*** Cinta Itu Belum Berakhir***

Di TulisOleh: Zubir
           "Sebelum ayam berkokok, binar matahari belum terlihat di ufuk timur, di dalam temaram senja, Wilda sudah duluan bangun cepat yang penuh kegirangan, ia tak perduli mesti dingin pagi menusuk tulang. Karena pukul 09.00 wib nanti pagi, ia diwisudakan dan dia sudah resmi menyandang gelar sarjana.
 
 
         "Seluruh sanak keluarga dan teman lainnya tentu saja sudah duluan diundang untuk memeriahkan acara wisudanya nanti . Lelaki yang dicintai dan yang menjadi tempat Wilda menggelendot bak kekanak-kanakkan hampir saban hari itu tentunya sudah diundang ala spesial donk.
 
 

                 
"Lagu ciptaan Melly Gueslow tiba-tiba muncul dari handphone Wilda yang ditaruk di meja belajar. Gesekan getaran ringtone membuat  meja belajar itu ikut bersuara sejurus handphone berdendang. Wanita anggun itu sigap mengambil alat komunikasi yang berbunyi karena mau tahu dari siapa sms yang datang.
 
      From      :  Putra: 08126909****
      Message : ”Bagaimana cinta sudah siap?”
    
           Ternyata Wilda nyaris lupa mandi,  karena sambil duduk dia menghayal, setelah wisuda dan ambil ijazah nanti  mau pulang kampung atau tidak.  Untung saja putra  sms disaat yang tepat, Putra adalah kekasihnya Wilda. Kalau gak di SMS entah jam berapa mungkin siap mandinya? Karena jam sudah menunjukkan pukul 07. 30 wib.
 
            “Belum mandi ni sayang, asik sama menghayal tadi, hehehehehee. Mandi dulu ya, habis itu nanti adek kabarin lagi, dan jangan lupa jemput ya sayang,” timpal Wilda.
 
“Ia cinta.”
 
Pukul 08.00, Putra sudah sampai di depan kos Wilda di jln Lowong kleng.
 
          “Tin,,,,,,tin,,,,,,,tin,”  suara klakson sepeda motor Putra berbunyi.  Wilda yang sudah siap berdandan, bergegas menuju keluar rumah. Setelah itu, Putra dan Wilda Menuju tempat acara wisuda yang diberlangsungkan.
 
         “Gimana sayang, mamak udah pigi?” tanya Putra di dalam perjalanan menuju tempat acara, yang memang tidak jauh dari tempat kos Wilda sekitar 2 kilo meter.
 
        “Ia , adek udah nelpon mamak tadi, mamak bentar lagi pigi katanya,” jawab Wilda, sebab ibu Wilda yang sehari sebelum hari wisuda sampai menginap di tempat saudaranya.  Tepat pukul Sembilan teng, semua sudah berkumpul di lokasi acara.
 
        Putra diperkenalkan dengan orang tua Wilda,  karena hubungan mereka baru hitungan bulanan saja. Putra yang ramah lingkungan, berupaya untuk mengambil hati ibu Wilda. Meski usahanya dicoba berulang kali melalui ngobrol demi ngobrol, tapi urus itu tak mampu meluluhkan hati ibu yang bawaannya memang pendiam.
 
             Acara sedang berlangsung, tapi pikiran Wilda merasa belum semua datang yang diundangnya, ternyata sahabat karib, yang satu seperjuangan kuliah berbeda jurusan dengan dia belum datang. Wilda ambil handphone dan menelpon temannya yang bernama Musri itu.
 
“Hmm,  loe di mana Mus, apa gak jadi pigi ke tempat acara gue?”
 
“Apaan, Wil? Suara lo kagak kedengeran jelas nih. Speaker hp gue soak tau,”  jelas Mus sembari nguap dan kucek-kucek mata.
 
“Ah, elo, molor melu, jam segini belum bangun. Ni acara dah pada mau selesai”
 
“Ia, ini mandi dulu dan langsung pigi,” kilah Musri.
 
“Cepat ya, yang lain sudah pada ngumpul ni, Si Ina, Si Lela,  dan kawan lainnya.”
 
“Ok, Sip,” balas Musri.
 
              Musri yang agak terlambat datang sudah di lokasi. Tidak berselang lama setelah Musri hadir, acarapun sudah selesai. Kini saatnya berfoto-foto ria bersama keluarga atau teman-teman sekampus dengan memakai baju toga. Ucapan selamatpun tak henti-henti diberi oleh setiap pengunjung yang hadir, bagi mereka saling kenal. Begitu juga peluk-pelukkan sama orang tua atau sama kawan-kawan sendiri juga tak kalah tinggal.
 
