KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI DAN DILEMA YURISDIKSI PERADILAN

      KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI
               DAN DILEMA YURISDIKSI PERADILAN

Oleh: Eman Suparman

I. PENDAHULUAN
1

Dalam masyarakat awam terminologi birokrasi memiliki konotasi yang
kurang baik. Istilah birokrasi  acapkali dipahami  sebagai prosedur  kerja yang
berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak
efektif dan efisien, serta  sumber penyalahgunaan  kedudukan dan wewenang.
Moerdiono dalam  tulisannya pernah mengemukakan bahwa (1993: 38),
”istilah birokrasi pada dasarnya  mempunyai konotasi netral  untuk
menunjukkan ciri-ciri suatu organisasi besar, [namun] telah salah kaprah
dipahami sebagai sesuatu ukuran yang buruk,  walaupun Max Weber,  yang
dipahami sebagai  ayatullah-nya  segala ulasan  mengenai birokrasi,  juga
menunjukkan sisi positip  birokrasi, namun sisi negatifnya lebih menonjol
diingat orang bila mendengar istilah ini”. 
           Berkembangnya kecenderungan anggapan masyarakat awam di Indonesia
bahwa birokrasi itu berkonotasi buruk, boleh jadi turut ditumbuh-suburkan
oleh  tradisi penerapan birokrasi itu sendiri selama masa pemerintahan Orde
Baru 1966-1998.  “Ketika itu  birokrasi telah mengalami pemekaran fungsi
dan peranan,  dari sekedar instrumen teknis  yang bersifat administrasi,  ia
berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam upaya rekayasa masyarakat”
(Manuel Kasiepo, 1987: 23). Akibat yang tampak kemudian adalah  semakin
dominannya peran birokrasi dalam sistem politik orde baru. Agaknya warisan
dari praktik itulah yang terus mewarnai  kesan masyarakat  hingga kini, meski
rejim  otoriter Orde Baru secara de facto  telah berakhir.
Sebagai salah satu instrumen di dalam praktik penyelenggaraan negara
dan berbagai upaya pembangunan di dalamnya,  birokrasi mempunyai peranan
yang semakin penting di dalam masyarakat.  Apalagi di Indonesia yang
masyarakatnya sedang terus menerus melakukan perubahan melalui berbagai
aktivitas positif yang konstruktif.  Dalam  kerangka masyarakat semacam itu
telah semestinya birokrasi pemerintah  ditata mendekati apa yang disebut
dengan  “tipe ideal birokrasi modern”  sebagaimana diintroduksikan  oleh Max
Weber, yaitu legal dan rasional (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews,
1989:98-99). Menurut Max Weber, birokrasi yang bersifat legal-rasional
haruslah memiliki  karakteristik sebagai berikut: (1)  pembagian kerja lebih
jelas, (2) adanya hirarki wewenang, (3)  pengaturan perilaku pemegang jabatan
birokrasi, (4) impersonalitas hubungan, (5)  kemampuan teknis, dan (6) karier.
Jika dalam perkembangan masyarakat yang berangsur semakin maju
birokrasi tidak diupayakan untuk mendekati typenya yang ideal, maka
dikhawatirkan birokrasi akan semakin  dirasakan sebagai instrumen
penghambat pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat. Hal itu disebabkan
karena mekanisme proses yang terus menerus diupayakan oleh masyarakat itu
sendiri telah menghasilkan perubahan taraf hidup dan kesejahteraan dalam
bidang materiil yang tidak jarang diikuti pula oleh perubahan sikap dan
perilakunya.

II. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH
Birokrasi adalah: “Keseluruhan aparat pemerintah, sipil  maupun militer
yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji  dari
pemerintah karena statusnya itu” (Yahya Muhaimin, 1980:21). Moerdiono
menggunakan istilah birokrasi pemerintahan, yang didefinisikannya sebagai

berikut: “Seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin  oleh
pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokoknya adalah  secara
profesional menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah”
(1993:38). Mencermati  dua  definisi birokrasi yang dikutip dari dua tokoh di
atas, tampak sekali perbedaannya.  Yang pertama  memasukkan unsur  militer
sebagai bagian dari birokrasi.  Sedangkan definisi kedua  secara tegas  hanya
menyebut jajaran eksekutif sipil, sehingga  unsur militer  tidak dimasukan
sebagai bagian dari birokrasi. Hal itu  sejalan dengan konsep pemikiran
Moerdiono dalam paparannya tersebut, yang antara lain menguraikan: “Istilah
birokrasi lazimnya kita pahami  terbatas pada badan-badan eksekutif sipil.
Tidaklah lazim, baik di negeri kita maupun di negeri-negeri lainnya, bahwa
satuan tempur atau satuan teritorial  disebut sebagai birokrasi, walaupun
ukuran serta cakupannya juga  bisa amat besar” (Moerdiono, 1993:39).
Pendapat tersebut dikemukakannya bukan tanpa alasan.  Sebagai
seorang yang berlatar belakang militer, agaknya cara pandang  Moerdiono
tidak lepas dari atribut  yang melekat dan dilekatkan pada dirinya.  Dalam
pemahamannya,  instansi militer bukan  sebagai instansi birokrasi karena
instansi militer biasa bekerja secara operasional, sehingga  terbebas dari kesan
“birokratis”. Dia membandingkan instansi militer dengan organisasi
perusahaan swasta  yang besar-besar.  Menurut pendapatnya, tidak lazim
bahwa organisasi perusahaan swasta yang besar-besar itu  disebut sebagai
“birokrasi”. Hal itu disebabkan karena usaha-usaha swasta itu bekerja secara
operasional, tidak kalah kenyalnya dibandingkan dengan  organisasi militer
(Moerdiono, 1993:39).
Untuk  membuktikan seberapa jauh kebenaran pendapat Moerdiono
tentang organisasi  militer itu bukan birokrasi disebabkan mereka bekerja
secara operasional, tentu saja harus diuji oleh sebuah konsepsi yang ada. Bila
dikembalikan kepada  konsepsi dasar tentang birokrasi dari Max  Weber, meski
3
dalam mengemukakan konsepsinya Weber tidak memakai istilah birokrasi,
melainkan menamakannya dengan model “ideal type” dari tata hubungan
organisasi yang rasional (Miftah Thoha, 1987:72). Konsepsi  Weber tentang
“ideal type”  itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal mereka;
2. Ada hirarki jabatan yang jelas;
3.  Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4.  Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5.  Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
suatu diploma (ijazah)  yang diperoleh melalui suatu ujian;
6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji   
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu   
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat
diberhentikan;
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya;
8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan  
senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut  pertimbangan
keunggulan (superioritas);
9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut;
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam (Martin
Albrow, 1989: 42-43).
 Terhadap  ciri-ciri  birokrasi Max Weber di atas, ada pula kalangan
yang memberi interpretasi lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel
Kasiepo yang memberi penafsiran atas birokrasi Weber  tersebut dengan ciri-



