SKRIPSI HUBUNGAN KANDUNGAN INFORMASI PENDAPATAN BUNGA BERSIH, KOMPONEN ARUS KAS, DAN PENGUNGKAPAN POS-POS LAPORAN KEUANGAN TERHADAP EXPECTED RETURN SAHAM PERBANKAN

Kategori : skripsi ekonomi akuntansi Alhasyi

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian
Setiap perusahaan tentunya membutuhkan dana untuk dapat mengelola dan mengembangkan usahanya. Salah satu cara untuk memperoleh dana tersebut adalah dengan menghimpun dana masyarakat, yakni dengan cara menerbitkan surat berharga seperti saham. Agar kegiatan penghimpunan dana tersebut lancar, maka dibutuhkanlah suatu wadah perantara atau intermediasi yang dikenal sebagai pasar modal.
Dalam melakukan investasi di pasar modal, khususnya di pasar saham, investor harus memiliki pemahaman dan analisis yang sangat baik karena pasar saham memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi. Situasi ketidakpastian ini mendorong investor yang rasional untuk selalu mempertimbangkan risiko dan expected return setiap sekuritas. Risiko dan expected return tersebut dapat dinilai berdasarkan informasi kualitatif maupun kuantitatif (Kurniawan, 2000).
Pada saat seorang investor melakukan analisis terhadap perusahaan target investasinya, ia dapat menggunakan berbagai sumber informasi baik yang bersifat historis maupun aktual. Pada umumnya, investor menggunakan data-data historis dalam membuat suatu estimasi. Salah satu bentuk data historis adalah laporan keuangan perusahaan. Investor sangat bergantung pada laporan keuangan yang menyediakan data keuangan utama mengenai perusahaan (Jones, 2004). Investor menggunakan informasi-informasi yang terdapat pada komponen laporan keuangan, yaitu Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan disusun dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna, oleh karena itu mereka sangat bergantung pada laporan keuangan sebagai sumber utama informasi keuangan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan bersifat umum, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi dari setiap pengguna. Namun, karena para investor merupakan penanam modal berisiko maka ketentuan laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan mereka juga akan memenuhi sebagian besar kebutuhan pengguna lainnya. Investor dan manajer investasi berkepentingan dengan risiko dan hasil dari pengembangan investasinya. Pihak-pihak tersebut membutuhkan informasi yang relevan dalam pengambilan keputusan, akan tetapi akses yang dimiliki oleh mereka sangatlah terbatas. Oleh karena itu, investor dan manajer investasi mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi bahwa laporan keuangan perusahaan dapat menyediakan informasi yang mereka butuhkan.
PSAK No 1 menyebutkan bahwa tujuan umum dari laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas yang berguna bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang telah dipercayakan kepada mereka. Oleh karena itu, laporan keuangan sebagai sumber informasi utama dari suatu perusahaan memegang peranan penting bagi investor untuk melakukan analisis risiko dan expected return dari sumber daya yang diinvestasikannya.
Pelaporan keuangan merupakan media komunikasi perusahaan dengan pihak eksternal dan diperlukan oleh berbagai pihak untuk mengambil keputusan. Fokus utama dalam pelaporan keuangan adalah penyajian informasi mengenai kinerja perusahaan yaitu dengan cara mengukur laba dan komponennya. Investor, kreditor, dan pengguna lainnya yang tertarik untuk menilai prospek net cash inflow perusahaan, umumnya tertarik pada informasi ini (Anggono, 2002).
Laporan laba rugi mencakup banyak angka laba, yang terdiri dari laba kotor, laba operasi dan laba bersih. Laba kotor dilaporkan lebih awal dari laba operasi, sedangkan laba operasi dilaporkan sebelum laba bersih. Artinya perhitungan angka laba kotor akan menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan laba operasi; dan perhitungan laba operasi juga menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan perhitungan laba bersih (Daniati dan Suhairi, 2006). Walaupun demikian, semua angka laba tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai ukuran efisiensi manajer dalam mengelola perusahaan.
Pilihan metode akuntansi banyak ditemukan dalam penyusunan laporan laba rugi. Semakin detail perhitungan suatu angka laba maka akan semakin banyak pilihan metode akuntansi yang akan menyebabkan kualitas laba yang diukur dengan koefisien respon laba menjadi lebih rendah (Scott, 2000).
Febrianto (2005) meneliti tentang perbandingan kualitas kandungan informasi antara laba kotor, laba operasi dan laba bersih dengan mengambil sampel perusahaan non-keuangan dan non-asuransi periode 1993-2002. Ketiga angka laba tersebut diuji secara terpisah dengan mengunakan persamaan regresi sederhana. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa angka laba kotor memiliki kualitas laba yang lebih informatif, lebih operatif dan lebih mampu menggambarkan hubungan antara laba dengan harga saham, dibandingkan dengan laba operasi maupun laba bersih. Selain itu Daniati dan Suhairi (2006) juga berhasil membuktikan bahwa laba kotor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap expected return saham. Namun, keterbatasan dalam dua penelitian di atas adalah pengujian laba kotor hanya dilakukan pada industri manufaktur saja, sehingga kemungkinan hasil yang berbeda dapat ditemui pada industri lain yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan industri manufaktur.
Selain laba dan komponennya, indikator kinerja perusahaan dapat dilihat dari arus kas. Sebuah perusahaan yang mampu menghasilkan angka arus kas yang surplus dapat dilihat sebagai salah satu indikator kesuksesan perusahaan. Arus kas merupakan bagian yang penting dalam perusahaan yang ingin beroperasi secara terus-menerus, karena tanpa adanya arus kas, kelangsungan hidup perusahaan akan tersendat-sendat. Dengan demikian, salah satu informasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan adalah bersumber dari laporan arus kas perusahaan (Diyanti, 2000).
Penelitian yang menguji arus kas dilakukan oleh Triyono dan Jogiyanto (2000) dan hasilnya membuktikan bahwa total arus kas tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan harga saham. Namun demikian, pemisahan total arus kas ke dalam tiga komponen arus kas yaitu arus kas dari kegiatan operasi, investasi dan pendanaan membuktikan adanya hubungan yang signifikan dengan harga saham. Pembedaan komponen arus kas seperti yang disyaratkan dalam PSAK No. 2 ternyata memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap return saham.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi laba dan arus kas dapat dijadikan sebagai indikator kinerja perusahaan. Namun, indikator kinerja perusahaan akan menjadi informasi yang kurang lengkap tanpa disertai oleh informasi dalam pengungkapan pos-pos laporan keuangan. Oleh karena itu, pengungkapan menjadi hal yang sangat penting sebelum investor membuat suatu keputusan investasi. Semakin baik kualitas informasi yang diungkapkan maka akan semakin baik pula kualitas investasi yang dihasilkan (Mohammed dan Yadev, 2004). Jika pengungkapan yang dilakukan tidak sempurna, investor akan menghadapi risiko dalam memprediksi return masa depan atas investasi yang mereka lakukan (Barry & Brown, 1986).
Saat ini, kebutuhan terhadap pengungkapan juga semakin tinggi karena berguna untuk menyediakan penjelasan yang lebih lengkap mengenai posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan. Semua materi harus diungkapkan termasuk infomasi kuantitatif dan kualitatif yang akan sangat membantu para pengguna laporan keuangan (Siegel dan Shim, 1994). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi estimasi risiko yang timbul dari estimasi tingkat pengembalian aktiva investor atau distribusi hasil operasi perusahaan (Handa dan Linn, 1993). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi tingkat asimetri informasi. Laporan keuangan yang transparan menyebabkan estimasi investor atas risiko yang ada pada perusahaan rendah, sehingga tingkat expected return oleh investor juga rendah Clarkson (1996) dan Coles (1995).
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan informasi kepada para pengguna untuk membuat keputusan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Dengan semakin pentingnya laporan keuangan perusahaan bagi para pengguna, maka laporan tersebut dituntut untuk dapat mencerminkan kondisi dan prospek masa depan perusahaan. Informasi yang disajikan harus transparan dan dipastikan kewajarannya oleh auditor, sehingga para pengguna laporan keuangan tidak merasa dirugikan. Bagi investor, informasi dalam laporan keuangan digunakan untuk menentukan berapa besar tingkat risiko dan expected return sebelum ia membuat keputusan investasi. Semakin pentingnya informasi dalam laporan keuangan, membuat banyak peneliti tertarik untuk menguji kandungan informasi dalam laporan keuangan.
Penelitian ini akan kembali menguji kandungan informasi pada laporan keuangan. Pada umumnya, penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap abnormal return. Penelitian-penelitian tersebut mengasumsikan expected return sama dengan actual return periode lalu dan memfokuskan penelitian pada ada tidaknya kandungan 'new information' pada laporan keuangan yang disajikan perusahaan dengan melihat signifikansi koefisien hubungan komponen laporan keuangan dengan selisih antara actual return periode berj alan dengan expected return.
Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini akan mengkaji kandungan informasi dari komponen laporan keuangan dengan menganalisis signifikasi koefisien hubungan komponen laporan keuangan tersebut dan expected return. Penelitian ini memandang informasi pada komponen laporan keuangan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi expected return investor. Expected return merupakan suatu bagian return yang penting karena pada saat pertama kali akan membuat keputusan investasi, investor akan selalu membuat suatu estimasi berapa return yang diharapkan atas investasi yang akan dilakukan (Jogiyanto, 2003). Penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap expected return saham ini masih sangat terbatas jumahnya.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan referensi utama dari penelitian yang telah dilakukan oleh Daniati dan Suhairi (2006) yang menguji kandungan informasi dari komponen arus kas, laba kotor dan size perusahaan terhadap expected return saham. Namun berbeda dengan penelitian Daniati dan Suhairi (2006) yang menggunakan sampel perusahaan industri manufaktur (sub industri tekstil dan otomotif) untuk periode 1999-2004, penelitian ini akan menggunakan sampel perusahaan pada industri perbankan untuk periode 2002 -2006. Penelitian ini juga tidak hanya meneliti pengaruh kandungan informasi pada komponen laporan laba rugi dan laporan arus kas, namun juga mengkaji kandungan informasi pada catatan atas laporan keuangan perusahaan, terhadap expected return.

