehidupan.
b. LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
c. LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.d. LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.e. Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan. Catatan : Pendidikan berdasarkan kompetensi bagi tenaga kependidikan lainnya memerlukan perangkat asumsi yang berbeda.


E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang. Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan. Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.


2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.


Penutup

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

DAFTAR REFERENSI
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNellyDeese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York 

Posting Komentar

0 Komentar