skripsi pendidikan bahasa dan sastra indonesia

| |Kategori : skripsi pendidikan bahasa dan sastra indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia merupakan suatu makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingannya sendiri maupun kelompok atau kepentingan bersama. Peranan bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi antara manusia yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mustakim (1994 : 2) bahwa bahasa sebagai alat komunikasi digunakan oleh anggota masyarakat untuk menjalin hubungan dengan masyarakat lain yang mempunyai kesamaan bahasa. Melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan dengan manusia lainnya, walaupun latar belakang sosial dan budayanya berbeda. Oleh karena itu, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah untuk berkomunikasi (P.W.J. Nababan, 1993 : 40), yaitu alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia sehingga terbentuk suatu sistem sosial atau masyarakat. Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak dapat lepas dari pemakainya. Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu bahasa merupakan interdisipliner ilmu bahasa dan ilmu sosial, berusaha menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian di dalam masyarakat.
Pemakaian bahasa dalam masyarakat selain dipengaruhi faktor-faktor linguistik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh itu antara lain; status sosial, tingkat ekonomi, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Sedangkan faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa adalah siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kapan, di mana, kepada siapa, dan mengenai apa (Suwito, 1991 : 3). Mengingat bahasa sebagai alat komunikasi, maka sesuai dengan keperluannya maka bahasa dipakai dalam berbagai jenis kegiatan yang tergantung pada fungsi dan situasinya seperti di kantor, di stasiun, di ruang kuliah, dan sebagainya. Fungsi dan situasi tersebut akan menimbulkan variasi. Pemilihan variasi yang berdasarkan pada fungsi dan situasi bahasa dapat menimbulkan munculnya ragam bahasa. Pemilihan terhadap ragam bahasa dipengaruhi oleh faktor kebutuhan penutur atau penulis akan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi (Sugihastuti, 2005 : 123).
Seiring perkembangan zaman, teknologi dalam berkomunikasi pun mengalami kemajuan yang pesat. Seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertatapan langsung. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita dapat berkomunikasi secara primer maupun sekunder. Proses komunikasi secara secara primer merupakan proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media (Onong Uchjana Effendy, 1999 : 11). Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa. Akan tetapi, tidak semua orang pandai mencari kata-kata yang tepat yang dapat mencerminkan perasaan yang sesungguhnya.
Berkembangnya masyarakat beserta peradaban dan kebudayaannya, komunikasi bermedia mengalami kemajuan. Tidak hanya dengan bertatap muka saja orang dapat berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan dengan berbagai alat komunikasi yang canggih seseorang dapat berkomunikasi selayaknya berhadaphadapan dengan lawan bicara seperti percakapan biasa yaitu melaui media telepon genggam atau handphone (HP). Seseorang dapat menggunakan media kedua dalam berkomunikasi Karena adanya kecanggihan teknologi misalkan melalui HP, televise, radio, dan lain sebagainya. Proses komunikasi seperti hal tersebut merupakan proses komunikasi secara sekunder, yakni proses penyampaian komunikasi oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai madia kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama (Onong Uchjana Effendy, 1999 : 16).
Adanya peranan media, yakni media sekunder seperti HP, dalam komunikasi tidak perlu bertatap muka langsung maka komunikator dan komunikan dapat berkomunikasi menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan sebagainya tentang berbagai hal yang tentu saja melalui bahasa. Oleh karena itu, terjadilah efesiensi dalam berkomunkasi.yang tidak terpancang pada jarak dan waktu.
Gejala kontemporasi bahasa yaitu berubahnya serta berkembangnya bahasa sesuai situasi dan kondisi merupakan konsekuensi dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan bagian dari budaya masyarakat. Masyarakat menggunakan lambang-lambang bahasanya berdasarkan pengalaman dan pemikiran manusia yang memang terus berkembang. Perkembangan masyarakat dan perubahan budaya menyebabkan timbulnya berbagai macam variasi atau keragaman bahasa, termasuk munculnya kosakata baru.
Demikian halnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas X selalu berkomunikasi dengan mahasiswa lainnya. Selain berkomunikasi secara lisan mahasiswa juga berkomunikasi melalui tulisan SMS, apabila mereka tidak dapat saling bertemu melalui tatap muka. Mengingat HP merupakan media yag efektif dalam berkomunikasi melalui SMS (Short Message Service) yang relatif murah, maka SMS pun efektif dan efisien dalam menjalin suatu komunikasi antar mahasiswa.
Dalam berkomunikasi melalui SMS, pemakai SMS harus menuliskan pesan yang berjumlah 160 karakter. Keterbatasan jumlah karakter dalam sekali kirim akan menimbulkan suatu keragaman berbahasa dalam ber-SMS. Demikian halnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X menggunakan suatu bahasa yang mempunyai suatu keragaman tersendiri dalam ber-SMS karena selain disebut anak muda, mereka juga sering menggunakan bahasa yang selalu mengikuti perkembangan. Sebagai mahasiswa yang kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah yang paling tidak mengetahui seluk-beluk mengenai penggunaan bahasa, maka bahasa yang digunakan dalam ber-SMS pun mempunyai suatu variasi atau keragaman tersendiri yang menimbulkan suatu keuikan dalam berbahasa. Pilihan kata yang tidak sesuai dengan kaidah ketatabahasaan serta penggunaan simbol-simbol ekspresi atau disebut emoticon menimbulkan suatu keunikan tersendiri dalam berkomunikasi berbentuk bahasa tulis melalui media handphone/HP.
Contoh umum emoticon atau simbol yang sering digunakan dalam ber- SMS adalah : -) yang artinya “Si pengirim pesan sedang senang” atau juga simbol : -( yang menandakan si pengirim pesan sedang sedih. Selain digunakan sebagai ekspresi wajah atau ekspresi keadaan diri saat ber-SMS, penggunaan simbol ekspresi melalui berbagai tanda baca digunakan untuk menghemat pemakaian karakter. Keterbatasan karakter dalam ber-SMS maka pengirim SMS juga berusaha kreatif dengan menciptakan singkatan-singkatan yang unik. Sekarang ini singkatan yang lazim digunakan adalah singkatan umum yang diadopsi dari bahasa Inggris dan diadaptasi dari istilah yang digunakan pengguna fasilitas chatting di internet. Misalnya, C U (see you) artinya “sampai jumpa lagi”, Be4 (before) artinya “sebelumnya”. Istilah tersebut kerap digunakan dalam ber-SMS, karena pada awal perkembangannya, bahasa Inggrislah yang sering dipergunakan dalam komunikasi chatting. Namun, dalam perkembangannya singkatan dalam bahasa Indonesia juga sangat kerap digunakan oleh pengguna SMS.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berusaha mengembangkan sebuah penelitian mengenai wujud pemakaian bahasa dalam SMS yang digunakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah serta hal-hal yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS. Pada penelitian ini, peneliti memberi judul “Kajian Pemakaian Bahasa dalam SMS (Short Message Service) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas X : Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar penelitian ini jelas dan lebih terarah maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah wujud pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X?
2. Hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai :
1. Wujud Pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X.
2. Hal-hal yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah teori yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam SMS.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
a. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai adanya faktor-faktor sosiolinguistik yang di terapkan pada pemakaian bahasa dalam SMS.
b. Bagi Pengguna Jasa SMS
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai bahasa dalam SMS yang digunakan dalam berkomunikasi.
c. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan inspirasi maupun bahan pijakan kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lanjutan.
| |
(Kode PEND-BSI-0017) : Skripsi Warna Lokal Dalam Naskah Drama Sandhyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Drama mulai tumbuh di Indonesia sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di berbagai suku bangsa di Indonesia telah tumbuh ratusan jenis drama atau seni pertunjukan yang sangat lebar spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya profan, yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya. Jenis drama atau teater digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan (Damono, 2006:1).
Drama merupakan bentuk seni yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak atau action dan percakapan atau dialog. Inilah yang membedakan naskah drama dengan karya sastra yang lain. Sebagai karya sastra, naskah drama memiliki keunikan tersendiri yaitu naskah drama diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Drama sebagai tontonan atau pertunjukan yang memiliki sifat ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sanusi Pane merupakan sastrawan muda angkatan 1880 dan pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai perkembangan kesenian (Damono, 2006:1). Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II (1940-1945) (http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah07.shtml), baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Sanusi Pane adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang (Rustapa, dkk 1995:70). Adapun drama yang telah dihasilkan Sanusi Pane berupa drama romantik (Damono, 2006:1), Salah satunya yaitu “Sandhyakala ning Majapahit”. Naskah drama Sanusi Pane “Sandhyakala ning Majapahit” pernah dipertunjukkan oleh Takdir Ali Syahbana dalam roman Layar Terkembang di Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan. Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit’ karya Sanusi pane dan roman “Layar Terkembang” karya Takdir Ali Syahbana diperdebatkan dalam kongres itu. Karena dalam naskah drama ‘Sandhyakala ning majapahit” mengisahkan masyarakat yang cenderung bersifat statis khususnya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan kepasrahan dan memiliki sifat nerimo, apapun yang diberikan Tuhan akan diterimanya dengan sabar. Masyarakat Jawa dianggap sebagai orang yang lembek, tidak suka ngoyo. Sedangkan dalam roman “Layar Terkembang” menceritakan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang lebih mengutamakan kerja keras, masyarakat yang maju, berbeda sekali dengan masyarakat Jawa (Rosidi, 1968:60).
Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane mempunyai latar belakang sejarah Jawa khususnya di kerajaan Majapahit. Drama ini juga berlatar zaman klasik. Keunikan drama ini terletak pada isi naskah drama yang bercerita tentang masalah romantis, masalah keagamaan, dan sosial.
Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama “Sandhyakala ning Majapahit” adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton (Rustapa dkk, 1997:67). Cerita Damar Wulan diakhiri dengan happy ending, yaitu keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, dalam naskah drama Sanhyakala ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa tragis. Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai penghianat. Tuduhan tersebut begitu hebatnya sehingga Damar Wulan dihukum mati. Sepeninggal Damar Wulan kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara. (Rustapa dkk, 1997:67).
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya. Warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedaerahan. Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain (Nurgiyantoro, 1995:228).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan adalah:
Bagaimanakah warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane?