ciri yang lebih sederhana yaitu: (1)  terikat konstitusi dan aturan hukum, (2)
netral, dan  (3)  a-politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).
Berdasarkan dua kelompok ciri-ciri birokrasi atau “ideal type” dari tata
hubungan organisasi yang rasional di atas,  penulis  sama sekali tidak
sependapat dengan pandangan  Moerdiono.  Persoalannya organisasi militer
memenuhi hampir sebagian besar dari sepuluh  ciri “ideal type” Weber di atas.
Oleh karena itu agaknya tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan bahwa
instansi militer bukan birokrasi. Persoalannya  berdasarkan interpretasi Manuel
Kasiepo atas “ideal type” Weber, militer jelas terikat konstitusi dan aturan
hukum, militer juga harus netral keberadaannya karena posisinya dituntut
harus berdiri di atas semua kepentingan dan golongan. Konsekuensinya militer
juga tidak berpolitik praktis dalam arti  menjadi anggota suatu partai politik
tertentu.
Memang banyak kritik yang dikemukakan terhadap organisasi
birokrasi, yang pada prinsipnya mereka menyatakan bahwa “tipe ideal”
organisasi yang dikemukakan oleh Max Weber itu sukar dijumpai di dalam
kenyataannya (Akhmad Setiawan, 1998 :143). Pendapat demikian  boleh jadi
ada benarnya, akan tetapi ada beberapa prinsip pokok yang baik dan dapat
meningkatkan kerja birokrasi tersebut. Beberapa prinsip tersebut  yaitu:
efisiensi, efektivitas, kecepatan dalam pelayanan, dalam arti pemberian
pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan dan tanpa memperlihatkan
pertimbangan pribadi. Tidak kalah strategisnya juga adalah masalah rekruitmen
kepegawaian yang harus didasarkan  pada prinsip rasionalitas dengan
mempertimbangkan keahlian dan kemampuan yang ditempuh melalui ujian
atau pengalaman. Kesemuanya itu terletak pada suatu sistem administrasi
negara modern sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.

Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu
organisasi birokrasi, Syukur Abdullah (Akhmad Setiawan, 1998: 145),
menguraikan tiga kategori Birokrasi, sebagai berikut:
Kesatu, Birokrasi Pemerintahan Umum, yaitu rangkaian organisasi
pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum   termasuk
memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai di daerah
(propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas tersebut lebih bersifat
mengatur.
Kedua, Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang
menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna    mencapai tujuan
pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi
pokoknya adalah “development function” atau “adaptive function.”
Ketiga, Birokrasi Pelayanan,  yaitu  unit organisasi yang pada
hakikatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain: Rumah Sakit, Sekolah (SDSLTA),

Koperasi, Bank Rakyat Desa,  Transmigrasi,  dan berbagai unit
organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat
atas nama pemerintah. fungsi utamanya adalah “service”.
 Untuk memahami pengertian Pejabat Birokrasi barang tentu tidak
dapat dilepaskan dari konteks pemaparan mengenai pengertian Hukum
Administrasi Negara.  Menurut  S. Prajudi  Atmosudirdjo, Hukum
Administrasi Negara adalah:  “Hukum mengenai Administrasi Negara, dan
Hukum hasil ciptaan Administrasi Negara” (1995:43).
               Administrasi Negara itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu: (1) Sebagai
aparatur negara, aparatur pemerintah, atau sebagai institusi politik
(kenegaraan); (2) sebagai fungsi  atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan
pemerintah operasional; dan (3) sebagai proses teknis penyelenggaraan
Undang-undang. Dalam pengertiannya yang luas, Hukum Administrasi Negara
meliputi beberapa unsur, satu diantaranya adalah Hukum Tata Usaha Negara
(HTUN). Yaitu hukum mengenai surat menyurat, rahasia dinas dan jabatan,
registrasi, kearsipan dan dokumentasi, legalisasi, pelaporan, dan statistik, tata
cara penyusunan dan penyimpanan berita acara, pencatatan sipil,  publikasi,
penerangan, dan penerbitan-penerbitan negara. Oleh karena itu secara singkat
dapat pula disebut Hukum Birokrasi, (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995:44).
“Tata Usaha Negara (Bureaucracy)  adalah keseluruhan usaha-usaha
dan kegiatan-kegiatan  ketatausahaan dalam dinas  Administrasi  Negara atau
penyelenggaraan  pemerintahan negara dengan jalan dan cara-cara rutin serta
prosedur tertentu” (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995: 76).
Dalam kerangka pembahasan mengenai Hukum Administrasi Negara
ini, dapatlah kiranya dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat
Birokrasi adalah “aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui
pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking)
yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan
administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional atau
operasional. Oleh karena itu keputusan maupun tindakannya dapat dilawan
melalui berbagai bentuk peradilan administrasi negara"(S. Prajudi
Atmosudirdjo, 1995: 49).
Adapun istilah “yurisdiksi” berasal dari kata Bahasa  Inggris
jurisdiction.  Kata tersebut merupakan kata yang diadopsi dari Bahasa Latin
yurisdictio. 
Di dalam “The Encyclopedia Americana”,  jurisdiction diartikan
sebagai berikut: “…Jurisdiction. In law,  a term for power or authority. It is
usually  applied to courts and quasi-judicial  bodies, describing the scope of
their  right to act. …As applied  in generally to a state or nation, the term
“jurisdiction”  means its authority  to declare and enforce the law…” (1997:
257-258).

