METODOLOGI MEMAHAMI KEILMUAN ISLAM


METODOLOGI MEMAHAMI KEILMUAN ISLAM 1






M A K A L A H








Tim Penyusun:






INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA

KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Di antara tujuan tim penyusun adalah untuk memberikan informasi mengenai Metodologi Memahami Islam 1. Dasar penulisan dilakukan untuk memenuhi tugas makalah Pengantar Studi Islam.
Dalam penyelesaian makalah tim penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu. Ucapan terima kasih kepada:
  1. Bapak Drs. Sutikno, selaku Dosen Pengantar Filsafat
  2. Semua pihak yang ikut terlibat
Akhirnya, tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu tim penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



Surabaya, 08 November 2006


Tim Penyusun







DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii

BAB I       PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.    Latar Belakang ................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan ............................................................................. 1
BAB II      PEMBAHASAN ................................................................................. 2
A.    Ulumul al-Qur'an ............................................................................. 2
1.      Pengertian Metode Ulumul al-Qur'an ....................................... 2
2.      Macam-Macam Metode ............................................................ 2
B.     Ulumul al-Hadits ............................................................................. 3
1.      Pengertian Hadits ...................................................................... 3
2.      Sebab Hadits Dinamakan Hadits .............................................. 4
3.      Sistem Ulama-Ulama Hadits ..................................................... 4
4.      Langkah-Langkah Untuk Memelihara Hadits .......................... 5
C.     Metodologi Filsafat dan Teologi (Kalam) ....................................... 5
D.    Metodologi Tasawuf dan Mistis Islam ........................................... 6
BAB III    KESIMPULAN ................................................................................. 10
Daftar Pustaka .................................................................................................... 11
 




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mengapa suatu metode dapat digunakan dalam berbagai obyek? Pertanyaan in muncul seiring dengan pemikiran dan penalaran akal manusia, atau yang menyangkut dengan pekerjaan fisik. Bagi seorang muslim, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik guna untuk mencapai suatu pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, kita dapat membedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tasawuf?
2.      Bagaimana metodologi filsafat dan teologi (kalam)?

C.    Tujuan Penulisan
Setiap kegiatan pastilah ada tujuan tertentu yang ingin dicapai, demikian juga yang dilakukan penulis dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan membuat makalah ini adalah bertujuan untuk:
1.      Menjelaskan tentang ulumul tafsir dan Hadits.
2.      Agar dapat mengetahui apa metodologi filsafat dan teologi (kalam) itu sendiri.
3.      Menyebutkan pengertian tentang tasawuf.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metodologi Ulumul Qur’an
1.      Pengertian Metode Ulumul al-Qur’an
Pengertian “metode” yang umum itu dapat digunakan pada berbagai obyek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau yang menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode penafsiran al-Qur'an. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah itu, yakni metode tafsir, cara-cara menafsirkan al-Qur'an. Sementara metodologi tafsir ilmu tentang cara tersebut.
Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaedah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, sedangkan metodologi tafsir pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur'an.
2.      Macam-Macam Metode
a.       Metode Komparatif
Metode komparatif ialah membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama, atau diduga sama dan membandingkan ayat al-Qur'an dengan Hadits Nabi Muhammad SAW yang pada lahirnya antara keduanya terlihat bertentangan juga membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an.
Jadi ada tiga aspek yang dibahas di dalam metode komparatif, yaitu: 1) Perbandingan ayat dengan ayat; 2) Perbandingan ayat dengan Hadits; dan 3) Perbandingan berbagai pendapat musafir.
b.      Metode Global
Metode global ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup di dalam bahasa yang jelas dari populer mudah dimengerti dan enak dibaca.
Kitab-kitab tafsir yang menuruti metode global seperti yang disebutkan di atas, juga berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara keseluruhan dari awal sampai dengan surat terakhir.
c.       Metode Analitis
Yang dimaksud dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam tafsir ini ditekankan ialah perbandingan, yakni memperbandingkan antara ayat dengan Hadits, atau antara berbagai pendpat mufasir dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur'an.
d.      Metode Tematik
Metode tematik ialah membahas ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Metode tematik membahas cara-cara yang digunakan dalam memecahkan suatu permasalahan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an sebagai dasar tempat berpijak.