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan selalu mempunyai tujuan yang jelas agar terarah dan tepat sasaran serta lebih jelas manfaatnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Pembaca
Dapat memahami unsur-unsur warna lokal dalam naskah drama serta dapat mengambil hikmah dalam cermin kehidupan.
2. Bagi Pemerhati Sastra
Dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra khususnya drama, dan rasa peduli terhadap karya sastra Indonesia.
3. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang sastra terutama warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.
| |
(Kode PEND-BSI-0016) : Skripsi Protes Sosial Pada Novel Bali Surga Para Anjing Karya Redi Panuju

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pada awalnya karya sastra hadir untuk dinikmati maka untuk dapat menikmati keindahan karya sastra itu, seorang penikmat sastra harus dapat menganalisis dan mengapresiasi isi dari karya sastra itu sendiri. Seorang penikmat karya sastra biasanya membaca karya sastra sebagai pengisi waktu luang atau hiburan saja, akan tetapi ada beberapa penikmat sastra (pembaca) yang lebih serius, mereka ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari apa yang dibacanya dan ingin menambah wawasan atau pengetahuan untuk memperkaya batinnya.
Sastra merupakan salah satu intuisi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Kesusastraan diibaratkan sebuah simbol dari kehidupan, karena di dalamnya terdapat atau memuat norma-norma yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, sastra bisa menjadi salah satu metode atau cara untuk menggambarkan kehidupan sosial yang sebenarnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa sastra merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui sastra manusia bisa mengekspresikan ide-ide, gagasan, perasaan dan imajinasinya dengan menuliskannya kedalam sebuah karya sastra. Dengan kata lain, sastra adalah gambaran kehidupan seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Kita dapat membaca dan memahami alur cerita dari suatu karya imajinatif yang dilandasi dengan kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan dan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial oleh kultural. Selain itu karya sastra sendiri merupakan objek kultural dan juga merupakan objek kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri (Damono, 1978: 1 dan 4).
Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan dan perbedaan, keduannya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca:unsur-unsur cerita yang sama, keduannya dibangun oleh dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik). Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang dan lain- lain. Oleh karena itu novel dan cerpen dapat dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama. Namun demikian terdapat perbedaan intensitas (kuantitas) dalam hal “pengoperasian” unsur-insur cerita tersebut. Perbedaan–perbedaan yang dimaksud akan dicoba dibawah ini walau tentu saja tidak komprehensif. Dari segi panjang cerita, novel lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, Novel dapat mengemukakan, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu (Nurgiyantoro, 1994:10-11).
Dalam hal ini, peneliti telah menentukan penulis novel yang akan dijadikan obyek untuk bahan penelitiannya, yakni Redi Penuju.Karena di dalam buku hasil karyanya Bali, Surga para anjing tersebut banyak bercerita tentang kehidupan sosial yang telah menyimpang dari kehidupan yang sewajarnya. Redi Panuju adalah seorang kolumnus tentang masalah–masalah sosial, politik dan kebudayaan. Kini banyak menulis buku dan novel yang telah banyak diterbitkan.
Pemilihan judul dalam penelitian ini yaitu novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing karena peneliti berpendapat bahwa penulis memang benar-benar menuliskan peristiwa yang telah terjadi di sana (di pulau Bali).
Peneliti memilih protes sosial untuk meneliti novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing bahwa dalam novel tersebut diceritakan adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang di daerah Bali, ketika sebagian masyarakat Bali menanggapi tentang adanya undang-undang Pornografi dan Pornoaksi yang masih dalam proses penyelesaiannya.
Tindak protes merupakan bagian dari keterarahan kesadaran manusia terhadap realita. Tindakan protes ini dapat menghasilkan kreatifitas, termasuk di dalamnya kreatifitas dalam bidang sastra. Oleh karena itu, peneliti memilih protes sosial untuk mengkaji novel ini.
Pendekatan sosiologis dipilih oleh peneliti dikarenakan sosiologi adalah ilmu yang normatif, seperti halnya sosiologi sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, yakni usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian novel genre utama dalam zaman industri ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan lain-lain.
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata–mata menganalisis riwayat hidup, Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat. Pendekatan biografis mengganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis mengganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.
Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh Karya sastra dihasilkan oleh pengarang, Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, Pengarang memaanfaatkan kekayaan yang ada didalam masyarakat dan Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat
Perkembangan pesat ilmu humaniora memicu perkembangan studi sosiologis. Dasar pertimbangannya adalah memberikan keseimbangan terhadap 2 dimensi manusia yaitu jasmani dan rohani. Para ilmuan kontemporer makin menyadari bahwa mengabaikan aspek–aspek rohaniah pada gilirannya akan membawa umat manusia pada degradasi mental bahkan kehancuran (Ratna,2004:59-60).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan-paparan latar belakang di atas, peneliti membatasi pada masalah: Bagaimana protes sosial pada novel Bali, Surga Para Anjing?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan protes sosial dalam novel Bali, Surga para Anjing.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Bagi perkembangan ilmu sastra
Manfaat bagi perkembangan ilmu sastra adalah sebagai pemikat sastra, dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra sehingga akan ada rasa mencintai dan rasa peduli terhadap perkembangan karya sastra tersebut.
1.4.2 Bagi masyarakat Indonesia(Penikmat sastra).
Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini bagi masyarakat Indonesia, yaitu membantu memahami suatu karya sastra tersebut, dan dapat menafsirkan makna atau isi dari karya sastra tersebut sehingga ada penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra.
1.4.3 Bagi peneliti karya sastra tersebut
Peneliti akan memperoleh kejelasan praktis dalam bidang penelitian ilmiah dan mempunyai peran serta dalam mengembangkan karya sastra. Serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang dapat meningkatkan mutu dari hasil karyanya.
1.4.4 Bagi pengarang karya sastra
Kritik sastra dapat memberikan suatu penilaian sehingga pengarang mendapatkan masukan mengenai mutu karyanya dan mengetahui sejauh manakah karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat pembaca(penikmat sastra).
| |
(Kode PEND-BSI-0015) : Skripsi Penggunaan Bahasa Slang Dalam Komunitas Waria Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam bermasyarakat yang universal terdapat banyak tingkatan sosial, latar belakang dan lingkungan yang berbeda. Hal ini menyebabkan berubah dan keluar dari konteks yang sebenarnya, karena fungsi bahasa sebagai penghubung antara pengguna bahasa yang satu dengan yang lainnya. Maka bahasa dibuat sepraktis mungkin agar pengguna bahasa lebih mudah untuk memahami dan juga bisa dipahami oleh si pengguna bahasa itu sendiri. Banyak kalangan yang merubah bahasa baik golongan ataupun tingkatan usia. Komunitas-komunitas yang memiliki bahasa simbol diantaranya komunitas waria.
Begitu banyak komunitas yang ada di Indonesia dan begitu banyak pula variasi bahasa yang terbentuk untuk memudahkan komunikasi, salah satunya adala komunitas waria. Komunitas yang satu ini tergolong unik dan eksklusif hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian sebab bahasa yang dimiliki merupakan hasil kreativitas berbahasa, oleh karea itu bahasa yang dimilik komunitas waria ini termasuk bahasa slang sebab tak banyak orang mengerti dan paham tentang bahasa ini kecuali komunitas itu sendiri yaitu waria.
Banyak tempat kita bisa menjumpai komunitas ini (waria). Ada yang tiap malam mangkal di pinggir jalan dan ada pula yang di salon. Waria salon atau waria yang bekerja di salon dijadikan objek penelitian sebab waria salon memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai. Waria salon sering mengikuti seminar kecantikan dan kesehatan yang diadakan oleh produk-produk kosmetik. Hal ini menjadi nilai plus bagi waria salon dibandingkan dengan waria-waria yang menjajakan diri di pinggir jalan. Bukan itu saja ketrampilan dalam tata rias membuat mereka menjajaki dunia festival kecantikan, jadi pengalaman waria salon lebih banyak dan berkualitas.
Penelitian dilakukan saat waria salon sedang santai atau menunggu pelanggan salon, bisa juga saat salon tutup karena apabila salon tutup biasanya mereka berkumpul di salah satu salon untuk ngobrol. Memang banyak hal yang mereka bicarakan mulai dari penghasilan salon perhari hingga kaum adam, sehingga memudahkan penelitian dalam pengambilan data. Bisa juga pada saat acara ludruk, seminar, atau hajatan di salah satu waria disanalah interaksi timbul dan tepat untuk penelitian.
Dalam penelitian ini yang menjadi landasan teori adalah pembentukan bahasa slang, komponen yang berpengaruh terhadap tutur dan keberadaan slang di masyarakat. Penelitian ini diwakili dengan menyediakan data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak sadap atau simak catat.
Dari segi mobilitas waria salon di X lebih intelektual, hal ini disebabkan daerah geografis yang sangat mendukung dari berbagai kebutuhan, waria salon mampu bersaing dengan masyarakat umum, hal ini yang menyebabkan waria di X bisa berkreasi dan berkembang dalam bidang jasa dan hampir semua waria salon memiliki tingkat pendidikan yang bisa diperhitungkan, bukan itu saja waria salon memiliki kemampuan lebih, dibandingkan dengan waria yang mangkal di pinggir jalan.
Yang membuat waria salon di X lebih dibandingkan dengan tempat lain karena X dekat dengan pusat transportasi, diantaranya bandara internasional X yang letaknya sekitar satu kilo meter dari X serta terminal X yang berjarak sekitar dua kilometer, daerah yang strategis inilah membuat waria X dapat mengembangkan potensinya.
Di X ada sekitar lima belas waria dengan berbagai profesi, tetapi sebagian besar tetap berprofesi sebagai pekerja salon. Waria-waria X sering berkumpul dan mengadakan pertemuan, tetapi tak jarang dari mereka saling berinteraksi dengan masyarakat luar, hanya saja keberadaannya tak mau diusik oleh golongan lain.
Dari latar belakang ini, peneliti mengenal waria-waria tersebut ketika mereka berkumpul di suatu salon sehingga memudahkan penulis untuk berkenalan. Perkenalan diawali dengan peneliti sebagai pengguna jasa mereka yaitu potong rambut. Mereka menyambut peneliti sebagai teman yang di luar komunitasnya.
Slang menjadi bahan kajian teori penelitian, sebab slang adalah bahasa yang bersifat rahasia yang tidak bisa dimengerti oleh komunitas lain dan slang wujud dari mengembangkan variasi bahasa yang dibedakan dari status sosial dari lingkungannya.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pembentukan kosakata dalam komunitas waria salon di X ?