Dapatlah dipahami bahwa yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi
hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi dapat
dibedakan antara yurisdiksi perdata dan yurisdiksi  pidana.  “Yurisdiksi perdata
adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara
yang menyangkut keperdataan, baik yang sifatnya nasional  yaitu bila para
pihak atau objek perkaranya melulu menyangkut nasional, maupun yang
bersifat internasional (perdata internasional)  yaitu bila para pihak atau objek
perkaranya menyangkut unsur asing. Sedangkan yurisdiksi pidana adalah
kewenangan (hukum) pengadilan  suatu negara terhadap perkara-perkara yang
menyangkut  kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing
maupun nasional” (H.A. Tobing, 1991: 143-145).
             Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui  bahwa  membicarakan
mengenai yurisdiksi  bersangkut paut dengan masalah hukum,  khususnya
masalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu badan peradilan
atau badan-badan negara lainnya yang  berdasarkan atas hukum.

III. KEPUTUSAN  PEJABAT  BIROKRASI  YANG  BERISI
PERBUATAN  HUKUM  PERDATA
         
Keputusan Pejabat Birokrasi atau Keputusan Tata Usaha Negara  adalah
suatu penetapan tertulis  yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang  atau badan hukum perdata
(Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
Adakalanya keputusan pejabat birokrasi atau keputusan Tata Usaha
Negara (TUN) dalam beberapa hal memunculkan problema yurisdiksi
peradilan. Problema yurisdiksi peradilan dalam arti dua lembaga pengadilan

dari lingkungan badan peradilan yang berbeda memiliki peluang dan
kesempatan yang sama untuk memeriksa dan memutus satu sengketa tertentu.
Hal itu sangat mungkin terjadi manakala ada  keputusan pejabat birokrasi yang
mengandung perbuatan hukum perdata, kemudian muncul sengketa dari
padanya. Sengketa tersebut menimbulkan pertanyaan. Badan peradilan
manakah yang memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk mengadili sengketa
itu? Apakah kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau
justeru  menjadi kewenangan Peradilan Umum (Perdata)?
Di atas telah dikemukakan bahwa Keputusan Pejabat Birokrasi adalah
penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Sementara
itu tindakan  pejabat birokrasi itu dapat berupa:
1) Tindakan Material;
2) Tindakan Hukum;
 Tindakan Hukum dapat dibagi menjadi:
 (a) Tindakan Hukum Ekstern;
 (b) Tindakan Hukum Intern.
 Tindakan Hukum Ekstern dapat dibagi lagi menjadi:
 1) Tindakan Hukum Privat;
 2) Tindakan Hukum Publik.
 Tindakan  Hukum Publik dapat dibagi lagi menjadi:
 (a) Tindakan Hukum sepihak; dan
 (b) Tindakan Hukum banyak pihak.
 Tindakan Hukum Sepihak dapat  dibedakan lagi menjadi:
 1) Tindakan Hukum bersifat Umum;
 2) Tindakan Hukum  bersifat Individual.
 Tindakan Hukum yang bersifat Individual dapat dibedakan lagi
menjadi:
 (a) Tindakan Hukum yang Abstrak;
 (b) Tindakan Hukum yang Konkrit,(Irfan Fachruddin, 1994:144-145).
Dari bermacam-macam tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh
pejabat Birokrasi atau Badan Tata Usaha Negara di atas, hanya tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang bersifat ekstern, publik, sepihak, individual,
dan konkrit saja yang dapat menjadi objek sengketa.  Tindakan yang
demikianlah yang dimaksud sebagai Keputusan yang dapat disengketakan
menurut  Undang-Undang  tentang Peradilan  Tata Usaha Negara (Peratun)
[Indroharto, 1991:94]. Sedangkan tindakan-tindakan material dan tindakan
hukum lainnya, apabila disengketakan akan termasuk dalam kewenangan
badan Peradilan Umum.
Rumusan pasal 1 angka 2 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Nomor  5 Tahun 1986  menyiratkan  bahwa yang dapat dikategorikan
sebagai Pejabat Birokrasi/Pejabat Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa
saja berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang
urusan pemerintahan.  Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah
kedudukan struktural pejabat  atau organ yang bersangkutan dalam jajaran
pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan
pemerintahan. Apabila  fungsi yang dijalankan adalah urusan pemerintahan,
maka oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Birokrasi.  Oleh karena itu
suatu Badan Hukum Perdata, misalnya Perseroan Terbatas atau Yayasan dapat
dianggap sebagai Badan atau Pejabat Birokrasi, jika kepada Badan Hukum
tersebut diserahi tugas menjalankan urusan pemerintahan (Indroharto,
1991:64).
Salah satu  yang menjadi perhatian dalam penulisan makalah ini adalah
sebagaimana tercantum pada judul tulisan ini, yaitu  “Keputusan Pejabat
Birokrasi dan Dilema Yurisdiksi Peradilan”. Sesuatu yang hendak dikaji
lebih lanjut dari masalah tersebut  adalah Keputusan-keputusan Pejabat
Birokrasi manakah yang apabila disengketakan keabsahannya termasuk
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Keputusan-keputusan macam
apakah yang jika disengketakan keabsahannya akan termasuk dalam
kewenangan badan Peradilan Umum?  Atau bahkan mungkin menjadi “dualitas
yurisdiksi” disebabkan kedua badan peradilan yang berlainan itu sama-sama
memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa
bersangkutan. Persoalan itulah yang dengan segala keterbatasan kemampuan
penulis akan dicoba untuk ditelaah melalui  makalah ini.