Di sudut lain, kawan Wilda yang seangkatan , sedang memeluk lelaki tanpan, sambil mengeluarkan air mata terharu.  Di pojok bagian gedung acara wisuda, sejumlah kaum ibu-ibu sedang mengibas-ngibas diri, sambil menonton gaya anaknnya atau keluarganya yang berfoto lucu-lucu dengan menggunakan baju toga. Hari itu memang begitu meriah, walau terik matahari meruap bumi menyengat kulit.
 
           Untuk tukang pengabadian foto Wilda, itu langsung dijepret oleh kekasihnya sendiri. Sebab Putra juga pernah belajar ilmu berfoto, karena dia memang seorang Jurnalis Freelance.
 
Lagi asik berfoto, tiba-tiba datang seorang cewek yang wajahnya mirip lebih tua dia dari Wilda, dengan memakai baju gamis warna kuning, dipandu dengan celana jeans warna biru.
 
“Siapa cowok yang mengabadikan fotomu itu?” Tanya wanita itu.
 
Wilda melihat Putra, karena Putra juga mendengar pembicaraan keduanya.  Hening Puluhan detik terjadi.
 
“Itu, Saudara saya,” kata Wilda.
 
             Mendengar ucapan itu, Putra dengan seketika raut wajahnya berubah memerah, sorotan mata Putra menatap tajam ke arah Wilda. Sebab Putra malu, atau sakit hati, karena Putra beranggapan tidak diakui di depan publik sebagai pacarnya oleh Wilda.
 
        Selepas wanita itu hengkang dari lokasi berfoto-foto. Putra yang kesal dengan ulah Wilda, dia mengambil tempat di pojok tempat papan bungan atau papan ucapan selamat atas wisudanya anak biologi itu.
 
Selang beberapa menit, Wilda menyambangi Putra, Untuk meminta maaf atas kata-kata yang mengiris hati Putra.
 
“Maafin adek ya bang,” Pintanya.
 
            “Udah, untuk apa minta maaf, udah abang mafin kok, itu sudah wajar terjadi bahkan layak kok,” Putra Menimpala Wilda dengan mata berair.
 
 “Sebenarnya, tadi bukan maksud adek begitu.”
 
“ia tidak apa-apa kok.”
 
“Itu kakak leting adek dan dia orangnya sopan, jadi adek malu sama dia, bukan malu ngaku abang pacar adek kok,” kilah Wilda.
 
“Yasudah, gak usah diperdebat, entar mamak tau gak abang jadi gak enak dek.”
 
“Wilda kemari, ini ada pak Lek, foto bareng, cepat,,,,” Sundari kakaknya Wilda memanggil.
 
“Yasudah sana duluan biar berfoto sama Pak lek,” Putra menyruh kekasihnya itu.
 
             Walaupun hati sudah terluka, Putra tetap juga mau mengabadikan fotonya lagi, karena seorang jurnalis memang banyak sabar dan mampu menghalau emosi.
 
                Kini waktu makan siang sudah tiba, serombongan itupun bergegas menuju sebuah rumah makan. Sambil makan berfotopun tak ada jeda, ada yang mengangkat-ngangkat piring ada pula yang menyuapkan nasi, di sudut lain ada bergaya menyamping, sembari meleparkan senyum tipis ke arah kamera.
 
“ Mus gaya mu itu bagai gaya burung perketut, hahaahahaahahahahaha,” kata Wilda.
 
“Biarin,” Ucap Musri.
 
Setelah selesai makan-makan, serombongan itu tak lagi kembali ke lokasi wisuda tadi, karena acara memang sudah selesai. Mereka semua memilih pulang. Putra tetap mengantarkan Wilda ke kosnya.
 
            Magrib hampir menjelang, matahri merah kekuning-kuningan arah barat indah dipandang, benturan angin laut menabrak wajah, maklum kota itu memang dekat dengan laut..
 
         Tak berselang lama suasana terang alam berubah gelap, di balik awan kelabu di tengah kota yang jauh dari kampung halamanya, Putra, Keponakan  Wilda dan Wilda sendiri keluar untuk jalan-jalan di malam itu.
 
              Taman Sari target mereka, keponakan Wilda asik main mobil-mobilan di tengah taman yang memang tempat bermain anak-anak. Sedangkan Wilda dan Putranya mencari tempat lain yang romantis, yang tak jauh dari Zikri bersorak-sorak ria.
 