1.3 Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas, dapat kita ketahui tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan proses pembentukan kosakata dalam komunitas waria salon di X.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam bidang bahasa yang beraneka ragam, sekaligus dapat memahami berbagai variasi bahasa yang timbul di lingkugan sosial serta pemahaman pembentukan kata pada suatu komunitas yaitu komunitas waria salon.
| |
(Kode PEND-BSI-0014) : Skripsi Pelaksanaan Contextual Teaching And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Di SMPN-X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Era globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan telah melahirkan perubahan sosial, sikap, dan perilaku, yang pada akhirnya bermuara pada pergeseran sistem nilai dan norma kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi budaya, ilmu pengetahun, dan teknologi. Realita seperti ini menuntut setiap bangsa (termasuk Indonesia) untuk segera mempersiapkan diri agar mampu bersaing, khususnya dalam bidang pendidikan.
Diakui atau tidak, mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain. Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan Matematika siswa SMP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Sementara itu, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 30 dari 38 negara yang disurvei (Nurhadi, 2004: 1). Menurut catatan Human Development Report versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara pada tahun 2002, dan 112 dari 174 negara pada tahun 2003. Indonesia berada jauh di bawah Singapura (28), Korea Selatan (30), Brunei Darusalam (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85).
Selanjutnya, menurut Depdiknas (2005: 45), jumlah anak usia SD (7 – 12 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 5,50 % (1.422.141 anak), anak usia SMP (13 – 15 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 44.30 % (5.801.122 anak), dan anak usia SMA (16 – 18 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 67,58 % (9.113.941 anak). Retensi kotor anak masuk SD yang melanjutkan hingga Perguruan Tinggi sebesar 11,6 %, dan yang tidak sebesar 88,4%.
Kondisi di atas memberikan gambaran, sekaligus bahan renungan dan refleksi, bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pembaharuan dalam rangka menciptakan manusia-manusia berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu komponen penting demi terlaksananya sebuah Sistem Pendidikan Nasional yang terarah adalah kehadiran kurikulum. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia paripurna sebagaimana yang tersurat dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan potensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam PP No. 19 tahun 2005, pemerintah telah menetapkan delapan standar minimal pendidikan, diantaranya: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi kelulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar pengelolaan, (6) standar sarana prasarana, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.
Di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum. Yang terbaru adalah diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kemudian disempurnakan kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) sebagai pengganti kurikulum 1994. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan adanya kurikulum masalah pendidikan akan teratasi secara otomatis? Ternyata tidak. Kurikulum hanya merupakan satu diantara tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembaharuan pendidikan. Selain kurikulum, hal yang perlu mendapat perhatian tersebut yaitu peningkatan pembelajaran, dan efektifitas pendekatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas dan lebih memberdayakan potensi siswa.
Pemberlakuan KTSP menuntut adanya perubahan paradigma guru yang semula mengajar dengan orientasi terhadap hasil dan materi (transfer of knowledge) menjadi orientasi terhadap proses. Nurhadi (2002: 1), mengatakan bahwa pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pembelajaran hendaknya sebanyak mungkin melibatkan peserta didik agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi secara ilmiah dan alamiah. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Konsep pembelajaran yang demikian inilah yang diharapkan oleh pendekatan CTL.
CTL merupakan konsep belajar yang menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. CTL memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, seting pembelajaran yang tidak melulu di dalam kelas, dan media apa saja untuk belajar. Prinsipnya, orang-orang dan benda-benda di sekitar siswa, semua adalah media belajar. Sehingga, gambaran fisik kelas CTL seperti berikut ini:
… dinding kelas penuh dengan tempelan hasil karya siswa (tidak hanya gambar presiden dan wakil presiden saja). Dinding kelas penuh dengan gambar hasil karya siswa, peta (baik cetak maupun buatan siswa sendiri, artikel, gambar tokoh idola, puisi, komentar, foto tokoh, diagram-diagram, dan lain-lain. Setiap saat berubah. Bahkan lorong-lorong sekolah pun dapat dimanfaatkan. Akibatnya, kemana pun siswa pergi dikepung oleh informasi! Ciri kedua, kelas CTL adalah siswa siswa selalu ramai dan gembira dalam belajar. Kelas yang aktif bukan kelas yang sepi (Nurhadi, 2004: 151).
Belajar harus didukung oleh lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dalam arti lingkungan yang mampu memberikan stimulasi siswa senang belajar. Oleh karena itu, pembelajaran harus berubah dari "guru yang berakting di depan kelas dan siswa menonton "ke" siswa yang berakting, bekerja, dan berkarya, guru mengarahkan dan memfasilitasi". Dengan kata lain, dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Kondisi ideal di atas, jelas bertolak belakang dengan apa yang terjadi selama ini. Masih banyak guru yang mengajar dengan cara-cara lama dan kurang melibatkan dan mengaktifkan siswa untuk mampu belajar sendiri. Model pembelajaran yang hanya menekankan ceramah dan kurang demokratis masih banyak terjadi, dengan akibat siswa kurang bebas untuk mengembangkan pikiran dan gagasannya. Guru terjebak dengan kegiatan rutin, yaitu memberikan penjelasan serta men-drill bahan ajar kepada siswa yang sesuai dengan buku teks/buku paket, sedangkan siswa menerima bahan ajar yang diberikan oleh guru. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drost (2005 : 7) bahwa sistem drill masih amat disenangi oleh para guru sehingga unsur penemuan biasanya sering dilupakan.
Hampir setiap guru tidak pernah memperhatikan perbedaan individual siswa. Walaupun model pembelajarannya klasikal, pada jam pelajaran yang sama, pada umumnya dalam satu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dan dengan cara yang sama untuk semua siswa pada kelas tersebut, Sagala (2003 : 151). Dampak logis dari model pembelajaran dengan cara-cara lama tersebut, diantaranya: (a) banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya, (b) sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan, dan (c) siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah (Depdiknas, 2006: 7).
Jika kondisi ini tetap dibiarkan, pendidikan di Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara-negara lain. Sebaliknya, apabila kondisi tersebut diatasi dengan penerapan Pendekatan CTL secara optimal, kualitas pendidikan akan memiliki keunggulan kompetensi-kompetitif dalam persaingan global. Depdiknas, (2006: 11) menyatakan bahwa pengalaman di negara lain, minat dan prestasi siswa dalam bidang bahasa, matematika, dan sains meningkat secara drastis pada saat: (a) mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai, (b) mereka diajarkan bagaimana mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dipergunakan di luar kelas, dan (c) mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama.
Kondisi riil di Kabupaten X, selain memperoleh pelatihan kurikulum, guru bahasa Indonesia juga mendapatkan pelatihan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai pendekatan pembelajarannya. Konsekuensi logis dari pelatihan tersebut, para guru bahasa Indonesia di SMPN X begitu antusias menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran di dalam kelas. Berpijak dari uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba menganilisis sebuah topik dengan judul: “Pelaksanaan Contextual teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X ”.

1.2 Asumsi dan Batasan Masalah
1.2.1 Asumsi
Asumsi yang mendasari diadakannya penelitian ini diantaranya:
1. Guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X tergabung dalam MGMP bahasa Indonesia Kabupaten X.
Dalam MGMP diadakan pertemuan secara rutin setiap bulan. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan masalah pembelajaran dan solusinya terutama yang menyangkut bahasa Indonesia. Logikanya pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan CTL dapat berjalan dengan optimal.
2. Berdasarkan data terbaru dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMPN X tahun 2007, Kualifikasi pendidikan guru Bahasa Indonesia, 3% Diploma, 93% Sarjana (S1), dan 4% Pasca Sarjana (S2). Dengan modal akademik lulusan Sarjana (S1) apalagi Pasca Sarjana (S2), seorang guru semestinya mampu menjalankan tugasnya, mengajarkan Bahasa Indonesia pada siswa kelas VIII SMP, dengan baik dan optimal.
3. Pelatihan atau penataran tentang CTL baik di tingkat sekolah, kabupaten, maupun provinsi sudah pernah diikuti oleh + 78% guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X.
Modal ini semestinya menambah kemampuan guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal.
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia bersifat tematik sehingga secara material muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup segala aspek (tema-tema) dalam kehidupan. Padahal, tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia adalah penguasaan siswa terhadap kompetensi berbahasa Indonesia, bukan penguasaan pengetahuan tentang Bahasa Indonesia. Para siswa harus mampu berbahasa sesuai dengan konteks dan ragamnya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, CTL-lah pendekatan yang prinsip- prinsipnya sangat dibutuhkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan asumsi hasilnya bisa optimal.

1.2.2 Batasan Masalah
Untuk memperjelas pembahasan agar tidak melebar dan menyimpang dari permasalahan yang akan diteliti, perlu adanya batasan masalah. Begitu juga dengan penelitian tentang pelaksanaan CTL ini. Berpijak dari hal tersebut di atas, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini dibatasi pada: Pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan hambatannya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X?
2. Hambatan-hambatan apa yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL)?