IV. BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI LEMBAGA BIROKRASI
Cakupan hukum Administrasi dalam arti sempit, yakni Hukum Tata
Pengurusan Rumah Tangga  Negara, baik  yang  intern  maupun  ekstern,
meliputi keseluruhan urusan  yang menjadi tugas, kewajiban, dan fungsi negara
sebagai badan organisasi juga  sebagai suatu badan usaha (S. Prajudi
Atmosudirdjo, 1995: 44). Oleh karena itu, PT PLN sebagai salah satu Badan
Usaha Milik Negara dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara/Birokrasi. Hal itu disebabkan langsung maupun tidak langsung,
PT PLN sebagai Badan Hukum Perdata Milik Negara dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya melekat pula tugas-tugas dalam menjalankan urusan
pemerintahan bidang energi kelistrikan.
 Apabila PT PLN keberadaannya tergolong sebagai Badan/Pejabat Birokrasi,
maka ketika PT PLN sebagai Badan Birokrasi menerbitkan  suatu Keputusan
atau Penetapan tertulis, perlu dikaji secara saksama. Apakah Keputusan
tersebut suatu Penetapan (Beschikking) ataukah merupakan suatu tindakan
hukum yang bersifat keperdataan.
Sebagai satu contoh, Umpamanya, “PT Listrik Negara (PT PLN)
mengadakan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan konsumennya, baik
konsumen perorangan maupun badan hukum. Di dalam perjanjian tersebut
11
dicantumkan berbagai ketentuan dan sanksi terhadap pelanggaran isi
perjanjian.  Salah satu sanksi jika terjadi pelanggaran oleh konsumen adalah
pemutusan aliran listrik disertai keputusan dari PT PLN  bahwa konsumen
harus membayar tagihan susulan”.
Dari perumpamaan di atas, tampak bahwa  PT PLN sebagai salah satu
Badan Usaha Milik Negara  yang modal seluruhnya atau sebagian dikuasai
oleh Pemerintah, sedikit banyak usahanya bersifat pelayanan umum. Walaupun
demikian, oleh karena bentuknya adalah badan usaha apalagi sekarang
merupakan PT Persero, maka tentu saja tujuan mencari untung juga merupakan
target utama dari Perusahaan Milik Negara itu.
Sebagai Perusahaan Milik Negara yang bermisi pelayanan umum, PT
PLN mengemban tugas juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan berupa
pelayanan bidang ketenaga-listrikan. Oleh karenanya pada saat PT PLN
menerbitkan Keputusan, maka Keputusan tersebut akan tergolong sebagai
Keputusan dari Badan/Pejabat  Birokrasi. Akan tetapi  satu hal yang tidak
dapat dikesampingkan bahwa PT PLN Persero sebagai Badan Hukum Perdata
Milik Negara  dalam melakukan hubungan hukum dengan konsumen (para
pemakai jasanya) lebih banyak didasarkan pada perjanjian-perjanjian yang
tunduk pada aturan-aturan hukum perdata.
Paparan contoh PT PLN yang adalah BUMN sebagai Badan/Pejabat
Birokrasi di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan betapa tidak mudahnya di
dalam praktik untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan dari Pejabat
Birokrasi apakah tergolong tindakannya dalam menjalankan fungsi
pemerintahan atau justeru dalam rangka tindakan hukum keperdataan.
Umpamanya saja, ketika PT PLN mengeluarkan Surat Keputusan yang
ditujukan terhadap konsumen untuk membayar tagihan susulan, dalam kasus
pemutusan aliran listrik sebagai sanksi pelanggaran perjanjian. Apakah
tindakan PT P(privaatrechtelijk) ataukah  dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan
(publiekrechtelijk)? “Oleh karena itu meskipun dari sisi luar  mungkin
perbedaan itu tampak jelas, namun  jika  ditelaah substansinya tidak sedikit
justeru menimbulkan  persoalan-persoalan yuridis  yang tidak mudah
menyelesaikannya.  Pada sisi itulah kemudian muncul  permasalahan yurisdiksi
antara Peradilan Umum (yurisdiksi  perdata) dengan Peradilan Tata Usaha
Negara (yurisdiksi PTUN)” [Indriyanto Seno Adji, 1995: 135].
Kesulitan  untuk membedakan antara perbuatan hukum perdata dengan
perbuatan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan  dirasakan lebih
sulit lagi jika Keputusan Pejabat  Birokrasi tersebut  berasal dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).  Persoalannya karena  Pejabat Birokrasi pada BUMN
semacam  PT Listrik Negara (PLN),  PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT
Telekomunikasi Indonesia (Telkom), dan lain-lain itu  dalam menjalankan
fungsi pemerintahannya lebih banyak melakukan perbuatan-perbuatan hukum
yang bersifat keperdataan (privaatrechtelijk).  Terlebih lagi jika penerbitan
Keputusan Pejabat Birokrasi  itu memenuhi syarat substansial  dari pasal 1
angka 3  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yaitu “…bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum…”.  Bila ada sengketa yang muncul dari Keputusan semacam itu
secara substansial  memenuhi syarat untuk diajukan kepada Peradilan Tata
Usaha Negara, walaupun penerbitan Keputusan Pejabat Birokrasi tersebut
dilakukan dalam rangka perbuatan hukum keperdataan.
Untuk  menggolongkan Keputusan Pejabat Birokrasi sebagaimana
dikemukakan di atas, terdapat dua pandangan dengan pendekatan yang
berlainan.  Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: (Indriyanto
Seno Adji, 1995: 148-149).
Pertama, Pendekatan Partial dan Tidak Integral; Pandangan ini bertitik
tolak dari penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 LN di atas  merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan
12