B.     Metode Ulumul Hadits
1.      Pengertian Hadits
Hadits ialah pembicaraan-pembicaraan yang diriwayatkan oleh orang seorang, atau 2 orang lalu mereka saja yang mengetahuinya, tadi menjadi pegangan/amalan umum. Sedangkan makna Hadits ialah khamar. Allah pun memakai kata Hadits dengan arti khabar dalam firman-Nya.
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ {الطور: 34}
“Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. Ath-Thur [52]: 34)

Sebagai ulama seperti ath Thiby berpendapat bahwa Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau, melengkapi perkataan perbuatan dan taqrir shahabat. Sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan dan taqrir tabrin. Dengan demikian terbagilah Hadits kepada 9 bagian pendapat ini diterangkan oleh al-Hafidh di dalam an-Nakhbah. Maka suatu Hadits yang sampai kepada Nabi, dinamai marfuk,  yang sampai kepada shahabat dinamai mauquf dan yang sampai kepada tabi’in saja dinamai maqthu.
2.      Sebab-Sebab Hadits Dinamai Hadits
Menurut pendapat az-Zumakhsyary, karena dikala meriwayatkan Hadits berkata “haddtsaniannan nabiya qala”, dia menceritakan kepadaku bahwa Nabi bersabda”.
Menurut pendapat al-Kirmany, karena dilihat kepada kebaharuan dan karena kedudukannya di hadapan al-Qur'an. Al-Qur'an itu qadim, azaly, sedang Hadits ini baharu.
Dinamakan kalimat-kalimat dan ibarat-ibarat ini dengan Hadits adalah karena kalimat-kalimat itu tersusun dari huruf yang datang beriringan.
Tiap-tiap huruf itu timbul (terjadi) sesudah terjadi yang sebelumnya dan karena mendengar Hadits itu menumbuhkan di dalam hati berbagai ilmu dan makna.
Al-Kamal Ibnu Human berkata, “Sunnah ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik perbuatan ataupun perkataan, sedangkan Hadits hanyalah perkataan saja.
3.      Sistem Ulama-Ulama Membukukan Hadits
Para ulama membukukan Hadits dengan tidak menyaringknya. Merkea tidak membukukan Hadits-Hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu Hadits Marfu’, Hadits-Hadits Mauquf dan Hadits-Hadits Maqthu’.
4.      Langkah-Langkah Yang Diambil Untuk Memelihara Hadits
Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama membukukan Hadits dan memisahkan Hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang sahih dari yang dhaif, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat shahih dan dlaif, serta kaida-kaidah yang dipegangi dalam menetukan Hadits-Hadits Maudlu’.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dla’if, istimewa antara Hadits-Hadits yang ada asalnya dengan Hadits-Hadits yang semata-mata maudlu’.
Maka langkah-langkah yang telah diambil para ulama dalam usaha mengkritik jalan-jalan menerima Hadits, sehingga dapatlah mereka melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkannya dari segala lumpur yang mengotorinya; ialah mengisnadkan Hadits, memeriksa benar tidaknya Hadits yang diterima kepada para ahli, mengeritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat Hadits, menyusun kaida-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudlu’.

C.    Metodologi Filsafat dan Teologi (Kalam)
Metodologi filsafat dan teologi dapat ditinjau dari aspek fungsional dan struktural. Secara fungsional, filsafat tidak bertujuan mempertegas keberadaan Tuhan, tetapi memandang Tuhan sebagai konsekuensi logis dari keberadaan alam semesta. Sedangkan teologi berfungsi untuk mempertegas keberadaan Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya.
Secara struktural metode filsafat berbeda dengan teologi struktur metodologi filsafat dibangun atas dasar keraguan dan penyelidikan, kemudian diabstraksikan untuk mendapatkan kebenaran yang final. Sedangkan teologi memposisikan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak benar, kemudian dicairkan argumen-argumen rasional untuk mendukung kebenaran tersebut.
Perbedaan yang terperinci antara filsafat dengan teologi adalah sebagai berikut:
1.      Metodologi filsafat meletakkan Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, sedangkan teologi memandang Tuhan sebagai titik awal pembahasannya.
2.      Metodologi filsafat memahami Tuhan sebagai penyebab pertama dalam semesta, penyebab pertama semua kesempurnaan yang ditemukan di dunia. Sedangkan teologi mencoba menjelaskan Tuhan dengan seluruh misteri-Nya berdasarkan wahyu.
3.      Metodologi mendasari premisnya atas induksi/akal, sedangkan teologi langsung dari wahyu.
Di samping perbedaan-perbedaan di atas, metodologi filsafat dan teologi juga memiliki persamaan antara lain adalah:
2.      Metodologi filsafat dan teologi sama-sama tidak pernah tuntas membahas eksistensi Tuhan.
3.      Obyek pembahasan metodologi filsafat dan teologi sama, yaitu tentang eksistensi Tuhan sebagai Dzat yang sempurna dan abadi.
4.      Metodologi filsafat dan teologi sama-sama memberikan argumen yang rasional mengenai Tuhan.