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pendapatan bunga bersih, komponen arus kas dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan memiliki hubungan dengan expected return saham perusahaan di industri perbankan? Penelitian dilakukan atas perusahaan di industri perbankan, yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menguji hubungan kandungan informasi pada komponen laporan keuangan industri perbankan dan expected return saham perusahaan. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut:
1. Menguji hubungan kandungan informasi pada pendapatan bunga bersih pada laporan laba rugi perusahaan perbankan dan expected return.
2. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan operasi pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
3. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan investasi pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
4. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan pembiayaan pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
5. Menguji hubungan kandungan informasi pada pengungkapan pos-pos laporan keuangan perusahaan perbankan dan expected return.

1.4. Manfaat Penelitian
Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan memberikan kontribusi terhadap penelitian akuntansi yang berkaitan dengan elemen-elemen dalam laporan keuangan yang mempengaruhi expected return. Bagi investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti tentang kandungan informasi laporan keuangan dan keterkaitannya dengan expected return, sehingga dapat menjadi masukan sebelum melakukan keputusan investasi khususnya pada perusahaan dalam industri perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Bagi perusahaan perbankan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi gambaran perilaku investor dalam memanfaatkan informasi akuntansi yang disajikan perusahaan. Sedangkan bagi regulator, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi gambaran bagaimana pentingnya standardisasi Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (P3LKEPP) dalam mempengaruhi perilaku investor.