yang memberikan pengertian Penetapan Tertulis (dari Badan/Pejabat
Birokrasi/Tata Usaha Negara) dengan tolok ukurnya pada    Keputusan yang
mensyaratkan adanya sifat Individual, Konkret, dan Final.  Individual
(maksudnya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun
hal yang dituju), Konkret (maknanya, objek yang diputuskan berwujud dan
dapat ditentukan), dan Final (berarti, sudah definitif dan dapat menimbulkan
akibat hukum). Secara Partial, Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi itu hanya
dititikberatkan pada substansi Keputusan dengan sifat-sifat di atas.  Tidak
Integral, maksudnya Keputusan itu telah melepaskan atau mengesampingkan
ada atau tidaknya perbuatan hukum perdata maupun hukum  publik (dari
Badan/Pejabat Birokrasi yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan
berkenaan dengan perbuatan hukum).  Jadi menurut pandangan yang pertama
ini, tidak menjadi persoalan apakah Badan/Pejabat Birokrasi yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan pada saat diterbitkan Keputusan itu
berada dalam perbuatan Hukum Perdata maupun Hukum Publik.
Berkaitan dengan pandangan yang pertama di atas, berikut ini akan
dikemukakan sebuah Arrest Hoge Raad 1924 yang di Negeri Belanda dikenal
dengan “Revolusi November” melalui “Ostermann Arrest”, tanggal 20
November 1924. Dari arrest tersebut akan diketahui adanya langkah atau
perubahan yang besar yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Negeri Belanda
ketika itu.  Hoge Raad telah menetapkan bahwa  suatu badan hukum publik
yang tidak menepati  kewajiban hukum publiknya,  telah dianggap bertindak
melawan hukum dalam arti pasal  1401 Nederland Burgerlijk Wetboek (NBW)
atau sama dengan pasal 1365 BW  Indonesia.  Atas ketentuan pasal tersebut,
badan hukum publik tersebut dapat dipertanggungjawabkan  untuk ganti rugi
(N.E. Algra et al., 1977: 178).
Ostermann Arrest dari HR 1924 selengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pedagang Ostermann ketika Perang Dunia kesatu ingin mengekspor
sejumlah margarine (mentega), tetapi pihak duane  menolak memberikan ijin
yang diperlukan untuk itu. Penolakan itu terjadi berdasarkan Beslit Raja
(Koninklijk  Besluit)  yang diambil beberapa hari sebelumnya,  yang
keabsahannya dibantah oleh Ostermann. Oleh karena itu Ostermann tidak
dapat  menjual menteganya ke luar negeri  sehingga ia menderita rugi.
Kemudian ia menuntut ganti rugi  dari pemerintah melalui pengadilan.
Pendapat Pengadilan: Kewajiban (kalau pun ada) dari pegawai untuk
memberikan ijin ekspor adalah merupakan suatu kewajiban  hukum publik
murni, dimana tidak dikenal segala kewajiban hukum privat, sehingga
Ostermann  tidak dapat menarik perlindungan hukum dari kewajiban hukum
publik  itu berdasarkan pasal 1401 NBW (sama dengan pasal 1365 BW
Indonesia). Tuntutan Ostermann dinyatakan tidak dapat diterima. Ostermann
kemudian naik banding dan kemudian kasasi ke Hoge Raad.
Pendapat Hoge Raad: Dengan perbuatan melawan hukum diartikan
bukan hanya suatu perbuatan atau hal tidak berbuat yang melanggar hak
seseorang, melainkan juga suatu perbuatan atau tidak berbuat, yang
bertentangan dengan kewajiban hukum orang itu.  Dengan demikian, maka
seseorang itu telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum,  yang
melanggar suatu peraturan undang-undang, tanpa mempedulikan apakah
peraturan itu mempunyai sifat hukum privat atau hukum publik,  sama seperti
seorang warga negara yang melanggar undang-undang pidana, ia juga telah
melakukan perbuatan melawan hukum.  Juga badan hukum publik yang
bertindak melalui bagian-bagiannya, dalam  memenuhi tugas pemerintahannya
itu  harus menepati peraturan undang-undang dan apabila hal itu tidak
dilakukannya, maka  dengan pemerintahan itu tanpa apa-apa telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum dan bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkannya” (N.E. Algra et al., 1977:178).
Mencermati Ostermann Arrest di atas, tampak suatu indikasi adanya
