Kakek-kakekku Gerilyawan


Suasana hari kemerdekaan seperti di bulan Agustus ini mengingatkan saya pada 2 almarhum kakek saya, yaitu kakak beradik, yang merupakan paman dari bapak saya. Mereka berdua mantan pejuang. Yang kakak bernama Pattaneng (saya memanggilnya nenek Pattaneng), yang adik bernama Rauf (saya memanggilnya nenek Rauf), adalah anggota tentara gerombolan, yang tergabung dalam pemberontakan DI/TII pimpinan Qahhar Mudzakkar, melawan pasukan TNI.
Semasa hidupnya mereka (terutama nenek Pattaneng), sering bercerita kepada kami cucu-cucunya mengenai perjuangannya selama ikut bergabung bersama pasukan TII (Tentara Islam Indonesia), terutama mengenai sosok Qahhar Mudzakkar.
Ada cerita menarik seputar pengalaman kakek-kakek saya itu. Konon kabarnya beliau-beliau itu, dan pasukan gerombolan lainnya, bisa bertahan dari serbuan TNI (Tentara Nasional Indonesia) bukan karena mereka kebal senjata, melainkan karena mereka sulit terkena peluru. Katanya, ketika peluru mendekat seketika itu pula peluru akan berbelok arah, alih-alih ke arah mereka. Aneh juga, dan susah untuk saya percayai. Haha..
Cerita lainnya mengenai perjuangan mereka, diceritakan kepada kami oleh nenek Nani, istri dari nenek Rauf. Begini yang beliau ceritakan:
Suatu hari setelah bergerilya di pelosok Sulawesi Selatan, pasukan TII memasuki wilayah Pare-pare. Kebetulan Pare-pare adalah kampung halaman nenek-nenek saya itu.  Nenek Rauf pun menyempatkan diri pulang ke rumah, sementara nenek Pattaneng tetap tinggal bersama pasukan.
Perjalanan nenek Rauf ke rumah dilalui dengan menumpang becak, dengan diliputi perasaan was-was. Itu karena 612 (nama salah satu kompi TNI di Pare-pare), seperti mengikuti perjalanannya. Pengemudi becak pun disuruhnya bergegas agar bisa sampai lebih cepat di rumah. Akhirnya nenek Rauf pun bisa sampai di rumah, meski perasaan was-was tidak bisa hilang begitu saja.
Mendengar kabar kedatangan nenek Rauf, salah seorang kerabat (saya lupa namanya) yang merupakan anggota TNI pun datang berkunjung untuk bertemu dengan nenek Rauf. Beliau adalah teman nenek Rauf sejak kecil, dan katanya masih ada hubungan keluarga.
Orang itu dan nenek Rauf pun berbincang.
“Kau datang ini mau menjenguk, atau disuruh 612 menangkap saya?”, tanya nenek Rauf dengan sengit.
“Rauf, kita ini kawan dari kecil. Walaupun kau anggota TII, tidak mungkin lah saya tangkap kau. Kecuali kalau kita bertemu di medan pertemuran”.
“Lalu?”
“Begini, tadi saya lihat kau diikuti truknya 612. Daripada tidak enak hidupmu, lebih baik bergabung saja lah kau dengan 612. Selain berjuang untuk Ibu Pertiwi, kau juga dapat gaji”, bujuk orang itu. O iya, istilah “Ibu Pertiwi” sering dipakai di masa itu untuk meningkatkan jiwa patriot di kalangan anak muda Indonesia.
“Tapi, kawan-kawan yang lain di TII?”
“Biarlah mereka bersama Qahhar. Semua punya pilihan. Kalau kau mau masuk 612, besok saya antar kau mendaftar”.
Begitulah percakapan singkat antara nenek Rauf dan kerabat yang datang berkunjung. Akhirnya nenek Rauf menerima ajakan tersebut, dan bergabung bersama TNI. Itu artinya beliau bertugas bersama TNI menumpas DI/TII. Termasuk bertugas menumpas nenek Pattaneng, sang kakak yang tetap setia bersama DI/TII.
Namun tidak seperti cerita sinetron, atau cerita-cerita kolosal di TV, di mana terjadi pertarungan antara kakak beradik, antara tugas dan kasih sayang, dalam cerita ini tidak pernah terjadi pertarungan seperti itu. Hehehe… kecewa penonton.
Hingga pemberontakan DI/TII selesai, nenek Rauf ternyata tidak pernah mendapat perintah turun di lapangan untuk menumpas DI/TII. Setelah pensiun, nenek Rauf rutin mendapatkan gaji pensiun setiap bulan.
Sementara nenek Pattaneng, akibat sakit yang parah selama di hutan, mengalami cacat sedikit di kedua tangannya. Namun hampir setiap pertemuan dengan kami, dengan bangga ia bercerita tentang perjuangannya menjadi pasukan gerombolan, tentang peluru-peluru yang berbelok arah, juga tentang kepemimpinan Qahhar Mudzakkar. “Pemerintah bohong. Qahhar Mudzakkar belum mati”, ucapnya di akhir setiap ceritanya.
Kalau ada yang tertarik dengan cerita Qahhar Mudzakkar, bisa dilihat di video berikut:
Disclaimer: cerita ini saya tulis sejauh ingatan, berdasarkan cerita-cerita pengalaman dari nenek saya. Beberapa juga saya ubah dan tambahkan, seperti dialog antara nenek Rauf dan tamunya.

Posting Komentar

0 Komentar