1.5. Sistematika Penulisan Laporan Penelitian
Penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
- BAB I PENDAHULUAN.
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan laporan penelitian.
- BAB II LANDASAN TEORI, STUDI LITERATUR TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
Bab ini menguraikan tinjauan kepustakaan yang berisi berbagai teori dan penelitian terdahulu, serta uraian tentang bagaimana hipotesis dikembangkan dan variabel-variabel apa yang digunakan.
- BAB III METODOLOGI PENELITIAN.
Bab ini membahas secara lebih rinci mengenai metode pengambilan sampel, model penelitian, operasionalisasi variabel dan pengumpulan data dalam penelitian ini.
- BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN.
Bab ini menyajikan pembahasan hasil penelitian. Bab ini juga disertai dengan berbagai hasil tabulasi dan grafik hasil peneltian.
- BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN.
Bab ini mengikhtisarkan hasil penelitian dan implikasi terhadap model penelitian, menjelaskan keterbatasan-keterbatasan selama melakukan penelitian serta saran yang dipandang perlu dan sesuai untuk melakukan penelitian selanjutnya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pemerintah memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Pemerintah harus melakukan pengendalian terhadap kondisi yang tengah terjadi dan mengevaluasinya kemudian merancang suatu aturan untuk membuat perekonomian menjadi lebih baik. Dalam melaksanakan kegiatannya, negara memerlukan adanya aliran dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Dana yang telah diperoleh dari beberapa sektor penerimaan APBN akan digunakan untuk keberlangsungan/pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sektor pendapatan terbesar dalam pos APBN berasal dari penerimaan pajak yang masih potensial untuk terus ditingkatkan penerimaannya. Pajak sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengisi kas negara (budgetair) dan sebagai alat pemerintah untuk mengatur rakyatnya melalui kebijakan fiskal yang ditetapkan (regulerend). Menurut Sakli Anggoro, Dirjen Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo) dan Maluku Utara menyebutkan bahwa pajak masih menjadi urat nadi pembangunan di Indonesia. Sebab, sebanyak 75 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih berasal dari penerimaan sektor pajak (radarsulteng.com, 4 Februari 2010). Hal ini menunjukkan dominannya penerimaan APBN dari sektor pajak guna pembiayaan negara. Sehingga, penerimaan pajak yang optimal akan menyebabkan keberlangsungan negara berjalan dengan baik. Pemerintah harus memiliki manajemen yang baik dalam mengelola sumber dana yang telah diperoleh dari sektor pajak agar penggunaanya berjalan efektif dan efisien sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
Upaya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang optimal dengan sistem pemungutan pajak secara Self Assessment, tidak hanya mengandalkan pemerintah tapi juga diperlukan sikap bijak dari para wajib pajak, yaitu kesadaran dan kepatuhan diri terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan begitu pelaksanaan Self Assessment System dapat berjalan dengan baik. Beberapa kasus mengungkapkan kejadian penyelundupan pajak/tax evasion, yaitu Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan kekurangan pembayaran pajak pada 2007 oleh ketiga perusahaan batu bara Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk., PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. Pemeriksaan bukti permulaan (setara dengan penyelidikan di kepolisian dan KPK) atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun itu menunjukkan ada indikasi kesalahan data, sehingga mengakibatkan kekurangan sekitar Rp 2,1 triliun (Tempo, 12 Desember 2009). Kasus penyelundupan pajak tersebut dilakukan dengan melakukan manipulasi data pada Surat Pemberitahuan Pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak. Hal serupa terjadi juga pada PT Asian Agri Grup. Dari hasil penyidikan Ditjen Pajak, PT Asian Agri Grup disebutkan telah memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak selama tiga tahun sejak 2002. Perusahaan ini menggelembungkan biaya, memperbesar kerugian transaksi ekspor dan menciutkan hasil penjualan dengan total Rp 2,6 triliun (BBCInonesia.com, 8 November 2007).
Selain kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan di atas, Direktorat Jenderal Pajak juga menyidik 46 kasus dugaan penggelapan pajak lainnya pada tahun 2008. Perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Menurut Kepala Subdirektorat Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane, jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun (pajak.com, 12 Mei 2008).
Badan Pemeriksa Keuangan mencurigai aparat pajak bermain dalam dugaan kasus manipulasi pajak Asian Agri. Ketua BPK Anwar Nasution mempertanyakan lamanya pemeriksaan pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap Sukanto Tanoto (pajak.com, 23 Januari 2008).
Fenomena ketidakpatuhan lainnya adalah dengan melaporkan sebagian laporan keuangan perusahaan. Kejadian ini terjadi pada PT Tiara Dewata Group (TDG) yang diduga telah menggelapkan pajak hingga lebih dari Rp23 miliar mulai 2005 sampai 2006 dengan modus membuat pembukuan ganda. Teguh Harianto (ahli perhitungan kerugian negara) mengaku pernah melakukan penghitungan pajak untuk tahun 2005 dan 2006 di PT Karya Luhur Permai sebagai wajib pajak (WP). Dari hasil perhitungan tersebut, ditemukan pajak yang belum dibayarkan wajib pajak meliputi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Dari dua pembukuan itu, hanya pembukuan tipe A yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak (SPT), sedang pembukuan tipe B tidak dilaporkan. Menurutnya, pembukuan tipe A dan tipe B tersebut tidak sesuai prosedur perpajakan. Mestinya semua pembukuan dilaporkan dalam SPT. Sehingga dengan tidak dilaporkannya omset dalam PPh maka secara otomatis akan mempengaruhi PPN (antaranews.com, 2 Desember 2009).
Beberapa penyelundupan pajak yang telah penulis sebutkan hanya yang terjadi di perusahaan dan itu merupakan kehendak petinggi perusahaan yang secara umum akan mewakili badan yang menaunginya berusaha. Namun ada juga penggelapan pajak yang memang tidak dilakukan secara sengaja oleh badannya tetapi dilakukan oleh pekerja yang mengurusi bagian pajak atau juga yang dilakukan oleh aparat pajak itu sendiri. Berikut adalah beberapa kasus penyelundupan pajak yang tidak dilakukan oleh badan usahanya. Penggelapan pajak tunjangan kesejahteraan bagi para guru di Dikdas dan Dikmenti Jakarta Selatan pada Januari 2009 yang dilakukan oleh lima pejabat di Dinas Pendidikan Jakarta Selatan. Mereka diduga telah menggelapkan uang pajak sebesar Rp 23 Miliar, namun setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), uang hasil korupsi gotong royong itu mencapai Rp 34 miliar. Kasus ini mencuat ketika dinas pajak menagih pajak tunjangan kesra guru ke Dikdas Jaksel. Dinas Jaksel kemudian menunjukkan bukti setoran pajak yang ternyata palsu (detik.com, 29 April 2009). Selain itu juga Direktorat Jenderal Pajak mensinyalir terdapat banyak bendaharawan pemerintah dan bendaharawan perusahaan yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungutnya dari wajib pajak (WP) ke kas negara (pajak.com, 25 Mei 2009).
Korupsi yang sistematis dan ketidakmampuan sistem pajak dalam mengontrol jumlah alkohol yang dibutuhkan masyarakat di dalam negeri membuat negara kehilangan potensi penerimaan dari pajak atas impor minuman beralkohol senilai Rp 1,538 triliun. Angka ini 24 kali lebih besar dari Rp 62 miliar penerimaan pajak riil atas impor minuman beralkohol tahun 2008. Dalam laporan itu disebutkan, PT Sarinah sebagai agen tunggal pengimpor minuman beralkohol melaporkan bahwa tidak ada pajak atas impor minuman beralkohol untuk kas negara tahun 2007. Pada tahun 2008, penerimaan dari pajak tersebut hanya Rp 62 miliar, padahal penerimaan potensial dari pajak atas impor minuman beralkohol bisa mencapai Rp 1,6 triliun (kompas.com, 20 April 2009).
Sementara itu, fenomena yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X umumnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di bebarapa wilayah lain di Indonesia seperti masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, tidak menyetorkan pajak yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan konspirasi dengan petugas pajak.
Sedangkan menurut penuturan salah seorang petugas pajak di bagian Seksi Pengawasan dan Konsultasi, upaya penggelapan pajak pernah terjadi melalui permohonan penghapusan NPWP dengan alasan wajib pajak telah meninggal maupun pindah alamat. Namun setelah ditelusuri ternyata wajib pajak masih hidup dan ada juga orang yang pindah alamat tersebut ternyata tidak mendaftarkan diri di tempat tinggal yang baru.
Hal utama yang melatarbelakangi adanya tindakan penyelundupan pajak seperti beberapa kejadian di atas adalah kebutuhan dasar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Merasa telah bersusah payah untuk memperoleh pendapatan tetapi dengan begitu saja dipungut pajak oleh negara, ini membuat wajib pajak berpikir untuk menggelapkan pajak. Beberapa alasan lain yang membuat wajib pajak berusaha menyelundupkan pajak antara lain kondisi lingkungan yang tidak patuh pajak, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tarif pajak yang dianggap terlalu tinggi, dan sistem administrasi perpajakan yang buruk (Siti Kurnia Rahayu, 2010:140-142).
Adanya tindakan penyelundupan pajak yang terjadi akan membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Banyak sektor pengeluaran negara yang tentunya mengalami hambatan akibat tidak tersedianya dana yang siap digunakan.
Penyelundupan pajak harus sesegera mungkin diatasi untuk mencegah makin menjamurnya tindakan Tax Evasion. Salah satunya adalah dengan perbaikan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus lebih ditingkatkan untuk menaikkan penerimaan pajak yang belum terserap maksimal karena sistem perpajakan yang belum berlangsung secara optimal. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu Self Assessment System dan With Holding Tax System. Self Assessment System memberikan kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan utang pajaknya sendiri, kemudian melaporkan pembayaran dan penghitungan pajak yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia Rahayu, 2010:102). Pelaksanaan Self Assessment System di Indonesia masih banyak menimbulkan masalah mulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT. Fenomena yang terjadi yaitu Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak tampaknya harus lebih rajin menjelaskan tentang Sunset Policy kepada para Wajib Pajak pribadi maupun badan. Sebab, saat ini masih banyak wajib pajak yang enggan membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memperbaiki data Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) (pajakonline.com, 26 Agustus 2008). Kemudian sulitnya menghitung pajak, merupakan salah satu yang sering dikeluhkan masyarakat bila berhubungan dengan kantor pajak. Bukan hanya wajib pajak (WP) orang pribadi, wajib pajak badan juga mengalami hal yang sama (akuntansiumkm.wordpress.com, 18 February 2010).
Fenomena lain yang memberikan persepsi sulitnya pemenuhan Self Assessment System yaitu tanggapan wajib pajak mengenai pelaporan pajak. Pertama, wajib pajak sendiri harus isi beberapa berkas surat lapor pajak. Yang mungkin bagi pelapor pajak baru membingungkan. Karena pemerintah tidak menyediakan orang yang memadai untuk menjelaskan cara pengisian tersebut, yang paling mudah adalah meminta jasa konsultan pajak. Kedua, harus mengantri untuk menyetorkan pajak. Bank penerima pajak masih terbatas pada bank-bank tertentu, sehingga menimbulkan antrian yang panjang. Ketiga, keterlambatan membayar pajak dikenakan denda tambahan (fb republic of Indonesia, 25 April 2009).
Banyak orang yang malas jika harus berurusan dengan pajak. Selain rumit dan berbelit, sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak aparat pajak yang cenderung menekan wajib pajak yang kurang paham atas kewajibannya itu. Salah satu yang kerap menjadi sasaran adalah para wajib pajak dengan usaha bebas seperti pedagang, dokter, notaris, konsultan, pemilik peternakan, petani tembakau, kopi dan banyak lagi (pajakpribadi.com, 13 Maret 2010).
Berdasarkan pengakuan beberapa wajib pajak KPP Pratama X, ditemukan keluhan lain yang bisa dikatakan merupakan pangkal masalah dalam pelaksanaan Self Assessment System, yaitu kurangnya sosialisasi kewajiban perpajakan yang sesuai ketentuan. Masyarakat merasakan bahwa mereka tidak tahu berbuat apa untuk melakukan kewajibannya karena tidak punya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan.
Pasca reformasi si stem pemungutan pajak dari Official Assessment menjadi Self Assessment pada tahun 1984, negara menginginkan adanya reformasi di bidang perpajakan. Tujuan dari reformasi perpajakan antara lain: 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (taxpayer's quality services) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara. 2) Menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak. 3) Meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya. 4) Menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaanpengeluaran dana pajak. 5) Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun wajib pajak (Siti Kurnia Rahayu, 2009:99). Dari tujuan di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya, pemberlakuan self assessment system dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menekan terjadinya penyelundupan pajak. Namun setelah adanya perubahan sistem pemungutan pajak tersebut, kesempatan wajib pajak dalam upaya menyelundupkan pajak semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam self assessment system, wajib pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya dimulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sehingga usaha wajib pajak dalam melepaskan diri dari jeratan pajak dengan berbagai cara semakin leluasa karena semuanya dilakukan oleh sendiri.
Kemudian, hasil survey dari Tim Peneliti Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch (2000) menyebutkan bahwa dari pandangan Dirjen Pajak sendiri, self assessment sebenarnya juga mempunyai beberapa kekurangan seperti: a) Sistem ini ternyata kurang berhasil. Banyak yang tidak jujur dalam melaporkan besarnya penghasilan yang diperoleh, khususnya WP Perseorangan. Karena sangat banyak jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan sebagai obyek pajak, b) Ketidaksuksesan sistem ini terlihat juga dari meningkatnya jumlah tunggakan pajak, meskipun WP sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar jumlah pajak tersebut, c) Untuk memaksa WP berlaku jujur, UU Perpajakan perlu memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar. Namun sistem self assessment tetap dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai masalah tersebut dengan judul:
"Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Pelaksanaan Self Assessment System Dalam Keterkaitannya Dengan Tindakan Tax Evasion Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X (Kasus Pada 23 Wajib Pajak Orang Pribadi Penerima SKPKB)".