D.    Metodologi Tasawuf dan Mistis Islam
1.      Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahlal suffah), (orang yang pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain wol).
Dari segi linguistic (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada 3 sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Jika definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia. Sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniyah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.
2.      Sumber Tasawuf
a.       Unsur Islam
Secara ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur'an, dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Misalnya al-Sunnah banyak berbicara tentang kehidupan rohaniyah. Berikut ini terdapat teks Hadits yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
كُنْتُ مَنْزًا مُخْفِيًّا فَلَحْبَيْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَ فُوْنِيْ
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
b.      Unsur Luar Islam
1)      Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara pendekatan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah, unsur-unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir, Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerjaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang”. Selanjutnya adalah sikap tawakkal kepada Allah dalam soal penghidupan.
2)      Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruhi filsafat Yunani ini, maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat.
3)      Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama, yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri mengingat yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Semuanya berlandasan kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu, berkembang menjadi pemikiran mendapat pengaruh dari filsafat Yunani, Persia, dan lain sebagainya.



BAB III
KESIMPULAN

Memahami metodologi Islam sangat penting di dalam memahaminya terdapat metode yang menjelaskan tentang metodologi Ulumul al-Qur'an, Ulumul Hadits. Metodologi filsafat dan teologi (kalam) serta metodologi tasawuf dan mistis Islam.
Metodologi al-Qur'an terdapat beberapa metode di antaranya yaitu:
1.      Metode komparatif
2.      Metode global
3.      Metode analistis
4.      Metode tematik
Sedangkan metodologi Ulumul Hadits juga terdapat cara-cara yang digunakan untuk memelihara Hadits. Kalau-kalau metodologi filsafat dan teologi-teologi dapat ditinjau dari aspek fungsional dan struktural. Juga metodologi tasawuf dan mistis Islam memiliki cara-cara. Adapun pengertian tasawuf sendiri, yaitu upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan drinya dari pengaruh kehidupan, sedangkan sumber-sumber. Tasawuf ada 2 unsur yaitu unsur Islam dan unsur luar Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, 1999.
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf.
Baida Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur'an.
 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Menurut fakta sejarah Al Qur’an dinuzulkan dalam kurun waktu sekitar 23 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa AL Qur’an turun dalam ruang dan waktu tertentu dalam konteks masyarakat Arab.
            Dalam memahami teks AL Qur’an, ada hal menarik yang samp[ai sekarang orang tidak pernah melupakannya, khususnya orang – orang yang menggeluti masalah hukum islam. Sebagian berpendapat bahwa pemahaman AL Qur’an harus disesuaikan dengan konteks saat dinuzulkan ayat. Sebagian lain berpendapat bahwa pemahaman itu harus didasarkan atas keumuman lafadz ayat, bukan didasarkan atas keumuman lafadz ayat, bukan didasarkan atas kekhususan sebab nuzulnya. Dua pemahaman ini melahirkan dua kaidah, yakni :



            Karena kedua kaidah ini sangat erat kaitannya dengan latar belakang nuzul ayat-ayat AL Qur’an, maka ilmu Asbab AL-Nuzul sangat penting untuk diketahui. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua ayat AL Qur’an ada latar belakang nuzulnya, bahkan hanya sedikit sekali ayat-ayat yang mempunyai latar belakang Nuzulnya.
B. Sistematika Penulisan
            Sistematika Penulisan dalam makalah ini yaitu:
            BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang dan sistematika penulisan
            BAB II Pembahasan terdiri dari Pengertian Asbab AL-Nuzul, macam-macam sabab Al Nuzul dan contohnya, fedah mengetahui Asbab AL-Nuzul. Nilai riwayat Asbab AL-Nuzul, redaksi dan riwayat Asbab AL – Nuzul dan keumuman lafazd dan kekhususan sebab.
            BAB III Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
            Daftar Pustaka. 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbab AL-Nuzul
            Asbab AL-Nuzul yaitu sesuatu yang menyebabkan diNuzulkannya sebuah ayat atas beberapa ayat AL-Qur’an yang mengendung sebabnya, sebagai jawaban terhadap hal itu, atau yang menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa itu.[1]
            Ungkapan Asbab al-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata Asbab dan Nuzul. Secara etimologi, Asbab Al-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
            Menurut Az-Zarqani, Asbab Al-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
            Ash-Shabani berpendapat Asbab AL-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan Agama.
            Shubhi Shalih berpendapat, Asbab Al-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat AL Qur’an yang terkadang mengisyaratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.
            Mana’ Al Qaththan berpendapat, Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa – peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.[2]