1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. untuk mendeskripsikan pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X; dan
2. untuk mendeskripsikan hambatan- hambatan yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL).

1.5 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan (Dinas Pendidikan Kab. X), hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan terutama dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
2. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai introspeksi sekaligus refleksi diri.
3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi terkini tentang pendidikan sekaligus sebagai media untuk menambah wawasan dan referensi untuk penelitian yang sama.

1.6 Penjelasan Istilah
Dari judul penelitian ini, terdapat istilah yang perlu didefinisikan secara operasional. Istilah tersebut adalah Contextual Teaching and Learning (CTL).
Depdiknas (2006:8) menyatakan bahwa CTL:
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
(Kode PEND-BSI-0013) : Skripsi Kemampuan Menggunakan Kata Penghubung Dalam Karangan Deskripsi Siswa Kelas V MIN-X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Tata bahasa merupakan suatu himpunan dari patokan-patokan dalam stuktur bahasa. Stuktur bahasa itu meliputi bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kata, dan tata kalimat serta tata makna. Dengan kata lain bahasa meliputi bidang-bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis (Keraf, 1994:27).
Kata penghubung adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat (Chaer, 2000:140).
Dari pengertian tersebut, maka kata penghubung sangatlah diperlukan untuk memperjelas kalimat, karena kata penghubung merupakan rambu-rambu bahasa tulis yang berpengaruh dalam pembuatan kalimat atau karangan. Suatu karangan deskripsi akan sulit dimengerti jika dalam karangan deskripsi tidak dibubuhi kata penghubung.
Siswa sering sekali kurang dalam pemahaman kata penghubung dalam suatu karangan, padahal setiap hari mereka di sekolah pasti akan bertemu dengan kegiatan menulis dan membaca, baik itu membaca buku pelajaran atau menulis suatu karangan.
Walaupun banyak buku yang mengulas pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, akan tetapi kenyataannya masih sering dijumpai dalam penggunaan kata penghubung yang tidak tepat. Salah satu penyebabnya menurut tata bahasa baku adalah tidak mengenalnya strategi pembuatan kalimat.
Peneliti mengadakan penelitian di MI X karena MI X adalah salah satu MI (Madrasah Ibtidaiyah) Negeri yang ada di kabupaten X sebagai model atau percontohan dalam pengembangan kualitas pendidikan dan pembelajaran serta sebagai pusat sumber belajar bersama dan inovasi penyelenggaraan pendidikan bagi madrasah-madrasah yang ada di sekitarnya.
Alasan peneliti mengambil siswa kelas V karena siswa kelas V ini masih banyak memerlukan pengetahuan dan wacana yang lebih luas tentang menggunakan kata penghubung yang nantinya dapat diteruskan di kelas VI pada sekolah dasar dan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Alasan peneliti menggunakan karangan deskripsi karena karangan deskripsi merupakan karangan yang menggambarkan suatu objek dengan tujuan agar pembaca merasa seolah-olah melihat sendiri obyek yang digambarkan itu. Siswa yang masih duduk di tingkat dasar biasanya sangat suka dengan cerita-cerita yang menggambarkan suatu objek, oleh karena itu peneliti menggunakan karangan deskripsi.

1.2 Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup
Pada bagian ini akan peneliti sebutkan macam-macam kata penghubung yaitu: kata penghubung dan, dengan, serta, atau, tetapi, namun, sedangkan, sebaliknya, malah atau malahan, bahkan, lagipula, apalagi, itupun, jangankan, malainkan, hanya, kecuali, lalu, kemudian, mula-mula, yakni, yaitu, adalah, ialah, bahwa, jadi, karena, karena itu, sebab, sebab itu, kalau, jika, asal, andaikata, meskipun, supaya, agar, ketika, sesudah, sebelum, sejak, untuk, yang, sampai, sambil, seperti, tempat.
Setelah peneliti mengkaji dan menganalisa karangan deskripsi yang disempurnakan oleh siswa ternyata ditemukan tujuh jenis kata penghubung. Oleh karena itu pada penelitian ini peneliti hanya mengambil tujuh kata penghubung yaitu: yang, dengan, untuk, dan, seperti, jika, karena.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Karena permasalahan yang berkaitan dengan kata penghubung cukup banyak, maka perlu diadakan pembatasan masalah agar permasalahan tidak berkepanjangan dan nantinya diharapkan menghasilkan pembahasan yang terarah.
Oleh karena itu dalam karangan deskripsi (yang tanda penghubungnya dihilangkan) yang disempurnakan oleh siswa terdapat tujuh kata penghubung maka permasalahan yang diteliti ini meliputi kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi Siswa Kelas V MI X menggunakan kata penghubung antara lain:
1. Kata penghubung yang.
2. Kata penghubung dengan.
3. Kata penghubung untuk.
4. Kata penghubung dan.
5. Kata penghubung seperti.
6. Kata penghubung jika.
7. Kata penghubung karena.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang masalah yang berkaitan dengan kata penghubung, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung yang dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
2. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dengan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
3. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung untuk dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
4. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
5. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung seperti dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
6. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung jika dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?
7. Bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung karena dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X?

1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian, tujuan dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung yang dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dengan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
3. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung untuk dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
4. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung dan dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
5. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung seperti dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
6. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung jika dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.
7. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan menggunakan kata penghubung karena dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X.

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang kemampuan menggunakan kata penghubung ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti sebagai bahan acuan pengembangan kajian kaidah tata bahasa Indonesia di sekolah, oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Siswa
Siswa diharapkan menggunakan dan mampu menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi secara baik dan benar.
2. Guru
Guru diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang kata penghubung dan mengkaji lebih jauh permasalahan dan penggunaan kata penghubung dalam karangan deskripsi.
3. Peneliti
Bagi peneliti diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang penggunaan kata penghubung dalam menyusun karangan deskripsi yang baik dan benar.

1.6 Penjelasan Istilah
Supaya terdapat kesatuan pandangan dan menuju satu pikiran perlu adanya penjelasan istilah. Dalam penelitian ini konsep yang perlu ditegaskan adalah :
1. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, atau kepandaian menyelesaikan sesuatu berdasarkan tujuan (Poerwadarminta, 1984:628)
2. Kata penghubung adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat (Chaer, 2000:140).
3. Karangan deskripsi adalah karangan yang menggambarkan suatu objek dengan tujuan agar pembaca seolah-olah melihat sendiri objek yang digambarkan itu (Kosasih, 2002:33).
4. Siswa kelas V MI X adalah semua siswa kelas V yang bersekolah di MI X.
Jadi, kemampuan menggunakan kata penghubung dalam karangan deskripsi siswa kelas V MI X adalah kemampuan siswa kelas V MI X dalam menggunakan kata penghubung pada karangan deskripsi, sehingga tidak akan menimbulkan penafsiran yang salah pada judul skripsi.
| |
(Kode PEND-BSI-0012) : Skripsi Kemampuan Menciptakan Puisi Menggunakan Metode Tugas Siswa Kelas V MI-X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, dalam penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. Menurut pendapat C. Day Lewis dalam Eddy (1985 :12) puisi adalah sesuatu yang dikumandangkan dalam bentuk suara dimana setiap orang dalam satu kelompok kegiatan terlibat di dalamnya. Kehadiran puisi pada mulanya bukanlah untuk menunjang sarana komunikasi antarmanusia. Puisi lahir sebagai ekspresi hasrat batin manusia untuk mencapai alam magis, dalam dibalik kehidupan nyata. Dengan terus berkembangnya kebudayaan, maka perkembangan puisi ditandai dengan semakin banyaknya para penyair menciptakan puisi, kemudian dibuat buku yang terdiri dari kumpulan-kumpulan puisi yang diciptakannya.
Menciptakan puisi tidak berangkat dari kekosongan, tetapi harus bertolak pada pengalaman maupun khazanah kehidupan. Semua itu perlu dihayati dan direnungkan lebih dulu. Ada pikiran, perasaan, unek-unek, obsesi, gagasan, imajinasi-imajinasi yang ingin diterjemahkan. Ada aneka fenomena, peristiwa, warna dan suara yang ingin dirangkai dengan kata-kata, untuk itu puisi terlahir bersama proses kreatifnya (Mujiyanto, 2006:1). Proses kreativitas dalam menciptakan karya sastra sering disebut proses imajinatif. Bahan proses imajinatif yang diolah oleh seorang sastrawan bukanlah lamunan, fantasi, atau khayalan, namun justru realita kehidupan yang nampak pada pengalaman diri,
pengalaman batin, pengalaman bahasa, maupun pengalaman estetis pengarang (Tjahjono, 1990 : 37).
Menciptakan puisi sebenarnya merupakan pekerjaan yang tidak mudah, memerlukan ekspresi dan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran. Pada dasarnya dengan menciptakan sebuah puisi, maka seorang siswa telah mampu belajar membangun, membuat atau membentuk sebuah dunia baru secara lahir maupun batin (Tjahjono, 1990 : 50). Dengan kemampuan tersebut diharapkan para siswa dapat menciptakan puisi dengan baik.
Diperlukan sebuah metode yang sesuai untuk menciptakan puisi yaitu dengan menggunakan metode tugas. Metode tugas merupakan metode penyajian bahan di mana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar (Djamarah, 1995 : 96). Masalah tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dilakukan di halaman sekolah. Untuk meneliti yang ada hubungannya dengan tema kehidupan, sebagai bahan untuk menciptakan puisi. Metode tugas tidak sama dengan pekerjaan rumah (PR). Pekerjaan rumah mempunyai pengertian yang lebih khusus, ialah tugas-tugas yang diberikan oleh guru, dikerjakan siswa di rumah. Sedangkan metode tugas diberikan oleh guru tidak sekedar dilaksanakan di rumah, melainkan dapat dikerjakan di perpustakaan, di laboratorium, atau di tempat-tempat lain yang ada hubungannya dengan tugas atau pelajaran
yang diberikan. Metode ini diberikan bertujuan untuk memperdalam pengertian siswa terhadap pelajaran yang telah diterima, melatih siswa ke arah belajar mandiri dan memperkaya pengalaman-pengalaman di sekolah melalui kegiatan-kegiatan di luar kelas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang studi bahasa Indonesia bahwa siswa kelas V MI X masih dijumpai banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menciptakan puisi yang baik.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa perlu mengadakan penelitian mengenai kemampuan siswa dalam menciptakan sebuah puisi dengan judul kemampuan menciptakan puisi menggunakan metode tugas siswa kelas V MI X.