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan fenomena di latar belakang penelitian, maka penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Masyarakat enggan untuk membuat dan memiliki NPWP
2. Wajib pajak kesulitan menghitung pajak
3. Wajib pajak belum terakomodir dalam menyetorkan pajak
4. Wajib pajak kesulitan dalam proses pelaporan SPT
5. Kurangnya sosialisasi perpajakan mengenai kewajiban wajib pajak dalampelaksanaan Self Assessment System
6. Fiskus tidak menjalankan tugasnya dengan baik
7. Wajib pajak tidak menyampaikan SPT dengan benar
8. Bendaharawan perusahaan/pemerintah menggelapkan pajak
9. Konspirasi antara wajib pajak dengan aparat pajak
10. Penerapan Self Assessment System membuat tindakan Tax Evasion terjadi.
1.2.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Bagaimana tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion dengan mengumpulkan data dan informasi yang kemudian dianalisa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Untuk mengetahui tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Akademis
Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat secara akademis sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian diharapkan dapat memberi pemahaman teoritis lebih mendalam mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion serta mengetahui bagaimana aplikasinya di kehidupan nyata sehingga dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat.
2. Bagi Instansi
Hasil penelitian dapat memberikan pandangan dan masukan KPP Pratama X mengenai persepsi wajib pajak atas pelaksanaan Self Assessment System dan tindakan Tax Evasion.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang kajian yang sama, yaitu Self Assessment System dan Tax Evasion.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi yang berguna bagi pelaksanaan Self Assessment System dan tentang Tax Evasion sehingga untuk perkembangan selanjutnya menjadi semakin baik.

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya Indonesia menganut sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik yang ternyata hanya menimbulkan ketidakadilan di seluruh daerah, sejak tahun 1999 diubah menjadi desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era otonomi daerah. Ketika otonomi daerah mulai digulirkan, harapan yang muncul adalah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing karena daerah diberikan kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Selain itu daerah juga diberikan sumber-sumber pembiayaan kewenangan yang sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Kemandirian daerah tersebut dimanifestasikan lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan kuat.
Sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain Penerimaan yang Sah
Gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya, disamping mampu pula untuk bersaing secara sehat dengan daerah lain dalam mencapai cita-cita otonomi daerah. Untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dapat dilakukan degan membandingkan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanj a Daerah (APBD).
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam upaya meningkatkan PAD, dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta objek pajak dan retribusi yang taat. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat sebaliknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Menurut data tabel 1.1 diatas terlihat bahwa Pajak Daerah selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada pos Retribusi Daerah tahun 2001 dan 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi pada tahun 2004 dan 2005, setelah itu menurun lagi pada tahun 2006. Pada pos Bagian Laba BUMD dari tahun 2001 hingga 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya terutama pada tahun 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sementara pada pos PAD Lain-lain yang Sah meningkat hingga tahun 2003 kemudian pada tahun 2004 dan 2005 terus mengalami penurunan, lalu pada tahun 2006 meningkat lagi. Sedangkan untuk PAD sendiri secara total di tahun 2004 terjadi penurunan yang mencapai 20,82% namun pada tahun 2005 dan 2006 kembali mengalami peningkatan sebesar 21,73% dan 7,77%.
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa DAU yang berasal dari pemerintah pusat setiap tahunnya menunjukkan peningkatan, walaupun pada tahun 2003-2004 tidak mengalami perubahan atau dengan kata lain nilainya tetap. Tentunya hal ini tidak diinginkan sebab DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat lainnya sebaiknya hanya bersifat suplemen bagi Pemerintah Daerah X. Oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mengurangi ketergantungan aliran dana yang diperoleh dari pemerintah pusat maka daerah harus mampu menggali sumber-sumber potensial yang berasal dari daerahnya sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ironisnya terjadi ketidakstabilan laju pertumbuhan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintahan Kota X. Hal ini tentunya tidak diinginkan mengingat salah satu ukuran kemandirian suatu daerah di daerah otonomi adalah ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga penulis membahasnya dalam skripsi yang berjudul: "Pengaruh Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) Pada Pemerintahan Kota X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah adalah:
1. Apakah Pajak Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
2. Apakah Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
3. Apakah Bagian Laba BUMD berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
4. Apakah Lain-lain PAD yang Sah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
5. Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?

C. Batasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD Yang Sah.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Retribusi Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Bagian Laba BUMD terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Lain-lain PAD yang Sah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
5. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang analisis laporan keuangan daerah dalam era otonomi daerah.
2. Memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di dalam pengambilan keputusan penetapan skala prioritas penggalian sumber pendapatan yang bersumber dari PAD.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penulis lainnya yang akan melakukan atau melanjutkan penelitian yang sejenis dengan penelitian ini.


