Daerah Aceh dan Bahasa Aceh

(Problemtika Kebahasaan di NAD)
Oleh Dra. Rostina Taib, M.Hum.
Dosen Pend. Bahasa dan Sastra FKIP Unsyiah

Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baru saja selesai mengadakan hajatan besar berupa Kongres Bahasa Daerah Aceh. Kegiatan itu merupakan upaya nyata dalam melindungi dan melestarikan bahasa daerah Aceh. Semua masyarakat Aceh merasa tersanjung dengan kongres tersebut. Hal ini terutama dirasakan oleh peserta yang ikut kongres. Namun, agaknya ada yang salah memahami Kongres Bahasa Daerah Aceh kali ini.
Peserta kongres yang berbahasa ibu bahasa Aceh berpikir Kongres Bahasa Daerah Aceh itu membicarakan persoalan bahasa Aceh, baik penulisannya yang masih centang- perenang, maupun hal-hal lain yang belum ada kata sepakat. Oleh karena itu, sangat wajar kalau mereka memikirkan dan sekaligus mengharapkan yang dibicarakan dalam Kongres Bahasa Daerah Aceh adalah hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Aceh, sehingga makalah pun ada yang ditulis dan disampaikan dalam bahasa Aceh. Hal ini tentu saja membuat peserta yang datang dari Simeulue, Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara, hanya menjadi penonton. Mereka tidak dapat memperoleh apa-apa. Padahal, mereka juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan itu.
Dalam hal ini, terlihat ada kesalahpahaman antara peserta kongres akan arti bahasa daerah Aceh dan bahasa Aceh. Ini terbukti dari beberapa pertanyaan. “Apakah bahasa Gayo, bahasa Jamee, bahasa Simeulue, dan bahasa Singkil itu juga bahasa Aceh, dari tadi disebut-sebutkan bahasa daerah Aceh. Sebenarnya yang mana saja bahasa Aceh?” Demikian salah satu pertanyaan yang muncul pada konggres tersebut dan agaknya perlu dicari satu kesepakatan bersama sehigga tidak terjadi kesalahpahaman. Sehingga, setiap orang yang merasa memiliki bahasa daerah sama-sama mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelamatkan dan melindungi bahasanya dari ancaman kepunahan.
Bahasa daerah Aceh berbeda dengan bahasa Aceh. Bahasa Aceh adalah salah satu bahasa daerah Aceh. Bahasa ini (Aceh) adalah lambang identitas Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun bahasa daerah Aceh adalah bahasa-bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Aceh dalam berkomunikasi. Kelompok bahasa daerah Aceh adalah bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam dan bahasa ini tidak ada di daerah lain. Bahasa-bahasa daerah itu merupakan asset terbesar NAD. Oleh karena bahasa-bahasa daerah NAD merupakan asset daerah, ia sekaligus merupakan kekayaan masyarakat Aceh yang perlu dijaga, dibina, dan dilestarikan. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa daerah yang ada di Aceh, yang sudah saya sebutkan di atas.
Patut diketahui, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah yang memiliki penutur paling banyak di NAD. Wilayah pemakaian bahasa ini hampir di seluruh kabupaten/kota di NAD. Oleh karena bahasa Aceh memiliki jumlah penutur paling banyak dan mempunyai wilayah sebaran paling luas, bahasa ini dijadikan lambang identitas daerah Aceh. Karena itu pula, bahasa ini dijadikann lambang kebanggaan masyarakat Aceh. Jadi, jika pembaca mengaku berasal dari NAD, sangat wajar kalau pembaca disapa dengan “Peu haba?” Akan tetapi, pembaca pun tidak salah kalau tidak mampu manjawab dalam bahasa Aceh, karena di Aceh bahasa daerah yang ada bukan hanya bahasa Aceh. Namun, tidak juga berdosa kalau pembaca pun menjawabnya dengan bahasa Aceh, meskipun bahasa daerah Anda bukan bahasa Aceh. Jadi, tidaklah berlebihan kalau Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengharapkan semua masyarakat Aceh dapat berbahasa Aceh.