1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Secara operasional rumusan masalah umum ini dirumuskan menjadi tiga rumusan masalah khusus yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana kemampuan memilih diksi dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X
2. Bagaimana kemampuan menampilkan nilai-nilai dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X
3. Bagaimana kemampuan menggunakan citraan dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan memilih diksi dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X
2. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan menampilkan nilai-nilai dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X
3. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan menggunakan citraan dalam menciptakan puisi dengan metode tugas siswa kelas V MI X

1.4 Manfaat Penelitian
Ditinjau dari masalah yang telah dirumuskan, maka manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah :
a. Bagi Siswa
Siswa dapat memperoleh pengalaman baru dalam menciptakan puisi dengan metode tugas, menumbuhkan kegiatan untuk berusaha sendiri dalam menelaah serta memecahkan masalah yang berhubungan dengan proses penciptaan puisi.
b. Bagi Guru Bahasa
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam bimbingan pengajaran bahasa Indonesia yang berhubungan dengan proses penciptaan puisi.
c. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penyempurnaan dalam pelaksanaan kegiatan belajar bahasa Indonesia dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya bidang studi bahasa Indonesia.
d. Perkembangan ilmu sastra
Dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra khususnya puisi dan rasa peduli terhadap karya sastra Indonesia.
e. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat dijadikan pengalaman mengenai proses menciptaan puisi yang baik dengan metode tugas.
| |
(Kode PEND-BSI-0011) : Skripsi Campur Kode Dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan manusia, sebab bahasa adalah salah satu alat yang paling utama untuk berkomunikasi, berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari segi linguistik struktural bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Oleh karena itu, bahasa merupakan suatu sistem, maka bahasa tersebut mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung unsur-unsur yang dianalisis secara terpisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk suatu struktur tertentu. Bunyi-bunyi itu merupakan lambang yaitu melambangkan makna yang tersembunyi. Dengan satuan makna tersebut anggota masyarakat dapat berkomunikasi sesuai dengan keperluan yang sifatnya komunikatif. Manusia selalu menjalani wujud bahasa dalam huruf sehingga dapat dibedakan antara bahasa tulis dengan bahasa lisan.
setiap komunikasi kita saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka proses komunikasi tersebut terjadilah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam situasi tutur. Peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran yang melibatkan dua pihak, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi. Kedua gejala tersebut terdapat pada satu proses, yaitu proses komunikasi. (Chair, 2004:47).
Bahasa itu beragam, artinya, sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu dipergunakan oleh penutur heterogen dan yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu beragam. Bahasa di dalam realisasinya selalu ada pada konteksnya. Konteks yang dimaksud dalam pengertian ini adalah konteks sosio-kulturalnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa terdiri dari dua aspek, yaitu (1) aspek linguistik. Aspek ini berupa unsur yang secara langsung membentuk struktur lahir yakni bunyi, kata, kalimat, dan ajaran atau teks, dan (2) aspek non linguistik atau paralinguistik. Aspek ini mencakup (a) pola ujaran seseorang; (b) unsur supra segmental; (c) jarak dan gerak-gerik tubuh; (d) rabaan. Aspek linguistik dan paralinguistik tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi. (Chair, 2004:22)
Dalam situasi pertuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal, baik lisan maupun tulis sering ditemukan orang bertutur dengan menggunakan bahasa tertentu tiba-tiba mengganti bahasanya. Mengganti bahasa diartikan sebagai tindakan mengalihkan bahasa maupun mencampur antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Penggantian bahasa atau ragam bahasa bergantung pada keadaan atau keperluan bahasa itu (Nababan, 1986:31)
Keanekabahasaan dalam suatu masyarakat akan selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu. Keanekabahasaan membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama kelompok minoritas bahasa) pemerintah dan dunia pendidikan. Oleh karena itu mereka harus menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa bahkan lebih (bervariasi).
Sifat-sifat khas tuturan dapat terjadi dalam individu maupun kelompok masyarakat. Sifat khas tuturan yang berbeda dengan tuturan orang lain disebut idiolek. Perbedaan pemakaian bahasa secara kelompok muncullah apa yang disebut dialek geografis, dialek sosial atau sosiolek yang lain. Keadaan seperti ini akan timbul karena adanya perbedaan asal daerah penuturnya.
Ragam bahasa atau variasi bahasa secara jelas manandai kelompok, variasi atau ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan (tendensi) dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosa kata. Kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu, sehingga menggambarkan ragam bahasa tertentu. Ciri ragam itu mungkin tidak terlalu kelihatan pada kosa kata yang dipakai penutur, tetapi itu menunjukkan dasar perbedaan pada suatu daerah.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dua bahasa atau lebih selalu hidup berdampingan tidak bisa dipisahkan dan akan saling mempengaruhi. Pengaruh bahasa yang timbul karena adanya kontak bahasa antara manusia. Dengan demikian, akibat kontak bahasa dan sekaligus perubahannya, dan dalam dua bahasa atau lebih akan kita jumpai penggunaan bahasa atau pembicaraan yang belum kita mengerti selama aktivitas berlangsung. Pendengar dengan pasif mendengarkannya, tentu pendengar yang aktif, sekali-kali menyela pembicaraan tersebut. Oleh karena itu, adanya penggunaan unsur-unsur bahasa lain ketika memakai bahasa tertentu dengan disengaja dalam percakapan disebut campur kode.
Campur kode dapat terjadi jika pembicaraan penutur menyelipkan bahasa lain ketika sedang menggunakan bahasa tertentu dalam pembicaraannya. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu sering kali berwujud kata-kata, juga berwujud frase, berwujud kelompok kata, berwujud perulangan kata, berwujud beridiom atau ungkapan maupun berwujud klausa.
Campur kode lazimnya terjadi dalam bentuk bahasa tutur (lisan) tetapi tidak menutup kemungkinan adanya campur kode dalam bentuk tulis. Dalam hubungan ini campur kode tidak terjadi dalam bentuk lisan jika penutur menggunakan bahasa tulis, misalnya dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy.
Berdasarkan uraian di atas peneliti akan mengungkap tentang campur kode dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy. Pemilihan ini sebagai objek penelitian didasarkan atas asumsi bahwa novel tersebut terdapat variasi bahasa daerah (bahasa Jawa), bahasa Indonesia maupun bahasa asing.

1.2 Masalah Penelitian
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Bahasa hidup dan berkembang di masyrakat. Secara kompleks masalah sosial mengidentifikasikan pula permasalahAn-permasalahan bahasa itu sendiri. Beberapa wujud campur kode antara lain penyisipan yang unsur-unsur yang berwujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, rumusan masalah dalam campur kode adalah :
1. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
2. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
3. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
4. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
5. Bagaimanakah penyisipan unsur-usur yang berwujud klausa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian adalah :
1. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy.
2. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy.
3. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.
4. Mendeskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.
5. Mendeskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis bagi penikmat, pemerhati, peneliti dan pengajar bahasa.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat penelitian adalah memberi pengetahuan terhadap studi tentang campur kode.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Guru Bahasa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa di sekolah.
2. Bagi Pemerhati Bahasa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang kebahasaan dan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang penggunaan bahasa khususnya campur kode.

1.5 Asumsi
Novel merupakan karangan bebas. Maka seorang pengarang bebas mengekspresikan tulisannya baik yang menyangkut penggunaan bahasa maupun penekanan-penekanan pada kata atau kalimat. Karena tidak terikat oleh suatu aturan-aturan yang harus dipakai. Maka tidak menutup kemungkinan bahasa yang digunakan sehari-hari dapat tertuang dalam karyanya.
Dengan membaca seluruh isi novel maka dapat diambil asumsi bahwa novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy dilihat dari bahasa yang dipergunakan terdapat campur kode yang meliputi penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase, penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud idiom atau ungkapan dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Bahasa yang digunakan dalam novel ditunjukkan melalui penggunaan unsur bahasa asing dalam bahasa Indonesia itu tampaknya berupa sikap yang kurang positif. Hal itu jika sikap yang ditunjukkan berupa sikap yang positif pemakai bahasa tentu cenderung akan merealisasikan melalui kesetiaan di dalam penggunaan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, tidak mencampuradukkan dengan bahasa asing, atau boleh jadi bahwa pencampuradukan itu menunjukkan fungsi pemakaian bahasa Indonesia belum sepenuhnya sehingga masih memungkinkan dimasuki oleh serpihan-serpihan unsur bahasa lain atau disebut dengan campur kode.