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri. Dalam peningkatan dana dalam negeri, pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia
Ditengah kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi yang mana hal ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi di Amerika Serikat yang berdampak terhadap terciptanya krisis ekonomi global yang makin memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Berfluktuasinya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kenyataanya ditengah situasi ekonomi Indonesia dewasa ini yang tidak stabil, pembangunan tetap harus berjalan dan permasalahan-permasalahan baik di bidang ekonomi ataupun di bidang lain harus segera diatasi dengan cepat dan tepat demi terciptanya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan bemsaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Menumt APBN sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Hal ini bisa dibuktikan saat negara kita dilanda krisis berkepanjangan sampai saat inipun masih diragukan apakah negara kita bisa menumbuhkan keadaan perekonomian, sektor pajak masih tetap memiliki nilai besar bahkan mengalami kenaikan serta menembus sampai pada prosentase terbesar dari sektor non migas sementara sektor non migas cendemng mengalami penumnan dan juga bantuan luar negeri yang bunganya bisa membesar seiring fluktuasi mata uang dolar terhadap mpiah. Diharapkan pemasukan dari pajak terns dinaikkan salah satunya dengan mengadakan kebijakan-kebijakan bam seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan obyek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, suatu misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat, sunset policy, dan sebagainya.
Wilayah X khususnya ibukota Y memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkatkan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan. Y sebagai salah satu kota besar di Indonesia menyumbangkan lebih kurang 100 miliar setiap tahunnya dari sektor perpajakan saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta berkembangnya perekonomian di kota Y, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penerimaan negara.
Pajak merupakan iuran wajib yang diberlakukan pada setiap wajib pajak atas obyek pajak yang dimilikinya dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama.
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan adalah Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan bagi Undang-undang No. 17 tahun 2000. Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Dengan sistem ini pemerintah berharap agar pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan dapat berjalan dengan lebih mudah dan lancar.
KPP Pratama X adalah salah satu Kantor Pelayanan Pajak yang telah melaksanakan sistem adminisrasi, pelayanan, maupun situasi kerja yang baik dan memiliki wilayah kerja yang luas meliputi beberapa kecamatan. Berdasarkan berbagai kondisi yang ada, tampaknya wilayah X mempunyai potensi yang cukup bagus untuk meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan target penerimaan yang ingin dicapai, oleh karena itu keberadaan KPP di X sangatlah penting untuk dapat meyerap semua potensi penerimaan pajak yang ada.
Dengan argumen-argumen tersebut maka penulis menetapkan judul bagi penulisan skripsinya yaitu: "Pengaruh Self Assessment System Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X"

B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : "Apakah NPWP dan SSP PPh Pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X ?"

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah NPWP dan SSP PPh pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dihaarapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis sehubungan dengan pengaruh self assessment system terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Bagi instansi terkait, sebagai bahan informasi pelengkap atau masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang yang
berhubungan dengan penelitian ini dalam penetapan kebijakan pada pelaksanaan atau penggunaan suatu sistem pemungutan yang diterapkan pada Pajak Penghasilan untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak negara.
3. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.

E. Batasan Penelitian
Untuk mengarahkan penelitian agar lebih terfokus serta sistematis maka peneliti membatasi penelitian ini pada batasan, yaitu :
1. Batasan Aspek
Aspek penelitian ini terbatas pada self assessment system yang dicirikan oleh NPWP dan SSP PPh Pasal 25 terhadap variabel penerimaan pajak penghasilan pada Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Batasan Lokasi
Batasan lokasi penelitian adalah pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
| |




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh keuntungan investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri.
Kondisi yang dihadapi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia masih lemah dalam mengelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengumsan perusahaan. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan.
Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan good corporate governance (GCG) suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan penandatanganan perjanjian Letter of intent (LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia (Sri Sulistyanto, 2003). Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah GCG kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan.
Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global-terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, sistem regulatory yang payah, standar akuntansi dan audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman GCG. Pedoman ini bertujuan agar dunia bisnis memiliki acuan dasar mengenai konsep serta pola pelaksanaan GCG yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan Indonesia khususnya. Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanannya kepada stakeholders, (2) perusahaan lebih mudah memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value, (3) mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
Melihat akan harapan tersebut, maka kebutuhan akan pelaksanaan GCG sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi suatu perusahaan. Sehingga menjadi keharusan bagi perusahaan-perusahaan untuk menerapkan dan melaksanakan GCG agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Manfaat perusahaan menerapkan praktek GCG adalah resources yang dimiliki pemegang saham perusahaan dapat dikelola dengan baik, efisien dan digunakan semata-mata untuk kepentingan peningkatan nilai perusahaan. Semua itu dilakukan perusahaan untuk dapat maju dan bersaing secara sehat. Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif terhadap pemegang saham namun bagi masyarakat luas yang berupa pertumbuhan perekonomian nasional.
Beberapa bukti empiris yang menunjukkan bahwa penerapan GCG dapat memperbaiki kinerja perusahaan antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Winda Putri (2006) terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ menunjukkan corporate governance secara statistik mempengaruhi kinerja perusahaan, (2) Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Pranata (2007) terhadap perusahaan go public di BEJ yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar perusahaan berdasarkan indeks GCG menunjukkan bahwa penerapan GCG secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin dan Tobin's Q, (3) Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Frediawan (2008) terhadap PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero) menunjukkan bahwa penerapan GCG yang dilakukan perusahaan tersebut mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilihat dari meningkatnya rasio return on asset. Namun ada penelitian lain yang dilakukan oleh Irene Dumasi Siahaan (2008) terhadap sepuluh perusahaan sektor keuangan yang listing di BEI menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan economic value added.
Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, walaupun ada ketidakkonsistenan tampak bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan GCG dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai "Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Yang Termasuk Kelompok Sepuluh Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI)". Kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan return on investment, return on equity dan net profit margin.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apakah penerapan GCG berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial.

D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh penerapan GCG di Indonesia; khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan,
2. bagi peneliti lainnya, dapat dijadikan bahan referensi guna penelitian selanjutnya yang sejenis,
3. bagi akademisi, dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai penerapan GCG di Indonesia, khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan (return on investment, return on equity, dan net profit margin),
4. bagi investor, dapat memberikan bahan masukan untuk pengambilan keputusan mengenai investasi pada perusahaan yang telah menerapkan GCG.
| |


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004) menjadi babak baru terkait dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya di indikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa dalam perkembangannya daerah tidak menunjukkan adanya peningkatan kemandiran. Penelitian Susilo dan Adi (2007), serta Setiaji dan Adi (2007) memberikan fakta empirik tidak adanya peningkatan kontribusi {share) PAD terhadap belanja daerah. Daerah justru lebih mengandalkan sumber pendanaan lain dalam pembiayaan. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa DAU mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Daerah cenderung mempertahankan penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Adi (2007) memberikan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Bisa jadi sebagai pertimbangan praktis upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, namun disisi lain sebagai konsekuensinya DAU yang diterima menjadi lebih kecil. Dengan kata lain pemberian DAU ini justru memberikan dampak negatif terhadap peningkatan upaya pajak (tax effort) daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi disparitas horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal. Upaya pajak menjadi lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi semakin jauh.
Demikian juga dengan kondisi pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi X, belum ada satupun pemerintah daerah yang mampu untuk mengelola keuangan daerahnya tanpa bantuan pemerintahan diatasnya, ditandai dengan besarnya penerimaan daerah yang bersumber dari transfer pemerintah pusat. Contoh kasus seperti di Kabupaten Y tahun 2005 memperoleh Dana Alokasi Umum sebesar Rp 188.714.000.000, Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 8.000.000.000, upaya pajaknya sebesar 0.921964456. Pada tahun 2006 jumlah DAU sebesar Rp 303.501.000.000, DAK sebesar Rp 32.378.383.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.716681908. Tahun 2007 jumlah DAU yang diterima sebesar Rp 344.516.000.000, DAK sebesar Rp 39.038.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.473153896. Upaya pajak dapat dihitung dengan membandingkan realisasi anggaran PAD dan Anggaran PAD. Berdasarkan contoh kasus diatas terlihat penerimaan DAU dan DAK dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi disisi lain tidak diikuti oleh peningkatan upaya pajak. Hal ini tidak sesuai dengan harapan bahwa pemberian DAU untuk mengatasi disparitas fiskal horizontal. Daerah cenderung bergantung pada DAU yang jumlahnya sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerahnya. Kenyataannya, belum semua pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber penerimaan ini sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan kemampuan daerah dalam mengembangkan wilayahnya melalui peningkatan pembangunan dan investasi. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah pada akhirnya tidak menjadi lebih mandiri, bahkan semakin bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul:
"PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : "Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap Upaya Pajak {Tax Effort) Daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi X?"

