Tokoh Islam

Tokoh Islam

Idham chalid
 Filed under: Tokoh dan Ulama Pembaharu Dalam Dunia Islam, Tokoh Islam — Tinggalkan komentar 
24- Maret- 2010
[ diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid.
Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya.
K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan  Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.
Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.

[ diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid. Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya. K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan  Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
 Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.


Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor–organisasi sayap pemuda NU.

Benarkah semua asumsi itu? Buku ini secara jeli berusaha menguak sisi ruang batin Idham Chalid yang tidak terekam oleh ‘sejarah resmi’. Ahmad Muhajir, dalam buku ini, berupaya mengungkap apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai hal tentang Idham yang riil dan hidup di tengah masyarakat, namun tidak dianggap penting sehingga tidak ter(di)suguhkan kepada kita. Berbeda dari persepsi umum yang berkembang di masyarakat mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham, buku ini mengangkat ‘sisi senyap’ di balik gerakan politik Idham. Melalui buku ini, penulis menelisik lebih jauh ruang terdalam manusiawi seorang tokoh kelahiran Kalimantan Selatan 85 tahun silam tersebut.

Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.

Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Akan tetapi, ketidakmengertian tentang arah politik Idham tersebut, menyebabkannya harus tersingkir dan ter(di)lupakan begitu saja.

Karena itu, kehadiran buku ini tentu saja dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham, sekaligus menambah deretan mozaik langkah para politisi NU dalam kancah politik yang kurang banyak diungkap ke permukaan. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai rujukan jejak politik tokoh-tokoh politik NU dalam mewujudkan strategi politik di masa lampau seiring semakin maraknya para ulama masa kini yang masuk ke ruang politik ketimbang ruang keumatan.

Di samping itu, nilai tambah buku ini adalah, Ahmad Muhajir juga melakukan tinjauan terhadap literatur-literatur ilmiah tentang Idham Chalid, seraya menyediakan gambaran bagaimana Idham dipotret oleh para sarjana Indonesia dan Barat. Akan tetapi, bagian utama dari teks ini dipersembahkan untuk menjelaskan dan menganalisis pemikiran politik keagamaan Idham, terutama yang berhubungan dengan sikap-sikap NU dalam merespon Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Muhajir memusatkan diri pada penafsiran Idham mengenai konsep syura serta bagaimana tafsiran itu digunakan untuk menjustifikasi penerimaan ideologi semi-otoriter Demokrasi Terpimpin.

Namun demikian, sekalipun bersimpati dalam menggambarkan sang tokoh, Muhajir tetaplah kritis. Sebagai sesama orang Banjar, tentu saja Muhajir memiliki wawasan budaya dan akses kepada sumber-sumber yang tidak dipunyai para sarjana terdahulu. Dia meneliti literatur klasik mengenai syura dan membandingkannya dengan penafsiran yang lebih kontemporer, sebelum berargumen bahwa tulisan-tulisan Idham mengenai konsep ini dipengaruhi oleh situasi politik yang dihadapi NU pada akhir 1950-an.

Praktis, buku setebal 169 ini layak dibaca siapa saja sebagai suatu permulaan bagi perdebatan yang lebih dalam mengenai kiprah Idham Chalid dan perannya dalam sejarah perpolitikan NU. Semoga!

*Peresensi adalah Penikmat Buku dan Kontributor Jaringan Islam Kultural



www.nu.or.id

http://pustakamuslim.wordpress.com/2007/09/14/idham-chalid/

Komentar 
PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
 Filed under: Tokoh Islam — 20 Komentar 
12- Mei- 2009

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI


A. Pendahuluan

Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.

Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]

B. Biografi

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]

Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.

Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.

Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.

K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.

Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.

Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.

K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]

C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]

Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.

Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.

Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]

D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial

Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]

Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.

Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]

Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]

E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]

Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]

F. Analisis

Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.

G. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).

Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.

Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319


[2]. Ibid, h. 319

[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm

[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320

[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139

[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html

[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309

[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218

[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm

[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309

[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm

[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102

[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321
Tags: PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
Komentar 
PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN
 Filed under: Tokoh dan Ulama Pembaharu Dalam Dunia Islam, Tokoh Islam — 2 Komentar 
25- April- 2009

PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN

Pendahuluan

Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
 Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
 Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
 Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
 Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
 Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
 Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
 Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
 Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

Pemikiran Ahmad Dahlan
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
 Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
 Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
 Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
 Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
 Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
 Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
 Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
 Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
 Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
 Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
 Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
 Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
 Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
 Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
 Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
 Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
 Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Analisa
 Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
 Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
 Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Kesimpulan
 Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
 Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
 Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
 Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
 pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
 Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
 Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
 Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
 Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
 Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).

Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).

Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).

Tags: biografi KH ahmad Dahlan muassis Muhamadiyah
Komentar 
PRO DAN KONTRA PEMIKIRAN HARUN NASUTION
 Filed under: Tokoh dan Ulama Pembaharu Dalam Dunia Islam, Tokoh Islam — 5 Komentar 
13- April- 2008

PRO DAN KONTRA PEMIKIRAN 

HARUN NASUTION

Penyunting : Fat Hurrahman

Mengenang Ide Pembaharuan Pak Harun:

Makna Pembangunan Islam

[Bagian Pertama dari Dua Tulisan] 

A. Pendahuluan


Seusai salat Jumat, 18 September 1998 lalu, jemaah Mesjid Fathullah IAIN Jakarta, menyelenggarakan salat jenazah terhadap jasad almarhum Prof Dr Harun Nasution, yang wafat pagi harinya. Sehari sebelumnya, Direktur Pogram Pascasarjana IAIN Jakarta itu, masih memberi kuliah di PPS IAIN Alauddin Ujung Pandang. Pak Harun begitu dia sering dipanggil lahir Selasa 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara, meninggal dunia lima hari sebelum hari ulang tahunnya ke-80. Kepergiannya untuk selama-lamanya itu menimbulkan kenangan bagi para muridnya yang tersebar di seluruh Nusantara.


Sebagai seorang alumni pertama pascasarjana yang dipimpinnya (th 1987), penulis merasa terpanggil mengutarakan beberapa ide pembaharuan yang pernah dilontarkan Pah Harun Nasution selama hayatnya, baik tertulis maupun lisan, yang pernah diterima secara langsung. Paparan tersebut diharapkan ada gunanya bagi umat Islam, terutama untuk melestarikan ide-ide yang ditinggalkannya.


B. Bisa Diperbaharui


Islam sebagai agama Allah yang mutlak benar dengan mudah sepakat orang menyetujuinya. Tetapi setelah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja ajaran Islam tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu hanya yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang berpendapat selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat historis, atau menurut Pak Harun, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.


Menurut Pak Harun, dalam Alquran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath’i (pasti), dan banyak sekali yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath’i dan dzanni yang berasal dari kalangan ulama fikih ini digunakan Pak Harun untuk semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia beranggapan bahwa lapangan ajaran Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni (dugaan atau tidak pasti) jelas bisa berubah sesuai kemampuan orang dalam memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan bagian yang bersifat qath’i (pasti).


Karena itu, Islam bisa diperbaharui, yaitu bagian yang bersifat dzanni (tidak pasti). Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, karena itu sudah jelas ada ayat yang bersifat qath’i yang mengaturnya. Tetapi mengerjakan salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan pesawat terbang, merupakan bagian ajaran Islam yang bisa diperbaharui setiap saat sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.




C. Pemicu Pembaharuan


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus tahun, yang memperbaharui ajaran agama mereka. Hadis ini cukup populer di kalangan kaum modernis sepanjang masa. Dia banyak dianggap sebagai pemicu orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam sejarah.


Berbeda dengan hal itu, Pak Harun lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia beranggapan bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern, yaitu dimulai pada abad ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam, didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan kepada mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.


Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, tetapi kemudian merebak juga ke bidang agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengaruh dari negeri-negeri tersebut menjamah Nusantara di abad modern.


Dengan pandangan itulah, Pak Harun menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara umat Islam untuk mengubah adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru sebagaimana terdapat di dunia Barat abad modern.


Sebagai contoh, jika sementara kaum modernis sangat menganjurkan umat Islam agar percaya diri menghadapi suatu persoalan hidup, karena demikianlah dianjurkan ajaran agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut adalah karena kemauan mereka mau mengubah sikap umat yang fatal selama ini menjadi dinamis, karena anggapan seperti itu ada di Barat. Memang sikap seperti itu ada di antara pendapat para teolog klasik, tetapi hal itu baru dicari sebagai justifikasi terhadap pendapat yang sudah terpikirkan sebelumnya.


D. Agama Rasional


Dalam sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan kebenaran hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran ilmiah pernah ada dalam sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran rasional plus kebenaran empiris seperti sekarang. Pada masa itulah Islam lahir dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berusaha merasionalkan ajaran Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil unsur-unsur rasional filsafat Yunani yang sudah mereka ketahui untuk memformulasikan ajaran agama. Hal ini terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.


E. Menghargai Akal


Manusia dalam menghadapi masalah kehidupannya di muka bumi sudah dibekali Tuhan dengan akal, suatu yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak hanya seperti seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya. Karena itu Islam sebagai agama fitrah pasti akan menghargai akal dalam ajarannya.


Menurut Pak Harun Alquran dan hadis Nabi juga menghargai akal. Dia dalam pelbagai tulisannya mengutip beberapa ayat Alquran yang mengharuskan umat Islam menggunakan akal. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, dia menemukan suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal dalam segala pendapatnya, yaitu Muktazilah.


Pada waktu wahyu belum diturunkan Tuhan, muktazilah beranggapan bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan dan akal dapat mewajibkan manusia mengikuti perbuatan baik dan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk, yang dianggap sebagai syariat waktu itu. Hal ini –menurut Pak Harun sering membandingkannya– tidak ditemukan pada Asy’ariyah, yang hanya mengakui akal dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tak bisa mewajibkan atau melarang manusia tentang hal itu. Karena itu Pak Harun menegaskan bahwa Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy’ariyah. Sehingga pendapat-pendapat Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang pendapat-pendapat lainnya dalam menanggapi masalah-masalah teologi Islam.


Dengan penemuannya ini, Pak Harun sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang sangat menghargai akal, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia memang menginginkan umat Islam bisa maju karena menggunakan rasionalnya dalam segala bidang, karena pada masa berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang mengalami masa keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju, karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.