1.6 Penjelasan Judul
Penelitian ini berjudul Campur Kode dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy. Berkaitan dengan judul tersebut, dibawah ini akan diberikan penjelasan judul sebagai berikut :
Campur kode : Penggunaan unsur-unsur lain atau ketergantungan bahasa ketika memakai bahasa tertentu yang saling dibutuhkan. Unsur-unsur tersebut sering kali berwujud kata-kata, frase, perulangan kata, ungkapan atau idiom dan klausa. Misalnya : “aku manut sama orang tua” dan “nanti bareng saja”. Sama-sama dari bahasa Jawa dengan tidak disengaja digunakan dalam percakapan tersebut.
Novel : Suatu cerita atau karangan bebas, tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu. Penjangnya tidak ditentukan, artinya sebatas melukiskan kehidupan para tokoh yang diceritakan.
Jadi, campur kode dalam novel adalah penggunaan unsur-unsur bahasa lain dalam karangan bebas (novel) atau pemakaian serpihan-serpihan bahasa lain yang diperlukan.
| |
(Kode PEND-BSI-0010) : Skripsi Aspek Moral Tokoh Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Sastra lahir dari tengah-tengah masyarakat, sehingga pada akhirnya sastra tetap melibatkan diri pada masyarakat.hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki.kemunculan sastra terjadi dari proses kreatif yang memerlukan daya cipta yang secara khas dimiliki oleh seniman, khususnya sastrawan.dalam hal ini sastrawanlah yang berpewran penting dalam tugas meneruskan kehadiran sastra yang setiap waktu dapat terjadi dalam masyarakat.Darma (1984 : 25) Mengatakan bahwa, Sastrawn sebagai anggota masyarakat dalam fungsinya sebagi orang pinggiran sekaligus sebagai pemikir dituntut untuk bertanggung jawab terhadap masyarakat atau pembaca dan harus mampu menunjukkan realita dengan imajinasi dan aspirasinya, sehingga masyarakat dapat melihat identitas dirinya melalui hasil karya sastra yang dimiliki.
Karya sastra yang banyak dianalisis sampai saat ini adalah sastra modern, khususnya Novel. Untuk mewujudkan keseimbangan di antara keduanya, yaitu antara sastra modern itu sendiri dengan sastra lama, perlu ditingkatkan penelitian untuk jenis sastra yang terakhir ini. Hal ini perlu diperhatikan dengan pertimbangan bahwa khazanah sastra lama kaya dengan nilai-nilai yang pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan visi Postrukturalisme, membangkitkan peran serta budaya.Karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang, tetapi masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah-masalah masyarakat pada umumnya. Karya sastra menceritakan seorang tokoh, suatu tempat dan kejadian tempat tertentu, dan dengan sendirinya melalui bahasa pengarang.tetapi yang diacu adalah manusia, kejadian dan bahasa sebagaimana dipahami oleh manusia pada umumnya.dalam hubungan inilah disebutkan bahwa pengarang adalah wakil masyarakat, pengarang sebagai konstruksi transindividual, bukan dirinya sendiri. Karya sastra yang berupa Novel dianggap paling dominan dalam menampilkan unsure-unsur sosialnya karena novel menampilkan unsure-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang umum digunakan dalam masyarakat.
Karya sastra yang baik selalu memberikan pesan kepada pembacanya untuk berbuat baik, maksudnya karya sastra tersebut mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral (Darma, 1984 : 48). Manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sehingga tidak luput dari perbuatan baik (Bermoral) dan perbuatan tidak baik (Immoral).manusia dikatakan bermoral baik apabila dipandang dari tujuan akhirnya, dan perbuatan-perbuatannya disebut moral baik karena perbuatan itu membawa manusia kearah tujuan akhir (Poespoprodjo, 1988 : 27 ). Tujuan akhir manusia sendiri adalah kebahagian dengan jalan melaksanakan perbuatan-perbuatan bermoral . Moral dan immoral akan selalu silih berganti dalam kehidupan, suatu saat melakukan perbuatan bermoral pada saat lain melakukan perbuatan immoral. Oleh karena itu, penelitian tentang moral sangat menarik, karena menyangkut kualitas perbuatan manusia dan gejala-gejala yang ada di lingkungan masyarakat.
Pengarang novel Burung-Burung Manyar yaitu Y.B Mangunwijaya berusaha mengajak pembaca dan penikmat untuk mengerti dan memahami bahwa dalam kehidupan ini, manusia tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan, baik yang disengaja maupun tidak, ini terbukti yang dialami oleh Y.B. Mangunwijaya. Semasa masih mudah dia memiliki pengalaman tersendiri ketika ikut perang gerilya. Sehingga pengalaman tersebut banyak mengilhami dan memberi dorongan atas terbitnya novel Burung-Burung Manyar.tak salah lagi kalau isi dari novel tersebut seakan –akan terjadi di masyarakat. Jika dibaca dan dipahami secara mendalam, novel Burung-Burung Manyar ini dapat diketahui bahwa pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja.ada sesuatu yang dikemas dalam cerita itu, lewat kata-katanya yang teratur Y.B Mangunwijaya menggambarkan pergolakan perebutan kekuasaan antara Indonesia, Belanda, Jepang serta Inggris yang tak mau lepas untuk campur tangan. Disamping itu menggambarkan pula pergolakan cinta kasih yang abstrak antara tokoh Setadewa dengan Larasati. Perjalanan cinta antara kedua tokoh ini sangat panjang. Namun tak pernah bersatu akibat dari lika-liku kehidupan. Pergolakan cinta kasih ini dalam novel digambarkan seiring dengan pergolakan kekuasaan di wilayah Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut :
1. Bagaimana Aspek Moral Ketuhanan yang terkandung dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya ?
2. Bagaimana Aspek Moral Kenegaraan yang terkandung dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijay ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan Aspek Moral tokoh Novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus penelitian ini adalah ingin memperoleh diskripsi obyektif tentang :
a. Aspek Moral Ketuhanan yang terkandung dalam novel Burung-Burung Manyar.
b. Aspek Moral Kenegaraan yang terkandung dalam novel Burung-Burung Manyar.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan sumbangan kepada Ilmu Bahasa Indonesia, Khususnya dalam bidang kesusastraan yang mengarah pada pembinaan aspek moral yang terdapat dalam karya sastra
2. Bagi peneliti, di samping sebagai latihan juga sebagai tolak ukur sampai di mana kemampuan penulis dalam menganalisis sebuah novel.
3. Bagi sastrawan, dapat dijadikan sebagai landasan dalam peningkatan proses kreatif karya sastra terutama novel.

E. Penjelasan Judul
Penelitian ini berjudul Aspek Moral Tokoh Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Berkaitan dengan judul tersebut di bawah ini akan diberi penjelasan judul debagai berikut :
1. Aspek Moral adalah pandangan Pengarang terhadap berbagai faktor kehidupan di masyarakat untuk membedakan sesuatu yang benar dan yang salah. (James Drawer, 1986 : 292 )
2. Novel adalah Prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.Istilah lain novel adalah Roman. (Sudjiman, 1990 : 55 )
| |
(Kode PEND-BSI-0009) : Skripsi Analisis Referensi Dalam Novel Dimsum Terakhir Karya Clara Ng - Kajian Analisis Wacana

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan, dalam menyampaikan informasi. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Lyons dalam George Yule (1996: 32) mengemukakan bahwa pengertian komunikasi dengan mudah dapat dipakai untuk perasaan, suasana hati, dan sikap, tetapi menunjukkan bahwa ia terutama akan tertarik pada penyampaian informasi yang faktual atau proposional yang disengaja. Sedangkan bahasa adalah alat untuk mengekspersikan diri (Keraf, 1984: 3). Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Oleh karena itu, kemampuan berbasa seseorang sangat erat hubungannya dengan kemampuan berfikirnya, semakin pandai seseorang dalam berbahasa, maka dapat diketahui bahwa semakin jelas jalan pikirannya.
Dalam komunikasi tulis, proses komunikasi penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung. Penyapa menuangkan ide gagasanya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa rangkain kalimat. Rangkaian kalimat tersebut nantinya ditafsirkan maknanya oleh pembaca (pesapa). Di sini pembaca mencari makna berdasarkan untaian kata yang tercetak dalam teks. Dalam kondisi seperti itu, wujud wacana adalah teks yang berupa rangkaian preposisi sebagai hasil pengungkapan ide atau gagasan. Dengan kata lain wacana dalam komunikasi tulis berupa teks yang dihasilkan oleh seorang penulis (Rani, 2006:3). Sedangkan komunikasi lisan adalah bentuk komunikasi yang diucapkan secara langsung tanpa adanya perantara atau pihak ketiga (Brown dan Yule, 1996: 9).
Pemilihan bahasa dalam berkomunikasi didasarkan pada berbagai pertimbangan yaitu kondisi penutur dan kondisi lawan tutur, serta pesan-pesan yang terdapat dalam media komunikasi. Komunikasi merupakan usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar atau menyuruhnya untuk melakukan sesuatu (Barnett, 1976: 5). Disiplin ilmu yang mengkaji bahasa yang nyata dalam tindakan komunikasi tersebut disebut analisis wacana.
Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa (Djajasudarma, 2006:2). Samsuri (1987: 36) berpendapat bahwa hubungan antar kalimat yang membangun sebuah wacana itu dapat ditandai dengan penanda yang meliputi aspek gramatikal dan aspek leksikal, karena kalimat yang satu tidak dapat ditafsirkan maknanya, kecuali ke unsur yang lain.
Rani (2006: 15) menguraikan beberapa aspek yang berkaitan dengan kajian wacana, aspek-aspek tersebut adalah (a) jenis pemakaian wacana, (b) konteks wacana, (c) kohesi dan koherensi, (d) referensi, (e) tindak tutur, dan (f) analisis wacana kritis.
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang berupa novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya yang paragraf, kalimat, atau kata membawa amanat yang lengkap. Novel adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang yang mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif (Tarigan, 1993: 164). Seperti halnya novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng. Novel tersebut dituangkan dalam wacana agar dapat dibaca oleh masyarakat umum. Dalam novel “Dimsum Terakhir” terdapat referensi atau pengacuan. Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda, tetapi lebih luas lagi referensi dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan dunia. Salah satu keunikan dalam referensi adalah si penutur referensi dianggap sebagai tindak tanduk si penutur. Dengan kata lain, referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si penutur, karena si penuturlah yang paling tahu tentang referensi oleh si penutur.
Keberadaan wacana dalam teks sangat penting, karena wacana membantu memberikan penafisiran tentang makna ujaran dalam teks, disamping itu novel juga merupakan komunikasi pengarang pada calon pembacanya, dalam wacana novel banyak ditemukan pemahaman yang utuh terhadap maksud wacana novel, oleh karena itu analisis referensi pada novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng perlu dilakukan agar dapat memberikan sumbangan pada pembaca untuk mengembangkan pemahaman pembacaan pada novel.
Clara Ng, sang penulis novel, merupakan salah seorang novelis muda yang turut mengucurkan derasnya aliaran sastra Indonesia segar saat ini. Ia dinilai cukup produktif menghasilkan karya. Dalam tujuh tahun ini (2002-2008) Clara sudah menerbitkan novel, cerpen, cerita anak-anak sekitar 21 buku, karya-karyanya diterbitkan oleh salah satu penerbit terkenal di Indonesia. Salah satu dari karya novel yang ditulisnya yaitu novel dengan judul Dimsum Terakhir, novel ini menceritakan tentang anak yang dilahirkan kembar empat sekaligus. Dari kembar empat ini mereka memempunyai kebiasaan dan sifat yang sangat berlawanan. Salah satu tokoh yang paling menonjol adalah Rosi dia memiliki kelainan seks suka sesama jenis (lesbi).
Sosok sang novelis pada kenyataannya adalah seorang ibu muda, cantik, dan menawan. Clara banyak mendapat kritikan dari orang-orang disekitarnya yang mengklaim bahwa Clara dituduh melegalkan seks bebas, karena karya yang ditulisnya banyak yang berbau seks bebas. Dalam menyikapi hal tersebut Clara menanggapi dengan sabar karena dia berpendapat bahwa dalam menuli tidak usah munafik, melihat realita yang ada itu lebih baik.
Sebagai karya sastra, novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng ini dapat dianalisis dari segi pendekatan bahasa. Dalam hal ini, analisis referensi memfokuskan pada aspek referensi eksofora dan referensi endofora. Teori ini sangat penting untuk mendukung dan mengembangkan pemahaman pembaca terhadap teks novel. Analisis diantaranya akan mengupas secara mendatail terhadap antesenden di luar bahasa atau konteks situasi, antensenden di dalam teks dan persoalan ketakrifan. Hal ini dijadikan dasar pilihannya teori referensi sebagai kebijakan analisis.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang referensi di salah satu novel karya Clara Ng, yaitu pada novel yang berjudul “Dimsum Terakhir”.