perluasan yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata) dengan dimasukannya
perbuatan yang bersifat  publiekrechtelijk ke dalam lingkup yurisdiksi
peradilan umum. Di lain pihak bahkan dimungkinkan sebaliknya, yaitu
perbuatan dari Badan/Pejabat Birokrasi dalam lingkup dan suasana  yang
privaatrechtelijk masuk ke dalam yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara.
Kedua,  Pendekatan Tidak Partial dan Integral;  Kesulitan  dalam
menentukan  apakah suatu keputusan Pejabat Birokrasi itu  diterbitkan dalam
rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan atau dalam rangka melakukan
perbuatan hukum perdata, sebenarnya  telah dijawab oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 itu sendiri. Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 menyatakan: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:  (a) Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan  perbuatan hukum perdata.” 
 Pasal di atas  sesungguhnya telah merupakan rambu atau petunjuk yang
amat jelas untuk membedakan antara Keputusan Pejabat Birokrasi yang
diterbitkan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (publik)  dengan
yang diterbitkan dalam rangka melakukan perbuatan hukum perdata.  Maksud
dari pasal 2 huruf a di atas sebenarnya  dalam rangka menghindarkan adanya
suatu benturan yurisdiksi peradilan.  Artinya apabila  Badan/Pejabat Birokrasi
menerbitkan suatu Keputusan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan
yang bersifat keperdataan, maka  pemeriksaan  sah atau tidaknya Keputusan
Badan/Pejabat Birokrasi itu menjadi kewenangan dari Badan Peradilan Umum
(Peradilan Perdata). Atau dengan kalimat lain, menurut pandangan yang kedua,
yaitu pendekatan tidak partial dan integral,  adalah bahwa “Tidak selalu suatu
Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi, meskipun bersifat Konkret, Individual,
dan Final (sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986), merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
untuk memeriksa dan memutus keabsahannya. Oleh karena apabila  Keputusan
itu diterbitkan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dalam rangka menyelenggarakan
fungsi pemerintahan yang bercorak keperdataan, maka pemeriksaan terhadap
keabsahan Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi tersebut akan menjadi
kewenangan badan Peradilan Umum (Perdata)” [Indriyanto Seno Adji, 1995:
136].
Sehubungan dengan yurisdiksi Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara ini, Oemar Seno Adji dalam bukunya (1980: 314),
mengemukakan bahwa “Setiap Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang
berkenaan dengan perbuatan keperdataan menjadikan persoalan tersebut
sebagai Dual Jurisdiction atau Dualitas dalam Yurisdiksi”. Selanjutnya
dikemukakan, di wilayah Indonesia ini [diakui] adanya Dual Jurisdiction, yaitu
adanya Peradilan Umum (Perdata) dan Peradilan Administratif (sekarang,
Peradilan Tata Usaha Negara).  Kemudian menjadi Unity of Jurisdiction yang
dipusatkan di Mahkamah Agung, yang mengadili perkara-perkara dalam
tingkat kasasi terhadap putusan terakhir, baik dari Peradilan Umum (Perdata)
maupun Peradilan Tata Usaha Negara.
Serupa dengan pandangan kedua di atas, berikut ini dikemukakan kasus
yang berasal dari Amsterdam, yakni kasus Café Uitkijk,  Maret 1913.  Kasus
posisinya sebagai berikut:
 “Pada bulan Maret 1913, Kotapraja mengadakan perjanjian bersyarat
dengan NV Holandsche Ijzer en Spoorweg Maatschappij  (HIjSM) untuk
melakukan pekerjaan pembuatan Café Uitkijk.  Kotapraja menentukan syarat,
bahwa kerugian sebagai akibat  pelaksanaan pekerjaan itu, harus memperoleh
ganti rugi.  Syarat tersebut diterima dengan tegas oleh  NV  HijSM.  Pemilik
Café Uitkijk, ternyata kemudian mengajukan gugatan terhadap  NV HijSM
karena ditemukan beberapa kekurangan dalam pekerjaan pembuatan Café
tersebut. Tuntutan itu ditolak oleh tergugat (NV HijSM) dengan