Sikap Muktazilah yang juga sangat dihargai Pak Harun adalah sikapnya yang terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang selalu mengadopsi pelbagai hasil pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi umat Islam. Mereka gunakan unsur-unsur pengetahuan itu dalam memformulasikan ajaran Islam, terutama di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang digunakan dalam teologi Islam sampai sekarang ini, berasal dari Muktazilah yang telah menjadikan filsafat Yunani itu sebagai salah satu refrensi mereka.


Selain itu Pak Harun juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak bisa mentolerir perbedaan pendapat. Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan karena perbedaan pendapat, padahal mereka diikat oleh hubungan murid dengan guru bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan tokoh-tokoh ulama yang berbeda pendapat dengan Muktazilah, yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah al Mu’tashim, sering mendapat kritik tajam dari Pak Harun. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.


F. Ijtihad


Dalam rangka menghormati penggunaan rasio itulah, Pak Harun juga menginginkan agar umat Islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang sudah sering dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi menurut Pak Harun, pada masa ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang sangat mengikat.


Menurut pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur, sehingga bisa terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad ketimbang tokoh modenis, suatu kenyataan yang tak perlu terjadi. Hal ini menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin karena ide inilah dia pernah menegaskan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3 diharapkan menjadi pencetus ide baru yang bisa dianggap sebagai mujtahid di bidangnya.


Barangkali dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut bisa teratasi.


Konsep ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini diintrodusir Pak Harun untuk semua masalah agama. Kalau dalam fikih, karena ijtihad terhadap masalah-masalah fiqhiyyah, telah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali maka ijtihad terhadap masalah-masalah akidah juga telah menimbulkan pelbagai aliran, seperti Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya. Semua mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja diikuti oleh umat Islam, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang bersipat qath’i (pasti).


G. Komentar


Sukar untuk menolak anggapan bahwa figur Pak Harun dianggap sebagai seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Dia memang dalam melaksanakan pembaharuan tidak seperti yang pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun politik. Dia melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan pasca- sarjananya, yang pada umumnya menjadi ‘kiblat’ semua IAIN di Indonesia. Tetapi untuk mengatakan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang sudah risiko setiap modernis, ada yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun ‘rasa garam’ ide Pak Harun terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berbeda.

Membaca ide pembaharuan Pak Harun harus diletakkan secara proporsional. Mungkin saja suatu ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena perkembangan dunia makin cepat. Pendapat Pak Harun bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan sejarah. Tetapi karena itulah ada orang yang menganggap Pak Harun seorang westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis. Sebenarnya Pak Harun adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil pendapat, sebagaimana umat Islam dahulu juga melakukannya.


Kegandrungan Pak Harun terhadap Muktazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal (rasio) mengakibatkan dia mendapat pelbagai predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Muktazilah atau Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh penelitian yang dia melakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam berbagai naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide tersebut, Pak Harun mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa dia seorang Ahlissunnah yang rasional.


Jadi ide pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah, tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.


Harun Nasution dan Nurcholish Madjid Selewengkan Tauhid

Dijajakan Lewat IAIN se-Indonesia

Oleh Hartono Ahmad Jaiz

A. Pendahuluan


Kalau Dr Nurcholish Madjid menyebarkan pendapat orang sesat bahwa Iblis kelak masuk surga, maka Dr Harun Nasution (pengubah kurikulum IAIN se-Indonesia dari Ahlus Sunnah ke Mu’tazilah tahun sejak 1975-an) mengajarkan pendapatnya yang sesat pula, bahwa Bunda Theresia yang Nasrani itu pun masuk surga. Ini berarti, yang satu misi iblisi, yang satunya misi kristiani, kedua-duanya menggarap IAIN seluruh Indonesia. Betapa bahayanya.


Seorang dosen IAIN Medan, Ikbal Irham, yang mengaku murid Harun Nasution, memprotes keras, bahkan mengemukakan kekecewaannya atas uraian saya (Hartono Ahmad Jaiz) yang dia anggap mengecam Harun Nasution dan Nurcholish Madjid dalam seminar di Masjid IAIN Medan, Sabtu 11 Maret 2006M (10 Shafar 1427 H).

Pada sessi pertama, Ikbal Irham juga berupaya membela Nurcholish Madjid di hadapan Dr Masri Sitanggang. Karena, Dr Masri Sitanggang menegaskan bahwa Nurcholish Madjid tidak mampu mempertahankan pendapatnya tentang Islam bukan nama agama, ketika dibantah oleh Masri dalam seminar di Medan, 27 Juli 1993.


Saat itu, Masri membantah Nurcholish Madjid dengan makalah berjudul Kajian Kritis terhadap Makalah Nurcholish Madjid Berjudul Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang.


Isi makalah Nurcholish itu menyebarkan faham relativisme, Islam bukan nama agama, tetapi hanya merupakan sikap menyerahkan diri. Namun Nurcholish Madjid walau sudah memakai alat model taqiyah (menyembunyikan faham/keyakinan yang asli untuk cari selamat), tetap tak mampu mempertahankan faham relativismenya, hingga segera minta pulang.


Anehnya, ketika Nurcholish Madjid ditanya Jurnal Ulumul Qur’an –pimpinan Dawam Rahardjo pembela Nurcholish Madjid– seputar kenapa Cak Nur tidak bisa mempertahankan pendapatnya, ketika itu Nurcholish menjawab, karena dirinya tak diberi tahu materi yang akan dibicarakan. Kalau itu benar, menurut Masri, berarti satu kebodohan, kenapa datang jauh-jauh tetapi tidak tahu mau bicara tentang apa. Saat itu yang jadi moderator MS Ka’ban (sekarang Menteri Kehutanan RI), Sofyan Siregar (kini di Islamic Center Belanda), dan Asmara Thaib. Kini, Jurnal Ulumul Qur’an maupun Nurcholish Madjid kedua-duanya sudah mati.


“Terjengkangnya” Nurcholish Madjid dalam seminar 1993 itu diberitakan pula di Majalah Media Dakwah, maka Jurnal Ulumul Qur’an yang (ketika masih hidup) jadi lawan polemik pun menanyakan kepada Nurcholish Madjid. Namun jawaban Nurcholish justru menunjukkan kebodohannya, menurut penilaian Masri.


Dalam seminar di IAIN Medan kali ini (11 maret 2006), Masri tidak berhadapan dengan Nurcholish Madjid (karena sudah meninggal). Masri berdampingan dengan Dr Ramli Abdul Wahid, yang mengemukakan bahwa bukan 30 tahun orientalisme dan liberalisme bercokol di IAIN tetapi sudah 35 tahun bila dihitung sejak Nurcholish Madjid melontarkan sekularisasinya tahun 1970-an.


Seminar ini bertajuk 30 Tahun Orientalisme dan Islam Liberal di IAIN, Benarkah? Tela’ah Kritis Pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Seminar ini diselenggarakan oleh LDK (Lembaga Dakwah Kampus) IAIN Medan, Fakultas Dakwah IAIN Medan, DDII Medan, FPI, dan IKADI. Pembicaranya lima orang, yaitu: DR Ramli Abdul Wahid (Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Medan), Dr Masri Sitanggang (DDII Medan), Dr Azhari Akmal Tarigan (Dosen IAIN Medan disebut sebagai mewakili pemikiran liberal), Dr Ilhamudin (Dekan Fakultas Dakwah IAIN Medan), dan Hartono Ahmad Jaiz dari LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta.


B. Upaya mengebiri IAIN dari pendidikan Islami


Saya uraikan tentang upaya-upaya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid dalam mengubah kurikulum IAIN se-Indonesia dari Ahlus Sunnah ke Mu’tazilah lalu diisi muatan yang arahnya ke liberalisme dan bahkan pluralisme agama alias menyamakan semua agama; semuanya itu pada hakekatnya adalah mengganti kaimanan Tauhid kepada kemusyrikan (menyamakan semua agama). Ini lebih dahsyat ketimbang pembunuhan fisik, karena kalau yang dibunuh itu fisiknya, sedang imannya masih tetap, maka insya Allah masuk surga. Sebaliknya, kalau yang dibunuh itu imannya, dari Tauhid diganti dengan pluralisme agama, menyamakan semua agama, walau badan masih sehat, tetapi nanti ketika nyawa dicabut dalam keadaan keimanannya sudah berganti dengan kemusyrikan (pluralisme agama) maka masuk neraka. Itulah yang dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 191 dan 217 disebut walfitnatu asyaddu minal Qotl, dan walfitnatu akbaru minal qotl (tekanan terhadap keimanan itu lebih dahsyat daripada pembunuhan).


Dalam melancarkan program-program pemurtadan umum ini, Harun nasution jauh-jauh hari telah membredel hafalan-hafalan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Dengan dibredelnya hafalan itu, keuntungan bagi Harun, apabila dosen melontarkan pikiran yang aneh-aneh bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits, mahasiswa tidak bisa membantahnya, karena tidak hafal ayat dan hadits. Lalu dibredel pula aqidah tauhid, diganti ilmu kalam bahkan filsafat, tasawuf dan sebagainya. Hingga Tauhidnya tak tegak lagi. Sedang pengajaran Al-qur’an dan Al-Hadits tidak diprioritaskan, dipinggirkan, diganti dengan yang tidak penting-penting.


Tiga hal besar dalam pendidikan Islam telah dirombak, yaitu: hafalan ayat dan hadits, pendidikan dan penegakan tauhid, dan pengajaran Al-Qur’an dan hadits secara intensif, telah dibredel. Ketika tiga hal pokok dalam pendidikan Islam ini dirombak, padahal keberhasilan Nabi saw dalam mendidik sahabatnya adalah dengan 3 hal itu (lihat QS Al-Jumu’ah [62] ayat 2) tetapi Harun Nasution dkk telah merombaknya, maka hancurlah pendidikan Islam di IAIN, dari tauhid dialihkan ke pluralisme agama, yakni kemusyrikan.


C. Harun Nasution Selewengkan Tauhid


Terhadap uraian saya itu, Ikbal Irham seorang dosen yang mengaku muridnya Harun Nasution mengemukakan kekecewaannya, lantaran saya dia anggap mengecam-ngecam Harun dan Nurcholish. Lalu dia kemukakan, Harun Nasution mengajarkan dalam perkuliahan bahwa Bunda Theresia (Nasrani) kelak masuk surga. Dan itu ada ayatnya:


Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS Ali Imran/ 3: 113).


Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ali Imran/ 3: 114).