1.2 Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal. Dengan berdasarkan pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup kajian wacana sangat luas, yaitu meliputi: jenis pemakaian wacana, konteks wacana, kohesi dan koherensi, referensi, tindak tutur, dan analisis wacana kritis.
1.2.2 Batasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada referensi. Adapun referensi yang hendak dianalisis menyangkut dua jenis, diantaranya: referensi endofora dan referensi eksofora. Referensi endofora dibagai menjadi dua yaitu: referensi anfora dan referensi katafora.
1.2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah peneliti uraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana referensi endofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng?
2. Bagaimana referensi eksofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan referensi endofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.
2. Mendeskripsikan referensi eksofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan ilmu analisis wacana, terutama mengenai analisis referensi endofora dan referensi eksofora sebuah wacana.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, pemanfaatan penelitian ini ialah:
a. Memberikan informasi kepada pendidikan mengenai endofora dan referensi eksofora.
b. Menambah pengetahuan bagi mahasiswa, terutama mengenai referensi endofora dan referensi eksofora.
c. Bagi pembaca agar mengatahui dan memahami referensi endofora dan referensi eksofora yang terkandung dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.
| |
(Kode PEND-BSI-0008) : Skripsi Analisis Penokohan Tokoh Utama Dan Tokoh Tambahan Dalam Novel Kampung Kehormatan Karya Najib Mahfouz Dengan Pendekatan Psikologi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian pada tokoh utama serta tokoh tambahan yang terdapat di dalam novel yang berjudul Kampung Kehormatan, karya Najib Mahfouz dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya fenomena lebih yang terdapat pada psikologi tokoh-tokoh dalam novel ini. Fenomena-fenomena tersebut terpancar dari perilaku para tokohnya. Perilaku tersebut bisa berupa perilaku psikologi yang berupa kesedihan, kegembiraan, ketakutan, keberanian, kemarahan, dan karakter-karakter lain yang masih banyak lagi. Selain itu juga dapat berupa efek perilaku psikologi yang tergambar melalui tindakan-tindakan fisiknya. Kesemuanya itu dituangkan oleh peneliti agar dapat dijadikan bahan perenungan dan bahkan kontrol sosial dalam menjalani realitas kehidupan bagi para penikmat karya Najib Mahfuoz.
Latar belakang di atas merupakan pondasi utama dalam penelitian ini meskipun terdapat peneliti lain yang melakukan tindak penelitianya pada fokus penokohan. Sebagai pembanding, peneliti menghadirkan bukti-bukti penelitian yang berfokus pada penokohan oleh peneliti lain. Hal tersebut diantaranya adalah Nanik Sumarlin (2000:1) meneliti masalah akulturasi tokoh utama wanita dalam novel yang berjudul Getaran-Getaran karya Haryati Soebadio.
Selain Nanik Sumarlin masih terdapat peneliti-peneliti lain, diantaranya M. Prasetyo Utomo (2003:1) dengan judul penelitian Penokohan Dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya NH. Dini. Abdul Mujib (2003:1) juga melakukan penelitian pada hal yang sama, yaitu Aanalisis Penokohan Dalam Naskah Drama Sebabak Malam Jahanam Karya Motinggo Busye. Hasanatul Munawaroh (2004:1) juga melakukan penelitian pada wilayah penokohan dengan judul Analisis Penokohan Dalam Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer.
Latar belakang yang kedua adalah berfokus pada masalah pemilihan karya. Mengapa peneliti memilih karya Najib Mahfouz sebagai objek penelitianya? Hal tersebut disebabkan oleh faktor pengarang dan faktor karya. Dari sisi pengarang, Najib Mahfouz merupakan salah seorang dari pengarang besar di dunia sastra. Ia merupakan selah seorang sastrawan yang berhasil mengantongi penghargaan tertinggi dalam bidang sastra, yaitu Nobel Sastra yang diterimanya pada 13 Oktober 1988, dari Akademi Sastra Internasional di Swedia (Mahfouz, 2003:198).
Dari sisi karya, karya-karya Najib Mahfouz termasuk karya yang bertaraf internasional (sastra internasional). Sebagai bukti keinternasionalanya adalah karya-karya Najib Mahfouz banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa asing dan dikaji peneliti lokal maupun asing. Sembilan karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tujuh karya ke dalam bahasa Rusia, dua dalam bahasa Perancis, dua ke dalam bahasa Ibrani, sebuah karya ke dalam bahasa Malaysia, dan sekitar lima karya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Mahfouz, 2003:197). Tidak hanya itu, karya-karyanya juga banyak yang diangkat ke dunia perfilman dan diedarkan ke seluruh Negara yang memakai bahasa Arab (Soetrisno, 2003:68).
Di dalam novel Kampung Kehormatan karya Najib Mahfouz ini terdapat cukup banyak tokoh dengan karakter-karakternya yang ditampilkan. Di dalamnya lebih dari sepuluh tokoh dengan karakter-karakter pribadinya yang cukup bervariasi antara tokoh satu dengan tokoh-tokoh lainya. Tokoh-tokoh tersebut adalah Irfah, Hanasy, Awatif, Santuri, Kodri, Sa’dullah, Syukron, Jabalawi, Yusuf, Ujaj, Hasany, Ummu Zanful, tukang sampah, Fadhil, anak buah Santuri, Yunus, anak buah Kodri, anak buah Ujaj, anak buah Sa’dullah, pembantu Jabalawi, anak-anak kecil, penduduk kempung, perempuan, dan penyair.
Dari sekian banyak tokoh yang ada, peneliti hanya mengambil enam karakter tokoh untuk dijadikan objek kajian penelitian ini. Tokoh-tokoh tersebut adalah Irfah, Hanasy, Awatif, Santuri, Kodri dan Hasany. Mengapa tokoh Irfah, Hanasy, Awatif, Santuri, Kodri dan Hasany yang dijadikan fokus penelitian? Penentuan pilihan tersebut disebabkan oleh pengaruh keenam tokoh itu sangatlah besar dalam membangun alur cerita. Tokoh-tokoh itulah yang menjadikan alur cerita menjadi berkembang. Hal itulah yang kiranya memotivasi dan menjadi latar belakang peneliti untuk melakukan penelitian terhadap karya Najib Mahfouz yang berjudul Kampung Kehormatan.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, identifikasi masalah secara luas dalam novel ini mengarah pada satu objek, yaitu unsur intrinsik karya sastra yang berhubungan dengan jiwa dan perilaku tokohnya. Adapun identifikasi masalah secara khususnya, meliputi jiwa dan perilaku tokoh Irfah, Hanasy, Awatif, Santuri, Kodri, Sa’dullah, Syukron, Jabalawi, Yusuf, Ujaj, Hasany, Ummu Zanful, tukang sampah, Fadhil, anak buah Santuri, Yunus, anak buah Kodri, anak buah Ujaj, anak buah Sa’dullah, pembantu Jabalawi, anak-anak kecil, penduduk kempung, perempuan, dan penyair.

1.3 Batasan Masalah
Agar lebih terarah dan lebih memberi gambaran penelitian yang lebih jelas, penelitian ini perlu dibatasi. Adapun batasannya sesuai dengan identifikasi masalah yang telah tersebut di atas. Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang berhubungan dengan jiwa dan perilaku tokoh utama dan tokoh tambahan.
Di dalam novel tersebut terdapat satu tokoh utama dan beberapa tokoh tambahan. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Irfah. Selain tokoh Irfah merupakan tokoh tanbahan. Adapun tokoh tambahan yang dijadikan objek kajian adalah Hanasy, Awatif, Santuri, Kodri dan Hasany.