C. Batasan Penelitian
Batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. batasan aspek dalam penelitian ini, hanya terhadap akuntansi keuangan daerah saja untuk menjelaskan pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Upaya Pajak Daerah.
2. objek penelitian adalah kabupaten dan kota yang ada di Provinsi X

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap upaya pajak daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi X.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang pengaruh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap upaya pajak daerah pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi X.
2. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam hal penggunaan keuangan daerah dengan optimal.
3. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk melakukan penelitian lainnya yang sejenis.
| |


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa lepas dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratisasi, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik
Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang secara demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang sesungguhnya. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah (Pramela, 2009).
Otonomi daerah yang diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Soekarwo, 2003:93). Dalam pelaksanaan otonomi tersebut pemerintah daerah harus memiliki wewenang dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, serta didukung oleh perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Dalam konteks desentralisasi, daerah provinsi memiliki wewenang sebagaimana pemerintah pusat. Wewenang tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dan keputusan kepala daerah.
Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum, yang dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Lingkungan anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah karena hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah yaitu sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.
Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik dalam era desentralisasi fiskal. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila upaya serius dari pemerintah untuk memberikan fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini, dalam hal ini erat kaitannya dengan belanja langsung. Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan bam, dikarenakan tingkat kesiapan fisakal daerah yang berbeda-beda.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Di samping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan Iain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari pemerintah pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel. Pemerintah dalam perkembangannya memberikan dana perimbangan untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar. Salah satu komponen dana perimbangan tersebut adalah dana alokasi umum.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, adanya konsekuensi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah merupakan cermin kemandirian suatu daerah dan penerimaan murni daerah yang merupakan modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Dalam menjalankan otonomi daerah kabupaten/kota di X dituntut untuk mampu meningkatkan PAD yang merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah.
Hampir semua provinsi dan kabupaten dan kota di Indonesia memiliki masalah ketimpangan fiskal. Provinsi X yang terdiri atas 19 kabupaten/kota merupakan salah satu provinsi yang memiliki masalah ketimpangan fiskal dalam sumber pendanaan dari PAD pada beberapa kabupaten dan kota. Ketimpangan fiskal dalam hal ini daerah tidak mampu mencukupkan belanja dan biaya daerah melalui sumber pendanaan asli daerah secara murni. Dengan demikian, tingkat ketergantungan pemerintah daerah cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.
Fenomena utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kontribusi DAU dan PAD terhadap Belanja Langsung. Total DAU dan PAD di provinsi X terus meningkat dari tahun ke tahun dan bersamaan dengan itu terjadi pula peningkatan belanja langsung.

* tabel sengaja tidak ditampilkan

Melihat semakin meningkatnya jumlah DAU dan PAD dari tahun ke tahun yang diiringi dengan peningkatan belanja langsung yang ada di provinsi X maka penulis ingin melihat apakah peningkatan DAU dan PAD tersebut berpengaruh terhadap peningkatan belanja langsung.
Terkait dengan hal ini, Sihite (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai pengaruh terhadap belanja langsung dengan sampel pemerintahan kab/kota di X. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara parsial DAK, PAD dan DBH masing-masing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama. Penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dimana penggunaan sampel penelitian hanya terbatas pada kab/kota di X. Oleh karena keterbatasan penelitian terdahulu tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian replikasi dengan mengambil sampel pada pemerintahan kab/kota di X.
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul "Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota Di X."

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian yang akan dibahas adalah : "Apakah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Langsung secara simultan maupun parsial di Pemerintah Kabupaten/Kota di X?"

C. Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi cakupan penelitian, yaitu:
a. Batasan aspek dalam penelitian ini, hanya mencakup Akuntansi Keuangan Daerah saja dengan melihat DAU, PAD dan Belanja Langsung sebagai salah satu kriteria kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota di X dalam melaksanakan otonomi daerah.
b. Batasan lokasi dalam penelitian ini adalah hanya pada 10 Kabupaten/Kota di X.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Langsung secara simultan maupun parsial di Pemerintahan Kabupaten/Kota di X.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
a. Bagi Peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh dana alokasi umum dan pendapat asli daerah terhadap belanja langsung di Pemerintah Kabupaten/Kota di X.
b. Bagi kabupaten dan kota, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk melihat kemampuan daerah mengelola sumber daya dan untuk digunakan membiayai aktivitas Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun APBD.
c. Bagi peneliti lainnya, dapat menjadi bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.

E. Kerangka Konseptual dan Hipotesis
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan sistensi atau ekstrapolasi dari tinjauan teori yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta memmuskan hipotesis. Jadi kerangka konseptual berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi yang menjadi dasar perumusan variabel penelitian dan merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau pun masalah yang ada dalam peneliti.
Penelitian ini menggunakan dua variabel independen yaitu DAU (X1) dan PAD (X2) serta satu variabel dependen yaitu belanja langsung (Y). DAU dan PAD merupakan sumber dana yang mencirikan otonomi daerah yang sesungguhnya yang di alokasikan sebagian untuk belanja langsung.
2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis menurut Erlina (2007:41), menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam hubungan preposisi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : DAU berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota di X
H2 : PAD berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota di X.
H3 : DAU dan PAD secara bersama-sama berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintahan Kabupaten/Kota di X.
| |


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.
Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan dan lebih mendekatkan fungsi pemerintahan kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang dirancangkan pemerintah pusat tangal 1 januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan percepatan pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh Bratakusumah dan Solihin (2004) :
"Bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan saran serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutukan regulasi dalam manajemen keuangan pemerintah yang profesional".
Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan PP.No 105 Tahun 2005 Tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Pendekatan Kinerja.
Melalui PP.No 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang sekarang telah diganti menjadi Permendagri No. 13 tahun 2006, Pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar. Perubahan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam PP No. 105 tahun 2000 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur APBD. Selain itu, laporan Pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang terdiri dari empat instrumen, yaitu neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan APBD dan nota Perhitungan APBD.
Perubahan juga dapat dilihat pada Anggaran Rutin Pembangunan Pemerintahan daerah Kabupaten X sebelum dan sesudah menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja pada tahun 2001 (sebelum) dan 2003 (sesudah) yang tersaji pada tabel 1.2 sebagai berikut:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumbersumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Konsep kinerja pemerintah daerah yang merupakan otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).
Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan bam yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.
Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD diharapkan menjadi lebih partisipatif. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pasal 17 ayat 2, yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasioanal dibidang keuangan daerah. Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat.
Undang-undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik, tetapi dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tersebut masih banyak pemerintah daerah yang mengalami kesulitan karena kurangnya pelatihan dan pendampingan dari pemerintah pusat. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa belanja aparatur lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Rencananya tahun depan Permendagri 13/2006 sudah akan mulai efektif dilaksanakan.
Peneliti memilih judul pemerintahan daerah kabupaten X sebagai Objek penelitian karena telah diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja di pemerintah ini. Sistem ini hendaknya semakin baik hingga dapat sejalan dengan peningkatan kinerja pemerintahan. Tetapi masih terdapat pertentangan tujuan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Anggaran yang disusun sangat erat kaitannya dengan publik (masyarakat). Pemerintahan daerah dituntut untuk mampu mengelolah keuangannya dengan prinsip pengukuran kinerja (value for money). Hal ini penting untuk dievaluasi mengingat sudah banyaknya peraturan tertulis yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat sampai pada kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Realisasi dari anggaran berbasis kinerja diharapkan mampu menghilangkan pandangan negatif masyarakat mengenai kinerja pemerintahan daerah. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu Apakah Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Berpengaruh Terhadap peningkatan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: "apakah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja keuangan daerah kabupaten X?"