Ungkapan dosen itu saya jawab: Nah itulah buktinya. Karena pelajaran hafalan sudah dibredel, maka mahasiswa tidak hafal ayat, tidak hafal hadits, tidak tahu tafsir ayat, dan tak kenal asbabun nuzulnya. Maka ketika dikemukakan hal yang sebenarnya bertentangan dengan isi ayat dan hadits, mahasiswa hanya ikut saja, tidak bisa membantahnya. Padahal kalau tahu asbabun nuzulnya, bahwa ayat itu berkaitan dengan Raja Najasyi, maka pasti tahu bahwa Ahli Kitab di situ adalah orang yang sudah masuk Islam. Sebagaimana orang yang beriman dari kalangan Fir’aun masih disebut min ali Fir’aun, dari kalangan Fir’aun, tetapi sudah beriman, keyakinannya tidak seperti Fir’aun.


Di samping itu, kalau hafal hadits, maka akan menyanggah pernyataan Harun Nasution itu, karena ada hadits sohih riwayat Muslim, siapa saja yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad saw dan kemudian mati dalam keadaan tak beriman kepadanya maka pasti termasuk penghuni-penghuni neraka.


Haditsnya:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).


Dalam hal menyamakan semua agama, Nurcholis Madjid (dalam membantah ayat 85 surat Ali Imran yang menegaskan hanya Islamlah agama yang Allah terima, selainnya tidak akan diterima) mengibaratkan, agama-agama itu bagai jari-jari roda pedati, sedang Tuhan ibarat pusat roda, jadi jari-jari itu sama, semuanya menuju kepada pusat roda. (Tuhan diibaratkan as atau pusat roda, padahal as itu tanpa jari-jari akan copot. Memangnya Tuhan copot?).


Nurcholish Madjid menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”

Coba kita bandingkan dengan bantahan orang jahiliyah terhadap ayat yang mengharamkan bangkai.


Ibnu Jarir mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, turun ayat (yang artinya) Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, orang Parsi mengirim utusan ke kaum Kuraisy untuk membantah Muhammad, mereka berkata kepadanya, apa yang kamu sembelih sendiri dengan tanganmu pakai pisau maka dia halal, tetapi apa yang Allah sembelih dengan pisau dari emas yakni bangkai maka dia haram.




Lalu turun ayat ini, (yang artinya) Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al-An’aam: 121).

Hadirin dalam seminar itu saya tanya, coba kita bandingkan: Orang Jahiliyah membantah ayat dengan dalih, bangkai itu justru sembelihan Allah kok diharamkan. Lalu Nurcholish Madjid membantah ayat dengan cara mengibaratkan agama-agama itu jari-jari sedang Tuhan ibarat pusat roda. “Lebih pintar mana, orang jahiliyah ataukah Nurcholish Madjid?” tanya saya kepada hadirin yang kebanyakan mahasiswa dan masyarakat umum, di samping dosen IAIN Sumut.


“Lebih pintar orang jahiliyah..!” seru hadirin.


Padahal, kalau kita ikut, maka ditegaskan dalam Al-Qur’an, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al-An’aam: 121).


Itulah, kalau guru bangsanya saja seperti itu, lantas bangsanya seperti apa?


Pembicaraan seperti inilah yang kemudian dianggap sebagai pengecaman. Tetapi saya jawab, bagaimana kita tidak tersinggung, kalau Tuhan kita diibaratkan as roda saja roda kendaraan kuno? Sedang penyamaan agama itu sangat menyesatkan, lalu di mana ghirah Islamiyah kita?


Itulah penyelewengan Tauhid yang sangat nyata.


Seminar di IAIN Sumut ini di antaranya menguak, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid telah menyelewengkan Tauhid, lalu disebarkan lewat IAIN seluruh Indonesia, dengan mengubah kurikulum sejak 1975-an, dari Ahlus Sunnah ke Mu’tazilah, lalu diisi dengan muatan yang mengarah kepada pluralisme agama, menyamakan semua agama. Itu artinya mengganti aqidah Tauhid dengan kemusyrikan. Sementara itu Dr Azhar Akmal Tarigan mengemukakan, sudah banyak buku yang mengkritisi Islam Liberal, namun belum ada yang mengkritisi Hartono Ahmad Jaiz. Maka dia minta Dr Ramli Abdul Wahid yang rajin menulis, untuk menulis buku mengkritisi Hartono. Jawab Pak Ramli, “Ya akan saya tulis, untuk mendukungnya, bukan mengkritisi.”

Di samping itu, Dr Ilhamuddin dari Fakultas Dakwah menyoroti Islam liberal sebagai faham yang tak berguna dalam dakwah, bahkan menambahi problem, maka selayaknya untuk dikubur saja.


Selain Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, menurut seorang dosen –di luar seminar ini– masih ada dosen pascasarjana di UIN Jakarta yang kalau memberikan kuliah sangat bertentangan dengan Islam, dan tanpa rujukan, tetapi beralasan bahwa pembahasan ini sudah tingkat pasca sarjana. Sampai ada dosen tafsir yang dikenal menulis tafsir (hingga memperoleh hadiah dalam acara Islamic Book Fair 2005 di Jakarta) dan ahli tafsir namun dikhabarkan dekat dengan Syi’ah, dia menyebarkan di perkuliahan pasca sarjana IAIN Jakarta bahwa kisah ashabul kahfi dalam Al-Qur’an itu hanya legenda, bukan kejadian nyata. Ini sudah meniru-niru gaya Taha Husein tokoh sekuler Mesir yang menulis As-Syi’rul Jahili, dengan menganggap walau Ibrahim dan Isma’il ada dalam Al-Qur’an namun tidak bisa dibuktikan secara sejarah.


D. Masalah Ahli Kitab Yang Beriman


Untuk menjelaskan sesatnya faham Harun Nasution mengenai ayat laisu sawa’ perlu kita merujuk kepada penjelasan ulama, di antaranya penafsiran Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Daqoiqut Tafsir juz 1 halaman 315-316. Kami susun dalam bentuk pemahaman yang diambil darinya (bukan terjemahan, tapi pemaparan dengan melandaskan padanya) sebagai berikut.


1. Orang yang beriman dari ahli kitab, maksudnya beriman kepada Nabi Muhammad saw tetapi tidak bisa secara terang-terangan karena tidak dapat hijrah ke Darul Islam, masih di Darul Harb, hingga hanya mampu melaksanakan apa yang dapat ia lakukan, dan gugur dari apa yang tidak dapat dilakukannya. Itu sebagaimana Raja Najasyi di Habasyah yang dia beriman kepada Nabi Muhammad saw, namun masih berada di lingkungan Nasrani dan hanya dapat melaksanakan apa yang dia mampu, maka gugur dari apa yang dia tidak mampu. Maka masih disebut min ahlil kitab (dari kalangan ahli kitab) karena dalam kenyataan secara lahiriah masih di golongan dan tempat Nasrani. Berbeda dengan yang sudah jelas melaksanakan Islam secara nyata, baik lahir maupun batin, dan berada di negeri Darul Islam, bukan Darul Harb, maka walaupun tadinya dari ahli kitab, ataupun kafir ataupun musyrik, maka sudah tidak disebut dari golongan ahli kitab, atau kafir atau musyrik.


2. Sebaliknya, orang-orang yang menampakkan dirinya sebagai muslim di Darul Islam, bahkan secara lahiriyah juga melaksanakan Islam, tetapi hatinya kafir, mengingkari Islam, maka secara lahir mereka disebut Islam. Tetapi orang ini adalah munafik. Jadi sebutannya muslim, namun hakekatnya kafir. Maka Abdullah bin Ubay bin Salul, walaupun dia berada di Madinah bersama Nabi Muhammad saw, menampakkan diri mengerjakan Islam, namun dia munafik, maka Allah melarang untuk menshalati jenazahnya, karena hakekatnya Abdullah bin Ubay itu kafir. Ini berbalikan dengan Raja Najasyi. Dalam riwayat yang jelas, ternyata Raja Najasyi beriman kepada Nabi Muhammad saw, hanya saja adanya di negeri Nasrani, maka ketika meninggal, kemudian Nabi Muhammad saw shalat ghaib untuk Najasyi itu.


Keadaan Najasyi itu sebagaimana pula orang mukmin yang menyembunyikan keimanan di antara warga Fir’aun (Ali Fir’aun), sebagaimana pula istri Fir’aun, Asiyah, masih disebut Ali Fir’aun (Warga Fir’aun), karena belum berhijrah ke Darul Islam, walau batinnya sudah beriman. Dan melakukan keimanannya sebatas apa yang dia mampui, sedang yang tidak dimampui maka gugur kewajibannya.


Itu bisa dirujuk pada firman Allah swt:

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS Ali Imran/ 3: 113).


Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS Ali Imran/ 3: 114).


Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS Ali Imran/ 3: 199).


Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS Ghafir/40: 28).


Dan Allah membuat isteri Fir`aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS At-Tahrim/66 :11).


Dalam Al-Qur’an, isteri termasuk keluarga, maka istri Nabi Luth as adalah keluarga Luth, hanya saja karena kafir maka termasuk orang-orang yang diadzab.


Mereka menjawab: “Kami sesungguhnya diutus kepada kaum yang berdosa, kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali isterinya, Kami telah menentukan, bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya).” (QS Al-Hijr/ 15: 58. 59, 60).


Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, di kalangan orang-orang yang menampakkan dirinya sebagai Muslim ada yang munafik, yaitu batinnya kafir, baik (berideologi) Yahudi, musyrik, maupun membatalkan sifat-sifat Allah (mu’thil). Demikian pula (sebaliknya) dari kalangan orang Ahli Kitab dan Musyrikin, ada yang tampaknya seperti mereka tetapi dalam batinnya beriman kepada Nabi Muhammad saw, berbuat dengan ilmunya sebatas kemampuannya, dan gugur dari kewajiban mengenai apa yang dia tidak mampu mengerjakannya, Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuannya, sebagaimana Najasyi yang tidak mampu pindah ke negeri Muslim/ Darul Islam. (Imam Ibnu Taimiyyah, Daqoiqut Tafsir, juz 1, halaman 315-316).