B. Macam-macam sabab AL-Nuzul dan contohnya.
            Asbab AL-Nuzul dalam bentuk peristiwa ada tiga macam.
1)     Peristiwa berupa pertengkaran (perselisihan) yaitu perselisihan antara Aus dan Khazraj, perselisihan ini timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang yahudi, sehingga mereka berteriak “senjata… senjata…”peristiwa tersebut menyebabkan dinuzulkannya surah Ali Imran ayat 100 sampai beberapa ayat sesudahnya.




“Hai Orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.
2)     Peristiwa berupa kesalahan serius, seperti peristiwa seorang yang mengimani shalat sedang mabuk sehingga salah dalam membaca surah Al-Kafirun.
Peristiwa ini menyebabkan dinuzululkannya surah An- Nisa ayat 42.



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.
3)     Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti relevansi Umar bin al-Khattab dengan ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an seperti kata Umar : “bagaimana sekiranya kita jadikan makam Ibrahim sebagai tempat shalat. Maka dinuzulkan surah Al Baqarah ayat 125 (. . .jadikanlah sebagian dari makam Ibrahim tempat shalat . . .) seperti kata Umar lagi : “sesungguhnya Isteri-isterimu masuk kepada mereka itu orang yang baik-baik dan orang yang jahat, maka bagaimana sekiranya engkau perintahkan mereka agar bertabir, maka Nuzullah surah Ahzab ayat 53.



(“ . . . apabila kamu meminta kperluan kepada mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah dari balik tabir . . .”)

            Adapun sebab-sebab dinuzulkannya dalam bentuk pertanyaan, dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu :
a)     Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu dimasa lampau, seperti pertanyaan tentang kisah Dzul Al-Qarnain.




(“mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzu al-Qarnain. Katakanlah : Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”) dan ayat sesudahnya.
b)     Pertanyaan tentang sesuatu yang berlangsung pada waktu itu, seperti pertanyaan tentang ruh



(“mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah : ruh itu termasuk urusan Tuhanku,dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit saja).
c)     Pertanyaan tentang sesuatu yang berhubungan dengan masa yang akan dating, seperti masalah kiamat.




(“mereka bertanya kepadamu tentang kiamat, katakanlah : “sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat disisi tuhanku . . .”)

            Untuk mengetahui Asbab Al-Nuzul, penulis memberikan beberapa contoh ayat sebagai berikut :
1)     Ayat yang dinuzulkan karena didahului oleh sebab atau peristiwa khusus yang menerangkan hukum tertentu, misalnya Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 221



“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita Musyrikah sebelum mereka beriman”
            Ayat diatas dinuzulkan sehubungan adanya peristiwa ketika nabi mengutus Murtsid al Ghanawi ke Makkah yang bertugas mengeluarkan orang-orang islam yang lemah , ketika itu datang perempuan musyrik kepadanya untuk minta dikawini, maka murtsid datang kepada Nabi Saw, Sehingga turun ayat tersebut.
2)     Ayat yang dinuzulkan karena adanya pertanyaan yang diajukan oleh shabat kepada Nabi SAW, diantaranya ayat 222 Surah Al Baqarah.



“mereka bertanya kepadamu tentang Haid, . . .

            Dalam ayat diatas, bahwa orang-orang yahudi tidak suka makan bersama-sama dan mencampuri isteri-isteri mereka yang sedang haid, maka para sahabat melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nuzulullah ayat Diatas.[3]

C. Faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul.
            Dalam hal ini, Al Wahidi al Naisaburi (W. 427 H) mengatakan bahwa tidak mungkin dapat mengetahui tafsir suatu ayat tanpa berpegang atau bersandar pada kisahnya dan keterangan Nuzulnya.
            Ibn Taimiyah (W. 726 H) bahwa mengetahui sebab nuzul ayat dapat menolong memahami ayat, karena mengerti sebabnya, berarti akan memberi peluang untuk mengetahui apa yang ditimbulkan dari sebab itu.
            Ibn Daqiq al-id (W. 702 H) bahwa sebaba Nuzul suatu ayat merupakan jalan yang kuat dalam memahami maksud Al Qur’an.
            Karena itu, ilmu asbab AL- Nuzul ini sangat penting dalam pandangan ulama, maka mereka membuat suatu ketentuan, yakni larangan seseorang yang tidak mengetahui Asbab Al-Nuzul untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an.
            Adapun faedah mengetahui Asbab Al Nuzul yaitu :
1)     Mengetahui hikmah Allah swt secara yakin mengenai semua masalah yang disyari’atkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya, baik bagi orang yang sudah beriman maupun yang belum beriman
2)     Membantu memahami kandungan Al Qur’an, sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam memahaminya, disebabkan adanya kata yang menunjukkan pembatas (hashr), seperti kata Illa, surah Al An’am ayat 145.
3)     Dapat mengkhususkan (takhshish) hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz.
4)     Dapat mengetahui bahwa sebab nuzul ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut kendati datang yang mengkhususkannya (mukhashish).
5)     Membantu mempermudah penghapalan dan pemahaman, disamping dapat membantu melekatkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang mendengarkannya bila ayat-ayat ini dibacakan.[4]   


D. Cara Mengetahui Asbab Al-Nuzul
            Asbab Al-Nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa nabi SAW. oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadobsi sumber dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut, yakni para sahabat yang mendengar dan menyaksikan peristiwa yang berhubungan dengan Nuzulnya ayat. Dalam hal ini Al-Wahidi mengatakan bahwa dalam pembicaraan Asbab Al Nuzul Al Qur’an tidak dibenarkan, kecuali melalui riwayat dan mendengar dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa Nuzul tersebut dan sungguh-sungguh dalam mencarinya.[5]  

E. Nilai Riwayat Asbab Al-Nuzul
            Berbagai riwayat tenatang Asbab Al-Nuzul kemungkinan tidak semuanya valid jika memperhatikan aspek sanad dan matannya.
            Beberapa riwayat berikut ini dapat dijadikan pengetahuan tentang perlunya ketelitian dalam periwayatan Asbab Al-Nuzul, diantaranya .
1. tentang Q.S. Al-Baqarah ayat114



            Menurut qatadah yang didukung oleh Al-Wahidi menyatakan bahwa ayat ini dinuzulkan tentang seorang raja Babylonia, Bakhtanasar, yang memerangi orang-orang yahudi dan membakar seluruh isi Bait Al-Maqdis serta meratakannya dengan tanah dibantu oleh orang-orang Kristen Roma.
            Dalam mencermati pendapat diatas, ternyata, Al-Thabary yang ahli dalam tafsir dan sejarah masih melakukan kesalahan dalam bidangnya. Demikian pula dengan Al-Wahidi yang dianggap pakar dalam bidang tafsir. Ini mengindikasikan bahwa tidak semua riwayat dalam Asbab Al-Nuzul valid semuanya.
            Adanya fakta bahwa riwayat-riwayat tentang sabab al-nuzul itu tidak semuanya valid, maka para ulama salaf sangat berhati-hati dalam menerima riwayat yang berhubungan dengan asbab al-nuzul, baik aspek sanad maupun matannya.
            Dengan menerima riwayat sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu dan menerima riwayat tabi’in yang menerima dari sahabat, maka dapat dipahami bahwa tujuan mensyaratkan validnya riwayat bertujuan memastikan benar tidaknya seseorang menyaksikan atau mendengar peristiwa atau pertanyaan yang menjadi sebab nuzulnya suatu ayat Al Qur’an.[6]  
           
F. Redaksi dan Riwayat Asbab AL-Nuzul.
            Redaksi-redaksi dapat berupa pernyataan yang jelas, ada pula berupa pernyataan dengan redaksi yang samar-samar.
            Oleh karena itu, berbagai riwayat tentang Asbab AL-Nuzul dapat diketahui dari redaksinya sebagai berikut :
1)     Sabab al-nuzul disebutkan dengan redaksi yang jelas (Shahih) yang terdapat dalam suatu riwayat, seperti :                               (sebab nuzulnya demikian). Redaksi sabab al-nuzul demikian, secara definitive, tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh AL-Bukhary dari ibn Umar berkata : “(dinuzulkan ayat :                                        ) dalam menjelaskan  “mendatangi” isteri-isteri dari duburnya.[7]
2)     Penggunaan huruf fa’, al-fa’, al-ta’qibiyyah, bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk redaksi riwayat tentang nuzulnya suatu ayat tersebut setelah terjadinya suatu peristiwa atau sesudah ada pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
3)     Penggunaan redaksi                                        (ayat ini dinuzulkan tentang ini) dapat dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat juga. Akan tetapi, ada kemungkinan juga sebagai pen-jelasan tentang kandungan hokum yang terdapat dalam ayat tersebut