1.4 Rumusan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terfokus, penelitian ini perlu merumuskan rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana jiwa dan perilaku tokoh utama Irfah dalam novel Kampung Kehormatan?
b. Bagaimana gambaran jiwa dan perilaku tokoh tambahan Hanasy dalam novel Kampung Kehormatan?
c. Bagaimana gambaran jiwa dan perilaku tokoh tambahan Awatif dalam novel Kampung Kehormatan?
d. Bagaimana gambaran jiwa dan perilaku tokoh tambahan Santuri dalam novel Kampung Kehormatan?
e. Bagaimana gambaran jiwa dan perilaku tokoh tambahan Kodri dalam novel Kampung Kehormatan?
f. Bagaimana gambaran jiwa dan perilaku tokoh tambahan Hasany dalam novel Kampunh Kehormatan?

1.5 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut di atas, peneliti merumuskan tujuan pembahasan dalam penelitian ini. Adapun tujuan pembahasan dalam penelitian ini meliputi:
a. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh utama Irfah dalam novel Kampung Kehormatan.
b. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh tambahan Hanasy dalam novel Kampung Kehormatan.
c. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh tambahan Awatif dalam novel Kampung Kehormatan.
d. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh tambahan Santuri dalam Novel Kampung Kehormatan.
e. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh tambahan Kodri dalam novel Kampung Kehormatan.
f. Mendeskripsikan jiwa dan perilaku tokoh tambahan Hasany dalam novel Kampung Kehormatan.

1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi bidang kesusastraan khususnya ilmu sastra. Dengan penelitian ini, dunia kesusastraan akan mendapat masukan pemikiran dari sisi intrinsik karya sastra. Sisi intrinsik tersebut berupa kajian jiwa dan perilaku tokoh yang meliputi gambaran karakternya. Adapun gambaran karakter tersebut merujuk pada tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Kampung Kehormatan karya Najib Mahfouz.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat (a) bagi peneliti sesudahnya, untuk dapat dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi, khususnya yang berkaitan dengan jiwa dan perilaku tokoh utama dan tambahan, (b) bagi peminat karya sastra, penelitian ini dapat dijadikan motifasi untuk meneliti novel Kampung Kehormatan karya Najib mahfouz dengan pendekatan yang lain, (c) bagi guru, penelitian ini akan memberi gambaran mengenai wujud intrinsik dalam novel Kampung Kehormatan karya Najib Mahfouz kepada para siswa peminat sastra serta menjadi jembatan pemahaman antara peminat karya sastra dengan pengarang, (4) bagi masyarakat secara umum, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk memasyarakatkan karya sastra, khususnya novel yang berjudul Kampung Kehormatan karya Najib Mahfouz.

1.7 Penjelasan Judul
Agar tidak terjadi kesalapahaman dalam memahami judul penelitian ini, maka perlu peneliti definisikan secara operasional istilah-istilah di bawah ini.
a. Analisis adalah usaha menyelidiki atau memeriksa suatu pokok persoalan (dalam hal ini karya sastra) untuk memperoleh gambaran pemahaman dan penjelasan secukupnya yang tepat dan menyeluruh (Ratna, 2004:53).
b. Penokohan sering disamaartikan dengan karakter atau perwatakan, yakni mengacu pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu. Sehingga penokohan dapat diartikan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiantoro, 1995:176).
c. Pendekatan psikologi yaitu suatu cara menghampiri objek penelitian dengan penekanan pada aspek atau pokok-pokok perilaku manusia (Siswantoro, 2005:26).
d. Novel merupakan jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan, yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan tekhnik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulis, serta di tulis lebih panjang dari cerpen maupun novelette (Zaidan, dkk, 1994:136)
e. Kampung Kehormatan adalah judul novel yang dikarang oleh Najib Mahfouz yang berjudul asli Irfah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kuswaidi Syafi’i yang diterbitkan oleh penerbit Tarawang Yogyakarta.pada Mei 2003 dengan tebal halaman 200 hal + xii; 1 cm.
f. Najib Mahfouz adalah seorang sastrawan besar yang bernama lengkap Najib Mahfouz Abdul Aziz Ibrahim al-Basya yang lahir pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Cairo, Mesir. Ia merupakan selah seorang sastrawan yang berhasil mengantongi penghargaan tertinggi dalam bidang sastra, yaitu Nobel Sastra yang diterimanya pada 13 Oktober 1988, dari Akademi Sastra Internasional di Swedia (Mahfouz, 2003:195-198).
| |
(Kode PEND-BSI-0007) : Skripsi Analisis Penokohan Dalam Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy Berdasarkan Teori Kepribadian Sigmund Freud - Kajian Psikologi Sastra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Imaji adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Menurut genrenya karya sastra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: prosa (fiksi), puisi dan drama. Dari ketiga jenis genre sastra tersebut penulis hanya memfokuskan kajiannya pada prosa fiksi. Supaya pemahaman kita lebih sistematis terlebih dahulu akan diuraikan pengertian prosa (fiksi) menurut pendapat beberapa tokoh. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks (naratif), atau wacana naratif (Nurgiantoro, 1995: 2). Hal ini berarti prosa (fiksi) merupakan cerita rekaan yang tidak didasarkan pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 2). Salah satu contoh prosa fiksi tersebut adalah novel. Novel merupakan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Prosa fiksi (novel) dibangun oleh dua unsur yaitu unsur instriksik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun prosa fiksi (novel) dari dalam seperti alur, tema, plot, amanat dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun sastra dari luar seperti pendidikan, agama, ekonomi, filsafat, psikologi dan lain-lain.
Dari beberapa unsur intrinsik yang telah disebutkan, penulis hanya akan memfokuskan penelitiannya pada penokohan dalam karya sastra, khususnya pada novel. Menganalisis kepribadian tokoh berdasarkan teori psikologi tertentu telah banyak dilakukan oleh mahasiswa khususnya mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, untuk lebih memperbanyak referensi mengenai sastra psikologis, peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai kepribadian tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy. Novel tersebut dianalisis berdasarkan pendekatan psikologi kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Penulis memilih novel PPC sebagai obyek kajian karena tokoh utama (Aku) dalam novel tersebut mempunyai kepribadian yang bersifat dinamis. Kedinamisan tingkah-laku tokoh utama disebabkan oleh penggunaan energi ketiga sistem kepribadian yaitu id, ego, dan super ego. Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia dapat dibagi menjadi tiga yaitu: struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian. Ketiga aspek kepribadian tersebut tergambar dalam tingkah-laku tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy.
Setelah peneliti melakukan pengamatan dan pengidentifikasian awal terhadap novel PPC ditemukan bahwa watak tokoh utama pada novel tersebut bersifat penuh pertimbangan. Aspek ego yang berfungsi sebagai pemberi pertimbangan dominan menguasai tokoh Aku, sehingga tingkah-laku tokoh utama (Aku) tidak bersifat impuls. Hal ini semakin memperkuat keinginan peneliti untuk menjadikan novel tersebut sebagai obyek kajian. Badrun (2005: 37) mengatakan untuk mengaplikasikan teori kepribadian dalam rangka membahas sifat tokoh cerita, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengamati dan mengidentifikasi perilaku dan watak tokoh.
Sebagai penulis muda yang berbakat Habiburrahman mampu mengantarkan karya-karyanya dengan nuansa Islami yang amat kental sehingga banyak novel-novelnya sebagai media dakwah. Novel PPC diberi sebutan sebagai novel Psikologi Islami Pembangun Jiwa, karena novel ini mampu memberikan nafas baru bagi penggemar sastra yang ingin mendapatkan ilmu agama sekaligus membangun kejiwaan. Karya-karya Habiburrahman banyak digemari penikmat sastra dari kalangan remaja maupun orang tua. Selain itu Habiburrahman sering mendapat penghargaan seperti dari Pena Award sebagai karya terpuji, The Most Favorit Book 2005, peraih penghargaa fiksi dewasa terbaik IBF Award 2006.
Sampai saat ini teori yang paling banyak digunakan dan diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinismisme psikologi Sigmund Freud (1856-1939). Meskipun pada awalnya pendekatan psikologis dianggap agak sulit berkembang, tetapi dengan makin diminatinya pendekatan multidisiplin di satu pihak, pemahaman baru terhadap teori-teori psikologi sastra di pihak lain, maka pendekatan psikologis diharapkan dapat menghasilkan model-model penelitian yang lebih beragam. Menurut Miller dalam Ratna (2004: 62-63) pada dasarnya penelitian Freud memberikan tempat yang sentral terhadap sastra, bukan sampingan seperti diduga orang.
Berpijak pada uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti salah satu karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Pudarnya Pesona Cleopatra. Novel ini lebih menonjolkan struktur kepribadian tokoh utama yaitu bahwa watak tokoh utama pada ovel tersebut bersifat penuh pertimbangan. Aspek ego yang berfungsi sebagai pemberi pertimbangan dominan menguasai tokoh Aku, sehingga tingkah laku tokoh Aku tidak bersifat impuls. Hal ini semakin memperkuat keinginan peneliti untuk menjadikan novel tersebut sebagai objek kajian.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini mengenai kepribadian tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy.
Supaya lebih memudahkan peneliti dalam menganalisis kepribadian tokoh, dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur kepribadian yang berkaitan dengan id tokoh utama pada novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy?
2. Bagaimanakah struktur kepribadian yang berkaitan dengan ego tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy?
3. Bagaimana struktur kepribadian yang berkaitan dengan super ego tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan struktur kepribadian yang berkaitan dengan id, tokoh utama pada novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy.
2. Mendeskripsikan ego tokoh utama pada novel yang menjadi sasaran.
3. Mendeskripsikan super ego tokoh utama pada novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun fanfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
1. Dapat meningkatkan pengetahuan peneliti tentang struktur kepribadian manusia khususnya struktur kepribadian tokoh utama dalam novel PPC karya Habiburrahman El Shirazy.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dalam usaha memahami karya sastra, khususnya sastra psikologis, dan
3. Diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti sastra selanjutnya, khususnya penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi.



Posting Komentar

0 Komentar