3. Adapun sebelum datangnya Nabi Muhammad saw, makna Ahli Kitab yang mukmin itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabinya sebelum agamanya diganti/dirubah dan dinasakh (dihapus oleh nabi yang baru). Umatnya Nabi Musa, maka yang mukmin yaitu yang mengikuti agama Nabi Musa as, memegangi Taurat dengan konsisten/istiqomah. Ketika datang Nabi Isa as maka mengikuti dan beriman pula kepada Nabi Isa as. Demikian pula umatnya Nabi Isa as, mengikuti dan beriman kepada Nabi Isa as, memegangi Injil dengan istiqomah sebelum ada penggantian/perubahan tangan-tangan orang, dan sebelum dinasakh (datangnya Nabi baru lagi, Nabi Muhammad saw). Ketika datang Nabi Muhammad saw maka mengikuti dan mengimani Nabi Muhammad saw. Itulah yang disebut beriman, yang dijanjikan surga oleh Allah swt atas mereka.




E. Umat Sebelum Nabi Muhammad SAW Ada Dua Macam


Allah telah menjadikan mereka dua golongan, Segolongan orang-orang mukmin, dan segolongan lainnya fasiqin, dan itulah kebanyakan mereka. Allah Ta’ala berfirman:


Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS Al-Hadid/ 57: 27).


Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. QS As-Shooffaat: 113).


Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (t erjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (QS Al-Baqarah/ 2: 61).


Orang-orang Yahudi disifati Oleh Allah sebagai orang yang selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas, itu adalah keadaan mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. Lalu Allah menjelaskan, di antara mereka itu ada orang-orang yang beriman, (tidak seperti sifat yang umum itu tadi), maka keimanan mereka pun diterima Allah swt. Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah/ 2: 62).


Ayat ini mengenai para pengikut dari agama yang empat itu, yang berpegang teguh dengannya sebelum dinasakh (dihapus oleh agama baru dengan datangnya nabi baru) dan tanpa penggantian/perubahan. Maka mereka berada pada agama yang haq/benar. Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’raaf: 181). Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (ni`mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).


Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?


Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan. (QS Al-A’raaf:168, 169, 170). Ayat-ayat itu adalah pensifatan dari Allah swt kepada orang-orang sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Adapun di antara mereka ada yang hidup di zaman Nabi Muhammad saw lalu beriman kepadanya (masuk Islam) maka dia akan diberi pahala dua kali. Demikian penjelasan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Daqoiqut Tafsir, jilid 1, halaman 318-319). Dalam penjelasan Imam Ibnu Taimiyyah itu, orang yang beriman dari kalangan Ahli Kitab itu ada dua macam. Pertama, orang yang sebelum Nabi Muhammad saw, mengikuti agama nabinya, sebelum ada penggantian/perubahan dan nasakh (penggantian oleh nabi yang baru). Kedua, orang ahli kitab yang beriman kepada Nabi Muhammad saw namun masih berada di kalangan Ahli Kitab karena tidak mampu berpindah ke kalangan Muslimin (Darul Islam). Dia mengerjakan kewajiban Islam semampu yang dia kuasai, dan gugur mengenai yang dia tak mampu.


Kalau orang yang tadinya dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) lalu masuk Islam dan secara terang-terangan secara total mengamalkan Islam dan berada di kalangan muslimin, maka tidak disebut lagi min ahlil kitab (dari kalngan ahli kitab). Sebagaimana yang tadinya kafir atau musyrik, tak disebut lagi dari kalangan kafir atau musyrik. Jadi sama sekali bukan seperti yang diselewengkan Harun Nasution, yang memaknakan ayat laisu sawa’ itu dengan Ahli Kitab yang sekarang masih dalam agamanya, tidak mengikuti Nabi Muhammad saw. Itu sudah jelas dalam hadits shohih riwayat Imam Muslim –seperti tersebut di atas– pasti termasuk penghuni-penghuni neraka. Kenapa Harun Nasution berani mengajarkan bahwa Bunda Theresia yang Nasrani itu masuk surga?


Nabi Muhammad saw pembawa agama Islam, agama Tauhid, bersabda yang intinya siapa saja apakah yahudi atau Nasrani yang telah mendengar seruan Nabi saw lalu dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada agama Nabi Muhammad saw, maka tidak ada lain kecuali termasuk penghuni-penghuni neraka. Sebaliknya, pembawa panji-panji pluralisme agama, penyeleweng Tauhid, Harun Nasution, mengajarkan, Bunda Theresia yang tetap dalam Nasrani akan masuk surga. Kalau Harun Nasution yang jelas-jelas bukan mengajarkan ajaran Nabi Muhammad saw tetapi justru dianut di IAIN bahkan dialah pengubah kurikulum, maka IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia perlu ada dua pilihan. 

Pertama, tetap mengikuti kurikulum buatan Harun Nasution dengan konsekuensi mengubah IAIN dari Institut Agama Islam menjadi Institut agama Anti Islam alias pemurtadan. 

Kedua, mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dengan mengubah segala daki-daki dan kotoran yang dibuat Harun Nasution, Nurcholish madjid dan lainnya menjadi mengikuti ajaran Rasulullah saw.


Umat Islam yang konsisten dengan agamanya akan menunggu adanya perubahan itu. Bila tidak, maka berarti pemurtadan umum akan tetap dilangsungkan, dan itu bahaya yang mendatangkan murka Allah swt.



Islam, Renaissance dan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Hamdan Maghribi*

A. Pendahuluan

Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya tidak akan terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka amatlah penting bila kita melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena para ilmuwan Barat melihat bahwasanya segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan Agama –di Barat maupun Timur- dengan argumen bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan tersebut –menurut ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.


Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat dimana lahir filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600 tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus, Demokritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya ditangan para filosof Yunani ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan disini, pada waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan, sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sekali.

Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai ajaran absolut dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung pada akal yang kebenarannya relatif dan dinamis, terdapat pertentangan keras. Lembaran-lembaran sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval terjadi pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.

Disini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama (baca:Islam) terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan tekhnologi? Jawaban pertanyaan ini terletak pada hakikat kedudukan akal dalam agama yang bersangkutan. Agama yang menjunjung tinggi akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala perubahan dan modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya akan mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.


B. Islam, Akal dan Sains


Dalam lembaran sejarah peradaban Islam kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad ke delapan sampai abad ketiga belas Masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan akal memiliki posisi penting dalam Islam.


Akal merupakan suatu daya yang hanya dimiliki manusia, oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Islam sebagai agama pamungkas datang berbicara kepada akal dan bukan lagi pada perasaannya. Dalam banyak aspek keagamaan sendiri akal sangat berperan. Dalam ayat al-qur’an yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya 500 ayat yang membicarakan ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu ada sekitar 150an ayat yang menerangkan tentang fenomena nature (alam). Mayoritas ayat-ayat tersebut turun dalam bentuk prinsip dan garis besar yang belum terperinci. Disini, dalam memahami perincian tersebut peran akal sangat besar. Pemakaian akal, yang mempunyai kedudukan tinggi dalam al qur’an dan hadits itulah yang kemudian disebut ijtihad. Oleh karena itu ijtihad (menurut mayoritas ulama) merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam setelah al-qur’an dan sunnah.


Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah), keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Maka antara keduanya tidak akan pernah ada pertentangan. Ayat kawniyyah dalam al-qur’an yang mengajarkan manusia agar memperhatikan fenomena alam, mendorong para ulama klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar. Berkembanglah dalam Islam, pada abad antara kedelapan dan ketiga belas Masehi, ilmu-ilmu pengetahuan duniawi. Perkembangan ini dimulai dengan penerjemahan berbagai buku Yunani kedalam bahasa arab yang terkonsentrasikan di Bayt al Hikmah Baghdad. Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi dan filsafat serta logika. Diantara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam.


Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut kedalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan disamping ulama yang ahli agama. Untuk pengembangannya didirikan universitas-universitas yang terkemuka, diantaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, Al-Azhar di Kairo dan Universitas An-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya.


Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar Al-Thabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar ar Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan Al-Hawi diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al Qanun fi at-Thibbnya Ibn Sina dan Al-Kulliyyat fi at-Thibbnya Ibn Rusyd juga diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.


Disamping itu juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir al-Battani). Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti kalender hasil karyanya lebih tepat di banding kalender Gregorius. Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo. Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa al Khawarizmi sangat Masyhur. Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin al-Haytsam dengan magnum opusnya al-Manazib yang didalamnya ia menentang Teori Euclid. ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada al-Mas’udi pengarang buku Muruj al-dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia. Disamping al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.


Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan hingga geologi, bahkan, menurut Hitti, al-Jahiz dalam buku Kitab al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi. Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh ulama Islam terdahulu. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa ilmu pengetahuan yang menghasilkan teori-teori ilmiah yang diajukan oleh ilmuwan Islam itu tidak mendapat tantangan dari para ulama. Ilmu dan agama berdampingan dengan begitu harmonis dan damai selama lima abad. Yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam bukanlah pertentangan ilmu dan agama, melainkan pertentangan antar madzhab. Mihnah (inkuisisi) pernah dilaksanakan kaum mu’tazilah terhadap golongan yang tidak sependapat dengannya mengenai penciptaan al-qur’an. Rakyat dipaksa untuk menganut faham mu’tazilah. Demikian juga pengkafiran yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap para filosof muslim bukanlah pada persoalan ilmiah akan tetapi keyakinan mereka tentang kekekalan alam dan tidak adanya kebangkitan jasmani.



C. Islam dan Kebangkitan Barat


Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, Eropa beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Bersamaan dengan itu di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama samasekali tidak bertentangan dengan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa Averroisme dalam sejarah pemikirannya (meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd; Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat, di Eropa averroisme membawa kepada double truth (kebenaran ganda); kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).


Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh averroisme (ar rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin. Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur

Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa.


Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. Di pulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim.

Pengaruh pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya. Disamping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca: Kristen).