“Kenapa adek tega, memperlakukan abang seperti itu di acara wisuda?”
 
“Adek minta maaf bang, karena memang tidak ada unsur lain di benak ini, hanya saja adek merasa gak enak aja pamer-pamer cowok sama kakak leting.”
 
            Ternyata alasan Wilda bisa diterima Putra, hingga keduanya akur kembali. Jam menunjukkan pukul 10 malam, waktunya pulang. Keesokan harinya rombonga keluarga gadis kelahiran 1987 itu pulang kampung halaman kecuali Wilda.
 
Malam selanjutnya,  Wilda dan pacarnya keluar jalan-jalan, kali ini mereka memilih tempat di pinggir laut.
 
“Bang adek, akan pulang kampung besok.”
 
“Kok cepat kali dek?”
 
“Gak tau juga bang, lagian kontrakan juga sudah habis masanya,” ucap Wilda dengan mata berkaca-kaca.
 
“Jangan nangis dek, abang sayang benget kok sama adek.”
 
“Aku takut kehilangan abang, andai adek pulang kampung besok, apakah kita akan berjumpa lagi?” tanya Wilda.
 
            Air mata Putra tak mampu terbendungi, karena kekasihnya bakal ninggalin dia, sebab jarak yang memisahkan mereka. Jarak tempuh antara kampung halaman Wilda dan Putra lebih kurang 1 kali 24 jam perjalanan menggunakan bus umum. karena mereka juga sama-sama pendatang ke kota itu, Wilda Kuliah sedangkan Putra hanya untuk menjumpai kekasihnya.
 
Mereka berjanji akan hidup bersama, sebab keduanya memang sudah tidak bisa dipisahkan lagi, bagaikan ibadah dengan hidup.
 
Siang hampir menjelang kala itu, saatnya Wilda pulang kampug, Putra tak bisa mengantarnya naik bus karena Sahabat baik Putra masuk rumah sakit. Wilda pun bisa memakluminya.
 
Dalam perjalanan pulang Wilda melihat indahnya pemandangan terukir sepanjang Pantai di jalan yang membelah gunung itu, bersisian dengan hamparan biru laut hingga ke kaki langit. Sisa hantaman tsunamipun enam tahun silam masih terlihat dengan puing-puing bangunan yang berserekan sejuah mata memandang.
 
          Di dalam bus Wilda terbayang bersama lelaki yang dicintainya, saat dia bersama hari-harinya sungguh bahagia, tapi kini berbeda. Rasanya tak ingin berpisah walau hanya jauh sepelemparan batupun. Meski kebersamaan mereka hanya sesaat tapi makna begitu berisi.
“Ya Allah kenapa aku terlambat dipertemukan dengan dia, aku sangat mencintainya.” Teriak Wilda dalam hati.
 
           Putra yang masih di ibu Kota Provinsi juga akan meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan cinta yang tak akan terlupa hingga akhir cerita.
***
               Setelah enam bulan keduanya tak berjumpa, tapi mereka tetap menjalin komunikasi via handphone genggam. Suatu hari mereka bervotting, yang isi pembicaraan itu, mereka ingin berjumpa di kota yang sama tempat kenangan indah itu karena kangen yang melandanya.
Tibalah keduanya di kota indah, rasa kangen berat yang sudah lama menumpuk di pundak pun terlepaskan.
 
                 Wilda dan Putra memilih tempat yang sering mereka duduk kala dulu. Dalam pertemuan mereka, gadis cantik itu mengatakan: “ mamak tak mau jika aku pergi jauh darinya.”
Putra pun mengalami hal serupa dengan Wilda. Masing-masing diantara mereka, kalau kelak menikah maunya tinggal di kampung halaman masing-masing  dan membawa pasangannya untuk tinggal bersama. Karena Itu memang keinginan kedua orang tua mereka.
 
             Setelah pertemuan itupun terjadi, keduanya juga memilih pulang kampung masing-masing lagi. Di kampungnya Wilda bekerja sebagai guru di sebuah SMP negri. Sedangkan Putra tetap masih menjadi kuli tinta.
 
           Zikri keponaan Wilda yang masih duduk di bangku kelas 2 SD yang memang akrap dengan Putra, selalu bertanya-tanya , “kapan om Putra pulang kemari bunda?”
 
Wilda tidak tau mau menjawab apa, karena dia juga bingung. Hanya sedikit kata yang dikatakan, “ entah lah.”


                                                                           TAMMAT 


KARANGAN          :    ZUBIR
DI TULIS  OLEH    :   ZUBIR

Posting Komentar

0 Komentar