mengemukakan alasan bahwa tidak ada  hubungan perjanjian berdasarkan
hukum perdata antara ia (NV HijSM) dengan Kotapraja, sehingga tidak ada
suatu janji untuk pihak ketiga yang berlaku.  Pembelaan tergugat telah ditolak
oleh Pengadilan. Pengadilan berpendapat  bahwa janji yang dibuat ketika
memberikan ijin  itu adalah persetujuan menurut hukum privat, sehingga
konkretnya ketentuan pasal  1353 NBW (pasal 1317 BW Indonesia) berlaku”
(N.E. Algra et al., 1977: 174-175).

V. BEBERAPA  KASUS  YANG  MENGINDIKASIKAN  SIKAP
     MAHKAMAH  AGUNG  MEMBIARKAN  DUALITAS  YURISDIKSI

Sebagaimana diketahui,  Peradilan di Indonesia menganut suatu sistem
kasasi, yang juga lazim dinamakan  “sistem kontinental” dan berasal dari
Perancis.  “Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung  sebagai Badan
Pengadilan Tertinggi merupakan Pengadilan Kasasi. Tugas Mahkamah Agung
adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar
semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara
tepat dan adil”(R. Subekti, 1980: 1-2).
Di samping tugasnya di atas, Mahkamah Agung Indonesia juga
merupakan Unity of Jurisdiction, atau lembaga yang menyatukan kembali
yurisdiksi sebab Indonesia mengakui adanya Dual Jurisdiction atau Dualitas
Dalam Yurisdiksi. Keadaan semacam itu terjadi antara lain karena  Peradilan
Umum (Perdata) dan Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki perbedaan
kompetensi, namun sejajar dalam kesempatan untuk menilai keabsahan  setiap
Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang berkenaan dengan perbuatan
keperdataan. Persoalan itulah yang dinamakan sebagai Dualitas Dalam
Yurisdiksi. 
Untuk mengetahui bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam
praktiknya berupaya mempertautkan perbedaan kewenangan mengadili
diantara dua badan peradilan yang berbeda tadi, berikut ini dipaparkan sebuah
kasus menarik sebagai berikut:
“Ketika  PT PLN Persero melakukan Operasi Penertiban Aliran Listrik
(OPAL),  PLN  menemukan sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
konsumen berupa segel rusak dan pemalsuan segel pada instalasi listrik di
tempat konsumen. Terhadap temuannya itu,  pihak PLN berkesimpulan bahwa
selama pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Kontrak
Penyambungan Listrik)  konsumen telah melanggar isi perjanjian.  Sesuai
kesepakatan antara  konsumen dengan PT PLN di dalam Kontrak
Penyambungan Listrik tersebut, akibat adanya pelanggaran itu PT PLN
menghentikan aliran listrik konsumen dengan disertai penerbitan  Surat
Tagihan Susulan OPAL yang wajib dibayar lunas oleh konsumen. Surat
Tagihan Susulan OPAL itulah yang kemudian digugat oleh konsumen  di
hadapan Peradilan Tata Usaha Negara. Kasus gugatan tersebut akhirnya sampai
juga pada tingkat Mahkamah Agung  dengan pandangan dualitas tentang
yurisdiksi peradilan”.
Kasus yang dipaparkan di atas terjadi antara PT Cahaya Kencana Sakti
(konsumen-Penggugat) menggugat  Perum Listrik Negara (Tergugat) karena
PLN menerbitkan Surat Keputusan tentang  Tagihan Susulan OPAL.  Pada
tingkat Kasasi, terhadap kasus tersebut Mahkamah Agung dengan Ketua
Majelis Ny. Karlinah Palmini Achmad  Soebroto,S.H., melalui putusannya
Nomor 15K/TUN/1993 tanggal 28 Februari 1993 berpendapat bahwa “gugatan
terhadap Surat Keputusan PLN  tentang Tagihan Susulan OPAL itu menjadi
kewenangan dari Peradilan Umum”. Hal itu dapat disimak dari bunyi
pertimbangannya, sebagai berikut:
“Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena objek sengketa adalah
surat-surat No. 4068/832/BIKEU/1991/M,  No.4894/832/BIKEU/1991/M, dan
No.6115/832/BIKEU/1991/M., perihal Tagihan Susulan OPAL yang
ditentukan  kepada Penggugat sebagai pelanggan dari Pemohon Kasasi atas
dasar jual beli menurut Perjanjian Tenaga Listrik bukti T-1 No.PJN/186/DISJAYA/845;

Bahwa masalah yang timbul dari perjanjian penyambungan listrik
merupakan masalah Perdata, yang adalah wewenang Peradilan Umum”
(Indriyanto Seno Adji, 1995: 138-139).
Berbeda dengan penanganan kasus sebelumnya,  pada kasus yang
berikutnya antara PT Pluit Plastik Industries (Penggugat) yang menggugat
Perum Listrik Negara (Tergugat)  juga berkenaan dengan penerbitan Surat
Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL, Mahkamah Agung
berpendapat lain. Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 14K/TUN/1993
tanggal 30 Juli 1994 dengan Ketua Majelis  Soerjono,S.H., Mahkamah Agung
telah menolak permohonan kasasi dari Perum Listrik Negara tentang
kewenangan Peradilan Umum (Perdata) untuk memeriksa sengketa keabsahan
Surat Tagihan Susulan OPAL. Sebaliknya Mahkamah Agung berpendapat
bahwa gugatan PT Pluit Plastik Industries terhadap PLN atas penerbitan Surat
Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL  menjadi kewenangan dari
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sikap Mahkamah Agung yang tertuang pada putusan MA No.
14K/TUN/1993 tanggal 30 Juli 1994 di atas, ternyata terus berlanjut pada
penanganan kasus-kasus berikutnya.  Sebagai contoh pada kasus-kasus berikut
ini: Combo Fast Food (Putusan No. 15K/TUN/1992); PT Inti Sarana Aksara
(Putusan No. 63K/TUN/1992); PT Dharma Bumi Agricultural Enterprise
(Putusan No. 65K/TUN/1992); PT Elsar Utama (Putusan No. 01K/TUN/1993);
PT Star Impactama Indah (Putusan No. 03K/TUN/1993); PT Bina Cipta Sakti
Permai (Putusan No. 30K/TUN/1993) [Indriyanto Seno Adji, 1995: 139].