D. Penutup


Dari uraian ringkas diatas, sangatlah jelas kiranya bahwa kedudukan akal tinggi sekali dalam al-quran, pun para ulama setuju dengan kegiatan keilmuan dan penelitian, pertentangan yang ada bukanlah pertentangan antara agama vis a vis akal, melainkan pertentangan keyakinan antar madzhab, namun demikian bukan berarti akal adalah segala-galanya, karena akal bukanlah yang mengatur kita, ia hanya melayani, ajaran Islamlah yang harus menjadi guidance dalam upaya balancing antara agama dan akal. Tulisan ini bukan bermaksud untuk berapologi ria, melainkan peringatan kepada kita agar melihat dan meneladani sikap para ulama Islam klasik, untuk diambil sebagai uswatun hasanah. Umat Islam di era globalisasi dan teknologi ini, menurut Syamsudin Arif, dalam melihat sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti Barat dan anti ilmu pengetahuan dengan dalil bid’ah, ada yang menelan begitu saja tanpa sikap kritis-objektif, dan ada juga yang menerima dengan waspada, dalam artian tidak menelan mentah begitu saja tanpa telaah ulang dan proses pematangan (baca:Islamisasi). Sikap yang pertama dan kedua kurang tepat untuk diterapakaan karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal. Sikap yang bijak dan dewasa adalah bersikap adil, selalu menghargai namun mampu untuk meletakkannya pada porsi yang tepat. Disini umat Islam dituntut untuk jeli dalam memilah dan memilihnya. Umat Islam akan bisa meraih kembali kejayaan jika mau belajar dari sejarah, entah itu dari warisan klasik ulama Islam terdahulu ataupun pemikiran Barat modern sehingga tidak lagi terjerumus berkali-kali kedalam “lubang kegelapan” yang sama.(albi)

Allah knows best


Kerancuan Berpikir Harun tentang Hadits

DR. Daud Rasyid, M.A.

Oleh: Abu Annisa


A. Pendahuluan


Siapakah Harun Nasution itu? Ada baiknya perlu kita ketahui latar belakangnya sehingga akan lebih jelas bagi kita di dalam mengungkap pemikiran-pemikirannya. Harun Nasution menyelesaikan pendidikan menengahnya di salah satu madrasah Islam di Indonesia. Kemudian, ia melanjutkan studinya di SLTA Al-Azhar (Al-Ahliyah), kemudian melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Ia belajar di tempat ini dua tahun (1938-1940), lalu meninggalkannya, konon karena ia drop out. Namun, menurut pengakuannya, ia tidak setuju dengan metode pengajaran yang diterapkan di Al-Azhar. Harun sering menuduh Al-Azhar menganut pola pendidikan tradisional klasik dengan metode menghafal. Kemudian, ia pindah ke Universitas Amerika di Kairo (AUC), yang menurutnya mengagumkan dalam metode pengajaran dan sistem yang digunakannya. Ia belajar di tempat ini hingga selesai S1. Kemudian, oleh Prof. Dr. Rasjidi, ia dibantu untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas McGill, Kanada, karena Rasjidi waktu itu menjadi dosen di universitas tersebut. Rasjidi tadinya berharap bahwa mahasiswa Indonesia ini dapat mengikuti jejaknya dalam berinteraksi dengan kaum orientalis. Ia juga berharap agar Harun menjadi mahasiswa yang kritis dan cerdas terhadap apa yang ia terima dari orientalis.


Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Harun justru berbalik menjadi mahasiswa yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orientalis dan terkagum-kagum dengan mereka. Setelah menamatkan program Ph.D-nya, ia kembali ke negerinya dengan membawa ide dan pemikiran orientalis itu. Kemudian, ia diserahi jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama sepuluh tahun lebih kurang. Kemudian, sejak 1983 ia memegang jabatan sebagai direktur program pascasarjana pada institut yang sama. Ia meninggalkan beberapa karya tulis yang kecil-kecil, pada umumnya di bidang filsafat, pemikiran, dan tasawuf. Hampir tidak satu pun isi karya itu yang bersih dari penyimpangan (distorsi), penyesatan, atau kesalahpahaman. (Lihat: Prof. Dr. Rasjidi, Koreksi terhadap Harun Nasution, Muqaddimah).



B. Pemikiran


Harun bisa disebut sebagai tokoh kaum rasionalis (paham yang mengedepankan logika) di Indonesia. Sejak menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, yang merupakan perguruan tinggi Islam terbesar di Indonesia, ia berkonsentrasi menumbuhkan pemikiran Mu’tazilah di kalangan mahasiswanya. Ia kagum dan memuja pemikiran Mu’tazilah ini.


Di antara pemikiran Harun yang sempat mengemuka adalah bahwa keterbelakangan umat Islam hari ini adalah dampak dari sikap mereka karena meninggalkan pemikiran rasionalisme, yang dalam sejarah Islam dianut Mu’tazilah. Menurutnya, kemajuan peradaban Islam abad pertengahan adalah hasil metode rasional yang dikembangkan kelompok ini. Oleh karena itu, menurut Harun, jika ingin kembali maju, pemikiran Mu’tazilah harus dihidupkan kembali.


Pemikiran ini mengingatkan kita pada peringatan Prof. Dr. Isma’il Raji al-Faruqi, seorang cendekiawan asal Palestina yang mengajar pada Departemen Studi Islam, Temple University, AS, tentang tujuan kaum orientalis dalam studi-studi Islam di Barat. Satu di antaranya adalah menghidupkan pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang dalam sejarah Islam, seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Shufiyah, Isma’iliyah, dan lain-lain. (Prof. Dr. Ismail al-Faruqi menguatkan bahwa dominasi Yahudi sangat besar di pusat-pusat studi Islam di universitas-universitas Eropa dan Amerika. Donatur pusat kajian Islam dan penelitian-penelitian yang ada di sana adalah kaum Yahudi. Faruqi mengingatkan putra-putra Islam akan bahaya belajar dari orientalis-orientalis itu dan agar mereka tidak datang belajar ke sana. Lihat jurnal “Al-Muslim al-Mu’ashir” edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).


Di antara pemikiran Harun yang nyeleneh adalah penolakannya terhadap qadha dan qadar sebagai rukun iman. Harun menganggap bahwa iman kepada qadha dan qadar adalah sebab terpinggirkannya umat Islam dari peradaban modern. Harun yakin bahwa iman pada qadha dan qadar akan mewariskan sikap pasrah dan membuat seorang Muslim lesu, malas, dan statis. Pasalnya, menurut Harun, kepercayaan ini akan membuat seorang Muslim yakin bahwa apa yang terjadi adalah qadha dan qadar Allah, oleh karena itu tidak butuh ikhtiar manusiawi. Menurut Harun, qadha dan qadar harus dihilangkan dari rukum iman. (Surat kabar PELITA, edisi 16 Juli 1992. Disebabkan karena pendapat-pendapatnya yang aneh, sejumlah ulama Indonesia menyampaikan bantahan terhadapnya, antara lain Prof. Dr. Rasjidi, Prof. Ali Yafie, Dr. Peunoh, dll).


Seperti diketahui, iman terhadap qadha dan qadar diterangkan dalam sebuah riwayat sahih dari Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits panjang, beliau merincinya saat ditanya oleh Jibril a.s. tentang pengertian Islam, iman, dan ihsan. “Bahwa iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-Nya, hari akhir, serta beriman pada qadar, baik dan buruknya.” (HR Muslim).


Dalam riwayat yang shahih lainnya, Rasulullah saw. juga bersabda, “Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberi keuntungan padamu, mereka tidak akan mampu kecuali mendatangkan apa yang telah Allah tentukan. Kalau mereka berkumpul untuk menimpakan bencana, mereka tidak akan mampu kecuali sebatas apa yang telah Allah tentukan. Pena telah diangkat, dan catatan telah kering.” (HR Tirmidzi, Ahmad).




Dalam hadits shahih riwayat Abu Darda r.a., Rasulullah saw. memberi peringatan keras terhadap mereka yang mengingkari qadha dan qadar. Sabdanya, “Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, peminum arak, dan orang yang mengingkari qadar.” (HR Ahmad).


Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang Muslim yang memiliki akidah yang shahih, menolak apa yang shahih dan datang dari Rasulullah saw., apa pun alasannya. Lebih dari itu, qadha dan qadar disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat, di antaranya seperti di dalam ayat berikut. “Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffaat: 96). “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadarnya (ukurannya).” (Al-Qamar: 49).


Harun menulis bukunya dengan judul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Seperti tampak dari judulnya, Harun berusaha menampilkan pandangan pribadinya seputar Islam ditinjau dari aspek ibadah, sejarah, peradaban, politik, filsafat, tasawuf, hukum, dan lainnya. Buku itu, seperti kata Prof. Dr. Rasjidi, sangat berbahaya. Buku itu mengandung berbagai racun pemikiran orientalis dan penghinaan terhadap Islam, upaya peraguan terhadap akidah, dan distorsi.


Hal yang sangat membantu Rasjidi mengoreksi Harun adalah penguasaannya terhadap arah dan perkembangan pemikiran Harun. Pasalnya, sebelumnya Rasjidi adalah guru besar di Universitas McGill Kanada, salah satu pusat orientalisme di dunia, tempat Harun belajar. Namun demikian, menurut penulis, bantahan Rasjidi belum mewakili seluruh kekeliruan Harun. Dunia pemikiran Islam masih menanti kritik dan bantahan ilmiah terhadap buku ini secara lebih lengkap agar umat Islam pada umumnya dan kalangan peneliti pada khususnya dapat memahami masalahnya secara benar, tidak keliru seperti disajikan Harun dalam bukunya, sengaja atau tidak sengaja. Lebih berbahaya lagi buku itu dijadikan tekt book, buku pegangan bagi mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia.


Di sini penulis hanya ingin mengkritisi masalah yang terkait dengan sunnah. Dalam bukunya, Harun menulis tentang sunnah pada tiga tempat. Penulis akan menyajikan pandangan Harun seputar sunnah dengan mengutip teks bukunya apa adanya, tanpa melakukan manipulasi dan perubahan, sehingga tidak bias dari maksud sebenarnya. Selanjutnya, tiap kutipan akan diiringi dengan ulasan dan komentar.


C. Tuduhan Pertama


Harun menulis sebagai berikut. “Hadits, sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam, mengandung sunnah (tradisi) Nabi Muuhammad. Sunnah boleh mempunyai bentuk ucapan, perbuatan, atau persetujuan secara diam dari Nabi. Berlainan halnya dengan Al-Qur’an, hadits tidak dikenal, dicatat, dan tidak dihafal pada zaman Nabi. Alasan yang selalu dikemukakan ialah bahwa pencatatan dan penghafalan hadits dilarang Nabi karena dikuatirkan bahwa dengan demikian akan terjadi pencampur-bauran antara Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan dan hadits sebagai ucapan-ucapan Nabi. Ada disebut bahwa Umar bin Al Khatthab, khalifah kedua, berniat untuk membukukan hadits Nabi, tetapi karena takut akan terjadi kekacauan antara Al-Qur’an dan hadits, niat itu tidak jadi dilaksanakan.