Bahasa Jamee juga merupakan bahasa daerah Aceh. Bahasa ini digunakan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, sebagian kecil Aceh Barat, Simeulue, dan Kabupaten Aceh Singkil. Bahasa ini menjadi bahasa pengantar di Kota Tapaktuan, Simeulue, dan Singkil. Selain bahasa Aceh, mereka mempunyai bahasa Jamee sebagai bahasa pengantar. Bahasa Jamee, meskipun hampir sama dengan bahasa Minangkabau, tetap memiliki perbedaan. Karena itu, bahasa ini disebut bahasa daerah Aceh.
Demikian pula dengan bahasa Kluet, bahasa ini juga bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat Aceh yang berdomisili di sebagian kecil Kabupaten Aceh Selatan. Bahasa ini hanya terdapat di Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Masyarakat di derah ini yang berbahasa ibu bahasa Kluet menggunakan bahasa Kleut hanya dengan kerabat mereka saja, sedangkan saat berkomunikasi dengan orang lain, di luar kerabat, mereka cenderung memakai bahasa Jamee. Artinya, kalaulah tidak ada upaya untuk mendokumentasikan bahasa Kleut dalam bentuk tertulis, dicemaskan bahasa ini 100 tahun ke depan akan menjadi bagian dari sejarah.
Bahasa Simeulue juga merupakan bahasa daerah Aceh, dipakai di Pulau Simeulue (Sinabang). Di Simeulue sendiri selain bahasa Simeulue juga digunakan bahasa Devayan, bahasa Sigulai, bahasa Lekon, dan bahasa Jamee. Bahasa ini pun kalaulah tidak ada upaya penyelamatan, diperkirakan lama-kelamaan akan punah. Hal ini dikarenakan berbagai faktor. Faktor yang paling utama adalah pemakai bahasa ini relative sedikit. Kedua, faktor perkawinan campuran antaretnis yang cenderung anak-anaknya tidak lagi diajarkan bahasa daerah. Ketiga, faktor terdesak oleh pemakaian bahasa Jamee sebagai bahasa pengantar.
Bahasa Haloban yang terdapat di Aceh Singkil juga dinamakan bahasa daerah Aceh. Bahasa ini juga berada dalam ancaman. Terutama karena di daerah ini sendiri masyarakat menggunakan bahasa Jamee sebagai bahasa pengantar dalam berkumunikasi. Selain itu, secara umum masyarakat Singkil lainnya yang bukan berbahasa ibu bahasa Haloban tidak mampu bercakap-cakap dalam bahasa ini.
Bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang mendiami dataran tinggi Gayo digolongkan juga ke dalam bahasa daerah Aceh. Bahasa yang digunakan di daerah ini dinamakan bahasa Gayo. Jumlah pemakai bahasa ini relatif banyak dengan luas sebaran yang meliputi seluruh Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan di sebagian kecil Aceh Tenggara.
Tidak terkecuali dengan bahasa Tamiang. Bahasa ini pun merupakan bahasa daerah Aceh. Bahasa yang terdapat di Kabupaten Aceh Tamiang ini digunakan sebagai bahasa pengantar di Kabuapten Aceh Tamiang. Begitu pula dengan ahasa Alas yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, juga termasuk ke daam bahasa daerah Aceh.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa Aceh adalah lambangidentitas NAD, sedangkan bahasa daerah Aceh merupakan bahasa-bahasa daerah yang hidup dan dipelihara oleh masyarakat Aceh. Dengan demikian, dalam Kongres Bahasa Daerah Aceh yang baru saja berlangsung, sangat keliru kalau makalah disampaikan dalam bahasa Aceh. Apalagi kita berkenginan agar dalam forum itu diluruskan penulisan dan pemakaian bahasa Aceh. Kalaulah masyarakat Aceh berkeinginan berbicara khusus bahasa Aceh dan membawa makalah dalam bahasa Aceh, momennya harus diganti menjadi Kongres Bahasa Aceh bukan Kongres Bahasa Daerah Aceh. Hal ini dikarenakan bahasa Aceh tidak sama dengan bahasa daerah Aceh.(*)

Posting Komentar

0 Komentar