C. Batasan Penelitian
Kinerja keuangan pemerintahan daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan non finansial. Dalam penelitian ini hanya dianalisis berdasarkan aspek non finansial yaitu Kinerja manajerial dengan menganalisis SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdapat pada Pemerintahan Daerah X.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi Penulis
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam bidang akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan pemberlakukan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan daerah.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X
Penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan sebagai tambahan bahan referensi juga perbaikan kinerja keuangan dimasa yang akan datang.
3. Bagi Fakultas Ekonomi Universitas X
Sebagai bahan referensi dan bacaan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
4. Bagi Pihak Lain
Sebagai bahan perbandingan yang berguna dalam menambah pengetahuan, khususnya yang berminat dengan pembahasan mengenai pengaruh anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan Pemerintah daerah.
| |


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sistem Pengendalian Manajemen adalah suatu sistem yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi anggota organisasi yang lain guna melaksanakan strategi perusahaan secara efektif dan efisien. Struktur sistem pengendalian manajemen meliputi pusat pertanggungjawaban dan ukuran prestasinya. Proses sistem pengendalian manajemen meliputi penyusunan program, anggaran, pelaksanaan dan pengukuran serta pelaporan dan analisis (Mulyadi, 1990: 26).
PERUM Pegadaian Kantor Wilayah X merupakan pusat biaya (cost center) yang prestasi manajernya diukur berdasar efisiensi antara anggaran yang diusulkan dengan realisasi anggaran. Menurut Anthony, Dearden, dan Bedford, cost center adalah pusat pertanggungjawaban yang masukan atau biayanya diukur dalam satuan uang tetapi keluaranya tidak diukur dalam satuan uang. Secara umum ada dua macam cost center yaitu pusat biaya yang besarnya terukur (engineered expense centers) dan pusat biaya yang kurang dapat diukur (discresioner expense centers).
Penetapan biaya terukur dan tidak terukur dilakukan dengan menyusun anggaran dan rencana kerja yang digunakan untuk periode satu tahun ke depan atau jangka panjang. Rencana kerja yang disusun harus dapat mencerminkan langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Rencana kerja dan anggaran perusahaan merupakan arah dan pedoman kerja sekaligus sebagai alat pengendalian atau pengawasan kegiatan yang dijalankan. Sebagai pedoman dan alat pengendalian maka rencana kerja dan anggaran perusahaan harus disusun dengan melibatkan seluruh bidang dan fungsi yang ada dalam perusahaan. Perusahaan dalam menyusun rencana kerja dan anggaran hal pertama yang dilakukan adalah penyusunan rencana kerja, sedangkan anggaran perusahaan hanya merupakan rencana kerja yang dituangkan dalam bentuk angka dan uang.
Keputusan yang harus diambil oleh manajemen dalam rangka penyusunan anggaran biaya terukur berbeda dengan keputusan yang diambil apabila menyusun biaya tidak terukur. Manajemen harus memutuskan apakah anggaran operasional yang diusulkan dapat menggambarkan pelaksanaan tugas yang efisien dan memadai untuk periode yang akan datang.
Anggaran yang disusun atau dibuat sebaiknya tidak terlalu optimis ataupun terlalu pesimis. Anggaran yang dibuat terlalu optimis membuat manajemen terlalu berat untuk mencapainya sehingga manajemen yang menjalankan anggaran tersebut merasa frustasi. Sebaliknya anggaran yang dibuat terlalu pesimis berdampak pada pelaksana anggaran merasa malas menjalankan anggaran yang disusun karena anggaran yang disusun terlalu mudah dicapai.
Manajemen dalam mempersiapkan rencana anggaran sebaiknya berhati-hati supaya tidak menyertakan data yang tidak relevan yang justru akan mengaburkan informasi penting yang dibutuhkan oleh manajemen untuk mengambil keputusan.
Manajemen dapat memperoleh data yang relevan dengan cara melakukan analisis data yang telah diperoleh terlebih dahulu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara anggaran dengan kinerja manajerial adalah motivasi, target anggaran, kepuasan terhadap target anggaran, komitmen terhadap perusahaan, informasi, sikap manajer, umpan balik laporan realisasi anggaran, balas jasa, gaya kepemimpinan dan budaya. Anggaran disusun untuk jangka waktu lebih pendek dengan maksud lebih mudah dalam pengendaliannya. Di samping itu fungsi anggaran dapat terlaksana dengan benar apabila syarat-syarat tercapainya anggaran yang baik telah terpenuhi.
PERUM Pegadaian merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berkantor pusat di Jakarta, memiliki empat belas kantor wilayah dan 711 kantor cabang yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Setiap kantor wilayah memiliki beberapa kantor cabang tersebar di wilayahnya masing-masing.
Kantor pusat dalam melakukan kegiatan usaha melimpahkan wewenang kepada kantor daerah guna mengelola perusahaan yang ada di wilayahnya masing-masing. Kantor wilayah tidak melakukan kegiatan operasional tetapi kegiatan operasional dilakukan oleh kantor cabang. Kantor cabang merupakan ujung tombak perusahaan karena kantor cabang menjalankan kegiatan usaha untuk mendapatkan pendapatan dengan melakukan gadai.
Salah satu kantor wilayah yang dimiliki oleh PERUM Pegadaian adalah Kantor Wilayah X yang memiliki 53 cabang dan 1 anak cabang yang tersebar di wilayah X. Kantor wilayah tidak melakukan kegiatan operasional sehingga prestasi kerja kantor wilayah tidak dapat diukur dari pendapatan atau masukan yang dihasilkan, tetapi berdasarkan biaya atau keluaran yang dilakukan.
Setiap tahun kantor wilayah diberi wewenang menyusun rencana kerja dan anggaran untuk dikirim ke kantor pusat. Kantor pusat kemudian membahas usulan anggaran tersebut dalam Rakernas bersama-sama dengan pemimpin wilayah untuk melakukan negosiasi anggaran yang diusulkan. Hasil negosiasi antara pemimpin wilayah dan jajaran direksi adalah otorisasi anggaran yang dikelola kantor wilayah. Setiap bulannya kantor wilayah mengirimkan realisasi anggaran sebagai bentuk pertanggungjawabkan ke kantor pusat. Realisasi anggaran selama satu tahun yang terjadi akan diketahui apakah anggaran yang diusulkan kantor wilayah dengan realisasinya menyimpang jauh atau tidak.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Apakah anggaran dan realisasinya dapat dijadikan alat yang efektif sebagai penilaian prestasi kantor wilayah?
2. Apakah kantor wilayah telah diberikan kewenangan penuh untuk mengelola anggaran yang telah ditetapkan dalam pembentukan pusat biaya?
3. Apakah dalam pelaksanaan anggaran sudah memenuhi syarat-syarat terciptannya anggaran yang baik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Guna mendalami teori tentang syarat-syarat terciptanya anggaran yang baik sebagai alat pengendalian manajemen dan membandingkannya dengan praktek yang berlaku pada Kantor Wilayah PERUM Pegadaian X.
2. Melihat sejauh mana pelaksanaan analisis anggaran dibandingkan dengan realisasinya di kantor wilayah telah dievaluasi dengan baik.
3. Manfaat penelitian bagi penulis adalah untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar sarjana ekonomi jurusan akuntansi pada Fakultas Ekonomi X.

D. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut.
1. Jenis penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan penelitian dengan mengambil suatu obyek tertentu untuk dianalisis secara mendalam dengan memfokuskan pada suatu masalah berdasarkan data primer untuk kemudian berusaha mencarikan alternatif penyelesaian masalah tersebut. Studi kasus dilakukan di PERUM Pegadaian Kantor Wilayah X.
2. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara
Pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan pejabat terkait dan karyawan sehubungan dengan pembahasan serta dokumen yang diperlukan.
b. Observasi
Memperoleh data dengan pengamatan langsung pada sistem anggaran di Kantor Wilayah PERUM Pegadaian X.
3. Sumber data
Sumber data yang menjadi bahan penelitian adalah data primer.
4. Jenis data
Data yang diperlukan untuk penelitian adalah seperti berikut ini.
a. Informasi umum perusahaan.
b. Struktur organisasi.
c. Sistem akuntansi.
d. Pengukuran prestasi manajemen.
e. Proses penyusunan anggaran.
5. Analisis data
Analisis data dilakukan berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat terciptanya anggaran yang baik menurut Mulyadi dan Supriyono (2001: 95) sebagai berikut.
a. Adanya organisasi perusahaan yang sehat.
b. Adanya sistem akuntansi yang memadai.
c. Adanya penelitian dan analisis.
d. Adanya dukungan pelaksana.