Pembukuan baru terjadi pada permulaan abad kedua Hijriah, yaitu ketika Khalifah Umar bin Abd Al Aziz (717-720) meminta dari Abu Bakar Muhammad bin Umar dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, mengumpulkan hadits Nabi yang dapat mereka poeroleh. Pada tahun 140 H, Malik bin Anas menyusun hadits Nabi dalam buku Al-Muwaththa’.


Pembukuan secara besar-besaran terjadi pada abad ketiga Hijriah oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Keenam buku kumpulan hadits inilah yang banyak dipakai sampai sekarang.


Karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Abu Bakar dan Umar sendiri, walaupun mereka sezaman dengan Nabi, bahkan dua sahabat terdekat dengan Nabi tidak begitu saja menerima hadits yang disampaikan kepada mereka. Abu Bakar meminta supaya dibawa seorang saksi yang memperkuat hadits itu berasal dari Nabi, dan Ali bin Abi Thalib meminta supaya pembawa hadits bersumpah atas kebenarannya.


Dalam pada itu, jumlah hadits yang dikatakan berasal dari Nabi bertambah banyak sehingga keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadits yang oriosinil dan mana hadits yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Bukhari mengumpulkan 600.000 (enam ratus ribu) hadits, tetapi setelah mengadakan seleksi, yang dianggapnya hadits orisinil hanya 3.000 (tiga ribu) dari yang 600.000 itu, yaitu hanya setengah persen.


Tidak ada kesepakatan kita antara umat Islam tentang keorisinalan semua hadits dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur’an.” (Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 1, hlm. 28-30).


D. Bantahan Prof. Dr. M. Rasjidi


Sekilas tentang M. Rasjidi, setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Daru Al-’Ulum, Kairo, Mesir, ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Tamat dari Mesir, ia belajar di Universitas Sorbonne, dengan meraih gelar Ph.D. Pernah mengajar di Institut Studi Islam Universitas McGill, Kanada, beberapa lama. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama RI, ia juga pernah menjadi duta RI di Mesir. Ia mempunyai karya-karya ilmiah yang cukup banyak.


Rasjidi sebagai pengkritik utama pemikiran Harun menulis bantahannya dalam buku berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang: Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Ia membantah apa yang ditulis Harun dengan mengomentari tiap bab.


Pada pembahasan “hadits”, Rasjidi memuliai bantahannya dengan memberikan pengantar seputar posisi sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam dengan mengutip firman Allah yang artinya, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 31-32).


Rasjidi, secara singkat, menjelaskan perhatian para sahabat terhadap hadits sejak masa Rasulullah saw. dengan menulis sebagai berikut.


“Selama Nabi Muhammad masih hidup sampai kepada zaman Khulafa Ar Rasyidin, para sahabat Nabi sangat berminat untuk mengingat dan menghafal apa yang pernah dikatakan atau dilakukan oleh Nabi.”


Selanjutnya, Rasjidi membahas masalah kodifikasi sunnah yang dimulai dengan perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Abu Ja’far Al Manshur.


“Tetapi makin lama makin bertambah terasa hajat umat Islam untuk mengetahui sunnah Nabi secara terperinci. Khalifah kerajaan Umawiyah, yaitu Unar bin Abdul Aziz (717-720 M) memerintahkan kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, maka dikumpulkannya apa yang dapat dikerjakannya.


Pada zaman Kerajaan Abbasiyah, Khalifah Abu Ja’far Al Manshur (khalifah kedua Kerajaan Abbasiyah (754-720 M) memerintahkan kepada Malik bin Anas (93-179 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ia ketahui, dan dikumpulkanlah buku hadits yang dinamakan Al Muwaththa’ (artinya: yang telah terkuasai) berjumlhah 870 hadits, menurut bin Hazm.”

Sayangnya, menurut Rasjidi, kodifikasi yang dilakukan Imam Zuhri dan Imam Malik masih dalam lingkup terbatas. Kodifikasi sunnah dalam bentuk yang lebih sempurna baru dilakukan pada abad ketiga Hijriah, sehingga wajar jika masa ini dianggap sebagai masa emas penulisan sunnah. Rasjidi menulis, “Pengumpulan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Abu Ja’far Al Manshur yang dilakukan oleh Az Zuhri dan Malik bin Anas merupakan usaha kecil karena Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Kota Madinah kecuali beberapa kali sebentar untuk haji, sedang Az Zuhri juga tidak melakukan penelitian yang besar skupnya.


Akan tetapi, pada abad ketiga Hijriah, lahirlah gerakan ilmiah yang menyeluruh berbarengan dengan terjemahan buku dari Yunani. Baik ilmu hukum, tafsir, maupun ilmu kalam atau tauhid, berkembang secara besar-besaran.

Mengenai pembukuan sunnah, menonjol pula nama-nama Al Bukhari (wafat 256), Muslim (wafat 261), Ibnu Majah (wafat tahun 273), Tirmidzi (wafat 274), An Nasa’i (wafat 303), dan Abu Dawud (wafat 275).”


Selanjutnya, Rasjidi menambahkan sebagai berikut. “Di antara mereka itu, Al Bukhari dan Muslim menggunakan kriteria yang sangat ketat untuk menyaring hadits-hadits. Cara penyelidikan Al-Bukhari dan Muslim yang begitu teliti telah menghasilkan dua kumpulan yang sekarang termasyhur dengan nama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yakni kumpulan yang sah, yang benar dari Al Bukhari dan Muslim. Pengumpulan yang lain pun memakai kriteria juga, akan tetapi dirasakan agak lunak. Di samping yang enam tersebut, ada lagi beberapa kumpulan lain seperti Musnad Ibnu Hambal.”


Rasjidi mengulas nilai penting sunnah dalam kehidupan seorang Muslim, seraya menekankan agar setiap Muslim membaca, mempelajari, dan mencurahkan perhatian, sama seperti perhatiannya terhadap Al-Qur’an. Rasjidi menulis, “Sunnah Nabi atau hadits adalah begitu penting dalam Islam. Jika Al-Qur’an penting karena ia adalah wahyu dan barang siapa yang membacanya dengan mengerti bahasa serta maknanya ia akan hidup dalam suasana kerohanian yang tinggi, maka dengan membaca sunnah atau hadits, seseorang akan menjelma menjadi sahabat Nabi, seakan-akan ia dapat menemani dan melihat segala gerak-gerik Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi kebenarannya dan Dr. Harun Nasution meng-quote (mengutip) kata-kata Nicholson dan Gibb yang menguatkan keaslian Al-Qur’an.”


Rasjidi mengingatkan agar umat waspada terhadap upaya musuh-musuh Islam dalam menghancurkan sunnah dengan menggunakan banyak celah, seperti yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhasil disingkap kedoknya. Rasjidi menulis, “Tetapi orang yang tidak suka kepada Islam mencoba untuk menyerang sumber kedua yakni sunnah karena jika sunnah dideskreditkan maka akan kuranglah sumber kekuatan Islam.


Cara mendiskreditkan hadits adalah: pertama, menunjukkan bahwa ada kemungkinan hadits itu dibuat-buat atau dipalsukan dan memang itu terjadi, khususnya ketika terjadi sengketa politik dan perebutan kekuasaan. Bahwa ada hadits yang palsu telah disoroti oleh penyelidik-penyelidik Islam sendiri, khususnya Al Bukhari dan Muslim, dan oleh karena itu, maka mereka membentuk kriteria yang ketat dan ilmiah untuk menerima hadits. Akan tetapi, sekali dikatakan bahwa ada kemungkinan hadits itu dipalsukan dan memang sudah dibuktikan adanya beberapa hadits palsu, kaum orientalis menjadikan hal tersebut sebagai pokok, seakan-akan semua hadits itu sangat mungkin merupakan hadits palsu. Dengan cara inilah musuh-musuh Islam bermaksud menghilangkan salah satu sumber kekuatan Islam.”


Selanjutnya, Rasjidi mengutip berbagai ungkapan Harun yang sangat mirip dengan tuduhan orientalis yang bertujuan meragukan posisi sunnah. Rasjidi menjelaskan bahaya pemikiran yang dibawa dan disebarkan Harun di kalangan mahasiswa IAIN, kemudian menulis bantahan dan kritiknya serta mengingatkan bahaya pemikiran tersebut sebagai berikut.


“Keterangan Dr. Harun Nasution tersebut sudah cukup untuk memasukkan rasa goyah dalam keimanan generasi muda kita, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh kaum orientalis yang tidak suka Islam menjadi kuat.”


E. Tuduhan Kedua


Harun menulis, “Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para sahabat kembali ke Al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan Nabi. Soal kembali ke Al-Qur’an mudah karena Al-Qur’an dihafal oleh sahabat-sahabat dan telah pula dibukukan pada zaman Abu Bakar. Akan tetapi, berlainan halnya dengan soal sunnah. Hadits tidak dihafal dan belum dibukukan di waktu itu. Di sini, timbullhah keadaan terpaksa mencari sunnah dan hal itu nanti membawa kepada timbulnya hadits-hadits yang diragukan berasal dari Nabi, tetapi adalah sebenarnya hadits-hadits buatan.” (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 2, hlm. 11).


Rasjidi menolak tuduhan ini dengan menulis, “Keterangan di atas mengandung unsur orientalisme. Hadits tidak dihafal. Ini sepintas lalu benar. Tetapi sebenarnya banyak orang-orang yang mengetahui hadits dan hadits itu tidak selalu perlu dihafal karena kebanyakan mengenai suatu kejadian. Jika ada suatu kasus hukum, maka Abu Bakar, Umar, dan sahabat lainnya menanyakan apakah ada orang yang mengetahui bahwa Rasulullah pernah mengambil keputusan dalam kasus semacam itu. Jika pernah ada, maka sahabat yang mengetahuinya memberi tahu dengan membawa saksi. Jika tidak, maka para sahabat mengadakan sidang untuk merundingkan soal tersebut. Dan keputusan yang mereka ambil dinamakan ijma’ (konsensus sahabat).”


Tuduhan tentang pemalsuan hadits pada masa sahabat dibantah oleh Rasjidi sebagai berikut, “Mencari hadits pada zaman sahabat tidak perlu dihubungkan dengan timbulnya hadits-hadits buatan yang terjadi dua abad kemudian. Penonjolan adanya hadits buatan pada permulaan periode tasyri’ (legislasi) Islam adalah kebiasaan para orientalis, khususnya Goldziher.”