G. Keumuman Lafazh dan Kekhususan Sebab
            Sebagai telah dijelaskan dalam pendahuluan bab ini, bahwa dalam pemahaman terhadap AL Qur’an ada dua hal yang dibicarakan, yaitu keumuman lafazh bukan kekhususan sebab, dan sebaliknya, kekhususan sebab bukan keumuman lafazh. Keumuman lafazh dan kekhususan sebab maksudnya jawaban lebih umum dari sebab, dan sebab lebih khusus dari jawaban. Jawaban yang dimaksudkan disini adalah ayat-ayat Al qur’an yang dijadikan jawaban atas atas pertanyaan atau peristiwa yang dihadapi Nabi pada masa dinuzulkan Al Qur’an.
            Dalam hal ini, jika terjadi persesuaian antara ayat yang turun dan sebab turunnya dalam hal keumumannya, atau terjadinya persesuaian antara keduanya, maka yang umum harus diposisikan menurut keumumannya dan yang khusus menurut kekhususannya. Untuk contoh hal pertama dapat dilihat QS. Al-baqarah ayat 222.






“mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “haid itu kotoran. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, hingga mereka itu suci. Jika mereka telah suci, maka campuri mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu…”
            Ayat ini sebagai diriwayatkan dari Anas dinuzulkan sehubungan sahabat mempertanyakan keadaan orang-orang yahudi ketika isteri-isteri mereka haid, mereka menjauhkan perempuan itu dari rumahnya, mereka tidak mau makan dan minum bersamanya, termasuk tidak mempergaulinya di rumah. Ketika Nabi ditanya tentang masalah ini, maka turunlah ayat diatas. Maka Nabi pun bersabda : “pergaulilah mereka (perempuan-perempuan) olehmu mereka di rumah dan perbuatlah apa saja, kecuali nikah (jimak).”
            Untuk contoh hal kedua bias diambil ayat AL-Layl ayat 17-21.





“dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya dijalan Allah untuk membersihkannya , padahal tidak ada seorangpun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya , kecuali hanya mencari keridaan ALLAH yang maha tinggi . dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.”
            Ayat ini dinuzulkan kepada Abu Bakr. Sebagai dikatakan al-Wahidi, al-alqa menurut pendapat semua ahli tafsir adalah abu Bakr memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa dalam agama Allah (Bilal, Amir Ibn Fuhairah, Al-Nahdiah dan puterinya, ibu Isa dan seorang budak dari Al-Mauil. Turunlah padanya ayat tersebut. Kata al-atqa dimaksudkan Abu Bakr  karena lafazhnya disertai artikel tanda dimaklumi (al al-ahdiyyah), yang berarti kata tersebut bagi person yang ayat tersebut dinuzulkan padanya. Dengan demikian, lafazh yang umum mencakup semua orang sebab turunnya dalam ketetapan hukumnya : demikian sebaliknya bagi lafazh yang khusus. Ini talah menjadi kesepakatan ulama.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Adapun kesimpulan yang dipaparkan dalam makalah ini yaitu : Asbab al-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat AL Qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
            Faedah mengetahui Asbab al-nuzul yaitu :
1)     Dapat mengetahui hikmah Allah swt secara yakin mengenai semua masalah yang yang disyariatkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya.
2)     Membantu memahami kandungan Al-Qur’an, sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam memahaminya.
3)     Dapat mengkhususkan hokum pada sebab.
4)     Dapat mengetahui bahwa sebab nuzul ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut.
5)     Membantu memudahkan penghapalan dan pemahaman.

B. Saran
            Adapun saran yang dikemukakan dalam makalah ini yaitu hendaknya bagi para pembaca agar dapat memberikan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.









DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung CV Pustaka Setia.
Rofi’I, Ahmad dan Syadali, Ahmad. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung CV Pustaka Setia
Supian dan Karman. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung . Pustaka Islamica.
Qardawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al Qur’an. Jakarta : Gema Insan  
Shihab, Quraish. 2004. membumikan AL-Qur’an. Bandung : PT. Mizan Pustaka


  



[1] Supian dan M.Karman, ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), Cet I, h. 128.
[2] Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2006) cet.III h.60


[3] Supian dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), Cetakan I, H.128
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Muhammad Bakr Isma’il. Hlm.177

Posting Komentar

0 Komentar