E. Kerangka Pemikiran
Pusat biaya adalah pusat pertanggungjawaban yang masukan atau biayanya diukur dalam satuan uang tetapi keluarannya tidak diukur dalam satuan uang, yang terbagi dalam dua macam pusat biaya yaitu pusat biaya yang besarnya terukur dan pusat biaya yang nilai pengeluarannya kurang dapat diukur (Anthony et al., 1992: 206).
Anggaran adalah rencana manajemen dengan asumsi bahwa langkah positif akan diambil oleh pelaksana anggaran. PERUM Pegadaian Kantor Wialayah X dalam penyusunan anggaran sistematikanya dapat diuraikan sebagai berikut: kantor wilayah menyusun Rencana Kerja Anggaran Perusahaan untuk dikirimkan ke kantor pusat dengan terlebih dahulu mengadakan Rakerda untuk membahas usulan anggaran tersebut, kemudian kantor pusat dalam hal ini jajaran direksi dengan pemimpin wilayah masing-masing daerah melakukan negosiasi berdasar usulan anggaran, setelah dicapai kata sepakat kantor pusat mengirimkan otorisasi anggaran ke kantor wilayah untuk melaksanakan otorisasi anggaran tersebut, kemudian setiap bulan kantor wilayah mengirimkan realisasi anggaran yang menjadi tanggungjawabnya.

F. Sistematika Penulisan Skripsi
Gambaran secara ringkas mengenai sistematika penulisan skripsi sebagai berikut ini.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka pemikiran, serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian tentang pengertian pengendalian manajemen, sistem pengendalian manajemen, dan anggaran.
BAB III : GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Bab ini berisi tentang gambaran umum perusahaan yang meliputi sejarah perusahaan, struktur organisasi perusahaan dan perkembangan perusahaan serta cara penyusunan anggaran.
BAB IV : ANALISIS ANGGARAN BIAYA SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN MANAJEMEN
Bab ini berisi tentang analisis anggaran biaya sebagai alat pengendalian manajemen.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang seharusnya dilakukan.
| |

BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang Masalah
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Guna menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.
Namun selain standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari manajemen (Agen) untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik baik diluar negeri maupun didalam negeri. Skandal didalam negeri terlihat dari akan diambilnya tindakan oleh Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terhadap 10 Kantor Akuntan Publik yang diindikasikan melakukan pelanggaran berat saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1998. Selain itu terdapat kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak bisa terdeteksi oleh akuntan publik yang menyebabkan perusahaan didenda oleh Bapepam (Winarto, 2002 dalam Christiawan 2003:82).
Selain fenomena di atas, kualitas audit yang dihasilkan akuntan publik juga tengah mendapat sorotan dari masyarakat banyak yakni seperti kasus yang menimpa akuntan publik Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan dalam mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional,Tbk. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan investigasi tersebut Bapepam menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, memunculkan pertanyaan apakah trik-trik rekayasa tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa laporan keuangan, maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut. Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik.
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhwatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
De Angelo dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Sementara itu AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002:83) menyatakan bahwa "Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter(1986) dalam Saifuddin (2004:23) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien.
Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari si stem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Sehingga berdasarkan uraian di atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman.
Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa "Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor". Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi akuntan publik ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka waktu dimana auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di "audit" oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59)
Ada beberapa penelitian tentang kualitas audit yang telah dilakukan baik dari segi topik maupun metode penelitian (Kusharyanti, 2003). Dari segi topik antara lain: Besaran KAP (De Angelo,1981; Palmrose, 1986 ;Deis dan Giroux, 1992), audit tenure (Aldhizer dan Lampe, 1997), audit fee (Jansen dan Payne, 2003), jasa non audit (Standards dan Poor, 2000 ; Wooten, 2003).
Sedangkan dari segi metode penelitian, saat ini masih sedikit penelitian yang difokuskan pada pengembangan rerangka konseptual yang bisa menangkap konstruk kualitas audit. Pengembangan model yang komprehensip mengenai kualitas audit perlu dilakukan sehingga model tersebut dapat menangkap kompleksitas yang ditemukan dalam penelitian kualitas audit. Salah satu model kualitas audit yang dikembangkan adalah model De Angelo (1981). Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu kompetensi dan independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa non audit. Adapun model kualitas audit lain yang dikembangkan adalah model kualitas audit menurut Catanach dan Walker (1999), dimana mereka memfokuskan pada dimensi kemampuan auditor, professional conduct, dampak insentif ekonomi dan struktur pasar.
Namun dalam penelitian ini akan menggunakan model De Angelo. Hal ini berkaitan dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang ternyata belum menemukan kesepakatan sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, lingkungan audit yang juga berubah terus memicu penelitian dari lingkup yang lebih luas. Dari segi metoda penelitian, pengembangan model kualitas audit yang dapat menangkap kompleksitas kualitas audit masih sedikit sehingga perlu digali lagi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menguji kembali model De Angelo dengan menggunakan dimensi kompetensi yang diproksikan menjadi dua sub variabel yakni pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan dimensi independensi dikembangkan proksi antara lain lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya. Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa audit yang diberikannya.
Atas dasar latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat judul "Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit (Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di X)"

I.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara simultan berpengaruh terhadap kualitas audit ?
2. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara parsial berpengaruh terhadap kualitas audit ?

I.3 Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam penelitian ini maka perlu diberikan penjelasan terhadap istilah-istilah berikut ini :
I.3.1 Kompetensi
Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Dalam standar pengauditan, khususnya standar umum disebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor serta dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. De Angelo(1981) dalam Kartika Widhi (2005:7) memproksikan kompetensi kedalam 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
I.3.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki auditor yaitu (1.) pengetahuan umum, (2.) area fungsional, (3.) isu akuntansi, (4.) industri khusus, dan (5.) pengetahuan bisnis umum serta penyelesaian masalah.
I.3.1.2 Pengalaman
Menurut Loeher (2002) Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan.
I.3.2 Independensi
Kode Etik Akuntan Publik menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu dalam negeri maupun luar negeri dengan menggunakan berbagai ukuran. Namun dalam penelitian ini independensi auditor diukur melalui : Lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
I.3.2.1 Lama hubungan dengan klien (audit tenure).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik, membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun.
Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.
I..3.2.2 Tekanan dari klien.
Tekanan dari klien dapat timbul pada situasi konflik antara auditor dengan klien. Situasi konflik terjadi ketika antara auditor dengan manajemen atau klien tidak sependapat dengan beberapa aspek hasil pelaksanaan pengujian laporan keuangan (atestasi).
Tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit (Kusharyanti 2002:29). Dengan menerima fee audit yang besar dan pemberian fasilitas dari klien, auditor dapat mengalami tekanan dari klien.Tekanan dari klien tersebut dapat berupa tekanan untuk memberikan pernyataan wajar tanpa pengecualian pada laporan audit atas laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen.
I.3.2.3 Telaah dari rekan auditor (peer review).
Telaah dari rekan auditor (peer review) merupakan mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit (Harjanti, 2002:59)
I.3.2.4 Jasa non audit.
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan.(Kusharyanti, 2002:29)
I.3.3 Kualitas Audit
De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Kualitas audit ini sangat penting karena kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.

I.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.4.1 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara simultan terhadap kualitas audit.
2. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara parsial terhadap kualitas audit.
1.4.2 Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empiris tentang pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan sumbangan konseptual bagi peneliti sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan untuk perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.
2. Kegunaan Praktis
a. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pimpinan Kantor Akuntan Publik dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas kerjanya.
b. Sebagai bahan evaluasi bagi para auditor sehingga dapat meningkatkan kualitas auditnya.


Top of Form
Bottom of Form

Posting Komentar

0 Komentar