F. Tuduhan Ketiga


Harun menulis sebagai berikut, “Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu’tazilah umpamanya.”

Rasjidi menjawab tuduhan itu sebagaid berikut, “Kelicikan dari kaum orientalis yang dianut oleh Dr. Harun Nasution, entah dengan sadar atau tidak, ialah bahwa mereka membicarakan hadits secara keseluruhan. Dalam hadits secara keseluruhan–di antaranya dikatakan oleh Dr. Harun Nasution–yang didengar oleh Bukhari enam ratus ribu hadits, memang banyak hadits-hadits yang dibuat-buat orang. Akan tetapi, dari permulaan, para sahabat Nabi berhati-hati sekali menerima hadits.


Jumlah hadits Bukhari yang sahih adalah 7.397 hadits, tetapi banyak yang terulang oleh karena yang meriwayatkannya banyak, jadi jika dihitung hadits Bukhari yang shahih, yang tidak terulang jumlahnya, adalah 2.762 hadits sahih. Adapun hadits Muslim seluruhnya berjumlah 7.275, dan yang tidak terulang berjumlah kira-kira empat ribu hadits.”

Sayangnya, Rasjidi tidak sepenuhnya benar dalam bantahannya. Ia menulis sebagai berikut. “Namun begitu, kita tidak mengatakan bahwa segala hadits Bukhari dan Muslim itu benar. Di antara 2.762 hadits sahih Bukhari, tentunya ada saja beberapa hadits yang tidak benar karena hadits Bukhari dikumpulkan oleh Al Bukhari dan ia adalah seorang manusia biasa.


Akan tetapi, dalam garis besarnya, kitab hadits yang enam memuat hadits-hadits yang sahih atau dekat kepada shahih karena kriteria yang dipakai oleh pengumpulnya adalah kriteria yang ketat.


Sikap orang Islam adalah bahwa hadits-hadits itu pada umumnya benar, ada sedikit sekali yang salah. Sikap kaum orientalis adalah: semua hadits itu buatan-buatan, kecuali beberapa hadits yang betul sahih dari Nabi Muhammad.” Koreksi Rasjidi terhadap penyimpangan pemikiran Harun dalam bidang sunnah belum sepenuhnya selesai. Koreksi Rasjidi juga memerlukan koreksi. Tentu saja hal ini disebabkan karena minimnya informasi Rasjidi dalam bidang ini dan bukan faktor kesengajaan. Hal ini bisa ditoleransi karena ilmu hadits bukanlah bidang spesialisasinya. Tetapi, secara umum Rasjidi telah mengupas berbagai masalah yang tidak diketahui orang banyak dengan mengoreksi pemahaman yang keliru dan membantah tudingan yang salah kaprah. Selanjutnya penulis akan menambahkan beberapa catatan pelengkap. Penulis akan mengoreksi sisi yang keliru, mengacu pada paradigma ulama dan spesialisasi dalam bidang hadits.


Poin-poin yang perlu diluruskan itu dapat diringkas sebagai berikut. 


1. Secara mutlak, Harun mengingkari penulisan dan penghafalan hadits pada masa Nabi. Alasannya adalah sikap Umar bin Khatthab r.a. yang mengurungkan niat menyusun hadits yang telah ia kumpulkan.


2. Kodifikasi hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriah, sehingga sebelum periode itu, antara hadits shahih dan hadits palsu tidak dapat dibedakan, akibat usaha pembukuan yang terlambat.


3. Para sahabat bersikap sangat ketat dalam menerima hadits. Hal ini dibuktikan oleh sikap Abu Bakar yang meminta saksi terhadap kebenaran rawi dan Ali bin Abi Thalib yang menyuruh beberapa rawi bersumpah. Secara implisit dan tidak langsung, Harun menganggap bahwa para sahabat meragukan kejujuran para rawi karena banyaknya kasus pemalsuan hadits.


4. Pembukuan dalam skala besar dilakukan pada abad ketiga Hijriah melalui para penulis Kutubus Sittah, enam kitab hadits utama.


5. Imam Bukhari menyaring tiga ribu hadits dari enam ribu hadits yang telah ia kumpulkan.


6. Tidak ada ijma’ (kesepakatan) kaum Muslimin tentang keshahihan hadits-hadits Nabi.


7. Sebagai konsekuensinya, kedudukan sunnah sebagai hujjah (dasar hukum) tidak sama dengan Al-Qur’an.


8. Yang disepakati tentang kehujjahannya hanya hadits mutawatir saja. Adapun hadits masyhur dan ahad, keduanya masih diperselisihkan.


9. Karena sibuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam masa itu, para sahabat menerima segala macam hadits, sekalipum maudhu’ (palsu).


Setelah itu bahasan akan mendiskusikan beberapa kesimpulan Rasjidi yang dipandang kurang tepat. Poin-poin inilah yang Insya Allah akan dibicarakan di bawah ini. Berikut koreksi atas kekeliruan pemikiran Harun.


G. Penulisan Hadits Pada Masa Nabi


Seputar penulisan hadits dan kodifikasinya pada abad pertama Hijriah, timbul kontroversi yang dilontarkan musuh-musuh Islam dan pengikutnya dari kalangan umat bahwa sunnah belum ditulis pada masa Rasulullah saw. Mereka berasumsi bahwa sunnah dicemari oleh pemalsuan. Harun mengklaim bahwa sunnah tidak ditulis dan tidak dihafal pada masa Rasulullah saw., tetapi pada abad kedua Hijriah. Menurut penulis, pendapat ini jauh lebih berbahaya dari pemikiran orientalis. Pasalnya, orientalis sekaliber Goldziher–orientalis yang dikenal sangat benci kepada Islam–sekalipun tidak sampai menuduh demikian. Ia hanya menuduh bahwa hadits itu tidak ditulis pada masa Nabi saw.


Dalam mengkaji masalah ini, kaum orientalis dihadapkan pada beragam nash yang sepintas lalu tampak kontradiktif. Di satu sisi, terdapat beberapa nash–baik hadits ataupun atsar–yang melarang penulisan sunnah, dan di tempat lain terdapat nash yang membolehkan. Bahkan, sebagian nash itu memerintahkan penulisan.

Karena wawasan dan pengetahuan yang terbatas dalam masalah ini, kaum orientalis tidak mampu memahaminya secara benar. Mereka tidak mampu melakukan komparasi dan perbandingan berbagai nash ini, menimbang, lalu mengompromikan dan memilih yang terkuat. Masalahnya, pekerjaan ini memerlukan spesialisasi dan penelitian mendalam, keluasaan wawasan dan pemahaman yang jernih.


Ketika dihadapkan pada situasi ini, kaum orientalis kesulitan dan dilanda kebingungan. Mereka lalu menyimpulkan bahwa Rasul melarang penulisan. Ada dua kemungkinan yang mendorong mereka menyimpulkan seperti ini (tanpa kajian mendalam). Pertama, memang terdapat nash yang melarang penulisan hadits. Kedua, ini lebih mendukung kepentingan mereka. Larangan penulisan hadits pada masa Nabi adalah pendapat paling sesuai dengan kepentingan dan target orientalis. Yaitu, meruntuhkan posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.


Seperti diketahui, sebagian kaum orientalis–untuk tidak mengatakan mayoritas–bersikap apriori terhadap Islam sejak awal karena latar belakang pemikiran dan keyakinannya. Akibatnya, mereka kehilangan sikap objektif dan kejujuran. Ketika mereka mengkaji sunnah, khususnya masalah kodifikasi, dan menemukan celah, mereka langsung membesar-besarkan dan menjadikannya sasaran tembak. Tujuannya jelas untuk menghancurkan sunnah. Atau, setidaknya menumbuhkan keraguan bahwa sunnah belum pernah ditulis pada masa Nabi.


Penulisan hadits pada masa Nabi adalah realitas yang tidak terbantahkan. Terdapat banyak keterangan dari rasul, para sahabat, dan tabi’in dengan dalil-dalil yang qath’i, yang tidak diragukan lagi. Penulisan hadits pada masa Nabi merupakan pengamalan firman Allah berikut ini (yang artinya, red.), “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.” (Al-Hasyr: 7). “Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).


Berangkat dari instruksi ilahiah ini, para sahabat memiliki semangat dan atensi yang luar biasa terhadap sunnah. Mereka berpacu mendengar hadits dan menghafalnya. Hal ini terbukti, jika sebagian kebetulan absen, mereka lalu bertanya kepada orang yang hadir dalam majelis Rasul. Ditambah lagi mereka selalu berusaha mengamalkan apa yang mereka ketahui.

Semangat ingin mendengar wahyu dan hadits membuat para sahabat tidak rela ketinggalan. Bahkan, mereka secara teratur datang bergantian. Umar bin Khatthab r.a. menceritakan, “Dahulu, aku dan seorang tetanggaku dari kalangan Anshar tinggal di permukiman Bani Umayyah bin Zaid, sebuah kawasan di pinggiran Kota Madinah. Kami saling bergantian menemui Rasulullah saw. Aku menemui beliau hari ini dan ia pada esok harinya. Jika aku hadir, aku menemui dan memberitahukannya tentang apa yang kudengar, baik wahyu, hadits, atau lainnya. Jika tiba gilirannya, ia pun melakukan hal serupa.” (Shahih Bukhari, Kitab Al-Ilmi, Bab At-Tanawub bi Al-’Ilmi, no. hadits 89).


Walaupun demikian, karena ingatan dan daya hafal manusia terbatas, mereka menulis hadits-hadits ini pada shahifah (lembaran). Ketika hal ini diketahui Rasulullah saw., awalnya beliau tidak setuju dan menyuruh mereka menghapus apa yang sudah ditulis. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Qur’an. Siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya dan sampaikanlah apa yang datang dariku dan tidak mengapa. Tetapi, siapa yang mendustakan atasku–Hammam, sang perawi hadits berkata, ‘Aku menduga beliau bersabda’–dengan sengaja, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (Shahih Muslim, Kitab Az-Zuhd, Bab At-Tasyadud fi Al-Hadits, wa Hukmu Kitabatu al-Ilmi, no. hadits 72.a).