Untuk kasus-kasus tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung dalam
putusan-putusannya,  bahwa Peradilan Tata Usaha Negara-lah yang memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa keabsahan Surat Keputusan
Tagihan Susulan OPAL.
Dari dua kelompok putusan Mahkamah Agung yang berlainan di atas,
tampaklah bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam memberikan pertim
bangan putusan atas kasus yang objek  sengketanya sama, tetapi putusannya
akhirnya ternyata berbeda. Pada kasus antara PT Cahaya Kencana Sakti lawan
PLN (Putusan No.15K/TUN/1993),  Mahkamah Agung  memutuskan bahwa
Peradilan Umum (Perdata) yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa keabsahan Surat Keputusan Tagihan Susulan OPAL. Untuk
kasus itu tampak sikap Mahkamah Agung condong ke arah pandangan kedua
yakni tidak partial dan integral.  Corak dari pandangan kedua itu adalah fungsi
pemerintahan yang diselengarakan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dengan
merelevansikan adanya perbuatan hukum perdata (ataupun Hukum Publik).
“Maksud pandangan kedua adalah apabila Keputusan yang diterbitkan itu
berada pada saat Badan/Pejabat Birokrasi  menyelenggarakan fungsi
pemerintahan berkenaan dengan perbuatan yang bersifat keperdataan, maka
karenanya tunduk dan terikat dalam suasana Hukum Perdata, yaitu adanya
hubungan kontraktual  dengan asas kebebasan berkontraknya” (Indriyanto
Seno Adji, 1995: 150).
Sedangkan  pada penanganan kasus-kasus berikutnya, antara lain kasus
PT Pluit Plastik Industries (Putusan No.14K/TUN/1993), Mahkamah Agung
justeru berpendapat lain, yakni menunjuk Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
peradilan yang memiliki kewenangan.  Dalam menangani kasus-kasus yang
disebut terakhir Mahkamah Agung rupanya lebih condong ke arah pandangan
pertama yakni partial dan tidak integral. Agaknya dalam kasus-kasus


berikutnya Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan putusannya
lebih bertitik tolak pada segi substansi Keputusan. 
Dari sikap semacam itu tampak suatu indikasi adanya extensi
(perluasan) yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata)  masuk dalam lingkupnya
perbuatan yang bersifat publik.  Bahkan dimungkinkan sebaliknya, dengan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara, maka perbuatan dari Badan/Pejabat
Birokrasi dalam lingkup dan suasana yang bersifat keperdataan masuk dalam
yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara
.
 
VI. PENUTUP     
Sebagai penutup dari paparan di atas, berikut ini dapat dikemukakan
bebarapa butir kesimpulan sebagai berikut:
Pertama,  Di dalam masyarakat kebanyakan di Indonesia, istilah
birokrasi sampai saat makalah ini disusun masih saja memiliki konotasi  yang
kurang baik. Istilah Birokrasi selalu dihubung-hubungkan dengan berbagai
prosedur dan liku-liku proses yang menyulitkan masyarakat. Hal ini boleh jadi
karena masyarakat diberi pengalaman yang kurang baik berkaitan dengan
istilah tersebut pada masa yang lalu.
Kedua,  Dalam makalah ini yang dimaksud dengan Keputusan
Badan/Pejabat Birokrasi dibatasi semata-mata pada Keputusan yang dikaji saja,
yaitu Keputusan Pejabat PT Perusahaan Listrik Negara sebagai Badan Hukum
Perdata Milik Negara.  Keputusan tersebut dikategorikan sebagai Keputusan
Badan/Pejabat Birokrasi, karena PT PLN  sebagai Badan Usaha juga
mengemban fungsi pemerintahan. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai
pengemban fungsi pemerintahan, PT PLN juga melakukan misi pelayanan
kepada masyarakat dalam bidang tenaga listrik dengan melakukan perjanjianperjanjian

dengan para konsumennya yang tunduk pada aturan-aturan hukum
perdata.

Ketiga, Surat Tagihan Susulan OPAL  yang dikeluarkan PT PLN tentu
tergolong Surat  Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi.  Walaupun substansi
Surat Tagihan itu memiliki sifat keperdataan, karena berkaitan dengan
pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh konsumennya, namun untuk
memeriksa keabsahan Surat tersebut timbul permasalahan yurisdiksi antara
Peradilan Umum (Perdata) dengan Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat,  Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang
mengemban tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum di
Indonesia, ternyata menganut dualisme pandangan  dalam masalah tersebut di
atas. Hal itu tampak jelas sekali dari yurisprudensi-yurisprudensinya dalam
memeriksa sengketa keabsahan Surat Keputusan tentang Tagihan Susulan
OPAL.  Rupanya harus diakui bahwa di dalam praktik tidak selalu mudah
untuk menyelesaikan permasalahan yurisdiksi, karenanya dituntut kemampuan
yang memadai dari para Hakim Agung  untuk dapat memisahkan secara tegas
antara perbuatan yang bernuansa keperdataan dengan yang bernuansa
publik.***

SENO ADJI, Indriyanto,“Mahkamah Agung  dan Problema  Dualitas
Yurisdiksi”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor  114, Maret
1995.

SETIAWAN, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham 
Kekuasaan  Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  1998.

SUBEKTI, R.,  Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni, 1980.

THOHA, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi, Dimensi-dimensi Prima
Ilmu Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: Rajawali Pers,         1987.
TOBING, H.A., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional.
Jakarta: Rajawali Pers, 1991. SENO ADJI, Indriyanto,“Mahkamah Agung  dan Problema  Dualitas
Yurisdiksi”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor  114, Maret
1995.

SETIAWAN, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham 
Kekuasaan  Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  1998.

SUBEKTI, R.,  Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni, 1980.

THOHA, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi, Dimensi-dimensi Prima
Ilmu Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: Rajawali Pers,         1987.
TOBING, H.A., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional.
Jakarta: Rajawali Pers, 1991.








Posting Komentar

0 Komentar