Ini adalah bukti perhatian Rasulullah saw. terhadap Al-Qur’an sebagai sumber syariat Islam yang pertama. Berbeda dengan sunnah, Al-Qur’an harus diriwayatkan dengan redaksinya secara lengkap. Wajar jika beliau mengarahkan perhatian para sahabat untuk menulis Al-Qur’an dalam porsi terbesar. Sunnah tidak perlu terlalu dikhawatirkan saat itu karena Rasulullah saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Di samping itu, para sahabat punya ingatan dan daya hafal yang sangat kuat, berpikiran yang jernih, dan memiliki perhatian luar biasa terhadap agama ini. Tampaknya, larangan Nabi saw. untuk menulis hadits dilatari oleh kekhawatiran tercampurnya sunnah dengan Al-Qur’an. Kekhawatiran lain adalah kesibukan para sahabat menulis hadits dan melalaikan Al-Qur’an. Seandainya sunnah dikodifikasikan lebih dahulu seperti halnya Al-Qur’an, terdapat kesulitan sebab materinya sangat luas. Sunnah meliputi sabda, perbuatan, dan persetujuan Rasul, sejak awal masa kenabiannya hingga wafat. Hal itu tentu amat sulit.


Lebih jauh ada kekhawatiran bahwa sebagian sabda Nabi saw. yang ringkas dan mengandung hikmah, secara tidak sengaja, tercampur dengan Al-Qur’an. Jika terjadi, ini jelas sangat berbahaya. Ini adalah hikmah yang dapat dipetik dari tidak dibukukannya sunnah dalam kodifikasi sempurna pada masa Rasulullah saw. (Prof. Dr. Muhammad Musthafa as-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’i al-Islami, Al-Maktab al-Islami, Dimasyq, cet. keempat, tahun 1405 H, hlm. 59).

Pendapat lain menyebutkan, larangan ditujukan pada mereka yang memiliki hafalan dan daya ingat yang kuat. Larangan ini tidak berlaku bagi mereka yang hafalannya lemah atau mereka yang teliti dan cermat dalam menulis dan membuat ctatan. Pandangan ini sesuai dengan beberapa riwayat yang shahih yang menerangkan tentang izin menulis yang diberikan Rasul kepada sebagian sahabat. (Prof. Dr. Muhammad M. Abu Syahbah, Difa’ ‘an as-Sunnah wa ar-Radd Syubhah al-Mustasyriqin wa al-Kutub al-Mu’ashirin, Dar al-Jail, cet. pertama, tahun 1411 H, hlm. 20).


Jumlah riwayat yang membolehkan penulisan hadits sangat banyak. Hal ini dijelaskan Al-Khathib al-Baghdadi dalam bukunya Taqyid al-’Ilm, termasuk di dalamnya riwayat dari sahabat dan tabi’in. Bahkan, Imam Bukhari membuat bab khusus “Penulisan Hadits” dalam kitab Shahih-nya dengan memuat beberapa hadits yang tegas membolehkan. Hal ini dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.


Pertama, Imam Bukhari mengawali bab ini dengan kisah tentang Shahifah (lembaran) yang berada di tangan Ali r.a., yaitu hadits Abu Juhaifah. Ia berkata, kukatakan kepada Ali, “Apakah kamu memiliki kitab?” Ali menjawab, “Tidak ada, kecuali kitab Allah, pemahaman yang diberikan kepada seorang Muslim, dan shahifah ini.” Ia berkata, aku bertanya, “Apa yang terdapat dalam shahifah ini?” Ali menjawab, “Hukum tentang aql (denda, diyat), melepaskan tawanan dan seorang Muslim tidak dibunuh karena ia membunuh seorang kafir.” (Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-’Ilm, Bab Kitabat al-’Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 111).


Kedua, Bukhari memuat hadits Abu Hurairah tentang khutbah Nabi saw. pada Fathu Mekah (pembebasan Kota Mekah) dan permintaan seorang sahabat agar khutbah itu dituliskan. Lalu, datanglah seorang pria dari Yaman dan berkata, “Tuliskanlah untukku, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda, “Tuliskanlah untuk Abu Fulan.” Lalu seorang pria dari kalangan Quraisy berkata, “Kecuali tanaman Al-Izkhir, wahai Rasulullah saw. karena kami menggunakannya untuk keperluan rumah dan kuburan. Abu Abdullah ditanya, apa yang ditulis untuknya? Ia menjawab, “Khutbah ini ditulis untuknya.” (Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-’Ilm, Bab Kitabat al-’Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 112).


Ketiga, ungkapan Abu Hurairah, “Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin ‘Amr, sebab ia menulis sedang aku tidak menulis.” (Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-’Ilm, Bab Kitabat al-’Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 113).


Keempat, hadits Ibnu Abbas tentang kisah sakitnya Nabi saw. dan beliau bersabda, “Bawalah padaku sebuah buku. Akan kutuliskan sebuah kitab agar kalian tidak sesat sesudahnya.” (Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari, Kitab Al-’Ilm, Bab Kitabat al-’Ilm, juz 1, hlm. 246, no hadits 114).


Masih banyak riwayat lain dengan makna yang sama, baik hadits ataupun atsar dari para sahabat dan tabi’in. Mungkin ada yang berpikir, meski terdapat banyak riwayat yang membolehkan penulisan hadits, termasuk dari kalangan sahabat dan tabi’in, tetapi riwayat shahih yang melarang hal itu tidak bisa diabaikan. Bagaimana kita menyikapi kontradiksi ini secara benar? Sikap yang tepoat adalah mengompromikannya. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan hal ini sebagai berikut. 

1. Larangan ini khusus berlaku selama Al-Qur’an turun. Nabi saw. melarang penulisan hadits hanya pawa waktu itu, agar Al-Qur’an tidak bercampur dengan yang lainnya. Setelah itu penulisannya diizinkan. Penafsiran ini juga disebutkan Imam Suyuthi dalam kitab Tadrib ar-Rawi.


2. Larangan ini berarti tidak dibolehkannya penulisan Al-Qur’an dan informasi lainnya dalam satu kertas. Jika ditulis terpisah, hal itu diizinkan. Alasannya sama dengan nomor di atas. Penafsiran serupa juga diungkap As-Suyuti dalam Tadrib ar-Rawi dan Al-Hafidz al-Iraqi dalam Fath al-Mughits. Pandangan inilah yang dipilih Dr. Muhammad al-A’Dzahami karena dua sebab. Pertama, Nabi saw. mendiktekan dan para sahabat menulis hadits-hadits Nabi yang sampai pada derajat mutawatir; kedua, diizinkannya melakukan penulisan hadits oleh Nabi saw.


3. Hadits-hadits yang melarang penulisan itu tidak berlaku dan dihapus oleh hadits-hadits yang membolehkan. Pelarangan ini datang lebih awal dan izin penulisan datang lebih akhir, saat tidak ada kekhawatiran tercampur dalam penulisan. Al-Hafidz al-Iraqi sepakat dengan pendapat ini.


4. Izin penulisan ditujukan bagi mereka yang dikhawatirkan lupa dan larangan ditujukan bagi orang-orang memiliki hafalan dan ingatan kuat. Larangan ini dimaksudkan agar mereka tidak mengabaikan daya hafalnya yang kuat dan tergantung pada tulisan.


Ada bentuk kompromi lain yang disebutkan para ulama, yaitu sebagai berikut. 


1. Larangan ditujukan bagi orang-orang tertentu, yaitu mereka yang dikhawatirkan mencampurkan hadits dengan Al-Qur’an (secara tidak sengaja). Izin ditujukan bagi selain mereka. Hal ini dan yang sebelumnya dikemukakan Imam Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah. (An-Nawawi, At-Taqrib, juz 1, hlm. 67; Ibnu As-Shalah, Al-Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 182).


2. Izin khusus ditujukan kepada orang-orang yang pandai membaca dan larangan ditujukan bagi orang-orang yang tidak pandai membaca karena dikhwatirkan berbuat kesalahan. Pendapat ini dikutip dari Ibnu Qutaibah. (‘Abdullah bin Muslim Ibn Qutaibah ad-Dinawari, Takwil Mukhtalaf al-Hadits, tahkik Abdul Qadir ‘Atha, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Kairo, cet. pertama, 1402 H, hlm. 251).


Jelas sudah bahwa para sahabat telah melakukan penulisan hadits sejak masa hidup Rasulullah saw. Hadits-hadits yang ditulis tersebut jumlahnya tidak sedikit. Setelah Rasulullah saw. wafat, jumlah sahabat yang menulis hadits bertambah, termasuk kalangan tabi’in (generasi pascasahabat), bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Keadaan ini terus berlangsung; sebagian orang menulis, sebagian lagi tidak, hingga tiba masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau memutuskan untuk mengumpulkan hadits dan mengodifikasikannya karena khawatir hadits hilang atau tercampur antara yang hak dan batil. Patut dicatat, langkah Khalifah Umar ini terjadi pada akhir abad pertama Hijriah.


Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 17-48



DAFTAR BACAAN


Lihat, Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Routledge, 2004. Brooke N. Moore and Kenneth Bruder, Philosophy: the Power of Idea, McGraw-Hill, 2001.

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1998,

Lihat Hamdan Maghribi, Menembus Batas; Mungkinkah?

http://albi4ever.blogspot.com/2007/05/menembus-batas-mungkinkah-akal-dan.html

Muhammad Abduh, Risalah al Tawhid, Darul Manar, Kairo, 1366 H. hal 91.

Ibid., hal 166-170

Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al Fiqh, Mathba’ah al Nashr, Kairo, hal 35-36

Lihat Hassan As-Syafi’i, At-Tayyar al-Masyai fi al Falsafah al Islamiyyah, Cairo, 1998.

Philip K. Hitti, History of the Arab, Mac. Millan, London, 1964, hal. 530.

M. Khudori Sholeh, M. Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, 2004

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI press, 1987.

Lihat Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, Darul Ma’arif, Kairo, 1966. Ibn Rusyd, Tahafut Al-Tahafut, Darul Ma’arif, kairo, 1964

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, 1998,

http://swaramuslim.net/more.php?id=A5242_0_1_0_M

Harim Nasution, Islam Rasionai: Gagasan dan Pemikiran Prof Dr. Harun Nasution, Mizan, Bandung, 1998,

Prof Dr HM Zurkani Jahja,

Gurubesar IAIN Antasari

http://www.indomedia.com/bpost/9810/2/opini/opini1.htm

Buku Tiga Agama Satu Tuhan.Bandung: Mizan, 1999

Posting Komentar

0 Komentar